Beberapa saat kemudian, Sawung Sariti segera diganggu oleh kerisauan hatinya. Karena sama sekali ia tidak menduga bahwa anak perantau malas itu mampu melawannya sampai beberapa lama. Karena itu semakin mendidihlah darahnya. Timbullah berbagai dugaan mengenai anak itu. Sehingga sambil bertempur berteriaklah ia, ”Hei anak gila, apakah kau belum pernah mendengar nama Sawung Sariti dengan baik? Atau barangkali kau baru sekarat. Nah katakan kepadaku siapakah sebenarnya kau ini. Mungkin benar dugaanku bahwa kau adalah salah seorang dari gerombolan perampok, menilik ketangkasanmu. Tetapi jangan mimpi dapat meluputkan diri dari hukumanku atas kelancanganmu ini.”
Bagus Handaka memberi kesempatan Sawung
Sariti sampai habis berbicara, tetapi setelah itu seperti angin ribut ia
menyerang dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sawung Sariti terkejut. Dengan
agak sibuk ia berusaha membebaskan dirinya. Untunglah bahwa ia pun
memiliki kepandaian yang cukup sehingga dengan suatu gerakan melingkar
dan meloncat ia dapat menghindari serangan Bagus Handaka. Kemudian
pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sedang Sawung Sariti menjadi
semakin heran pula melihat tandang lawannya.
Tetapi Manahan yang menyaksikan
pertempuran itu tidak pula kalah herannya. Ia melihat Sawung Sariti
dapat mengimbangi muridnya. Ia tahu pasti bahwa seandainya ilmu yang
diterimanya khusus dari ayahnya, maka mustahil bahwa dalam waktu yang
singkat itu Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang sedemikian tinggi.
Akhirnya Manahan sampai pada suatu kesimpulan yang sangat
menggelisahkan, bahkan menyedihkan hatinya. Ia menduga bahwa
sepeninggalnya, Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Banyubiru,
dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi menilik
Sawung Sariti masih mencarinya, maka kemungkinan besar kedua keris itu
masih belum diketemukan. Tetapi agaknya orang tua itu telah menerima
keterangan yang salah tentang daerah perdikan itu.
Dengan licinnya Lembu Sora pasti
membujuknya, sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang disusunnya.
Maka karena tidak ada keturunan lain yang dapat diharap meneruskan dan
mewarisi ilmunya, maka Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran
dari orang tua itu.
Pertempuran itu berlangsung semakin lama
semakin dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab ia
melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang perguruan Ki Ageng
Sora Dipayana. Dua orang sahabat yang pada masa-masa yang silam selalu
bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu,
ia tidak mampu berbuat apa-apa.Manahan sama sekali tidak dapat
melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung Sariti telah jauh
menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana. Sedang
agaknya Kyai Ageng Sora Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan
ilmu itu kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan Sawung
Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur melawan Bagus
Handaka. Untunglah bahwa Bagus Handaka pernah mengalami kemajuan yang
pesat sekali, selama enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang
yang berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap malam
berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka hanya melulu menerima
pelajaran darinya tanpa suatu loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu
mampu melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi ternyata bahwa kedua
anak itu berimbang.
Mengalami perlawanan yang tidak kalah
hebatnya dari ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi
curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka sekali lagi ia
berteriak, ”He anak sombong, siapakah sebenarnya kau? Dan darimanakah kau mengenal bahwa yang gugur itu Paman Sawungrana?”
Handaka menyeringai marah sambil menjawab, ”Buat apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu akan terhapus dari muka bumi.”
Sawung Sariti adalah seorang anak muda
yang sombong. Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan. Karena
itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka, hatinya bertambah
menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi berpikir lain kecuali
membinasakan lawannya. Ia tidak lagi mempedulikan apakah lawannya
bersenjata atau tidak. Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik
pedangnya dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya
mengolah senjata tidak mengecewakan pula.
Melihat lawannya bermain pedang, Handaka
meloncat beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak kalah
cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung tombak bertangkai pendek.
Itulah Kyai Bancak. Tanda kebesaran tanah perdikan Banyubiru.
Sawung Sariti sendiri belum pernah
melihat tombak itu. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia
menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka pun tidak kalah
dahsyatnya. Agaknya salah seorang pengawalnya pernah mengenal tombak
itu. Tombak yang mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup
ia berteriak, ”Angger, itulah tombak Kyai Bancak.”
Meskipun Sawung Sariti belum pernah
melihat Kyai Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia
mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut dan meloncat
mundur.
Bagus Handaka kini benar-benar sudah
tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar
seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga, dan dengan sengaja
ia ingin menunjukkan kepada Sawung Sariti bahwa tombak kebesaran
Banyubiru itu ada padanya. Karena itu segera ia berteriak menjawab, ”He orang yang berwajah hantu, kau mengenal tombak ini…?”
Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tiba-tiba orang itu menjadi takut dan menjawab,” ya, ya… anak muda, aku kenal tombak itu.”
”Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak ini?” desak Handaka.
Orang yang ketakutan itu menjawab gugup, ”Ki Ageng Gajah Sora”.
”Bagus…” jawab Bagus Handaka, ”Siapakah Gajah Sora itu?”
Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab, ”Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”
“Bagus…” ulang Bagus Handaka. “Kalau
kau tahu itu, katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra
kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus, bahwa Banyubiru
bukanlah miliknya.”
Mendengar percakapan itu Sawung Sariti
menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang
tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak sepupunya hilang tak
tentu perginya, membawa Kyai Bancak.
Dalam saat yang pendek itu otaknya
berputar keras. Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu
adalah kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil. Tetapi
setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada kemungkinan untuk tidak
mengenalnya lagi. Apalagi anak muda yang berdiri di hadapannya itu
wajahnya kehitaman-hitaman terbakar terik matahari serta berpakaian
lusuh dan jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi
bapaknya itu…? Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak
muda yang memegang tombak itu, ”Anak muda yang perkasa, adakah kau sebenarnya memang berhak atas tombak itu?”
”Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya kecuali aku?” jawab Handaka.
”Menurut pendengaranku, satu-satunya
orang yang berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang
sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama Arya Salaka,” sahut Sawung Sariti.
Mengikuti pembicaraan kedua anak muda
yang sedang diamuk oleh kemarahan itu, Manahan menjadi agak cemas.
Ternyata Sawung Sariti yang biasa bergaul dengan orang-orang
pemerintahan mempunyai cara-cara yang licin dalam setiap pembicaraan,
sedang Bagus Handaka yang hidup diantara para petani dan nelayan,
memiliki kejujuran yang utuh. Sehingga ia sama sekali tidak sadar bahwa
ia terseret ke dalam sebuah percakapan yang berbahaya. Manahan yang
sadar akan itu, cepat berusaha untuk mencegah Bagus Handaka menjawab
pertanyaan Sawung Sariti. Tetapi agaknya ia terlambat.
Sebab demikian tangannya bergerak untuk menggamit anak itu, terdengarlah mulut Bagus Handaka berkata, ”Akulah Arya Salaka, karena itu aku mengenal Paman Sawungrana yang gugur karena pokalmu.”
Meskipun sebelumnya Sawung Sariti sudah
menduga-duga, namun mendengar jawaban itu ia masih terkejut sekali
sehingga tubuhnya bergetar. Dengan demikian sekaligus ia melihat bahaya
yang lebih besar menghadang di depannya. Sepeninggal Sawungrana,
sebenarnya ia telah mengurangi jurang yang menghalanginya untuk sampai
pada kekuasaan yang penuh atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal
ayahnya. Tetapi ternyata Arya Salaka yang memang masih diragukan itu,
benar-benar masih hidup dan sekarang berdiri di hadapannya. Karena itu,
tidak ada tindakan yang lebih tepat dan baik menurut anggapannya kecuali
melenyapkannya sama sekali. Maka segera ia berteriak nyaring, ”Bagus
sekali, kalau kau benar-benar Arya Salaka. Maafkanlah aku Kakang, bahwa
aku harus bertindak tegas meskipun terhadap saudara sepupuku sendiri,
karena kau telah bersekutu dengan Wiradapa.” Kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak lebih keras lagi, ”Hei orang-orang yang berada di pendapa, kepunglah rumah ini, jangan seorang pun boleh lari.” Lalu katanya kepada dua orang pembantunya beserta lurah Gedangan, ”Ayo tangkap Kakang Arya Salaka.”
Mendengar perintah Sawung Sariti itu,
barulah kedua orang pengawalnya itu sadar. Bagaimanapun juga mereka
adalah pengikut-pengikut Sawung Sariti. Sehingga meskipun anak muda yang
disebutnya melakukan perlawanan, tak ada pilihan lain selain
menangkapnya hidup atau mati. Karena itu segera mereka berloncatan
menyerbu.
Sementara itu orang-orang yang berada di
pendapa Kalurahan itu pun sudah mulai bergerak. Memang sejak mereka
mendengar suara ribut di ruang dalam, mereka menjadi bingung. Tetapi
karena mereka takut untuk meninggalkan pendapa itu, maka dengan gelisah
mereka tetap saja tidak meninggalkan tempatnya. Baru ketika mendengar
suara Sawung Sariti berteriak, maka seperti kuda yang dilepas dari
kandang, mereka menghambur berlarian mengepung rumah lurah Gedangan,
sebagian lagi menerobos masuk. Sehingga terdengar suara hiruk pikuk tak
keruan.
Wiradapa menjadi keheran-heranan dan
bingung melihat tingkah laku anak perantau malas itu, menjadi sadar pula
akan bahaya. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampuri pertempuran
antara kedua anak muda yang memiliki kepandaian yang jauh di atasnya.
Maka yang dapat dikerjakan adalah mengurangi tenaga lawan Handaka.
Dengan tanpa diduga-duga maka segera ia menyerang lurahnya yang sudah
bersiap untuk membantu Sawung Sariti menangkap anak muda yang dikenalnya
sebagai anak perantau malas.

Sementara itu beberapa orang telah
memasuki ruangan itu. Suasana kemudian berubah menjadi ribut tak keruan.
Di ruang yang tak seberapa lebar itu berjejal-jejalan orang yang
bersama-sama akan menangkap Bagus Handaka.
Ketika Manahan melihat dua orang pengawal
Sawung Sariti beserta banyak orang yang lain mulai mengerubut muridnya,
ia tidak dapat tinggal diam. Segera ia pun menerjunkan dirinya ke dalam
kekalutan itu.
Melihat Manahan turut campur, marahlah
kedua orang pengawal Sawung Sariti, yang mengira bahwa Manahan tidak
lebih dari seorang yang hanya dapat berlari-lari saja. Maka dengan acuh
tak acuh salah seorang darinya mendorong Manahan minggir. Tetapi betapa
terkejutnya, ketika tangannya seolah-olah menyentuh dinding besi, bahkan
ia sendiri terdorong surut. Maka segera orang itu mengerti, bahwa
Manahan pun tidak kalah hebatnya dari anak yang telah bertempur melawan
Sawung Sariti.
Karena itu, ia tidak dapat menganggap
enteng lagi, bahwa musuhnya hanya seorang yang mampu berlari-lari saja.
Dengan demikian terpaksa ia menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan
Manahan, dengan perhitungan bahwa biarlah Sawung Sariti mendapat bantuan
dari orang-orang yang telah datang memasuki ruangan itu. Kemudian
apabila ia telah dapat menyingkirkan Manahan, barulah Bagus Handaka akan
diselesaikan.
Dengan demikian maka terjadilah tiga
lingkaran pertempuran. Bagus Handaka melawan Sawung Sariti dibantu oleh
beberapa orang, Manahan melawan dua orang pengawal Sawung Sariti, dan
Wiradapa melawan lurahnya.
Sesaat kemudian ternyata dugaan para
pengawal Sawung Sariti itu meleset. Mereka sama sekali tidak dapat
dengan segera menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun mereka bukanlah orang
yang dapat diremehkan, namun untuk menundukkan Manahan bukanlah
pekerjaan yang ringan. Sedangkan Bagus Handaka, ketika harus mengalami
lawan yang jumlahnya sama sekali tak seimbang, menjadi agak terdesak.
Untunglah bahwa ia memiliki keuletan serta ketabahan hati. Perhatian
Bagus Handaka pada berjenis-jenis binatang hutan yang sedang berkelahi,
banyak memberi manfaat kepadanya. Tetapi ia tidak usah terlalu lama
bercemas hati. Sebab perlahan-lahan tetapi pasti Manahan terus-menerus
mendesak lawannya. Bahkan sebagian dari tenaganya telah dapat
dipergunakannya untuk mengurangi tekanan pengeroyokan terhadap muridnya.
Wiradapa yang bertempur pula dalam
keadaan berimbang dengan kekuatan lurah Gedangan. Mereka agaknya telah
mencurahkan segala kemampuan mereka untuk segera mengalahkan lawannya.
Tetapi disamping itu, bergolaklah kegelisahan diantara mereka. Baik
Lurah Gedangan, Wiradapa maupun Sawung Sariti bersamaan para
pengiringnya, meskipun sebabnya berbeda-beda. Sebagian dari mereka
menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah sebenarnya kedua orang
yang mereka anggap perantau malas itu. Sebab dalam keadaan yang
demikian, ternyata bahwa kepandaian mereka dalam ilmu tata berkelahi
tidak ada yang menandingi.
Beberapa saat kemudian Sawung Sariti yang
cerdik, akhirnya merasa bahwa akhir dari pertempuran itu tidaklah
seperti yang diharapkan. Ruangan yang sempit itu sama sekali tak
menguntungkannya. Sebab beberapa orang yang mengeroyok lawannya itu,
malahan kadang-kadang menganggunya. Sehingga terpaksa beberapa kali ia
harus berteriak-teriak dan malahan beberapa kali pula ia terpaksa
memukul orangnya sendiri yang sangat menjengkelkannya. Karena hal itulah
maka akhirnya ia membuat perhitungan-perhitungan dengan seksama. Dalam
waktu yang dekat ia harus dapat mengatasi keadaan, dan setidak-tidaknya
menyelamatkan dirinya sendiri.
Pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin ribut dan kacau. Apalagi ketika tiba-tiba pelita yang tergantung
di dinding terlempar jatuh. Minyaknya yang tumpah berhamburan itu
segera dijilat api, dan dalam sekejap telah menyala berkobar-kobar. Maka
terjadilah keributan yang semakin kacau. Orang-orang di dalam ruangan
itu tidak lagi memperhatikan lawan-lawan mereka, tetapi mereka segera
berusaha untuk dapat keluar dan menghindarkan idri dari nyala api yang
semakin lama semakin besar, bahkan akhirnya api itu telah merayap
sepanjang dinding ruangan.
Dalam keadaan yang demikian, Bagus
Handaka dan Manahan menjadi kehilangan pengamatan atas lawan-lawan
utamanya. Beberapa orang yang berlari-lari kian kemari itu, sangat
mengganggunya. Bahkan beberapa orang telah melanggar mereka dan
mendorong-dorong mereka tanpa sengaja. Manahan yang segera dapat
mengerti dan menguasai masalahnya menjadi sangat marah. Sebab ia yakin
bahwa Sawung Sariti telah dengan sengaja membakar ruangan itu. Karena
itulah maka dengan sekuat tenaga ia menerjang orang-orang yang
menghalangi jalannya menerobos keluar sambil berteriak, Handaka, lawanmu
telah berada di luar.
Mendengar suara gurunya, Handaka pun
segera meloncat dan menyibakkan orang-orang yang sedang kacau itu.
Beberapa orang jatuh bergulingan dan terinjak-injak kawan-kawan mereka
sendiri. Namun Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tak sempat
memperdulikan mereka itu. Perhatiannya terpusat kepada Sawung Sariti,
anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.,
Namun alangkah kecewa mereka itu. Sebab
demikian Manahan dan Bagus Handaka sampai di halaman, terdengarlah derap
kuda menderu, dan seperti terbang lepaslah tiga buah bayangan orang
berkuda melarikan diri.
”Itulah dia…” teriak Manahan, ”Marilah kita cari sisa kuda mereka”.
Handaka tidak menunggu kalimat Manahan
berakhir. Segera dia berlari ke halaman belakang. Tetapi ternyata
kandang kuda itu telah kosong. Agaknya Sawung Sariti yang cerdik itu
sempat menyingkirkan dan menakut-nakuti kuda yang lain, sehingga
kuda-kuda itu lari berpencaran.
Bagus Handaka menjadi seperti orang yang
kebingungan berlari-lari mengelilingi kandang kuda itu. Namun ia sama
sekali tak menemukan seekor pun.
Gila! geramnya penuh kemarahan.
Manahan pun tidak kalah marahnya. Namun ia lebih dapat menguasai diri. Maka katanya kemudian kepada muridnya, ”Sudahlah Handaka, baiklah kita bicarakan apa yang harus kita kerjakan seterusnya.”
Sementara itu, terdengarlah jerit dan
teriakan diantara ledakan-ledakan kebakaran. Dalam waktu yang pendek,
api telah menguasai hampir seluruh rumah kalurahan yang dibuat dari
kayu, bambu dan ijuk itu. Beberapa orang berlari-larian menjauhi.
Diantara mereka tampaklah tertatih-tatih Wiradapa yang agaknya menderita
luka-luka.
Melihat Wiradapa yang sudah hampir-hampir
tak mampu lagi menjauhkan dirinya dari kemarahan api itu, hati Bagus
Handaka dan Manahan bersama-sama tergetar. Cepat mereka meloncat dan
memapahnya ke halaman belakang. Ketika Wiradapa sadar bahwa yang
menolongnya itu adalah dua orang yang dianggapnya perantau malas dan
ternyata telah sangat membingungkannya itu, cepat-cepat ia menjatuhkan
diri sambil berkata perlahan-lahan, ”Tuan, maafkanlah aku. Aku tidak
tahu siapakah sebenarnya tuan-tuan ini. Sedang tuan muda ini agaknya
masih ada hubungan darah dengan tuan muda Sawung Sariti yang tamak itu.”
Manahan cepat-cepat menangkap lengan Wiradapa dan menariknya berdiri. Katanya, ”Kakang Wiradapa, kami adalah benar-benar dua orang perantau seperti apa yang kami katakan.”
Wiradapa menggelengkan kepala, sahutnya, ”Aku
telah mendengar perdebatan antara anak muda yang disebut-sebut bernama
Arya Salaka, putra Ki Ageng Gajah Sora yang memiliki tombak Kyai Bancak,
dengan Sawung Sariti yang mengaku dirinya putra kepala daerah perdikan
Banyubiru.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, maka jawabnya, ”Baiklah Kakang, nanti saja saatnya Kakang akan tahu juga. Tetapi bagaimana sekarang dengan api itu?”
Mendengar kata-kata Manahan itu, barulah
Wiradapa sadar bahwa rumah lurah Gedangan hampir musnah dimakan api.
Dalam keadaan itu, tak seorangpun yang mencoba untuk memadamkannya.
Suasana takut, cemas dan bermacam-macam lagi telah menguasai seluruh
penduduk Gedangan, dengan kedatangan Sawung Sariti beserta rombongannya,
yang tampak penuh mengandung rahasia. Itulah sebabnya tak seorangpun
yang berani mendekati halaman kalurahan yang menjadi terang benderang
oleh lidah api yang menyala-nyala seperti hendak menjilat langit.
Beberapa orang yang berdiri jauh dari
tempat kebakaran, memandang api itu dengan mata yang sayu serta hati
yang berdebar-debar. Selama ini mereka menganggap bahwa dari rumah
itulah ketertiban dan kepemimpinan pedukuhan mereka dipancarkan. Sedang
pada saat itu mereka melihat api dengan lahap telah menelannya, tanpa
dapat berbuat sesuatu, karena mereka sama sekali telah kehilangan akal.
Mereka sudah sama sekali tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba diantara gemeretak suara api
yang menjadi semakin besar itu, terdengarlah suara tertawa yang
menyeramkan. Yang kemudian disusul dengan suara memanggil-manggil, ”Wiradapa… Adi Wiradapa yang bodoh. Kemarilah, kemarilah.”
Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka
terkejut mendengar suara itu. Segera mereka berjalan perlahan-lahan
mengelilingi api dan mencari siapakah yang telah memanggil-manggil itu.
Ketika mereka sampai di sisi rumah yang hampir habis itu, kembali
terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak.
Alangkah terkejut mereka, ketika mereka
melihat lamat-lamat di atas pendapa yang telah hampir runtuh, seseorang
yang berdiri bertolak pinggang. Berdesirlah dada mereka ketika mereka
mengetahui bahwa yang berdiri sambil tertawa-tawa itu adalah lurah
Gedangan.
Untuk sesaat mereka tertegun menyaksikan
pemandangan yang menyeramkan itu. Apalagi ketika dengan mata kepala
sendiri mereka melihat lurah Gedangan itu berkata nyaring, ”He, Adi
Wiradapa… kenapa kau menolak bekerja sama dengan kami. Lihatlah kini
rumahku sudah berdinding emas bertiang baja. Aku kini menjadi seorang
yang kaya raya. Dan sebentar lagi aku akan diangkat menjadi bupati.
Setelah itu kembali lurah Gedangan itu tertawa terbahak-bahak.”
”Kakang Lurah… Kakang Lurah….” Tiba-tiba Wiradapa berteriak.
Lurahnya yang berdiri di tengah-tengah
api yang menyala-nyala itu sama sekali tak mendengar teriakannya.
Malahan masih saja ia tertawa dan tertawa.
”Kakang Lurah…!” teriak Wiradapa sekali lagi, ”Tinggalkan pendapa itu, sebelum Kakang terbakar.”
Tetapi kali ini pun suara Wiradapa itu
sama sekali tidak terdengar oleh lurah Gedangan yang telah terganggu
urat syarafnya itu. Ia masih saja berdiri bertolak pinggang sambil
berkata-kata tak menentu lagi.
Tiba-tiba Manahan dan Handaka terkejut
ketika mereka melihat Wiradapa meloncat ke arah pendapa. Untunglah cepat
mereka berhasil menahannya. Tetapi Wiradapa agaknya kehilangan
kesadarannya pula. Sambil meronta-ronta ia berteriak, ”Kakang Lurah… Kakang Lurah… Kemarilah. Rumah itu sudah terbakar. Turunlah, turunlah….”
Namun akhirnya suaranya lenyap ditelan
berderaknya suara pendapa itu runtuh. Bersamaan dengan itu lenyap pula
bayangan lurah Gedangan yang tenggelam ditelan oleh angan-angannya untuk
menjadi kaya raya serta menjadi bupati.
Bersamaan dengan runtuhnya pendapa
kalurahan itu, Wiradapa menutup mukanya dengan kedua belah telapak
tangannya. Bagaimanapun, lurah Gedangan yang lenyap di dalam nyala pi
itu adalah kawan seperjuangannya membangun pedukuhan itu. Mereka
bersama-sama mengalami jerit tangis serta tawa nyanyinya para perintis
yang kemudian dapat membangunkan pedukuhan yang nampaknya menjadi
semakin maju. Sedang pada saat itu di hadapan matanya, ia menyaksikan
kawan senasib sepenanggungan itu lenyap di telan api.
Dengan tak terduga-duga, terdengarlah
Wiradapa menggeram dan terisak. Meskipun terpaksa pada saat yang
terakhir ia menempuh jalan yang berselisih dengan kawan sepenanggungan
itu, namun apa yang pernah mereka alami ternyata telah begitu dalam
menggores di dalam hatinya.
”Sudahlah Kakang,” bisik Manahan menghibur. ”Apa
yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting apakah yang akan
datang. Dengan peristiwa ini janganlah Kakang Wiradapa kehilangan akal
dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Dengan hilangnya Kakang Lurah
Gedangan, bukan berarti kewajiban Kakang Wiradapa untuk tampil ke depan
terhenti. Sehingga apa yang pernah dicapai itu tidak akan tersia-sia
saja.”
Mendengar kata-kata Manahan,
perlahan-lahan kesadaran Wiradapa berangsur-angsur utuh kembali. Bahkan
dengan nasehat itu terasalah bahwa masa depan pedukuhan itu seolah-olah
terletak di tangannya. Pasang surut serta timbul tenggelamnya pedukuhan
Gedangan di kemudian hari berada di dalam tanggung jawabnya.
Karena itulah maka seolah-olah ia
mendapat tenaga baru. Dengan tekad yang telah membulat di dalam dadanya,
ditengadahkannya mukanya, memandang kepada nyala api yang masih saja
berkobar-kobar menelan korbannya.
Tetapi mata Wiradapa kini sudah tidak
sesayu tadi. Bahkan tampaklah memancar tekad yang teguh, bahwa ia akan
bekerja keras untuk melaksanakan tugas yang maha berat itu. Lewat
matanya yang menyala-nyala yang mengimbangi nyala api yang membakar
kalurahan itu, seolah-olah tersiratlah kata janjinya untuk meneruskan
pembinaan pedukuhan kecil yang telah dirintisnya bersama-sama dengan
orang yang kini telah luluh karena ketamakannya.
Kemudian tiba-tiba meloncatlah Wiradapa,
berdiri tegak menghadap ke arah pendapa yang telah menelan lurahnya, dan
terdengarlah dari mulutnya suara bergetar perlahan-lahan, ”Mudah-mudahan
Tuhan selalu menuntunku, serta menunjukkan jalan yang benar bagiku.
Demikian pula kepada rakyat Gedangan yang sedang ditelan kegelapan.”
Manahan dan Bagus Handaka merasakan bahwa
Wiradapa benar-benar memiliki keluhuran budi. Karena itu mereka merasa
terharu melihat sikapnya yang sama sekali tidak mendendam kepada
lurahnya yang hampir saja menjerumuskannya ke dalam jurang kematian yang
sangat mengerikan di tangan putra kepala daerah perdikan Pamingit,
Sawung Sariti.
Berbareng dengan itu, di ujung timur
fajar mulai mengembang. Cahaya yang kemerah-merahan dipancarkan ke
seluruh permukaan bumi, membelah kehitaman malam. Di sana sini terdengar
suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, seolah-olah sama sekali
tidak mempedulikan bahwa pernah terjadi suatu kegoncangan di dalam
pedukuhan kecil yang biasanya damai dan tenang itu.
Seakan-akan segan menghadapi tantangan
cahaya pagi yang perkasa, api yang menelan seluruh isi kelurahan itu
berangsur-angsur surut. Sedang Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka masih
saja berada di halaman.
”Tuan…” kata Wiradapa kemudian, ”Apakah yang harus aku kerjakan pertama-tama?”
Manahan sadar bahwa pertanyaan yang
diucapkan dengan setulus hati itu, bersandar kepada keinginannya untuk
mengetahui, siapakah sebenarnya mereka itu. Maka dengan
bersungguh-sungguh Manahan menjawab, ”Kakang, menurut pendapatku, yang harus Kakang kerjakan pertama-tama adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada Kakang Wiradapa.”
”Akan kucoba. Aku merasa bahwa
beberapa orang masih percaya sepenuhnya kepadaku. Kepada mereka akan aku
bebankan pekerjaan itu. Mudah-mudahan mereka berhasil,” sahut Wiradapa. Selanjutnya ia meneruskan, ”Marilah
Tuan beristirahat di pondokku. Barangkali Tuan sudi mengatakan siapakah
sebenarnya Tuan-Tuan yang telah menyelamatkan pedukuhan ini dari
ketamakan, keserakahan dan dari jalan yang sama sekali sesat, yang akan
ditempuh Kakang Lurah.”
Manahan serta Bagus Handaka tidak dapat
menolak ajakan itu. Maka segera Bagus Handaka melangkah meningggalkan
halaman serta rumah yang telah menjadi abu.
Tetapi sampai di regol dinding halaman,
Bagus Handaka berhenti. Matanya kemudian menjadi semakin sayu. Mula-mula
Manahan tidak tahu, kenapa muridnya berlaku demikian. Tetapi kemudian
ia dapat menangkap apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak itu.
Perlahan-lahan Handaka memutar tubuhnya
menghadap ke sisa-sisa reruntuhan rumah yang sudah menjadi musna sama
sekali. Dengan pandangan yang pedih tampaklah bibirnya bergerak-gerak
menyebut nama Sawungrana. Seseorang yang pernah memberinya permainan
pada masa kecilnya. Orang yang pernah menjadi kawannya berlatih. Juga
seorang dari beberapa dari beberapa orang yang tak begitu banyak, yang
merupakan pagar-pagar keamanan Perdikan Banyubiru. Ia adalah orang kedua
setelah Wanamerta.
Kini orang itu telah tiada lagi. Jenazahnya pun tak dapat diselamatkan karena kekalutan yang terjadi.
Manahan yang dapat merasakan sepenuhnya
kepedihan hati muridnya itu merasa pula bersalah, bahwa dalam keributan
itu sama sekali tak diingatnya untuk menyelamatkan jenasah Sawungrana.
Namun adalah lebih baik demikian daripada dikubur disuatu tempat tanpa
diketahui oleh seorangpun.
”Handaka…” kata Manahan meghibur hati muridnya, ”Marilah kita lepaskan pamanmu Sawungrana dengan hati yang ikhlas, agar perjalanannya menghadap Tuhan tidak terganggu.”
Perlahan-lahan Handaka mengangguk kecil
seolah-olah memberikan hormatnya yang terakhir kepada abu jenazah
Sawungrana. Baru setelah itu ia melangkah meninggalkan halaman kelurahan
itu bersama-sama dengan gurunya serta Wiradapa.
Melihat keseluruhan itu, Wiradapa menjadi
semakin tidak mengerti. Apakah hubungan antara anak muda itu dengan
orang yang terbunuh itu? Namun demikian ia tidak bertanya sesuatu.
Maksudnya biarlah hal itu disimpannya sampai nanti di pondoknya.
Sampai di rumahnya Wiradapa disambut
dengan tangis oleh isrinya, yang menyangka bahwa suaminya telah lenyap
dan tak akan dapat bertemu kembali. Tetapi ternyata bahwa suaminya itu
kini masih utuh berdiri di hadapannya, meskipun beberapa luka-luka yang
cukup banyak menggores-gores tubuhnya.
Karena itulah maka, dengan kegirangan
yang tiada terkatakan, Nyai Wiradapa segera menangkap beberapa ekor
ayam, sebagai pesta keselamatan buat suaminya.
———-oOo———-
III
Sehari itu Manahan dan Bagus Handaka
sibuk melayani dan menjawab pertanyaan pertanyaan yang mengalir tanpa
henti-hentinya dari Wiradapa dan beberapa orang kepercayaannya yang
kemudian datang mengunjunginya. Mereka mendengarkan uraian Manahan
dengan mulut ternganga dan hati yang berdebar-debar. Mereka sama sekali
tidak mengira bahwa dua orang yang mereka sangka perantau malas itu
dapat menyelamatkan pedukuhan mereka dari kehancuran mutlak.
Bagus Handaka ternyata sudah tidak dapat
menyembunyikan diri lagi. Terpaksa ia menyatakan dirinya sebagai putra
Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Arya Salaka.
Sedangkan Mahesa jenar, meskipun kemudian
diketahui bukan ayah Bagus Handaka, namun ia masih berhasil
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya.
Ketika orang-orang kepercayaan Wiradapa
itu mengetahui keadaan sebenarnya, serta peran apakah yang telah
dilakukan oleh Manahan bersama muridnya, serta setelah mereka
menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kedua orang itu, maka mereka
serentak berpendapat, bahwa tak ada orang lain yang pantas melindungi
pedukuhan kecil itu selain mereka berdua.
Tetapi sayang bahwa dengan rendah hati
Manahan dan muridnya terpaksa menolak kepercayaan rakyat Gedangan,
meskipun mereka sanggup untuk beberapa lama tinggal di situ.
Alangkah kecewanya mereka, ketika
permintaan itu tak dapat dipenuhi, namun bagaimanapun mereka tetap
menaruh harapan pada masa depan, di bawah pimpinan Wiradapa, serta untuk
sementara mendapat bimbingan langsung dari Manahan serta muridnya.
Demikianlah sejak hari itu, pedukuhan
Gedangan telah mendapatkan wajahnya yang baru. Pedukuhan kecil itu
berhasil mencapai kedamaian dan ketenangannya kembali setelah beberapa
orang kepercayaan Wiradapa bekerja mati-matian memberikan sesuluh yang
diperlukan kepada mereka yang telah tersesat. Kepada mereka yang
mendapat banyak janji dan harapan-harapan yang diberikan oleh lurah
mereka yang lama, yang telah hilang ditelan api yang diminyaki oleh
ketamakannya sendiri.
Berbeda dengan keadaan dipadukuhan kecil
itu, perasaan Manahan dan Handaka sendiri selalu digelisahkan oleh
angan-angan mereka tentang beberapa masalah yang belum terpecahkan.
Apalagi ketika ternyata kehadiran Bagus Handaka telah diketahui oleh
Sawung Sariti yang pasti akan sampai ke telinga Lembu Sora. Hal itu
bukanlah suatu hal yang boleh diabaikan. Selama Lembu Sora masih
mengingini daerah perdikan Banyubiru yang kelak akan dilintirkan kepada
anaknya, selama itu nyawa Bagus Handaka selalu dikejar-kejarnya. Manahan
masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan
oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia
mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut
perhitungan Manahan Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan
laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar
Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang
laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka. Dalam keributan
itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan
tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah
seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh
bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan
merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka
mendapat janji menerima upah yang tinggi.
Hal ini adalah sama sekali tidak wajar,
bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang
untuk menerima hadiah.
Tetapi dalam beberapa hari saja,
bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai
bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk
Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada
segi-segi pertahanan dan pertempuran. Beberapa orang yang memang
berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi,
mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang
kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi
agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.
Suasana yang tenang, damai namun penuh
dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh lebih maju dalam segala
segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu.
Pedukuhan kecil yang hampir tidak
mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di luarnya, pada suatu saat
mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang berkuda dari arah
tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya sesuatu
langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya.
Pada suatu subuh yang kelam di permulaan
musim ketiga, pedukuhan kecil itu digetarkan oleh suara titir dari
setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu. Setiap laki-laki mulai dari
yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih dapat tegak, segera
berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman lurah mereka
yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan.
Di halaman itu tegak seperti batu karang,
Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak berkerut-kerut penuh
dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda yang
seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri
sibuk mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang
kepercayaannya.
Dalam pada itu datanglah berlari-larian
seorang pengawas yang melaporkan bahwa pasukan berkuda itu dipimpin oleh
dua orang suami-istri. Tergetarlah dada Manahan mendengar laporan itu.
Karena itu segera bertanya, ”Kau melihat kedua orang suami istri itu…?”
”Ya, Tuan… aku melihat sendiri.
Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi binasa
hanya dengan sapuan tangan mereka,” jawab pengawas itu.
”Bagaimanakah bentuk tubuh mereka?” tanya Manahan mendesak.
”Si suami bertubuh gagah kekar,
berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya bertubuh
tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina,” jawab orang itu pula.
””Sima Rodra Gunung Tidar...’ desis Manahan.
Mendengar nama itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu termasuk Bagus Handaka.
Bagaimanapun besar jiwa kepahlawanan
penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman
mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi
tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah
nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan
kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah
mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi
korbannya.
Tuan… kata Wiradapa, Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?
Manahan menyesal telah menyebut nama itu,
sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu
untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan
tertawa kecil, Kakang Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tetesan darah? Sedangkan
mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah kepadaku serta anakku
Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia akan
berpendirian lain setelah melihat aku di sini.
Untuk beberapa saat mereka tampak
ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka
melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang
tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.
”Kakang Wiradapa…” kata Manahan sebelum meninggalkan halaman. ”Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini.”
”Baiklah Tuan,” jawab Wiradapa
mantap. Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar
menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula
atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan
supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya
menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar
Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang
datang dari bukit hantu itu.
Sebentar kemudian terjadilah pertempuran
yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem
Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah
tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya.
Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran
seperti terhantam angin ribut. Suara yang terlontar dari mulut harimau
liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula
berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya
kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi pada saat mereka sudah hampir
kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang
dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk
di atas kudanya itu. ”Selamat datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu.”
Kesan dari sapa itu adalah luar biasa
pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun
diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan
terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja
musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh
golongannya.
Melihat kesan wajah Sima Rodra itu,
laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin
besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang
menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga
terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.
Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra, “Apa kerjamu di sini Mahesa Jenar?”
Mendengar nama itu disebutkan, terasa
agak janggal bagi Manahan, yang telah agak lama merubah namanya. Sedang
bagi pnduduk Gedangan sebutan itu semakin membingungkan mereka.
“Aku datang di pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu,” jawab Manahan sambil tertawa pendek.
Sima Rodra terdengar menggeram marah. Katanya, “Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu.”
Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban
itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan
laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan.
Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak, “Sima Rodra, agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang Sawungrana?”
Kembali Sima Rodra menggeram. “Apa pedulimu…..?”
“Ketahuilah….” sahut Manahan, “Akulah
yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya
dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah
orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah
ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,”
Mendengar keterangan Manahan, mata Sima
Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah
mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang
yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.
“Kalau begitu….” terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat, “Kepadamulah aku harus menuntut balas.”
“Memang demikianlah adilnya, jawab Manahan. Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini.”
Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat.
Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang
percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh, “Hentikan pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar.”
“Bagus…..” sahut Mahesa Jenar, ”Agaknya kau dapat pula bersikap jantan.”
Sesaat kemudian berhentilah pertempuran
antara laskar Gedangan melawan laskar dari Bukit Tidar. Segera mereka
berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan yang jarang terjadi di
pedukuhan kecil itu.
Tiba-tiba belum lagi mereka bertempur terdengarlah suara istri Sima Rodra itu melengking, ”Kyai….
serahkanlah orang itu kepadaku. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya.
Bukankah aku sekarang berbeda dengan dua tiga tahun yang lalu….?”
Mendengar kata-kata itu hati Manahan
berdesir, meskipun ia tahu bahwa maksud kata-kata itu untuk
menakut-nakutinya. Tetapi tidaklah mustahil bahwa apa yang dikatakan itu
mengandung kebenaran. Sebab selama itu, ayahnya, Sima Rodra tua dari
Lodaya, pasti tidak tinggal diam. Ilmunya yang mengerikan, Macan Liwung,
serta kecekatannya bergerak yang mirip seperti seekor harimau, sangat
menakjubkan.
Kemudian terdengarlah Sima Rodra menjawab, ”Berikanlah kesempatan pertama kepadaku sebagai suatu kehormatan yang dapat kami berikan kepadanya yang terakhir.”
Manahan benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. ”Jangan
berebut dahulu. Kalian akan mendapat giliran masing-masing. Tetapi
kalau kalian masih membiasakan diri bertempur berpasangan, biarlah Bagus
Handaka membantuku, sebab aku merasa pasti bahwa aku tidak akan mampu
melawan kalian berdua.”
Merahlah telinga Suami Istri Sima Rodra
mendengar jawaban itu. Apalagi yang disebutnya dengan nama Handaka tidak
lebih dari seorang anak-anak. Karena itu dengan marahnya Harimau Liar
itu menjawab, ”Baiklah biarlah aku binasakan kau sampai kepada muridmu. Supaya untuk seterusnya kau tidak selalu mengganggu.”
Selesai dengan kata-katanya itu, segera
suami istri itu meloncat dari kudanya dan dengan gerakan seperti badai
mereka menyerang Manahan dan Bagus Handaka. Sima Rodra bertempur melawan
Manahan, sedang istrinya dengan marahnya menyerang Bagus Handaka.
Melihat gerakan mereka, Manahan agak
terkejut. Memang ternyata mereka telah mendapat banyak kemajuan. Karena
itu segera ia mencemaskan muridnya. Dalam kesempatan yang pendek ia
berbisik, ”Handaka, hindari setiap benturan serta sentuhan dengan
kuku-kuku harimau betina itu. Sebab kuku itu beracun. Aku hanya percaya
kepada kecepatanmu bergerak. Bukan kekuatanmu.”
Handaka maklum kepada nasehat gurunya.
Segera ia sadar bahwa lawannya memiliki ketinggian ilmu di atasnya.
Karena itu ia harus melayani dengan otaknya, tidak dengan tenaganya
melulu.
Dan ternyata kemudian setelah mereka
bertempur beberapa saat, segera Bagus Handaka merasa betapa angin yang
sangat membingungkan melibatnya dari segenap arah. Untunglah bahwa ia
banyak menaruh perhatian pada setiap gerak yang dianugerahkan kepada
alam oleh Penciptanya, kepada setiap makhluk yang paling lemah
sekalipun. Kali ini Bagus Handaka benar-benar menjadi seekor kelinci
yang harus menghindari terkaman serigala ganas, seperti yang pernah
diamatinya dengan saksama. Atau seperti seekor kancil yang menyelinapkan
hidupnya diantara kaki-kaki harimau yang garang.
Karena itulah maka ia tidak dapat
bertempur di tempat yang sempit, Bagus Handaka kemudian berkisar dari
tempatnya, menyusup pepohonan dan mempergunakan batang-batang pohon
sebagai perisai.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ia
selalu berhasil menyelamatkan dirinya dari libatan gerakan-gerakan yang
dahsyat dari Harimau Betina Gunung Tidar yang garang itu, meskipun ia
terpaksa berlari-larian dan hanya sekali-sekali saja menyerang, apabila
benar-benar ada kesempatan. Bahkan dengan demikian ia berhasil membuat
istri Sima Rodra itu semakin marah dan menjerit-jerit tak
habis-habisnya.

Maka pertempuran antara dua orang perkasa
itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Sima Rodra menjadi semakin
garang, karena hatinya dibebani oleh dendam yang meluap-luap, sedang
Manahan dengan penuh tekad serta janji kepada diri sendiri, untuk
melenyapkan setiap unsur kejahatan yang merusak sendi-sendi penghidupan.
Kemudian mereka pun tidak dapat bertahan
bertempur di titik yang sama. Perlahan-lahan pertempuran itu berkisar
dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain, dengan menandai bekas-bekas
yang mengerikan. Pohon-pohon berderakan roboh, serta batu-batu
menghambur-hambur simpang-siur di udara. Kaki-kaki mereka telah
memecahkan apa saja yang terinjak.
Medan pertempuran itu kemudian menjadi
seolah-olah daerah angin prahara yang belit-membelit dan
hantam-menghantam, bahkan kadang-kadang dibarengi dengan teriakan yang
membahana seperti guntur disusul dengan benturan-benturan dahsyat dari
tangan-tangan mereka yang saling menghantam.
Laskar dari kedua belah pihak yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi terpukau diam. Meskipun mereka
pernah pula menyaksikan pertempuran-pertempuran dahsyat, apalagi laskar
dari Gunung Tidar, namun kali ini merupakan suatu pertempuran yang
benar-benar jarang terjadi.
Berbeda dengan pertempuran itu, Bagus
Handaka masih saja bermain kucing-kucingan. Dengan cerdiknya ia memilih
tempat-tempat yang gelap dan berpohon-pohon meskipun kadang-kadang ia
dikejutkan oleh pukulan yang dahsyat dari Istri Sima Rodra, yang
mematahkan pohon-pohon yang dipergunakan sebagai perisai. Keadaan itu
sebenarnya sangat menggetarkan hati Handaka. Namun adalah suatu
keuntungan bahwa baik tubuhnya maupun jiwanya telah tertempa hebat,
sehingga bagaimanapun ia tidak kehilangan akal.
No comments:
Write comments