Manahan menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku
tidak tahu. Meskipun aku telah berusaha mengenal gerak-geraknya
sebaik-baiknya namun aku tetap tidak dapat mengatakan siapakah dia.
Apalagi apa yang diberikan kepadamu selama ini ternyata adalah
urut-urutan pelajaran dari ilmuku sendiri yang akan aku berikan pula
kepadamu.”
Sekarang semuanya menjadi agak jelas bagi
Handaka. Ternyata orang itu datang kepadanya dengan maksud baik.
Menuntunnya untuk berlatih lebih keras. Dan tahulah ia sekarang kenapa
pada malam-malam pertama, kedua dan ketiga orang itu seolah-olah hanya
memiliki unsur-unsur gerak yang itu-itu saja, sehingga dengan demikian
ia berhasil menguasai unsur-unsur itu, serta kemudian pada malam-malam
berikutnya tanpa disengajanya unsur-unsur itu terselip pada gerak-gerak
perlawanannya, sedang lawan-lawannya dapat memberikan perlawanan
sebaik-baiknya dan diulang-ulangnya pula.
Karena itu, dadanya jadi bergelora. Apalagi ketika gurunya berkata, “Handaka…
orang yang datang berturut-turut itu pastilah seorang yang sakti, jauh
lebih sakti dari gurumu ini. Itulah sebabnya aku sama sekali tidak
berusaha untuk menangkapnya, sebab hal itu pasti akan sia-sia. Hal itu
juga ternyata pula, bahwa orang itu dapat mengetahui bahwa aku berada di
sekitar ini meskipun aku telah bersembunyi sebaik-baiknya.”
Handaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Hal itu sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa seorang
yang sakti, bahkan lebih sakti dari gurunya, datang kepadanya dengan
cara-cara yang aneh. Katanya, “Jadi Bapak diketahuinya sebelum Bapak menampakkan diri?”
“Tidak hanya itu saja Handaka…” Manahan meneruskan, “Sedang aku pun telah menerima nasihatnya pula.”
“Nasihat untuk Bapak?” tanya Handaka terkejut.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Bukankah
orang itu berkata kepadaku bahwa pertanian bukanlah daerah pelarian.
Bukan daerah tempat orang-orang yang berputus asa apabila kewajibannya
sendiri sudah tak dapat ditunaikan…?”
Handaka memandang Manahan dengan mata
yang bertanya-tanya. Ia sama sekali tidak tahu maksud perkataan itu.
Sampai Manahan melanjutkan, “Handaka…, barangkali kau sama sekali
tak dapat menghubungkan perkataan-perkataan itu dengan keadaan kita.
Tetapi ketahuilah bahwa ada sesuatu hal yang selama ini belum pernah aku
katakan kepadamu, sebab kau masih aku anggap terlalu kanak-kanak.
Sekarang, aku kira kau telah cukup dewasa untuk mengetahui lebih banyak
hal tentang keadaan kita. Keadaan serta kewajiban-kewajibanku dan keadaan serta kewajiban-kewajibanmu.”
Bagus Handaka mendengarkan setiap kata
gurunya dengan saksama. Sakit-sakitnya di seluruh tubuhnya sudah tidak
dirasakannya lagi. Sementara itu angin malam bertiup lemah, dan
bintang-bintang di langit telah mengubah susunannya. bintang Waluku
telah jauh condong di barat, sedang bintang Bima Sakti telah mulai
mengabur pada kedua ujungnya, jauh di selatan dan utara.
“Bagus Handaka….” Manahan meneruskan perlahan-lahan. “Sebenarnya
saat ini aku sedang mengemban suatu tugas yang berat. Tugas yang tidak
boleh diketahui oleh orang lain. Sekarang, karena kau telah cukup
dewasa, ternyata seorang sakti yang tak dikenal telah berkenan langsung
mengajarmu, maka baiklah aku berterus-terang pula. Saat ini aku sedang
berusaha untuk mencari dua pusaka Istana yang hilang, berwujud keris
yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Handaka mendengarkan ceritera gurunya
sampai tidak sempat berkedip. Sedang Manahan kemudian berceritera
tentang kedua keris yang pernah diketemukannya bersama ayahnya, Gajah
Sora. Tetapi keris itu kemudian hilang kembali. Dan karena itu pula maka
ayahnya terpaksa menghadap Sultan Demak untuk mempertanggungjawabkan
hilangnya kedua pusaka itu. Sepeninggal Gajah Sora, Banyubiru kemudian
ditimpa oleh banyak malapetaka dan Bagus Handaka sendiri hidupnya selalu
terancam bahaya.
“Untunglah bahwa Paman Lembu Sora segera bertindak,” desis Bagus Handaka, “Dengan demikian pasti Ibu serta Banyubiru dapat diselamatkan.”
Mendengar kata-kata Bagus Handaka itu
Manahan menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
ia berkata dengan suara sayu, “Kau keliru Bagus Handaka.”
“Keliru?” sela Handaka terkejut.
“Ya, kau keliru”. Manahan menjelaskan, “Sayang
bahwa pamanmu sama sekali tidak berbuat demikian. Meskipun apa yang
dikatakan kepada semua warga Banyubiru, pamanmu telah berusaha
menyelamatkan ibumu serta daerah perdikan itu, namun nyatanya tidaklah
demikian. Sebab pamanmulah sebenarnya sumber keributan itu.”
Handaka menjadi semakin tidak mengerti.
Ia melihat sendiri ketika itu pamannya telah membantu ayahnya menghalau
gerombolan yang menyerang Banyubiru. Bahkan kemudian ibunya telah
memerintahkan Sawungrana untuk meminta bantuan pamannya pula ketika
kemudian timbul hura-hara.
“Bagus Handaka…” sambung Manahan, “Ketahuilah,
pamanmulah yang berusaha untuk menyingkirkan ayahmu. Karena pamanmu
ingin menguasai seluruh daerah perdikan Pangrantunan Lama. Karena itu ia
telah berusaha untuk menyingkirkan kau pula, yang pasti akan menjadi
penghalang usahanya itu.”
Mendengar kata-kata terakhir itu,
menggigillah tubuh Bagus Handaka karena kemarahan yang mencengkam
perasaannya. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa apa yang terjadi adalah
kebalikan dari dugaannya.
“Benarkah apa yang Bapak katakan…?” Handaka bertanya untuk mendapat suatu kepastian.
“Aku telah berkata sebenarnya,” jawab Manahan.
“Tetapi kenapa Bapak baru mengatakan itu kepadaku sekarang?”
“Aku menganggap bahwa sebelum ini, kau belum cukup dewasa, Handaka,” jawab Manahan pula.
Tetapi agaknya Handaka tidak puas mendengar keterangan itu, maka ia mendesak, “Dan kenapa pada saat itu Bapak tidak berbuat sesuatu untuk mencegah perbuatan itu?”
Manahan membenarkan letak duduknya. Ia
dapat mengerti sepenuhnya pergolakan perasaan muridnya. Dengan sabar
Manahan menjelaskan, “Handaka….., waktu itu aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Aku tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang telah
dilakukan oleh pamanmu. Juga karena kelicinan pamanmu, di hadapan ayahmu
aku pernah hampir-hampir dibinasakan oleh Laskar Banyubiru sendiri,
karena mereka curiga kepadaku tentang hilangnya kedua keris itu.
Untunglah bahwa ayahmu sempat mencegahnya. Kemudian aku tidak yakin
bahwa kecurigaan para pimpinan Laskar Banyubiru itu kepadaku telah
lenyap dari hati mereka seluruhnya atau baru sebagian saja dari antara
mereka.”
Mendengar penjelasan gurunya, Bagus
Handaka semakin terbakar hatinya. Matanya kemudian menjadi merah
menyalakan kemarahannya. Giginya terdengar gemeretak serta denyut
jantungnya bertambah cepat. Dan tiba-tiba saja lenyaplah segala perasaan
sakit dan nyeri. Meskipun masih agak tertatih-tatih ia bangkit berdiri
serta dengan suara lantang ia berkata, “Bapak…, apapun yang terjadi
atasku, aku tidak ambil pusing. Besok pada saat matahari terbit aku
minta ijin Bapak untuk kembali ke Banyubiru. Aku atau Paman Lembu Sora
yang akan binasa tidaklah menjadi soal. Tetapi aku harus menuntut
balas.”
“Handaka…” kata Manahan masih setenang tadi, “Duduklah.”
Handaka dengan tidak sabar memandangi Manahan yang masih saja duduk di pasir pantai. Katanya, “Tidakkah sekarang sudah saatnya Bapak…? Kita harus bertindak tegas. “
“Duduklah Handaka….” Meskipun
Manahan berkata perlahan-lahan, namun nadanya penuh dengan tekanan,
sehingga Handaka tidak dapat berbuat lain, kecuali duduk kembali di sisi
gurunya.
“Handaka…” sambung Manahan, “Aku
dapat mengerti sepenuhnya perasaan yang bergelora di dalam dadamu.
Tetapi jangan membiasakan diri bertindak tergesa-gesa. Membunuh pamanmu
Lembu Sora barangkali tidaklah terlalu sulit, meskipun bagaimana
saktinya. Tetapi akibat dari perbuatan itu sudahkah menjadi perhatianmu?
Setidak-tidaknya pasti akan timbul permusuhan antara Pamingit dan
Banyubiru. Kalau benar demikian, maka di antara kedua daerah perdikan
itu pasti akan ditelan oleh masa depan yang suram.”
Setelah diam sejenak, Manahan melanjutkan, “Dalam kekalutan itu akan hadirlah kekuatan-kekuatan dari pihak lain yang akan menelan Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Sebab
dalam hal ini golongan hitam pasti tidak akan tinggal diam. Mereka
pasti akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Kemudian dapatlah
dipastikan bahwa di atas mayat-mayat laskar Pamingit dan Banyubiru akan
berkibar bendera-bendera mereka, bendera yang bergambarkan harimau
hitam, sepasang uling yang berlilitan, kelelawar raksasa berkepala
serigala, ular laut yang ganas. Setelah itu lenyaplah sudah nama daerah
perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus. Lenyap pulalah hasil jerih
payah eyangmu Sora Dipayana yang dengan memeras keringat dan darah
membangun kedua daerah perdikan itu. Lenyap pulalah nama kebesaran
keluarga Sora yang selama ini disegani oleh daerah-daerah lain, bahkan
sampai ke Istana Demak. Yang ada kemudian tinggallah nama-nama Sima
Rodra, Uling Rawa Pening, Lawa Ijo, dan Jaka Soka.”
Bagus Handaka adalah seorang anak yang
cerdik. Karena itu segera ia dapat menangkap maksud gurunya. Namun
meskipun demikian amat sulitlah baginya untuk mengendalikan perasaannya.
Maka bertanyalah ia, “Bapak, kalau demikian apakah kita biarkan saja Paman Lembu Sora tidak terhukum atas kesalahannya itu?”
“Itu pasti Handaka,” jawab Manahan. “Siapa
yang bersalah harus dihukum. Tetapi kita harus menjaga agar kita dapat
menarik garis antara pamanmu Lembu Sora dan orang-orangnya yang sama
sekali tidak tahu-menahu, sehingga dengan demikian pertumpahan darah
yang luas dapat terhindar. Itu adalah tugasmu Handaka, meyakinkan
orang-orang Pamingit dan Banyubiru, bahwa pamanmu telah berbuat suatu
dosa yang harus dipertanggungjawabkan.”
Bagus Handaka menjadi tertegun diam.
Perkataan Manahan itu seolah-olah satu demi satu menyusup ke dalam
dadanya serta mendinginkan hatinya. Sadarlah bahwa pekerjaan yang
dihadapinya bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan tergesa-gesa,
tetapi harus ditempuhnya dengan penuh kebijaksanaan.
“Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Untuk
beberapa saat Manahan tidak menjawab. Ia sendiri masih belum tahu
dengan pasti, apa yang akan dilakukannya. Namun demikian ia kemudian
menjawab, “Handaka, kita harus meninggalkan pedukuhan ini. Aku harus
tetap berusaha mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Disamping itu ada baiknya kalau kita mencari berita tentang Banyubiru
dan perkembangannya setelah kau tinggalkan. Kemudian baru kau menentukan
cara untuk memecahkan masalahnya. Meskipun kau sebenarnya belum dewasa
penuh, namun aku kira kau telah cukup untuk memulai pekerjaan yang besar
itu, dengan kehati-hatian dan yang mungkin memerlukan waktu tidak
sehari dua hari, tetapi setahun dua tahun, bahkan mungkin lebih dari
itu.”
Bagus Handaka memperhatikan setiap kata
gurunya yang menambah keyakinannya bahwa pekerjaan yang betapapun
beratnya itu pasti akan dapat diselesaikan. Namun ia sadar bahwa jalan
yang akan ditempuhnya bukanlah jalan yang lurus dan licin, tetapi pasti
akan penuh dengan rintangan dan bahaya.
Namun ia sadar pula bahwa apa yang
dilakukannya nanti seharusnya tidak menyingkir dari bahaya-bahaya itu,
tetapi ia harus berani menghadapi serta mengatasinya.
Kemudian untuk sesaat mereka saling
berdiam diri. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan serta
gambaran-gambaran masa yang akan datang. Masa yang pasti akan penuh
dengan perjuangan.
“Bagus Handaka….”
Kemudian terdengar Manahan memulai, “Marilah
kita pulang. Sejak besok kita harus sudah berkemas-kemas. Kita tinggal
menunggu padi yang sudah menguning. Setelah itu baiklah kita melanjutkan
perantauan kita untuk menemukan kedua pusaka itu, beserta mempersiapkan
diri untuk mendapatkan kembali tanah pusaka yang kau tinggalkan.
Sekarang bekalmu telah jauh lebih banyak dari lima atau enam hari yang
lalu.”
Bagaimanapun Bagus Handaka masih belum
begitu yakin kepada kata-kata gurunya. Benarkah ilmunya sudah sedemikian
menanjak sehingga gurunya merasa bahwa bekalnya telah cukup banyak?
Karena itu bertanyalah ia meyakinkan, “Bapak, benarkah ilmuku telah jauh lebih banyak dari lima atau enam hari yang lalu…?”
Mendengar pertanyaan muridnya, Manahan tersenyum. “Bagus
Handaka…, aku telah mengujimu. Dalam keadaan payah dan luka-luka kau
mampu melawan aku sampai beberapa lama. Hal itu tidak akan dapat kau
lakukan lima atau enam hari yang lalu. Bahkan aku telah mencoba untuk
menyerangmu dengan bersungguh-sungguh walaupun masih dalam batas-batas
tertentu. Tetapi kau nyata-nyata telah bertambah jauh. Karena itu maka
yang akan aku berikan kepadamu seterusnya tinggallah tingkat yang
tertinggi.”
Oleh keterangan-keterangan itu, diam-diam
Bagus Handaka jadi berbangga. Beberapa kali bibirnya bergerak-gerak
mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak dikenalnya, namun tak
sepatah kata pun yang meluncur keluar.
Kemudian berjalanlah mereka berdua
perlahan-lahan sepanjang pantai menuju ke pondoknya. Di sepanjang jalan
hampir tak ada kata-kata yang mereka ucapkan. Apalagi Bagus Handaka,
yang sedang merenungi dirinya sendiri. Dicobanya mengingat-ingat kembali
segala peristiwa yang pernah dialaminya dengan lebih saksama. Dicobanya
mengingat-ingat setiap gerak yang pernah dilakukan dan yang pernah
disaksikan. Akhirnya ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa memang banyak
unsur-unsur yang tanpa sesadarnya telah dimiliki dan bahkan telah
dikuasainya dengan baik.
Maka, sejak matahari terbit di pagi
harinya, Bagus Handaka mulai berkemas-kemas. Sesuai dengan perintah
gurunya, apabila padi telah dituai, maka mereka segera akan meninggalkan
pedukuhan Tegal Arang, untuk meneruskan perjalanan ke tempat yang tak
ditentukan.
Namun sesuai dengan harapan gurunya untuk
mengetahui perkembangan Banyubiru, maka mereka pasti akan mendekati
tempat itu, dengan harapan bahwa mereka sudah tidak akan dikenal lagi
setelah hampir tiga tahun meninggalkan tempat itu. Bila perlu, mereka
akan mempergunakan penyamaran.
Demikianlah, tidak sampai dua pekan, padi
telah masak. Tetapi demikian orang pergi menuai, demikian Manahan dan
Bagus Handaka mulai minta diri kepada tetangga-tetangganya, bahwa ia
tidak dapat tinggal lebih lama lagi di pedukuhan itu. Tentu saja, hal
itu sangat mengejutkan mereka, yang mengira bahwa Manahan dan anaknya
akan tetap tinggal bersama mereka sampai hari tuanya.
“He…, kau mau kemana lagi Manahan?” tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh pendek, kasar dan berambut tegak, “Kami telah menerima kau dengan baik, tetapi kau agaknya tidak betah tinggal di pantai.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan dalam
nada yang kasar seperti tubuhnya, namun sebenarnya itu adalah suatu
pernyataan yang jujur dari rasa persahabatannya.
“Maafkan Kakang,” jawab Manahan. “Aku terpaksa meninggalkan kalian karena aku masih mempunyai pekerjaan yang lain”
“Apa yang harus kau kerjakan?” tanya yang lain, seorang nelayan yang kurus dan berkumis tipis.
“Aku masih harus mencari bapakku,” jawab Manahan berbohong.
Orang yang kurus dan berkumis tipis itu mengerutkan keningnya, lalu sambungnya, “Kemana bapakmu pergi…?”
Manahan menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, “Itu yang aku tidak tahu. Karena itu aku harus mengelilingi seluruh pulau untuk menemukannya.”
Hampir semua orang yang mendengar,
mengerutkan dahinya. Mereka merasa aneh bahwa seseorang sampai
kehilangan bapaknya. Tetapi meskipun demikian ternyata mereka tidak
berhasil mencegah. Manahan serta Bagus Handaka pergi meninggalkan
mereka. Banyak pula kawan-kawan Handaka yang menjadi kecewa karena
kepergiannya.
No comments:
Write comments