Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 F

Hampir terlonjak Manahan mendengar kata-kata itu. Juga Bagus Handaka menjadi keheran-heranan. Kemana arah bicara orang yang berwajah hantu itu. Tetapi ia menjadi semakin tidak sabar ketika ia masih saja melihat Manahan tegak seperti patung. Bahkan kemudian ia menjadi bertambah tidak mengerti ketika kemudian orang itu berkata, “Bagus Handaka…, untunglah gurumu datang, sehingga aku tidak berhasil menangkap kau untuk satu pertunjukan yang menarik di daerahku. Tetapi hati-hatilah lain kali aku datang lagi.”
Setelah itu segera ia meloncat dan melarikan diri seperti terbang di gelap malam.
“Bapak…!” teriak Bagus Handaka.
Manahan memandang anak itu dengan wajah yang dingin pula.
Sambil berdiri perlahan-lahan Bagus Handaka mendekati gurunya sambil berkata pula, “Kenapa Bapak membiarkan orang itu pergi? Selama ini aku ingin menangkap salah seorang diantaranya. Dengan hadirnya Bapak di sini aku mengharap bahwa aku akan dapat mengetahui alasan mereka menyerang aku. Tetapi Bapak membiarkan orang itu pergi.”
“Bagus Handaka,” kata Manahan tidak menjawab pertanyaan anak itu. “Bagaimana keadaan tubuhmu?”
“Sakit, Bapak,” jawabnya agak jengkel. “Tetapi bagaimana dengan orang tadi?”
“Kau sudah dapat bergerak kembali?” sambung Manahan tanpa menghiraukan kata-kata Bagus Handaka.
“Sudah, Bapak…” jawab Handaka masih belum mengerti.
“Bagus…. Bersiaplah. Aku adalah orang ketujuh yang akan menangkapmu,” kata Manahan tiba-tiba.
“Bapak… apakah artinya ini?” tanya Handaka semakin bingung.
“Aku adalah orang ketujuh yang akan menangkap kau dan akan menyerahkan kau kepada orang yang menyuruh mereka datang berturut-turut selama enam malam. Aku sekarang sudah tahu, siapakah orang yang berdiri di belakang mereka. Dan aku juga ingin menerima hadiah itu supaya aku dapat kaya-raya seperti Demang Gunung Kidul. Jelas?”
Handaka mendengar kata-kata gurunya seperti orang bermimpi. Tetapi tiba-tiba ia melihat gurunya benar-benar bersiap untuk menyerangnya. Sehingga ia menjadi bertambah bingung.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Terserahlah padamu, apakah kau masih ingin hidup atau tidak. Aku tidak mempunyai kepentingan dengan kau lagi. Kau harus melawan aku. Kalau tidak, aku akan membawamu hidup-hidup. Kalau kau mau melawan, aku beri kau keringanan. Aku akan membawa kau setelah kau aku binasakan, supaya kau tidak menjadi bahan pertunjukan.”

Agaknya Handaka sadar bahwa ia tidak bermimpi. Ia harus memilih dua hal yang sama-sama tak dikehendaki. Karena itu ia menjadi bingung sekali. Tetapi ia tidak sempat berpikir-pikir lebih lanjut. Sebab tiba-tiba gurunya telah melangkah dan menghantam lambung. Maka dengan gerak naluriah Handaka menghindarkan diri. Dengan kekuatan yang ada padanya ia melenting tinggi dan kemudian jatuh berguling-guling menjauhi gurunya. Tetapi Manahan mengejar terus sambil melepaskan serangan-serangan yang sangat berbahaya dan bersungguh-sungguh. Ia memang pernah berlatih dengan gurunya seperti ia harus berkelahi sungguh sungguh, namun terasa bahwa selama itu gurunya selalu menyesuaikan diri dengan gerak-geraknya. Tetapi kali ini Manahan benar-benar telah menyerangnya dengan pukulan-pukulan yang dapat membinasakan.
Karena itu, Bagus Handaka menjadi benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali meloncat-loncat berlari, berguling dan cara-cara lain untuk menghindari serangan-serangan Manahan. Namun demikian Manahan menyerang terus seperti orang kehilangan akal.
Tetapi kemudian muncullah suatu pikiran yang agak jernih dalam otak Bagus Handaka. Tiba-tiba ia merasa bahwa saat ini adalah saat terakhir baginya untuk menunjukkan kepada gurunya, ketekunan serta kesungguhannya selama ini dalam menerima segala ilmu serta pelajarannya.
Ia sudah pasti, bahwa kalau benar-benar gurunya akan membunuhnya, maka saat terakhir ini akan dipergunakan sebaik-baiknya. Ia harus dapat menunjukkan kepada gurunya hasil-hasil yang telah dicapainya dalam olah kanuragan.
Meskipun Handaka menjadi semakin tidak mengerti kepada sifat-sifat gurunya, karena ketakutan-ketakutannya yang kadang-kadang aneh, misalnya beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba saja ia ditinggal berlari jauh sekali sampai ia merasa bahwa tidak akan mungkin dapat menemukannya, tetapi tiba-tiba gurunya itu, yang pada saat itu bernama Mahesa Jenar datang kembali kepadanya, yang kemudian untuk beberapa tahun melatihnya dengan tekun. Sekarang tiba-tiba gurunya itu berbuat keanehan lagi. Tetapi agaknya kali ini gurunya tidak lagi bermain-main. Sebab apabila ia lengah, maka pastilah nyawanya akan melayang.
Namun demikian, apabila hal itu sudah dikehendaki oleh gurunya, maka yang dapat dilakukan adalah menyenangkan hati gurunya pada saat terakhir itu. Ia harus menunjukkan kepada gurunya hasil pelajaran yang diterimanya selama ini dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian ia akan dapat membesarkan hati gurunya itu yang telah berjerih payah mendidiknya.
Mendapat pikiran yang demikian, maka tiba-tiba Bagus Handaka merasa seolah-olah telah menerima segala kekuatannya kembali. Seolah-olah badannya merasa bertambah segar dan sehat. Tanpa mengenal ketakutan atas kematian yang bakal datang, Handaka kemudian bergerak dengan cepat seperti seorang anak-anak yang menari-nari riang menjelang ayahnya pulang dari rantau.
Dengan demikian maka ia telah berbuat sebaik-baiknya untuk melawan gurunya yang sangat disegani serta dicintainya itu.
Maka, pertempuran itu segera berjalan semakin cepat. Bagus Handaka telah berusaha untuk mengurangi tekanan Manahan dengan menyerangnya pula berkali-kali. Ia tiba-tiba saja merasa bahwa ia telah dapat melayani gurunya jauh lebih baik daripada saat-saat yang lampau. Dengan tangkasnya ia menyerang, melenting, kemudian melingkar di udara kalau kebetulan ia terlempar oleh pukulan-pukulan gurunya yang dahsyat. Ia sudah berusaha sebaik-baiknya.
Dalam keadaan yang demikian, setitik pun tak ada maksud Handaka untuk mencoba menyelamatkan dirinya. Sebab adalah tidak mungkin sama sekali baginya berbuat demikian. Jadi yang dilakukan itu adalah benar-benar suatu pernyataan kebaktian seorang murid terhadap gurunya. Sebab bagaimanapun, Manahan adalah gurunya.
Manahan adalah seorang yang perkasa, yang pernah menjabat sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja. Karena itu kemampuannya pun luar biasa. Apalagi sebenarnya tenaga Bagus Handaka telah berada jauh di bawah kekuatannya, karena sebelumnya ia sudah harus bertempur mati-matian melawan seorang yang berwajah seperti hantu.
Daya perlawanan Bagus Handaka pun segera tampak surut. Dengan demikian maka serangan-serangan Manahan pun semakin banyak mengenai tubuhnya.
Meskipun demikian, Bagus Handaka sama sekali tidak mengeluh. Dengan tenaganya yang semakin lama semakin lemah itu ia tetap melawan sedapat-dapatnya.
Tetapi apa yang dapat dilakukannya adalah tidak seberapa lama. Sebuah serangan Manahan yang dahsyat datang mengarah ke lambungnya. Dengan tenaga yang masih ada padanya, Bagus Handaka mencoba menghindari serangan itu dengan memiringkan tubuhnya, tetapi ia tidak berhasil. Dengan kerasnya ia terlempar beberapa langkah dan kemudian jatuh terbanting. Yang dapat dilakukannya hanyalah mencoba menyelamatkan tubuhnya dengan berusaha menjatuhkan diri sebaik-baiknya. Dan apa yang diusahakan itu sebagian dapat berhasil. Namun setelah itu, kembali seluruh tulang-tulangnya terasa telah terlepas. Tubuhnya menjadi lemas dan darahnya seolah-olah tidak mengalir lagi. Bagaimanapun ia berusaha namun ia sudah tidak mampu lagi menggerakkan bagian-bagian dari tubuhnya. Meskipun demikian, Bagus Handaka tetap tidak mengeluh sama sekali. Dengan dada menengadah ia menanti apapun yang bakal terjadi. Sekilas dilihatnya langit yang biru gelap ditaburi bintang-bintang seperti jutaan lampu yang tergantung jauh sekali di udara, dengan sinarnya, yang berkedip-kedip mengelilingi bintang raksasa Bima Sakti yang melintang ke utara.
Kemudian dilihatnya gurunya, yang diakunya sebagai ayahnya setelah ayahnya yang sebenarnya pergi meninggalkannya, berjalan mendekatinya. Dan Bagus Handaka telah siap menerima apapun yang akan dilakukan oleh gurunya itu, meskipun untuk sesaat terlintas pula wajah-wajah ayahnya Gajah Sora. Ibunya, serta wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Wajah-wajah bengis yang pernah akan membunuhnya pada saat ia ditolong oleh seorang yang menamakan dirinya Sarayuda, serta wajah keenam orang yang datang berturut-turut menyerangnya. Dan sekarang yang berada di depannya adalah gurunya, Manahan yang sebenarnya dikenalnya dengan nama Mahesa Jenar, yang menyatakan dirinya sebagai orang yang ketujuh.
Dengan sekuat tenaga perasaannya, Bagus Handaka mencoba melenyapkan semua bayangan yang berturut-turut datang mengganggu otaknya. Dipusatkannya pikirannya untuk menghadapi apapun yang bakal terjadi, dengan tabahnya.
Dan tiba-tiba dirasanya tangan gurunya itu meraba-raba tubuhnya. Memijat-mijat tangannya dan kemudian dengan suara yang rendah berkata, “Tidakkah kau dapat bergerak lagi Handaka?”
Dengan mata yang cerah, Bagus Handaka memandangi wajah gurunya. Jawabnya,  “Aku sudah berusaha sebaik-baiknya, Bapak.”
Kemudian tampaklah Manahan merenungi anak itu. Alisnya yang lebat bergerak-gerak karena kerut-kerut di keningnya. Seolah-olah ia sedang menghitung setiap titik di permukaan tubuh muridnya. Sesaat kemudian terdengarlah Manahan menarik nafas dalam-dalam serta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu terdengar ia bertanya kembali, “Adakah dengan cara demikian kau melawan orang-orang yang menyerangmu enam malam berturut-turut?”
Bagus Handaka tidak segera mengerti maksud pertanyaan gurunya. Karena untuk beberapa saat ia tidak menjawab, terdengar kembali Manahan berkata, “Ingat-ingatlah apa yang telah kau lakukan selama enam malam berturut-turut.”
Bagus Handaka semakin tidak mengerti. Tetapi ia menjawab juga, “Bapak, selama itu aku pun telah berusaha sebaik-baiknya melawan mereka. Bahkan aku sudah mencoba untuk menangkap salah seorang diantaranya. Tetapi aku tidak berhasil.”
Sekali lagi Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Bagus Handaka menjadi bertambah bingung. Apalagi ketika kemudian dilihatkan gurunya tersenyum sambil membangunkannya. “Duduklah Handaka. Dan cobalah menggerak-gerakkan tubuhmu perlahan-lahan.” Dengan otak yang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, Bagus Handaka mencoba sedapat-dapatnya untuk bangun dan kemudian bertahan duduk di atas pasir pantai. Adakah gurunya menunggu sampai ia mampu untuk melawannya kembali…?
Tetapi, ternyata Manahan tidak berbuat demikian. Juga ternyata gurunya itu tidak membunuhnya. Malahan kemudian gurunya itu duduk pula di sampingnya dan dengan wajah yang jernih berkata, “Sudahkah kau ingat keenam orang yang menyerangmu?
Sambil mengangguk, Bagus Handaka menjawab sekenanya saja, “Sudah, Bapak.”
“Baik..”. sahut Manahan, “Kau pernah berkata kepadaku tentang wajah-wajah dari kelima orang itu, sedang orang yang keenam telah aku saksikan sendiri. Tetapi kau belum pernah menceriterakan kepadaku bagaimanakah bentuk tubuh kelima orang yang menyerangmu itu.”
Untuk sesaat Bagus Handaka jadi termenung. Memang selama itu ia belum pernah menyebut-nyebut bentuk tubuh lawan-lawannya. Dan sekarang tiba-tiba gurunya menanyakan hal itu. Maka dicobanya sekali lagi untuk membayangkan kembali kelima orang itu berturut-turut.
“Bagaimanakah dengan orang yang pertama?” tanya Manahan.
Dengan masih mencoba mengingat-ingat orang itu Bagus Handaka menjawab, “Orang itu bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang.”
“Orang kedua?” desak Manahan.
Dengan mengingat-ingat mengerti sepenuhnya maksud pertanyaan gurunya, karena itu setelah merenung beberapa lama ia menjawab hampir berteriak, “Semuanya bertubuh tegap tinggi dan berdada bidang.”
“Lalu bagaimanakah pendapatmu mengenai mereka itu?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka diam menimbang-nimbang. Tetapi kemudian ia berkata, “Itu adalah aneh, Bapak. Tubuh mereka berenam hampir bersamaan. Hanya wajah merekalah yang agaknya berbeda-beda.”
“Kau yakin bahwa wajah mereka berbeda-beda?” desak Manahan.
Mendengar pertanyaan gurunya, tiba-tiba Handaka menjadi ragu. Memang sepintas lalu, apalagi di dalam gelapnya malam, wajah-wajah mereka tampak berbeda-beda.
“Sayang, aku tak dapat menangkapnya,” gumam Bagus Handaka.
Terdengarlah Manahan tertawa pendek, lalu katanya, “Inginkah kau menangkapnya?”
“Ya,” jawab Handaka. “Aku ingin tahu kenapa mereka menyerang aku.”
“Dan kenapa aku menjadi orang ketujuh?” tanya Manahan pula.
Bagus Handaka menatap Manahan dengan pandangan yang aneh. Apa yang terjadi lima malam berturut-turut telah cukup memusingkan kepalanya. Apalagi malam yang keenam itu. Segalanya menjadi semakin kabur dan penuh teka-teki.
Melihat Bagus Handaka kebingungan, berkatalah Manahan, “Handaka…. Meskipun aku tidak menyaksikan, namun aku berani meyakinkan bahwa keenam orang yang menyerangmu berturut-turut itu pasti mempunyai persamaan bentuk tubuh. Dan ketahuilah Handaka bahwa kau jangan mimpi untuk dapat menangkapnya.”
Mata Handaka masih memancarkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. Katanya, “Tetapi orang yang pertama, kedua dan ketiga adalah orang-orang yang belum memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sehingga aku mempunyai kemungkinan yang besar untuk dapat menangkapnya.
Mendengar kata-kata itu Manahan tersenyum. Jawabnya, “Meskipun demikian, bukankah ternyata kau tidak mampu menangkapnya?”
Bagus Handaka mengangguk mengiyakan.
“Jangankan kau Handaka,” sambung Manahan, “Sedang aku pun tidak berani bermimpi untuk dapat menangkapnya.”
Mendengar perkataan itu Handaka terkejut bukan main, sampai ia tergeser ke samping. Matanya semakin membayangkan kebingungan yang memenuhi hatinya.
“Handaka…” kata Manahan seterusnya dengan perasaan iba, “Sudah sewajarnya kalau kau menjadi bingung karenanya.”
Handaka mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan saksama, meskipun sikap gurunya itu tidak kalah membingungkan pula.
“Pertama-tama ketahuilah, bahwa apa yang aku lakukan, tidaklah benar-benar seperti apa yang aku katakan. Otakku masih cukup sehat untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu. Sedang apa yang aku lakukan, adalah untuk meyakinkan dugaanku terhadap keenam orang yang telah menyerangmu enam malam berturut-turut. Dengan caraku itu aku kemudian yakin siapakah orang-orang yang datang berturut-turut itu.”
“Guru…” potong Handaka dengan penuh haru, “Jadi Bapak tidak benar-benar mau membunuhku?”
Mendengar pertanyaan Bagus Handaka, Manahan jadi terharu. Jawabnya sambil membelai kepala anak itu, “Kenapa aku akan membunuhmu?”
“Bukankah Bapak sendiri berkata demikian?” jawab Handaka.
“Dan kau telah mencoba mempertahankan dirimu?” tanya Manahan pula.
“Tidak, Bapak…. Aku sama sekali tidak berusaha untuk menyelamatkan diri, tetapi aku hanya bermaksud untuk menunjukkan hasil pelajaran-pelajaran yang aku terima selama ini pada saat-saat terakhir.”
Diam-diam Manahan memuji di dalam hati. Benar-benar anak ini berhati bersih dan setia. Karena itu Manahan menjadi semakin terharu. Namun demikian ia berusaha agar wajahnya sama sekali tidak membayangkan perasaannya.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Baiklah aku beritahukan dugaanku atas semua kejadian-kejadian yang berlaku itu, supaya kau tidak terlalu lama menebak.”
Handaka menjadi sangat tertarik. Karena itu ia menggeser duduknya semakin dekat dengan gurunya.
“Handaka….” Manahan melanjutkan, “Mengucapkan syukur atas semua peristiwa yang berlaku enam malam berturut-turut. Meskipun barangkali untuk dua-tiga hari tubuhmu akan masih terasa sakit-sakit, namun setelah itu kau akan berbangga karenanya.”
“Apakah yang dapat aku banggakan Bapak?” tanya Handaka.
Manahan tersenyum, lalu jawabnya, “Aku telah mencoba untuk memancingmu dalam suatu perkelahian. Apapun alasanmu tetapi kau telah berbuat sebaik-baiknya. Sedang apa yang kau lakukan sebagian adalah bukan hasil pelajaran yang aku berikan.”
“Bapak…” potong Handaka, “Kenapa kau berbuat demikian. Aku tidak pernah belajar kepada siapapun kecuali kepada Bapak.”
Kembali Manahan tersenyum. Katanya, “Meskipun andaikata unsur-unsur itu tidak kau miliki sekarang, kemudian aku pun akan memberikannya pula. Tetapi kemajuan yang kau capai selama lima hari akan sama dengan kemajuan yang akan kau capai dalam waktu berbulan-bulan apabila hal itu kau pelajari dariku, serta dalam keadaan yang biasa.”
Masih saja Handaka belum mengerti maksud gurunya. Sehingga kemudian Manahan berkata pula, “Handaka…, menurut dugaanku orang yang datang enam malam berturut-turut itu adalah orang yang sama.”
“Orang yang sama?” tanya Handaka keheran-heranan.
“Ya,” jawab Manahan. Orang itu hanya mengubah mukanya sedikit dengan menggores-goreskan warna-warna hitam dan kadang-kadang memasang kumis dan janggut palsu.
“Tetapi tingkat kepandaiannya sama sekali tidak sama, Bapak,” potong Handaka.
Sekali lagi Manahan tersenyum. Jawabnya, “Itulah sebabnya kepandaianmu meningkat dengan wajar, meskipun waktunya dipercepat. Dan ketahuilah bahwa yang dapat berbuat demikian hanyalah orang-orang sakti yang berilmu mumpuni.”
Handaka menjadi termenung karenanya.
“Jadi apakah maksudnya menyerangku…? Dan kenapa dikatakannya bahwa orang-orang itu akan menangkap aku untuk sebuah pertunjukan pembunuhan…?” tanya Handaka.
“Satu-satunya cara untuk memaksamu bekerja sekeras-kerasnya adalah menakut-nakutimu dengan cara demikian,” jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas dalam-dalam. Mengertilah ia sekarang bahwa orang yang datang setiap malam itu sama sekali tidak akan membunuhnya seperti gurunya itu pula.
“Adakah Bapak mengenal orang yang datang setiap malam itu?” tanya Handaka kemudian.

No comments:
Write comments