Thursday, May 5, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 10 C


Mendengar jawaban itu Manahan dan Bagus Handaka saling berpandangan. Agaknya Wiradapa tidak berdiri di pihak Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega. Kalau sampai mereka terpaksa melibatkan diri, mereka tidak perlu segan-segan. Sebab mereka itu pasti tidak akan membantu anak Lembu Sora itu.
Sementara itu terdengarlah beberapa orang tertawa berderai. Dan kembali terdengar seseorang berkata, ”Kau terlalu sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu berlapis baja? Dan kau sendiri bertulang besi, sehingga berani membantah perintah ini?”
”Aku kira kau juga belum bertulang besi,” jawab Wiradapa dengan beraninya. ”Karena itu buat apa aku takut? Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau berani.”
Agaknya yang di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia mengumpat dan kemudian berkata, Wiradapa, “kalau kau jantan, keluarlah.”
Sekarang terdengar suara Wiradapa menghina, “Jangan bicara tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri sebagai jantan sejati, akan aku sambut di halaman dengan penuh kejantanan.”
Kembali terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak buahnya, “Biarlah ia hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga orang-orang malas yang tidur di ruang belakang. Ada kerja buat mereka esok.”
”Baik Kakang,” jawab yang lain.
Setelah itu terdengar derap kuda menjauh.
Tetapi tidak beberapa lama kemudian terdengar derap itu mendekat kembali. Bahkan lebih banyak lagi. Ketika kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang sudah dikenal oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu suara Sawung Sariti. ”Wiradapa, kau benar-benar tidak mau keluar? Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau mengkhianati kami, sehingga beberapa orang kami jadi korban.”
”Jangan coba putar-balikkan keadaan,” bantah Wiradapa dari dalam.
”Bagus, kalau kau tak mau keluar, aku suruh bakar rumahmu ini,” ancam Sawung Sariti, maka musnahlah Wiradapa sekeluarga.
“Gila!” teriak Wiradapa, “begitukah cara putra kepala daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya kepada orang lain?”
Terdengar Sawung Sariti tertawa dengan nada yang tinggi. Kemudian katanya, ”Aku tidak perduli. Keluarlah. Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin kau juga akan selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh orang-orang malas peliharaanmu itu pergi bersama kau. Ada pekerjaan untuknya.”
Kemudian suasana dicengkam oleh kesepian. Bagus Handaka memandang Manahan dengan penuh pertanyaan. Hal itu diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia berbisik, ”Kita ikuti mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik. Agaknya pada suatu saat kita harus bertindak”
Handaka mengangguk, ketika bersamaan dengan itu terdengar langkah menuju ke ruangan itu. Sesaat kemudian terdengar orang membentak-bentak, ”Ayo keluar! Keluar…!”
Sekali lagi Handaka memandang wajah Manahan yang tetap tenang, seperti air di telaga yang dilindungi oleh gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan menganggukkan kepalanya, Handakapun berdiri, lalu bersama-sama melangkah ke arah pintu. Demikian pintu terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan dan Handaka segera didorong keluar dengan bentakan-bentakan yang kasar.
Di luar, gelap malam masih membalut seluruh pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu digemparkan oleh kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya membuat keributan.
Kemudian mereka digiring ke halaman depan, dan di sana ternyata Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia masih memperhitungkan keselamatan keluarganya, sehingga ketika rumahnya diancam akan dibakar, terpaksa ia mengambil keputusan lain.
Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari mendahului.
Sampai di pendapa kelurahan, Manahan melihat beberapa orang bersenjata siap berjaga-jaga. Nampaknya mereka adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu bersama-sama dengan Laskar Pamingit. Sedang diantara mereka tidak tampak seorang pun dari Banyubiru. Manahan yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan keadaan itu.
Wiradapa kemudian sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping lurah pedukuhan itu.
”Wiradapa…” kata Sawung Sariti dengan lagak seorang hakim. ”Sadarkah kau akan segala perbuatanmu?”
Wiradapa memandang Sawung Sariti dengan penuh kebencian. Jawabnya, ”Aku berbuat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama pedukuhan yang telah aku bina berpuluh tahun.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sawung Sariti, ”Jangan coba berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta pertanggungjawabanmu atas kematian orangku yang paling baik. Bukankah kau telah membuat gerombolan untuk merampok kami?
Wiradapa menggeram marah. Jawabnya, ”Setan pun tak akan percaya ocehanmu”
Sawung Sariti menjadi marah sekali. Dengan nada yang tinggi ia berkata hampir menjerit, ”Widarapa. Kau telah menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami tak mampu bertindak? Dengarlah baik-baik. Rombongan kami dengan kekuatan cukup akan dapat memusnahkan seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan berbuat demikian. Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini bersalah, ternyata bahkan ada beberapa orang yang membantu kami. Dan aku akan berterima kasih kepada mereka itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah yang turut dalam penyerbuan itu. Atau batangkali kau minta bantuan kepada salah satu gerombolan di sekitar daerah ini? Malahan mungkin dua orang yang kau sebut perantau malas itu adalah anggota gerombolan pula”
Mata Wiradapa menjadi menyala-nyala. Dengan gigi gemeretak ia menyahut, ”Jangan banyak bicara. Apakah sebenarnya maksudmu? Membunuh aku atas permintaan lurah pengecut itu, supaya aku tidak selalu membayanginya? Aku menolak turut dalam permainan gila-gilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak itu takut aku membuka rahasia.”
”Diam!” bentak lurah yang sejak tadi berdiam diri.
”Kau mau menyeret orang lain masuk ke jurang yang telah kau gali sendiri?”
Wiradapa tertawa rendah, ”Pengecut!”
”Kau pengecut,” sahut Sawung Sariti. ”Nah rakyat Gedangan…. Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa. Untunglah bahwa aku tidak memusnahkan kalian. Tetapi aku menuntut kesetiaan kalian pada pedukuhanmu ini. Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan itu? Sedang sekarang di hadapanmu berdiri seorang pengkhianat.”
Akibat kata-kata Sawung Sariti itu dalam sekali. Segera, semua mata orang yang hadir di pendapa tertuju kepada Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin tegang, semakin tegang, disusul kata-kata lurah mereka, ”Atas nama pimpinanmu, bertindaklah.”
Kata-kata itu merupakan aba-aba yang serentak menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri di pendapa itu. Segera mereka melangkah maju dengan senjata di tangan siap untuk membunuh Wiradapa.
Manahan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Segera ia teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah yang dituduhkan oleh Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada saat itu Gajah Sora sempat mencegahnya. Tetapi kali ini, pimpinan mereka justru berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka segera ia menggamit Bagus Handaka yang segera dapat menanggapi.
Maka berbisiklah Manahan, ”Handaka, kita bebaskan Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang terbunuh diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu marilah kita menarik perhatian mereka dengan melarikan diri. Tetapi ingat, kita harus tertangkap.”
”Lalu apakah mereka tidak akan membunuh kita?” tanya Handaka.
”Tidak, sebab ada sesuatu yang harus kita lakukan. Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru sesudah itu kita akan dibunuh,” jawab Manahan.
Bagus Handaka menarik nafas. Tugas itu sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat membaca perasaan Handaka itu, namun ia hanya tersenyum.
Ketika orang-orang di pendapa sudah semakin ribut, tiba-tiba meloncatlah Manahan melarikan diri diikuti oleh Bagus Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari sepanjang jalan pedukuhan.
Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari, beberapa orang berteriak-teriak memanggil, dan beberapa orang yang cepat berpikir segera mengejarnya. Perhatian seluruh isi pendapa kemudian terpusat kepada Manahan dan anaknya yang sedang berusaha melarikan diri.
”Tangkap mereka…” teriak Sawung Sariti.
Tetapi agaknya ia tidak begitu percaya kepada anak buahnya, sehingga ia sendiri kemudian melompat dengan tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului orang-orang yang telah lebih dahulu mengejar Manahan dan Handaka.
Manahan dan Handaka yang memang tidak benar-benar akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah mereka, setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk memberi kesempatan kepada Wiradapa melenyapkan dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap langkah yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut Manahan menoleh. Dan dengan kagum ia melihat Sawung Sariti menghambur ke arahnya.
”Berhenti!” teriak anak muda itu.
Manahan dan Bagus Handaka masih berpura-pura lari. Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh suatu pertanyaan baru. Alangkah hebatnya anak itu. Menilik gerak serta langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sebentar kemudian anak muda itu telah dapat menyusul Manahan. Tangannya segera menyambar baju perantau yang malang itu, sedang tangannya yang lain terayun deras ke arah rahang Manahan. Manahan sama sekali tidak berusaha mengelak ketika sebuah pukulan yang keras mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke belakang dan akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak, ”Ampun Tuan Muda…, ampun.” Tetapi dalam pada itu ia dapat mengukur sampai dimana kekuatan Sawung Sariti, yang benar-benar membuatnya heran. Tenaga anak muda itu benar-benar mengagumkan. Untunglah bahwa yang dikenainya adalah Manahan. Kalau saja Manahan benar-benar seorang perantau, maka Sawung Sariti telah membuat suatu kesalahan, sebab kepala perantau itu pasti akan retak dibuatnya. Sesaat ia telah mencoba-coba membanding-bandingkan anak itu dengan Bagus Handaka. Apakah Bagus Handaka juga memiliki kekuatan sebesar itu? Namun agaknya ia tidak perlu mencemaskan muridnya, meskipun ia belum yakin benar bahwa Handaka dapat melebihi kekuatan Sawung Sariti.
”Kau mencoba untuk melarikan diri he…?” Kemudian terdengar Sawung Sariti membentak-bentak marah. Sementara itu orang-orang yang lain berdatangan pula.
”Tidak Tuan Muda, tidak,” rintih Manahan, sedang Bagus Handaka berdiri tidak jauh darinya dengan gigi yang terkatub rapat.
”Apa kau bilang?” teriak Sawung Sariti. ”Dengan berbuat begitu kau masih ingkar bahwa kau akan melarikan diri?”
”Tidak Tuan Muda, aku tidak akan melarikan diri. Tetapi aku takut,” jawab Manahan.
”Takut? Apa yang kau takutkan?” potong anak muda itu.
”Aku takut melihat pembunuhan,” sambung Manahan dengan suara gemetar.
Tanya jawab itu kemudian terhenti ketika kemudian datang pula beberapa orang berlari-lari.
”Ada apa kalian menyusul?” tanya Sawung Sariti marah.
”Wiradapa melarikan diri, Tuan,” jawab orang itu.
”He, apa kau bilang?” Mata Sawung Sariti kem”udian menyala-nyala, dengan suara yang gemetar ia meneruskan, Kau bilang Wiradapa melarikan diri?”
”Ya, Tuan,” jawab orang itu ketakutan.
Tiba-tiba semuanya dikejutkan oleh gerakan Sawung Sariti yang hampir tak terlihat kecepatannya, disusul oleh teriakan ngeri. Orang yang berdiri di hadapannya itu terlempar beberapa langkah dan kemudian terjatuh sambil mengerang kesakitan.
”Setan…!” gerutunya. ”Apakah yang kalian kerjakan…? Dan buat apa aku mengupah kalian? Menjaga seekor tikus sakit-sakitan saja kalian tidak mampu. Ayo cari sampai ketemu. Kalau tidak, kalian jadi gantinya.”
Beberapa orang berdiri bingung, sampai terdengar Sawung Sariti berteriak,” Pergi, pergi monyet…!” Dan bubarlah orang-orang itu berlari bertebaran untuk mencari Wiradapa.
Setelah orang-orang itu pergi, Sawung Sariti memandang Manahan dan Handaka dengan geramnya. Dengan menahan kemarahan ia berdesis, ”Orang-orang gila inilah yang telah merusak rencanaku.” Kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, ”Bawa mereka kembali ke kelurahan.”
Beberapa orang segera bergerak menangkap tangan Manahan dan Handaka. Dengan kasarnya mereka didorong-dorong, bahkan kadang-kadang ditendang-tendang untuk pergi kembali ke pendapa kelurahan.
———-oOo———-
II
Sampai di pendapa kalurahan, Sawung Sariti membentak-bentak tak habis-habisnya. Beberapa buah tempat duduk dibanting-bantingnya hingga pecah berderak-derak. Semuanya memandang anak muda yang perkasa itu dengan ketakutan. Tetapi diantara segenap mata yang kecemasan itu, memancarlah keriangan di mata Bagus Handaka. Ia melihat kegesitan sikap Sawung Sariti. Dengan demikian ia menjadi gembira. Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan yang baik.
”Bapak…” bisik Handaka perlahan-lahan, ”Anak muda itu hebat sekali. Mudah-mudahan aku mendapat kawan berlatih yang cukup baik.”
Mendengar bisik muridnya, Manahan tersenyum, namun ditahannya.  Hati-hati, ”Hati-hatilah. Agaknya ia pun memiliki ilmu yang cukup.”
Handaka masih akan berkata lagi, tetapi tidak jadi, karena terdengar Sawung Sariti berteriak, ”Paman Lurah Gedangan. Aku tidak mau rencanaku gagal sama sekali. Karena itu pekerjaan pemalas-pemalas itu tidak dapat ditunda sampai besok.”
Lurah Gedangan yang ketakutan pula segera menjawab, ”Terserah Tuan.”
”Perintahkan pada orang-orang itu semua untuk berjaga-jaga di luar. Besok mereka harus mengubur orang-orangku yang gugur. Tak seorang pun boleh meninggalkan pendapa,” perintah Sawung Sariti lantang.
 Segera Lurah Gedangan itu menirukan perintah Sawung Sariti, bahkan sampai pada kata-katanya pun ia tidak berani mengubahnya.
”He Manahan dan Handaka…” Terdengar Sawung Sariti memanggil. ”Aku mempunyai pekerjaan untukmu berdua. Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena kau telah mencoba melarikan diri.”
Manahan dan Handaka pun segera berdiri sambil mengangguk hormat. Jawab Manahan, ”Apapun yang diperintahkan kepada kami, selama kami mampu melakukannya, pasti akan kami junjung tinggi.”
”Diam!” bentak Sawung Sariti. ”Mau atau tidak mau bukanlah urusanku. Tetapi pekerjaan itu harus kau selesaikan. Mari ikuti aku.”
Manahan jadi ragu sebentar, tetapi kemudian segera ia naik ke pendapa diikuti oleh Handaka.
Tetapi langkah mereka terhenti ketika terjadi ribut-ribut di luar. Ketika mereka menoleh, tampaklah Wiradapa digiring ke pendapa. Dari pelipisnya mengalir darah segar. Sedang dua tiga orang yang menangkapnya menderita luka-luka pula. Agaknya Wiradapa telah melawan dengan gagah berani.
”Monyet itu tertangkap pula,” teriak Sawung Sariti.
”Ya, Tuan Muda,” jawab salah seorang diantaranya dengan bangga.
”Bagus…. Nah, kau akan aku ikutsertakan dengan para pemalas sahabat-sahabatmu ini. Ayo ikuti aku,” perintahnya pula kepada Wiradapa.
Kemudian beberapa orang mendorong Wiradapa dengan kuatnya sehingga hampir saja ia tertelungkup.
”Kalau kau tidak mencoba lari, hidupmu masih mungkin aku pertimbangkan,” gerutu Sawung Sariti.
Kemudian Manahan, Handaka dan Wiradapa segera dibawa masuk oleh Sawung Sariti dengan hanya diikuti oleh lurah Gedangan dan pengawalnya. Sampai di ruang dalam, mereka melihat tiga sosok mayat terbujur di lantai. Sambil menyeringai Sawung Sariti berkata, ”Lihat tiga diantara para korbanmu.”
Wiradapa tidak menjawab, hanya wajahnya yang menegang.
Jangan berbuat tolol” bentak Sawung Sariti, ”Dengan sekali pukul aku sanggup memecahkan kepala kalian bertiga.”
Setelah berkata demikian, Sawung Sariti membawa ketiga orang tawanan itu ke ruang yang lain. Mereka jadi terkejut pula ketika samar-samar di bawah sinar lampu mereka melihat pula sesosok tubuh terbaring diam.
”Itulah pekerjaan kalian,” katanya. ”Kalian harus membawa mayat itu ke tempat yang akan ditunjukkan oleh Pak Lurah.”
Wiradapa memandang lurahnya dengan mata yang memancarkan perasaan dendam tiada taranya. Sehingga dari mulutnya meluncurlah umpatan yang kasar, ”Kakang Lurah, kelakuanmu lebih rendah dari anjing. Dan sekarang kau mau mencuci bekas-bekasnya dengan melenyapkan aku.”
Wiradapa terpental menubruk dinding. Meskipun Sawung Sariti tidak mengerahkan segenap kekuatannya, namun telah cukup menjadikan mata Wiradapa berkunang-kunang. Tetapi Manahan kagum akan ketetapan hatinya. Meskipun dengan susah payah ia bangkit namun wajahnya masih memancarkan dendam dan kebencian. Ia sama sekali tidak takut menghadapi segala macam bencana yang akan dialami.
Melihat sikap Wiradapa yang demikian, Sawung Sariti menjadi semakin marah, katanya, ”Wiradapa, lebih baik kau mempergunakan saat terakhirmu sebaik-baiknya. Atas kemurahan hatiku, sesudah kau bertiga mengubur mayat itu, kalian boleh memilih cara yang kau anggap baik untuk membunuh kalian, dengan demikian kalian tidak akan membuka rahasia tempat pemakaman nanti.”
Mendengar kata-kata itu, hati Manahan berdesir hebat. Inilah agaknya permainan yang dilakukan oleh Sawung Sariti. Sampai sekian, beberapa hal telah dapat diduga oleh Manahan. Agaknya Sawung Sariti telah bersekutu dengan lurah Gedangan. Lurah itu harus berhubungan dengan orang-orang yang harus menyerang mereka. Beberapa korban harus jatuh, dan diantaranya terdapat seorang yang penting. Orang itu pasti merupakan bayangan yang menakutkan bagi Sawung Sariti, sehingga harus disingkirkan dengan tidak meninggalkan kesan. Sampai kuburannya pun harus dirahasiakan pula. Kalau kemudian ternyata diketahui, bahwa orang itu terbunuh, Sawung Sariti pun dapat cuci tangan. Pembunuhan itu dilakukan oleh gerombolan perampok yang akan merampok rombongan mereka, dan mayatnya tidak diketahui. Tetapi apabila mungkin orang itu hanya akan dinyatakan hilang, pergi tidak pamit dan sebagainya.
Dalam kesibukannya Manahan dikejutkan oleh bentakan Sawung Sariti, ”Ayo cepat, apa yang kalian tunggu lagi? Kalau kalian sampai berbuat aneh-aneh, maka akulah yang akan menentukan jalan kematian yang harus kau tempuh. Aku dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak kalian duga-duga.”
Agaknya Wiradapa berkeberatan dengan persetujuan itu. Ia lebih baik mati di tempat daripada harus menurut perintah gila-gilaan itu. Tetapi Manahan yang mula-mula melangkah maju disusul oleh Handaka. Wiradapa memandang Manahan dan Handaka dengan mata yang kecewa dan menghina.
”Kalian mau melakukan perbuatan itu. Pengecut. Matilah sebagai seorang jantan…” 
Sekali lagi kata Wiradapa terputus oleh sebuah pukulan yang keras. Tetapi kali ini ia mengelak. Bahkan ia membalas menyerang pula. Kembali Manahan kagum melihat kejantanan orang itu, meskipun ia yakin bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya.
Dan itu ternyata dalam beberapa saat yang pendek saja. Dengan cepatnya Sawung Sariti berhasil menangkap tangan Wiradapa, dan sekali putar Wiradapa sudah tidak berdaya lagi.
”Orang gila!” geram Sawung Sariti, dan kemudian katanya kepada Manahan, ”Kau akan mendapat pekerjaan baru nanti. Mengubur orang ini hidup-hidup.”
Hati Manahan dan Handaka terlonjak mendengar perintah itu. Namun hal itu lebih baik. Sebab dengan demikian ada kesempatan baginya untuk menolong orang itu.
 Kemudian justru Manahan dan Handaka yang tidak sabar lagi. Segera ia ingin mengetahui siapakah yang terbaring di hadapannya itu. Maka ketika ia sudah berdiri di samping mayat itu, cepat tangannya bergerak menarik kerudungnya.
”He…” teriak Sawung Sariti terkejut. ”Apa yang kau lakukan itu…? Apakah kau juga ingin mendapat hukuman yang sama dengan orang ini?”
Tetapi Manahan sama sekali tak mempedulikan teriakan Sawung Sariti itu, sehingga akhirnya terbukalah kerudung mayat itu. Dengan demikian, di bawah sinar lampu yang samar-samar, yang seolah ikut serta berduka atas kematian beberapa orang yang tak berdosa, Manahan dan Handaka dapat melihat siapakah yang terbaring tak bergerak di hadapannya dengan wajah putih pucat serta membayangkan ketulusan hatinya. Melihat wajah yang pucat itu Manahan dan Bagus Handaka terlonjak. Hatinya bergelora seperti akan memecahkan dadanya, sehingga kemudian tubuhnya menggigil hebat.
Sementara itu terdengarlah Sawung Sariti menghardik penuh kemarahan, ”He, pemalas-pemalas yang tak tahu diri. Apa urusanmu dengan mayat itu, sehingga kau berani membuka kerudungnya? Ingat, bahwa aku dapat membunuhmu dengan cara yang lebih hebat daripada dikubur hidup-hidup.”
Tetapi Manahan dan Bagus Handaka tidak mendengar suara itu. Mereka sedang berjuang untuk menguasai perasaannya. Namun agaknya Bagus Handaka sudah tidak kuasa lagi menahan dirinya. Seperti kilat ia meloncat dan sekejap kemudian ia sudah berdiri di hadapan Sawung Sariti. Sawung Sariti, Lurah Gedangan, Wiradapa dan dua orang pengawal Sawung Sariti terkejut melihat gerakan itu. Apalagi ketika dengan gigi gemeretak Handaka berteriak nyaring, ”Sawung Sariti, kau benar-benar biadab. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Paman Sawungrana? Mungkin kau takut bahwa pada suatu ketika orang mengetahui bahwa kau sama sekali tak berhak mengaku diri putra kepala tanah perdikan Banyubiru. Karena itu kau menganggap perlu untuk menyingkirkan orang yang paling ”mengetahui keadaan yang sebenarnya.’
Karena terkejut, untuk beberapa lama Sawung Sariti berdiri seperti patung. Tetapi kemudian tiba-tiba dengan tidak berkata apapun, ia langsung menyerang Handaka dengan hebatnya. Tangannya dengan keras mengarah ke rahang, sedang tangannya yang lain menyambar leher. Ia bermaksud melumpuhkan lawannya dengan sekali gerak. Tetapi ternyata anak perantau malas yang berdiri di hadapannya itu benar-benar telah membingungkan benaknya. Dengan gerak yang tangkas Handaka menggeser tubuhnya sehingga serangan Sawung Sariti tidak mengenai sasarannya.
Kembali Sawung Sariti terpaku. Tetapi hanya sesaat. Ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya ketika Handaka membalas menyerangnya. Sehingga sekejap kemudian terjadilah pertempuran diantara kedua anak muda itu. Namun sampai sekian Sawung Sariti masih sangat merendahkan lawannya. Ketika para pengawalnya akan bertindak, ia berteriak dengan sombongnya, ”Biarkan anak yang sombong itu mengenal aku dengan baik. Jangan diganggu.
Maka berlangsunglah kemudian perkelahian yang sengit. Karena Sawung Sariti bertempur seorang diri, Manahan pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui sampai di mana perbandingan ilmu yang dimiliki oleh kedua anak muda itu.

No comments:
Write comments