Maka dengan rendah hati Manahan
menyerahkan seluruh hasil panennya kepada para tetangganya, dan dengan
hati yang agak berat pula, setelah bergaul hampir tiga tahun dengan para
nelayan yang kasar namun berhati bersih, ia terpaksa meninggalkan
mereka. Suatu hal yang terpaksa berulang kali dialaminya. Menetap di
suatu tempat dan kemudian meninggalkannya, dan kembali ia harus berjalan
menyusur jalan-jalan pedukuhan, hutan dan lereng-lereng gunung serta
lembah-lembah yang hijau padat.
Tetapi kali ini Manahan tidak membawa
muridnya menyembunyikan diri, tetapi bahkan sebaliknya. Mereka berusaha
mendekati Banyubiru untuk mengambil ancang-ancang atas perjuangan yang
bakal dilakukan. Mereka harus lebih dahulu mengetahui seluk-beluk daerah
itu dan mengetahui tanggapan rakyatnya terhadap pimpinan daerah yang
sebenarnya tidak berhak sama sekali itu.
Dengan Kyai Bancak, tanda kebesaran
Banyubiru yang berwujud sebuah ujung tombak, di pinggangnya, setelah
dilepas dari tangkainya, Bagus Handaka berjalan dengan tegapnya menuju
ke arah selatan. Manahan yang berjalan di belakangnya memandangi anak
itu dengan bangga. Ia mengharap agar Bagus Handaka benar-benar dapat
menjadi seorang anak yang kuat dan berhati mulia seperti harapan
ayahnya. Tetapi dengan demikian Manahan jadi teringat kepada Gajah Sora.
Apakah kira-kira yang terjadi atasnya? Namun ia percaya bahwa Gajah
Alit dan Paningron dapat membantu kesulitannya. Setidak-tidaknya
memperingan tuduhan yang ditimpakan atasnya.
Perjalanan Manahan dan Handaka kemudian
sampai pada daerah hutan dan kemudian mereka harus menyusur kaki gunung
Slamet, membelok kearah timur.
Demikianlah dari hari ke hari mereka
selalu berjalan tanpa henti-hentinya. Ternyata kekuatan jasmaniah Bagus
Handaka cukup memuaskan. Ia sama sekali tetap segar dan lincah.
Disamping itu selama perjalanan mereka, masih sempat juga Manahan
memberikan tambahan pengetahuan kepada muridnya. Dan bahkan karena
kecerdasan Bagus Handaka, maka dapatlah ia menemukan unsur-unsur gerak
yang bagus, yang ditirunya dari gerak-gerak binatang buas. Dengan
tuntunan gurunya, Bagus Handaka yang hampir menghabiskan waktunya selama
perjalanan itu dengan memperhatikan gerak-gerik kera-kera yang
berloncatan dari dahan ke dahan, maka kemudian ia berhasil menirukan
beberapa bagian, yang dapat dileburnya ke dalam unsur-unsur gerak yang
telah dimilikinya.
Handaka juga senang sekali memperhatikan
perkelahian antar binatang. Dari binatang yang paling buas sampai
binatang yang paling lemah. Diperhatikannya pula, bagaimana seekor
kancil berhasil melepaskan diri dari terkaman serigala-serigala yang
buas, dan bagaimana seekor banteng dengan tangguhnya menanti serangan
seekor harimau dan kemudian dengan tanduk-tanduknya yang tajam
membinasakannya.
Dengan demikian Bagus Handaka mendapatkan
berbagai macam pengetahuan dari alam. Manahan sendiri sebenarnya kagum
atas ketangkasan otak muridnya, maka ia menjadi semakin bangga bahwa
tidak sia-sialah ia menuntun anak itu.
Karena itu, Manahan selalu memberinya
petunjuk-petunjuk atas kemungkinan kemungkinan yang dapat dimanfaatkan
dari setiap gerak yang dilihatnya. Kecuali gerak-gerak binatang, juga
gerak-gerak dari benda-benda yang lain, seperti angin pusaran, air bah
dan bahkan kelincahan gerak nyala api.
Demikianlah, di sepanjang perjalanan itu,
tidak sedikitlah pengetahuan yang ditangkap oleh Handaka. Dan karena
itu pula ia sama sekali tidak merasakan suatu kejemuan atau keletihan
selama ia bersama-sama dengan gurunya menyusuri jalan-jalan hutan yang
lebat dan sulit.
Setelah meninggalkan lembah kaki gunung
Slamet, mereka mulai dengan perjalanan yang tidak kalah sulitnya. Mereka
menyusur tebing pegunungan Prau, setelah melampaui beberapa pedukuhan
yang tak berarti.
Tetapi meskipun mereka sama sekali tidak
mengenal letih, namun kadang-kadang mereka terpaksa berhenti pula untuk
beberapa lama di suatu tempat. Kadang-kadang sampai satu dua bulan,
kadang-kadang malahan lebih. Setelah itu kembali mereka meneruskan
perjalanan mereka sambil berbuat bermacam-macam kebajikan. Di
tempat-tempat yang pernah dilewati oleh mereka itu, banyaklah hal-hal
yang ditinggalkannya. Pemberitahuan tentang banyak hal. Tentang
pertanian dan sebagainya.
Karena itu mereka selalu meninggalkan
kesan yang baik, sehingga nama Manahan dan Bagus Handaka menjadi banyak
dikenal orang. Pada suatu kali mereka memasuki sebuah pedukuhan yang
sepi di ujung hutan. Penduduknya yang menamakan pedukuhannya itu
Gedangan, terdiri dari petani-petani yang menggarap sawah dengan cara
yang sederhana sekali. Mereka masih belum begitu menaruh perhatian
kepada saluran-saluran air. Untunglah bahwa tanah mereka adalah tanah
yang subur, sehingga meskipun dengan cara-cara yang sangat sederhana,
hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan.
Berbeda dengan pengalaman-pengalaman
mereka, Manahan dan Bagus Handaka ketika memasuki pedukuhan itu,
mengalami penerimaan yang aneh. Hampir setiap mata memandang mereka
dengan penuh kecurigaan. Manahan dan Handaka merasakan keasingan
penerimaan itu. Karena itu mereka bersikap hati-hati dan berusaha untuk
tidak menyinggung perasaan mereka.
Kepada salah seorang dari para petani yang sedang berdiri di pematang, Manahan bertanya dengan hormatnya, “Kakang, apakah aku diperkenankan untuk memasuki pedukuhan ini?”
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi
sekali dua kali ia melemparkan pandangannya kepada beberapa orang yang
bertebaran menggarap sawah di sekitarnya. Baru setelah beberapa saat ia
menjawab, “Siapakah kau berdua?”
“Aku bernama Manahan dan ia anakku, Handaka,” jawab Manahan.
Mendengar nama itu, orang itu mengernyitkan alisnya. Agaknya nama itu asing baginya. Kemudian terdengar ia berkata, “Entahlah aku tak tahu. Berkatalah kepada lurah kami.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil bertanya pula, “Di manakah Bapak Lurah itu?”
“Di rumahnya” jawab yang ditanya pendek.
“Maksudku, di mana rumahnya?” sambung Manahan.
Kembali orang itu ragu-ragu dan kembali
ia menebarkan pandangannya kepada orang-orang yang sedang menggarap
sawah di sekitarnya. Tiba-tiba ia menunjuk pada salah seorang
daripadanya sambil berkata, “Bertanyalah kepada orang itu.”
Manahan menoleh menurut arah tangan orang
itu. Dilihatnya di sudut desa berdiri seorang yang bertubuh pendek
kokoh dengan urat-urat yang menonjol. Namun matanya membayangkan
kejernihan hatinya.
Setelah mengucapkan terimakasih, segera
Manahan dan Handaka berjalan ke arah orang bertubuh pendek itu. Dan
kemudian dengan hormatnya Manahan bertanya, “Adakah Bapak ini Lurah dari pedukuhan ini?”
Orang itu menggelengkan kepalanya, sambil menjawab, “Bukan Ki Sanak, aku bukan lurah di sini. Adakah kau punya keperluan dengan lurahku?”
Manahan menganggukkan kepalanya. Sambungnya, “Demikianlah, aku mempunyai sedikit keperluan.”
“Apakah keperluan itu?” tanya orang yang bertubuh pendek.
Tiba-tiba saja setelah mengalami
peristiwa itu, timbullah keinginan Manahan untuk mengetahui lebih banyak
hal lagi. Karena itu timbul pula keinginan untuk bermalam.
Maka kemudian kata Manahan, “Sebenarnya
keperluanku hanyalah akan mohon izin untuk bermalam barang semalam dua,
setelah aku berjalan beberapa hari terus-menerus tanpa beristirahat.”
Orang yang bertubuh pendek itu mengernyitkan keningnya. Kemudian ia bertanya pula, “Siapakah kau berdua?”
“Aku adalah seorang perantau dan bernama Manahan. Sedang anak ini adalah anakku, bernama Handaka,” jawab Manahan memperkenalkan diri.
Dengan seksama orang itu mengamat-amati mereka berdua. Baru sesaat kemudian ia berkata, “Saat
ini lurah kami sedang menerima beberapa orang tamu. Karena itu mungkin
tak ada tempat lagi bagi kalian untuk bermalam di rumah lurah kami. Ataupun kalau tempat itu ada, pastilah lurah kami dengan terpaksa tidak akan mengizinkan kalian bermalam di sana.”
Manahan mengangguk perlahan-lahan. Ia menjadi semakin ingin untuk mengetahui lebih banyak lagi. Karena itu katanya, “Bukan
maksudku untuk bermalam di rumah Pak Lurah. Meskipun aku ditempatkan di
kandang kuda sekalipun, asal aku diizinkan bermalam untuk melepaskan
lelah barang semalam dua malam, aku akan mengucapkan terimakasih.”
Orang yang bertubuh pendek serta bermata
jernih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian setelah berpikir
sejenak ia menjawab, “Menilik wajah-wajah kalian yang merah hitam
terbakar terik matahari, serta menilik pakaian kalian maka aku percaya
bahwa kalian telah menempuh jarak yang sangat jauh. Maka adalah
kewajiban kami untuk memberikan sekadar tempat melepaskan lelah bagi
kalian berdua. Karena itu maka kalian akan aku bawa pulang ke rumahku,
di sana kalian dapat bermalam. Sebab selain Lurah di pedukuhan ini, aku
pun termasuk orang yang harus membantu pekerjaannya.”
Oleh jawaban itu, hati Manahan menjadi gembira. Karena itu segera ia mengangguk hormat, katanya, “Alangkah
besar hati kami berdua atas ijin sekaligus tempat yang disediakan untuk
kami berdua. Tetapi hendaknya kehadiran kami janganlah menambah
kesibukan,” katanya.
Orang itu tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Aku memang selalu sibuk,” katanya, “jadi kehadiran Ki Sanak sama sekali tak mempengaruhi kesibukan itu.”
Memang sejak semula Manahan sudah mengira
bahwa orang itu pasti seorang yang baik hati serta ramah, ditilik dari
sinar matanya yang jernih. Apalagi setelah Manahan bercakap-cakap
sejenak, makin pastilah ia bahwa orang itu orang yang berbudi.
“Marilah Ki Sanak,” kata orang itu, “Ikutlah ke pondokku. Dan kalian dapat beristirahat sepuas-puasnya.”
Maka kemudian ikutlah Manahan serta Bagus
Handaka ke rumah orang yang bertubuh pendek bermata jernih itu. Dan
kemudian ketika mereka bercakap-cakap di sepanjang jalan, tahulah
Manahan bahwa orang itu adalah tangan kanan dari lurah mereka, namanya
Wiradapa.
Sebagai seorang kepercayaan kepala
pedukuhan, rumah Wiradapa tidaklah begitu jauh dengan rumah lurahnya.
Halamannya cukup luas ditumbuhi berbagai macam pepohonan serta dipagari
oleh deretan pohon nyiur yang berpuluh-puluh jumlahnya. Di pedukuhan
yang kecil itu, rumah Wiradapa merupakan rumah yang cukup baik meskipun
tidak begitu besar. Beratap ijuk dan bertulang-tulang kayu.
Di rumah itu pun Manahan mengalami
pelayanan yang baik, meskipun bagi Manahan dan Handaka hanya disediakan
ruangan di bagian belakang rumah. Sebab menurut tangkapan Wiradapa,
Manahan tidaklah lebih dari dua ayah-beranak yang pergi merantau untuk
mencari penghidupan yang baik. Tetapi kemudian sejak Manahan serta
Handaka dipersilakan di ruang yang diperuntukkan bagi mereka, maka
mereka tidak lagi bertemu dan bercakap-cakap dengan Wiradapa sampai
malam, karena Wiradapa harus pergi ke lurahnya.
Manahan dan Handaka yang setelah beberapa
lama selalu tidur di tempat-tempat yang sama sekali tak menentu, dan
sekarang mendapat tempat pembaringan yang selayaknya, segera
membaringkan diri sejak gelap mulai turun. Tempat pembaringan yang tidak
lebih dari sebuah bale-bale bambu serta tikar pandan yang dibentangkan
di atas galar. Bagi Manahan serta Handaka, pada saat itu dirasakan
sebagai suatu pembaringan yang sangat baik. Karena itu pula maka belum
lagi malam sampai seperempat bagian, mereka telah tertidur nyenyak.
Tetapi meskipun bagaimana nyenyaknya
mereka tidur, namun telinga Manahan adalah telinga yang terlatih baik.
Itulah sebabnya meskipun suara itu sangat perlahan-lahan tetapi sudah
cukup untuk membangunkannya.
Manahan menjadi terkejut ketika mendengar seseorang berkata perlahan, “Di mana mereka tidur…?”
“Di ruang sebelah belakang, Tuan,” jawab yang lain, yang oleh Manahan suara itu dikenalnya, yaitu suara Wiradapa.
Kemudian terdengarlah beberapa orang
melangkah mendekat ke ruang tidurnya. Mendengar langkah-langkah itu,
segera Manahan curiga. Karena itu ia pun segera bersiap-siap untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi sampai
sedemikian ia merasa masih belum perlu untuk membangunkan muridnya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sampai di muka pintu, terdengarlah langkah-langkah itu berhenti, dan terdengarlah seseorang berbisik, “Kau yakin bahwa orang itu tak berbahaya…?”
“Tidak, Kakang Lurah, aku yakin bahwa
orang itu hanyalah bagian dari orang-orang yang hidup berpindah-pindah
seperti burung yang selalu mencari tempat dimana ada makanan.” Terdengar Wiradapa menjawab.
“Aku akan melihatnya….” Terdengar suara lain lagi.
“Silakan Tuan,” jawab Wiradapa.
“Aku akan dapat mengetahui apakah dia
orang berbahaya atau benar-benar orang-orang malas yang kerjanya
mondar-mandir dari desa yang satu ke desa yang lain” terdengar lagi suara itu, “sebab aku tidak mau ada orang yang dapat mengganggu usahaku.”
Kembali terdengar Wiradapa menjawab, “Apa saja yang baik bagi Tuan.”
No comments:
Write comments