Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 E

Manahan sama sekali tidak keberatan atas kelakuan muridnya itu. Ia mengharap bahwa dengan demikian Bagus Handaka mendapat ketenangan dan pengendapan. Dalam kesepian yang demikian kadang-kadang ditemukannya masalah-masalah besar dalam perjuangan masa depan. Karena itu ia sama sekali tak mengganggunya. Dibiarkannya Handaka pada saat terluangnya menyepikan diri, sedang Manahan sendiri waktu-waktu luangnya selalu diisi dengan duduk-duduk di sudut desa bersama-sama dengan para petani yang menunggui sawahnya yang sering diganggu oleh babi hutan. Dalam keadaan yang demikian banyaklah masalah-masalah yang dapat diberikan kepada para petani secara tidak langsung.
Tetapi pada suatu malam terjadilah suatu hal yang mengejutkan. Saat itu, ketika malam kelam membalut pantai, Handaka sedang duduk seperti biasa merenungi lampu-lampu perahu nelayan yang hilir-mudik di laut. Tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan lurus ke arahnya. Di dalam gelap malam, Handaka tidak segera mengenal siapakah orang itu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang itu bukanlah Manahan.
Ketika orang itu sudah berdiri dekat di hadapannya, mendadak tanpa berkata apa-apa orang itu langsung menyerangnya. Mula-mula Handaka terkejut bukan main, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia harus membebaskan dirinya. Karena itu segera ia meloncat menghindar. Tetapi penyerangnya tidak membiarkannya lolos, malahan kembali ia menyerang lebih hebat. Untuk beberapa saat Handaka menjadi ragu. Apakah salahnya dan siapakah orang itu? Sambil meloncat menghindar, ia berteriak, “Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Tetapi penyerang itu sama sekali tak menghiraukannya. Dengan penuh nafsu orang itu menyerang terus.
Akhirnya karena tak ada kemungkinan lain, Handaka terpaksa melayaninya. Mula-mula ia masih berusaha untuk meyakinkan orang itu, bahwa mungkin ia keliru. Sebab selama ini Handaka merasa tak ada seorang pun yang memusuhinya di seluruh pedukuhan nelayan itu.
Tetapi ia menjadi terkejut sekali ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang dalam, “Bagus Handaka, kau sekarang tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku.”
Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Apakah hubunganmu dengan diriku sehingga kau bermaksud menangkap aku? Dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang itu tidak menjawab, tetapi tertawanya yang nyaring terdengar sangat mengerikan. Dan berbareng dengan itu serangannya menjadi bertambah cepat dan mendesak.
Tetapi Bagus Handaka sekarang bukanlah Arya Salaka dua tahun yang lalu. Bagus Handaka adalah seorang pemuda yang meskipun umurnya belum lebih dari 15 tahun, namun karena gemblengan yang menempa dirinya setiap saat, maka ia adalah seorang pemuda yang tangkas dan kuat. Karena itu ia dapat berkelahi dengan tenang dan lincah. Sehingga serangan-serangan orang yang tak dikenalnya itu beberapa kali dapat dihindarinya dengan mudah.
Tetapi ia tidak dapat terus-menerus menghindar dan mengelak. Sebab orang yang menyerangnya menjadi semakin marah. Gerak-geriknya semakin cepat dan berbahaya. Karena itu, akhirnya Bagus Handaka terpaksa melakukan serangan-serangan pula, sebagai suatu cara terbaik untuk mempertahankan diri.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin hebat. Namun di masa-masa yang pendek, Bagus Handaka sempat mengamat-amati wajah penyerangnya. Orang itu agaknya telah berumur sedikit lebih tua dari gurunya. Wajahnya tampak bengis dan berkumis tebal. Selebihnya ia tidak begitu jelas. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena malam yang kelam.
Untunglah bahwa orang itu tidak memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun Bagus Handaka pantas menjadi anaknya, tetapi dalam perkelahian itu, meskipun ia harus bekerja keras, ia sama sekali tidak perlu cemas akan kesudahan dari pertempuran itu.
Setelah mereka bertempur beberapa lama, akhirnya Bagus Handaka mendengar desah nafas lawannya semakin lama semakin cepat. Ia menjadi bergembira, karena dengan demikian ia tahu bahwa sebentar lagi lawannya akan kehabisan nafas. Karena itu, ia tidak perlu untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ia cukup mengganggunya sehingga apabila nafas orang itu telah benar-benar tersekat, maka ia dengan mudah akan dapat menangkapnya. Mungkin gurunya tahu siapakah orang itu. Tetapi agaknya penyerang itu menyadari kelemahannya. Karena itu, dengan tergesa-gesa orang itu meloncat mundur sebelum kehabisan nafas dan berusaha melarikan diri. Tetapi Bagus Handaka sama sekali tak melepaskannya. Cepat ia berusaha mengejarnya. Namun ia menjadi keheran-heranan. Orang yang nafasnya tinggal seujung kuku itu, masih dapat melarikan diri dari kejarannya.
Bagus Handaka berhenti mengejar ketika orang itu menyusup ke dalam semak-semak yang rimbun. Sulitlah baginya untuk mencari seseorang di dalam gelapnya malam diantara semak-semak itu.
Setelah puas merenungi semak-semak itu, kemudian dengan langkah yang berat Bagus Handaka berjalan pulang ke pondoknya. Di dalam otaknya terjadilah suatu keributan. Ia sibuk menebak-nebak, siapakah orang yang dengan tiba-tiba saja menyerangnya. Bukan karena suatu kekeliruan, tetapi benar-benar dirinyalah yang dicari.
Sampai di pondoknya segera ia mencari gurunya. Tetapi ternyata Manahan masih belum pulang. Bagus Handaka yang tahu akan kebiasaan gurunya segera pergi menyusul ke pojok desa.
Tetapi akhirnya ia menjadi ragu. Apakah hal yang demikian saja sudah merupakan suatu hal yang perlu dibicarakan dengan gurunya. Apakah dalam hal-hal yang kecil tidak cukup kalau diselesaikannya sendiri.
Karena pikiran itu maka Bagus Handaka kemudian membatalkan maksudnya untuk menyatakan peristiwa yang baru saja dialami itu kepada gurunya. Sehingga ketika ia sampai di pojok desa, dan ketika ia sudah duduk di antara para petani dan nelayan yang sedang tidak turun ke laut, ia sama sekali tak berkata apapun mengenai peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak mau mengganggu Manahan dengan soal-soal yang remeh-remeh.
Tetapi apa yang dialami kemudian adalah sangat memusingkan kepalanya. Pada malam berikutnya, ketika ia sedang berbuat seperti kebiasaannya, tiba-tiba datanglah seseorang yang juga tanpa sebab menyerangnya. Tetapi orang ini adalah orang yang lain dari yang menyerangnya kemarin. Orang ini agaknya sudah jauh lebih tua dari gurunya.
Seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka berusaha pula meyakinkan bahwa mungkin orang itu keliru. Tetapi juga seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka terkejut dan keheran-heranan ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang tinggi, “Tak usah kau mengelakkan diri. Soalnya sudah cukup jelas. Dan kau harus menyerah kepadaku sebelum orang lain berhasil menangkapmu mati atau hidup.”
Maka bersaling-silanglah teka-teki di dalam kepala Bagus Handaka. Apakah sebabnya maka hal ini bisa tejadi? Tiba-tiba ia teringat kepada orang-orang yang beberapa tahun yang lalu memburunya. Adakah orang-orang ini juga terdiri dari gerombolan yang sama? Karena itu dengan keras Bagus Handaka berkata, “Hai orang tua yang tak tahu diri, adakah kau termasuk dalam gerombolan orang-orang yang akan membunuhku beberapa tahun yang lalu?”
Terdengar orang itu tertawa dengan nada yang tinggi. Jawabnya, “Aku tidak mengenal orang-orang lain yang memburumu. Tetapi aku memerlukan kau seperti orang-orang lain yang barangkali juga memerlukan.”
Bagus Handaka menjadi semakin bingung. Katanya, “Adakah hubungan semua itu dengan tanah perdikan Banyubiru?”
“Banyubiru?” bertanya orang tua itu dengan heran. “Aku belum pernah mendengar nama Tanah Perdikan Banyubiru.”
“Lalu apa perlumu menangkap aku?” potong Handaka.
Sekali lagi orang tua itu memperdengarkan suara tertawanya yang semakin tinggi. Tetapi bersamaan dengan itu serangan menjadi bertambah cepat dan berbahaya.
Bagus Handaka pun kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Ia menjadi jengkel sekali atas kejadian-kejadian itu. Karena itu ia bertekad untuk menangkap penyerangnya kali ini.
Tetapi ternyata orang tua ini mempunyai ilmu yang agak lebih tinggi dari orang yang menyerang kemarin. Meskipun umurnya sudah lanjut, namun geraknya masih sangat membahayakan. Serangannya datang tiba-tiba dan kadang-kadang tak terduga.
Mula-mula Bagus Handaka menjadi agak mengalami kesulitan. Ia belum pernah melihat beberapa dari unsur-unsur gerak lawannya. Tetapi karena orang tua itu agaknya belum memiliki unsur-unsur gerak yang banyak macamnya, maka serangannya selalu dilakukan berulang kali dengan unsur-unsur gerak yang hanya ada beberapa macam itu saja. Meskipun unsur-unsur gerak itu mula-mula agak membingungkannya, tetapi lambat laun dapat dikuasainya. Apalagi karena Bagus Handaka sendiri telah banyak menerima bahan-bahan serta ilmu yang cukup banyak dari gurunya.
Malahan ketika mereka telah bertempur beberapa lama, Bagus Handaka mulai dapat mengenal ilmu lawannya dengan baik. Karena itu seperti malam sebelumnya, ia tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Ia pasti akan dapat mengatasi lawannya yang sudah tua itu. Tetapi karena kali ini ia benar-benar ingin menangkap penyerang itu, maka Bagus Handaka selalu berusaha untuk dengan secepat-cepatnya menjatuhkan lawannya, meskipun hal itu tidak dapat dilakukannya dengan mudah.
Akhirnya, ketika orang tua itu merasa bahwa Bagus Handaka bukanlah anak-anak yang dengan mudahnya dapat ditakut-takuti serta dengan mudahnya dapat ditangkap, bahkan malahan dalam beberapa hal Bagus Handaka dapat melebihinya, maka tak ada jalan lain daripada melarikan diri.
Apalagi ketika ternyata Bagus Handaka dapat melawannya dengan mempergunakan bagian-bagian dari unsur-unsur geraknya sendiri. Orang tua itu menjadi bertambah takut lagi.
Cepat-cepat ia meloncat mundur beberapa langkah, dan kemudian berusaha untuk berlari secepat-cepatnya. Bagus Handaka yang sudah mengira hal itu akan terjadi, segera meloncat menghadang. Tetapi orang tua itu seakan-akan telah dapat memperhitungkan pula tindakan Bagus Handaka, karena demikian Bagus Handaka melontarkan diri, demikian orang tua itu membalik ke arah yang berlawanan, dan seperti terbang orang itu berlari masuk ke dalam semak-semak yang gelap. Bagus Handaka yang mengejarnya menjadi keheran-heranan. Meskipun ternyata ilmunya tidak kalah tinggi, bahkan beberapa unsur gerak orang tua itu malahan telah dapat dikuasai, namun dalam hal berlari ternyata ia masih kalah. Karena itu dengan hati yang semakin jengkel Bagus Handaka terpaksa melepaskan orang tua itu pergi.
Dengan kejadian-kejadian itu, teka teki yang melibat dirinya menjadi semakin kisruh. Ia mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah dialami, namun ia sama sekali tak dapat menghubungkannya dengan peristiwa dua malam terakhir itu.
Tetapi Bagus Handaka adalah seorang pemuda yang berani, cerdas dan banyak hal yang ingin diketahui. Karena itulah maka, setelah mengalami peristiwa dua malam berturut-turut, malahan ia ingin untuk mengetahui apakah yang akan terjadi seterusnya. Ia ingin melihat apakah pada malam-malam berikutnya akan terjadi pula hal-hal semacam itu. Malahan ia mengharap kedatangan salah seorang diantaranya, sehingga apabila orang itu dapat ditangkapnya, maka pastilah latar belakang dari peristiwa-peristiwa itu dapat disingkapkan. Namun sampai sedemikian jauh Bagus Handaka masih belum merasa perlu untuk menyampaikan masalah itu kepada gurunya. Nanti apabila salah seorang dari mereka dapat ditangkapnya, barulah Bagus Handaka bermaksud membawa orang itu kepada Manahan.
Pada malam berikutnya Bagus Handaka sengaja menghindarkan diri dari beberapa kawannya yang sering mengajaknya turun ke laut. Dengan demikian maka ia dapat leluasa pergi ke pantai untuk menanti peristiwa yang aneh, yang barangkali masih ada kelanjutannya.
Dan apa yang dinantinya benar-benar datang.
Ketika angin laut menghembus perlahan-lahan mempermainkan buih di pantai, Bagus Handaka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang seolah-olah muncul saja dari dalam laut, dan dengan langkah yang cepat langsung menuju ke arahnya.
Meskipun Bagus Handaka sengaja menanti kejadian itu, namun hatinya tergetar juga. Dua malam berturut-turut ia mengalami serangan dari orang yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang itu datang dari arah semak-semak, sedangkan kali ini orang itu muncul seakan-akan dari dalam air.
Ketika orang itu sudah semakin dekat, Bagus Handaka segera meloncat berdiri serta mempersiapkan diri. Sebab menilik gerak serta arah datangnya, maka orang ini pasti lebih berbahaya dari dua orang yang pernah dilawannya.
Melihat Bagus Handaka berdiri serta mempersiapkan diri, orang itu terhenti. Agaknya ia heran melihat sikap Handaka. Tetapi kemudian terdengar ia tertawa pendek, menyeramkan. Katanya, “Aku tidak akan keliru lagi. Bukankah kau yang bernama Bagus Handaka?”
Di dalam gelap, Bagus Handaka mencoba mengawasi wajah orang itu. Tetapi yang dapat diketahuinya adalah, orang itu janggut serta kumisnya tumbuh lebat sekali, sehingga menutupi hampir seluruh lubang mulut serta hidungnya. Selain dari itu tak ada lagi kesan yang diperolehnya.
Dengan suara yang mantap, Bagus Handaka menjawab, “Ya, aku Bagus Handaka. Kau mau apa?”
Kembali terdengar suara tertawa pendek yang menyeramkan. Katanya, “Kau memang berani Handaka. Aku kira kau akan memungkiri dirimu. Kau tidak takut mendapat bahaya?”
“Kenapa aku mesti takut. Aku sudah mengira bahwa kau akan berkata seperti orang-orang yang pernah menyerangku dua malam berturut-turut meskipun orangnya tidak sama,” potong Bagus Handaka.
Agaknya orang itu heran mendengar kata-kata Handaka, sehingga ia bertanya, “Dua malam berturut-turut kau mendapat serangan?”
Sekarang Bagus Handaka yang tertawa berderai. Jawabnya, “Aku bukan anak-anak yang masih pantas kau bohongi dengan cara demikian. Adakah suatu peristiwa kebetulan sampai tiga kali berturut-turut dengan cara yang sama?”
Mendengar jawaban Bagus Handaka, orang itu berdesis, “Agaknya mereka telah mendahului aku.” Lalu tiba-tiba ia berkata kepada Bagus Handaka, “Tetapi kenapa kau masih sempat bermain-main di sini. Kalau apa yang kau katakan benar, aku kira kau sudah tergantung mati di tengah Alas Roban.”
Mau tidak mau jantung Handaka tergetar hebat mendengar kata-kata itu. Apakah sebabnya orang-orang itu memburunya dan akan menggantungnya di Alas Roban…? Karena itu pula ia menjadi marah sekali. Ia tidak pernah merasa berbuat salah kepada orang lain, tetapi kenapa ada orang yang menginginkan kematiannya?
Kemudian dengan tidak menunggu lebih lama lagi, Bagus Handaka meloncat mendahului menyerang orang itu. Serangannya hebat sekali dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada.
Orang yang berkumis dan berjanggut lebat itu agaknya terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Bagus Handaka akan memulai lebih dahulu. Cepat ia meloncat ke samping. Tetapi Bagus Handaka tidak membiarkannya. Disusullah serangan itu dengan serangan berikutnya. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga orang asing itu tidak sempat mengelakkan dirinya. Karena itu cepat-cepat ia berusaha menahan serangan Bagus Handaka dengan kedua tangan yang disilangkan di muka dadanya.
Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Bagus Handaka terdorong beberapa langkah surut, tetapi orang itu pun tak dapat bertahan pada tempatnya dan terlempar beberapa langkah pula. Dengan demikian masing-masing mengetahui bahwa kekuatan mereka berimbang. Maka untuk memenangkan pertempuran selanjutnya adalah terletak pada keprigelan dan ketinggian ilmu masing-masing.
Karena itu segera Bagus Handaka mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa apabila orang itu dapat mengalahkannya, maka taruhannya adalah nyawanya. Ia tidak mau mati bergantungan di tengah-tengah Alas Roban, dan bangkainya nanti akan menjadi makanan burung gagak.
Sesaat berikutnya terjadilah pertempuran yang dahsyat. Masing-masing mempergunakan segenap tenaganya serta segenap ilmunya. Meskipun Bagus Handaka masih terlalu muda untuk melawan orang yang berjanggut dan berkumis lebat itu, namun karena latihan-latihan berat yang pernah dilakukan selama ini, maka ia pun tidak mengecewakan. Sebaliknya orang asing itu pun ternyata bukan pula seperti dua orang yang menyerangnya malam-malam sebelumnya. Sehingga dengan demikian perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Hanya kadang-kadang saja Bagus Handaka dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang aneh-aneh yang dilakukan oleh lawannya. Tetapi karena lawannya itu pun agaknya belum menguasai benar-benar ilmunya itu, sehingga pelaksanaannya masih belum seperti yang diharapkan. Bagus Handaka yang lincah dan kuat itu dapat untuk beberapa kali menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang demikian.
Setelah mereka bertempur beberapa lama maka terasalah oleh Handaka bahwa meskipun kekuatan orang itu dapat menyamainya tetapi ia masih dapat membanggakan kelincahannya. Orang itu agaknya terlalu memberatkan serangan-serangannya pada kekuatan tenaga serta beberapa unsur geraknya yang meskipun berbahaya tetapi belum dapat dilakukannya dengan lancar. Karena itu lambat laun ia merasa bahwa ia akan dapat berhasil mengatasinya.
Sebaliknya orang asing itu akhirnya kehabisan akal. Semua ilmu serta tenaganya sudah dicurahkannya, namun ia sama sekali tidak berhasil menangkap anak yang dicarinya itu. Meskipun beberapa kali ia berhasil mengenai tubuh Bagus Handaka, namun ia sendiri dapat dikenai oleh anak itu dua kali lipat.
Dengan demikian maka sudah tidak ada harapan lagi baginya untuk memenangkan pertempuran itu. Maka akhirnya orang itu putus asa, dan menyerang membabi buta dengan ilmu andalannya. Dengan demikian bagi Bagus Handaka, malahan menguntungkan sekali. Sebab dengan membabi buta, lawannya telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri serta kewaspadaan. Karena itulah agaknya Bagus Handaka semakin lama semakin berada dalam keadaan yang menguntungkan.
Tetapi hampir seperti kejadian-kejadian pada malam-malam sebelumnya, orang itu pun kemudian meloncat melarikan diri. Juga kali ini Bagus Handaka sama sekali tak berhasil mengejarnya. Apalagi orang aneh yang muncul dari dalam air itu berlari terjun ke dalam air pula.
Ketika orang itu lenyap, Bagus Handaka berdiri bertolak pinggang di batas air. Dadanya melonjak-lonjak dipenuhi oleh kemarahan, keheranan dan kengerian yang bercampur aduk. Tiga malam ia mengalami peristiwa yang disaput oleh kabut rahasia. Apakah kejadian ini akan berlangsung berlarut-larut…?
Tetapi jiwa keingintahuan Bagus Handaka tiba-tiba menguasai perasaannya kembali. Bagaimana dengan malam keempat? Kalau hal ini disampaikan kepada gurunya, mungkin kejadiannya akan berubah. Ia ingin melihat para penyerang itu datang berturut-turut sampai orang yang terakhir. Lalu apakah yang terjadi sesudah itu…?
Demikianlah kembali pada malam keempat. Bagus Handaka mencari-cari alasan untuk tidak terjun ke laut. Kawan-kawannya yang mengajaknya sama sekali tidak curiga bahwa Bagus Handaka sedang melakukan suatu perbuatan yang aneh namun sebenarnya penuh dengan bahaya.
Dan apa yang diharapkan kali inipun benar-benar datang pula.
Dengan penuh pertanyaan di dalam hati Bagus Handaka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menangkap penyerangnya. Namun kali inipun ia tidak berhasil. Malahan orang keempat ini berhasil menghantam pergelangan tangan kirinya sehingga terasa sangat sakit. Untunglah bahwa akhirnya ia masih dapat mengalahkan orang itu, meskipun ia tidak pula berhasil menangkapnya.
Demikian pula pada malam kelima. Otak bagus Handaka rasa-rasanya hampir meledak memikirkan hal itu. Apalagi ketika orang kelima ini ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Tidak seperti keempat orang sebelumnya, yang datang dari jurusan yang tidak sama, namun kedatangan mereka itu dapat diketahui sebelumnya, meskipun ada dua diantaranya yang datang dari jurusan yang aneh, dari laut. Tetapi orang kelima ini jauh lebih aneh lagi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di belakang Bagus Handaka dengan suara garang dibarengi dengan suara tertawa yang menyeramkan ia berkata, “Bagus Handaka, kau mau melarikan dirimu kemana lagi. Berbulan-bulan aku mencarimu, dan sekarang aku menemukan kau di sini.”
Empat malam berturut-turut Bagus Handaka sudah bertempur dengan orang-orang yang tak dikenal, dan empat kali pula ia berhasil mengalahkan mereka. Namun kali ini bulu tengkuknya meremang juga. Wajah orang ini sama sekali bersih, hanya alisnya agak terlalu lebat dan hampir bertemu di atas hidungnya. Tetapi wajah yang bersih itu seakan-akan memancarkan udara maut dari setiap lubang-lubangnya.
Kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Ha, agaknya kau sudah ketakutan. Aku kira kau anak yang berani. Bukankah kau murid seorang perkasa yang menamakan dirinya Manahan? Sayang kalau murid Manahan sepengecut kau ini.”
Bagus Handaka adalah seorang anak yang berani. Meskipun hatinya tergetar pula menghadapi sesuatu, tetapi ia tidak akan menilai seseorang berlebih-lebihan. Apalagi orang itu telah menghinanya dengan menyebut-nyebut nama gurunya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Dengan mulut yang terkatub rapat serta gigi yang gemeretak, Bagus Handaka tidak menanti orang itu selesai berkata. Seperti seekor banteng luka ia dengan dahsyatnya menyerang orang itu.
Orang yang mendapat serangan itu agaknya terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia menggeser kakinya sehingga ia terbebas dari serangan Bagus Handaka. Tetapi Bagus Handaka yang hatinya sudah terbakar oleh kemarahan itu, dengan cepatnya menyerang pula. Sekali lagi orang itu terpaksa mengelakkan diri, tetapi agaknya ia tidak mau diserang terus-menerus. Kemudian dengan garangnya ia pun menyerang kembali. Namun ternyata Bagus Handaka memiliki kelincahan yang cukup pula, sehingga serangan orang itu dapat dielakkannya. Kemudian terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Masing-masing melancarkan serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya. Tetapi masing-masing ternyata memiliki kegesitan dan ketahanan yang cukup.
Bagus Handaka yang telah bertempur empat malam berturut-turut dan memenangkan setiap pertempuran, ternyata sangat mempengaruhi jiwanya. Ia semakin percaya kepada kekuatan dirinya sendiri. Dan perasaan yang demikian sangat membantu keadaannya pada malam kelima itu. Meskipun ia merasa bahwa orang kelima ini memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang-orang sebelumnya, namun hatinya yang telah dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa empat malam sebelumnya menjadikannya tetap tatag dan tenang.
Tetapi suatu hal yang kurang menguntungkan bagi Bagus Handaka, adalah karena orang itu jauh lebih besar dan lebih tinggi, maka kesempatan orang itu untuk mengenainya agak lebih banyak. Tangan serta kakinya yang agak lebih panjang, ternyata mempengaruhi jalan pertempuran itu.
Rupa-rupanya orang itu mempergunakan keuntungan itu sebaik-baiknya. Ia selalu melawan serangan Bagus Handaka dengan serangan pula. Beberapa kali Bagus Handaka dapat dikenai dengan cara demikian sebelum tangannya sempat menyentuh tubuh orang itu. Sehingga Bagus Handaka menjadi semakin marah dan bertempur mati-matian.
Ternyata kali ini lawannya benar-benar tangguh. Orang itu licin seperti belut, serta lincah seperti singgat. Beberapa kali, apabila serangan-serangan Bagus Handaka agaknya sudah tidak dapat dihindari, tiba-tiba saja ia melenting beberapa langkah, dan kemudian dengan cara yang sama ia telah menyerang kembali.
Menghadapi serangan yang demikian Bagus Handaka merasa agak sulit. Dengan menjatuhkan diri ia mencoba membebaskan dirinya. Tetapi orang itu tidak membiarkan Bagus Handaka lolos. Dengan kakinya yang kokoh ia meloncat kearah dada anak itu. Sekali lagi Bagus Handaka berguling. Tetapi sekali lagi orang itu melakukan serangan yang sama pula sebelum Handaka sempat berdiri. Bagus Handaka kemudian menjadi agak gugup. Berapa kali ia harus bergulung-gulung di pasir pantai itu. Tiba-tiba ia teringat kepada lawan-lawannya yang pernah dikalahkannya. Ada beberapa unsur gerak yang dapat dikuasainya. Karena itu ketika sekali lagi Bagus Handaka mendapat serangan dengan cara yang sama, setelah ia berhasil menggeser tubuhnya, cepat-cepat ia menangkap pergelangan kaki lawannya. Dengan mempergunakan daya dorongnya sendiri, Bagus Handaka ternyata berhasil menjatuhkan orang itu, dengan menghantam betisnya. Ia sendiri pernah pula mengalami hal yang demikian. Ketika orang itu terjatuh dan berguling-guling, kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Bagus Handaka untuk berdiri. Tetapi demikian ia berdiri, orang itupun dengan suatu gerak seperti roda yang bergulung telah berdiri di hadapannya pula. Bagus Handaka, melihat hal itu menjadi bertambah marah. Matanya menjadi merah menyala-nyala dan dadanya berdegupan. Dengan dahsyatnya ia melontar maju menyerang dada orang itu. Serangan itu demikian tak terduga-duga sehingga orang asing itu tak sempat mengelak. Karena itulah maka dadanya terpaksa terhantam hebat. Terhuyung-huyung ia terdorong beberapa langkah surut. Bagus Handaka tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi. Dengan garangnya ia memburu dan sekali lagi menghantamnya. Sayang bahwa kali ini orang itu sempat memiringkan tubuhnya, sehingga serangan Bagus Handaka tidak mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Dalam saat yang demikian, tampak lawannya mengayunkan tangannya dengan dahsyatnya. Melihat serangan itu, Bagus Handaka agak bingung. Tiba-tiba tanpa sadar Bagus Handaka telah mempergunakan unsur-unsur gerak yang pernah ditiru-tirukannya dari lawan-lawannya sebelumnya. Cepat ia sedikit merendahkan diri, menangkap tangan orang itu sambil memutar tubuhnya, dan dengan bantuan tenaga berat lawannya. Bagus Handaka menarik orang itu melampau pundaknya. Dengan kerasnya orang itu terlempar keatas lewat diatas pundaknya dan terbanting di pasir pantai.
Tetapi sekali lagi Bagus Handaka keheran-heranan. Demikian orang itu terbanting, demikian ia bergulung-gulung dan dengan cepatnya bangkit kembali. Namun sesaat kemudian ia sadar bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa. Karena itu demikian orang itu berdiri, demikian kaki Bagus Handaka terlontar mengenai perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi seterusnya ketika Bagus Handaka menyusul menyerang dagu orang itu, maka orang itu pun menghantamnya. Kali ini Bagus Handaka mengalami kembali hal yang sangat merugikannya. Tangannya agak lebih pendek dari tangan lawannya. Dengan demikian sebelum tangannya menyentuh dagu orang itu, terasa wajahnya seperti tersentuh bara. Dengan kerasnya wajahnya terangkat dan ia terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terlentang. Serangan itu disusul dengan suatu serangan yang garang sekali. Seperti seekor harimau, lawannya menerkam selagi Handaka belum sempat bangun. Maka tidak ada suatu cara yang mungkin untuk membebaskan dirinya kecuali dengan kedua kakinya Bagus Handaka menghantam tubuh orang yang seperti melayang ke arahnya. Akibatnya adalah bebat sekali. Orang itu terlempar ke udara. Kali ini Bagus Handaka juga menjadi keheran-heranan. Dengan gerak yang bagus orang itu melingkar di udara dan jatuh pada punggungnya untuk kemudian berguling dua kali. Setelah itu dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Pada saat itu Bagus Handaka pun telah berdiri. Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya, yang hampir seluruhnya terbalut oleh debu-debu pasir pantai. Sebenarnya Bagus Handaka pada saat itu telah menjadi gelisah sekali. Lawannya ternyata benar-benar licin seperti belut.
Tetapi kemudian terjadilah suatu hal di luar dugaan. Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah dan liar. Nafasnya mengalir dengan derasnya. Bagus Handaka melihat keadaan itu, sehingga kelegaan membersit di hatinya. Ia tahu bahwa lawannya telah kehabisan tenaga. Karena itu ia tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia melangkah maju dan menyerangnya dengan hebat. Ternyata orang itu telah hampir tidak mampu melawannya. Beberapa kali Bagus Handaka berhasil menghantamnya sampai orang itu terhuyung-huyung dan roboh. Sekali lagi kegembiraan membayang di wajah Bagus Handaka. Orang yang hebat ini pasti akan dapat ditangkapnya. Tetapi ketika sekali lagi ia maju menyerang, tiba-tiba orang itu melemparkan segenggam pasir ke arah matanya. Cepat-cepat Handaka memalingkan mukanya, namun beberapa butir pasir telah menyebabkan matanya terasa nyeri sekali. Ketika ia sedang sibuk membersihkan mata itu, terasa sebuah hantaman mengenai punggungnya.
Untunglah bahwa tenaga orang itu, telah hampir separo lenyap, sehingga dengan demikian hantamannya telah tidak lebih dari sebuah dorongan saja. Meskipun demikian, karena Bagus Handaka sama sekali tidak menduga bahwa lawannya akan berbuat curang, menjadi sangat terkejut dan jatuh tertelungkup. Dengan marahnya Handaka cepat memutar tubuhnya, untuk menanti serangan berikutnya, yang dapat saja dilakukan dengan curang oleh lawannya itu.
Tetapi Bagus Handaka menjadi terkejut sekali sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Orang yang sudah kehabisan tenaga dan hampir saja dapat ditangkapnya itu lenyap seperti debu dibawa angin. Beberapa kali Bagus Handaka mengusap-usap matanya yang masih terasa agak nyeri, tetapi orang itu benar-benar telah lenyap. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di atas pasir. Dilayangkannya pandangannya ke segenap malam, tetapi di pantai yang luas itu, pastilah ia tak dapat melihat seseorang. Bulu tengkuknya tiba-tiba terasa meremang. Meskipun ia selama ini mendapat didikan untuk tidak takut kepada hantu, namun mengalami peristiwa ini, hatinya bergetar juga.
Kecuali itu, terasa pula kengerian merayapi perasaannya. Untunglah kali ini ia masih dapat membebaskan diri, meskipun hampir saja ia kehilangan akal.
Lalu bagaimana dengan malam besok?
Sekarang Bagus Handaka tidak berani main-main lagi. Kalau besok datang seseorang menyerangnya, dan memiliki sedikit saja kelebihan dari orang ini, maka pasti ia tidak dapat melawannya. Sedangkan kalau para penyerang itu dapat menangkapnya, hampir pasti bahwa dirinya benar-benar akan digantung di tengah-tengah Alas Roban.
Karena itu akhirnya Bagus Handaka memutuskan untuk menyampaikan segala peristiwa yang pernah dialami itu kepada gurunya, serta menyerahkan segala penyelesaiannya kepadanya.
Pada saat Bagus Handaka melangkah pulang ke pondoknya, terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Di langit sebelah timur sudah mulai tampak membayang warna fajar, diantar oleh angin pagi yang sejuk. Namun tubuh Bagus Handaka justru mulai merasa nyeri dan sakit-sakit. Empat malam sebelumnya ia bertempur terus-menerus, tetapi tidak pernah ia merasakan lelah, letih dan sakit-sakit seperti saat itu.
Sampai di pondok, ia melihat Manahan telah bangun dan menunggui api. Agaknya ia sedang merebus air. Cepat-cepat Bagus Handaka mendekatinya dan berkata, “Bapak, biarlah aku yang merebus air dan jagung.”
Manahan tersenyum melihat kedatangan Bagus Handaka, katanya bertanya, “Apakah kau turun ke laut Handaka?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka singkat.
“Dari pantai…?” tanya Manahan lebih lanjut. Bagus Handaka menganggukkan kepalanya. Dalam cahaya api barulah Bagus Handaka melihat tubuhnya merah-merah biru dan berdarah di beberapa tempat. Ketika Manahan melihat luka-luka itu, serta melihat wajah Handaka yang pucat dan nafasnya yang kurang teratur, ia menjadi keheran-heranan. Maka kemudian ia bertanya, “Handaka, apakah yang terjadi? Apakah kau berselisih dengan kawan-kawanmu, sehingga kau berkelahi?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka.
“Lalu kenapa kau?” desak Manahan.
Bagus Handaka yang memang telah berkeputusan untuk menyampaikan keadaan yang dialaminya lima malam berturut-turut itu pun segera duduk disamping Manahan, dan segera mengalirlah ceritera dari mulutnya. Sejak malam pertama sampai malam terakhir, lengkap dengan bentuk-bentuk wajah dari orang-orang yang menyerangnya.
Mendengar ceritera Bagus Handaka itu, Manahan menarik alisnya. Memang ia pun menjadi keheranan-heranan, apakah pamrih orang-orang itu menyerang Bagus Handaka.
“Handaka…, kenapa kau baru sekarang mengatakan semua kejadian itu kepadaku?” tanya Manahan.
Dengan jujur Handaka mengatakan segala keinginannya untuk mengetahui kelanjutan peristiwa-peristiwa itu, serta keinginannya untuk menyelesaikan masalah itu sendiri.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya di dalam hatinya berkobar pula kemarahan ketika ia mendengar bahwa orang kelima yang menyerang Bagus Handaka itu telah menyebut-nyebut namanya. Padahal pada saat orang itu ia hanya melawan seorang anak-anak.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Pergilah kau besok sekali lagi ke pantai. Aku akan melihat siapakah yang selalu datang itu.”
Mendengar kesanggupan gurunya, Handaka menjadi bergembira. Besok apabila benar-benar ada seseorang yang datang menyerangnya, meskipun kepandaiannya berlipat tiga, namun pasti orang itu akan dapat ditangkap oleh gurunya. Karena itu ia tersenyum-senyum sendiri. Dipandanginya api yang berkobar-kobar di hadapannya, yang bergerak-gerak seolah-olah menari-nari riang. Dan sebentar kemudian mendidihlah air yang dipanasinya. Segera ia bangkit untuk mengambil daun serai serta gula kelapa. Itulah kegemaran gurunya, air serai bergula kelapa.
Hari itu rasa-rasanya panjang sekali bagi Bagus Handaka. Matahari seolah-olah menjalani garis edar dengan malasnya. Sehari itu ia merasa amat malas untuk bermain-main dengan kawan-kawannya. Dihabiskannya waktunya dengan berangan-angan. Namun akhirnya, perlahan-lahan datanglah senja. Langit yang cerah dengan gumpalan-gumpalan mega yang berarak-arak mulai dirayapi oleh warna-warna lembayung. Bagus Handaka yang hampir tidak sabar itu memaki-maki di dalam hati. Kenapa kedatangan malam tidak saja langsung tanpa melewati senja?
Setelah melampaui masa-masa yang menjengkelkan, kemudian malam turun dengan tabir hitamnya. Bagus Handaka segera berangkat ke pantai, dimana ia biasa duduk-duduk memandangi ombak lautan. Manahan sengaja tidak berangkat bersama-sama supaya kehadirannya tidak diketahui. Ketika Manahan telah sampai di pantai pula, segera ia bersembunyi dengan membaringkan dirinya di belakang sebuah puntuk pasir tak begitu jauh dari Bagus Handaka.
Bersamaan dengan semakin gelapnya malam, hati Bagus Handaka menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan orang-orang yang menyerangnya telah mengetahui bahwa gurunya berada di tempat itu, sehingga para penyerang itu tidak berani mendekatinya.
Dan dalam kesempatan itu, ia mencoba pula mengingat-ingat kelima orang yang datang berturut-turut setiap malam. Masing-masing menyatakan bahwa mereka satu sama lain tidak berhubungan. Sejak semula ia sudah tidak percaya. Tetapi yang mengherankan, bahwa seolah-olah kedatangan mereka telah diatur sedemikian, sehingga setiap orang yang datang pasti memiliki kepandaian setingkat lebih tinggi dari orang sebelumnya. Tiba-tiba ketika sedang berangan-angan, Bagus Handaka dikejutkan oleh suara tertawa dekat di sampingnya. Suara itu terdengar nyaring dan menggetarkan hatinya. Cepat ia meloncat bangkit dan bersiap. Perasaannya telah mengatakan kepadanya bahwa orang ini pasti salah seorang yang datang untuk menyerangnya pula seperti malam-malam yang lewat. Ketika ia memandang wajah orang itu, hatinya menjadi bertambah berdebar-debar. Wajah orang itu sama sekali tidak mirip dengan wajah manusia. Barangkali demikian itulah wajah hantu yang ditakuti oleh anak-anak. Beberapa bintil-bintil sebesar biji rambutan bertebaran hampir di seluruh wajah itu. Gigi-giginya tampak berleret pada saat orang itu tertawa.
Kemudian disela-sela tertawanya ia berkata, “Siapakah nama anak muda yang bermain-main di pantai di malam hari…?”
Meskipun sebenarnya Bagus Handaka ngeri juga melihat wajah itu, namun karena ia merasa bahwa gurunya berada di dekatnya, hatinya menjadi tabah pula. Maka jawabnya lantang, “Kenapa kau bertanya? Kau pasti sudah tahu pula siapa aku. Dan kau pasti akan menangkapku seperti yang pernah dilakukan oleh lima orang sebelum kau datang, pada malam-malam sebelum malam ini.”
Mendengar kata-kata Bagus Handaka itu, tertawanya menjadi bertambah keras. Katanya, “Bagus… bagus, jadi sebelum ini telah datang lima orang mendahului aku? Agaknya monyet-monyet itu ingin menerima hadiah pula dengan menangkap anak ini. Dan kau dapat mengalahkan mereka berlima?”
“Mereka datang satu-persatu,” jawab Handaka.
“Alangkah bodohnya mereka,” sambung orang berwajah iblis itu. “Tentu kau dapat mengalahkannya.”
“Jangan banyak bicara,” potong Bagus Handaka dengan beraninya, “Jangan coba bohongi aku. Kau pasti telah bersekongkol dengan mereka. Dan barangkali kau malam ini akan mencoba menangkap aku bersama-sama. Ayo datanglah berenam.”
Kembali orang yang menakutkan itu tertawa berderai-derai sampai seluruh tubuhnya bergetar. Katanya, “Hebat, kau memang hebat. Tetapi jangan terlalu sombong. Sebab malam ini nyawamu benar-benar akan lenyap. Aku harus menangkap kau, mati atau hidup. Meskipun kalau aku membawamu hidup-hidup hadiahnya akan berlipat banyaknya. Sebab pertunjukan membunuh Bagus Handaka akan dapat mendatangkan uang yang banyak sekali.”
Tanpa sadar, bulu tengkuk Bagus Handaka serentak berdiri. Perkataan orang berwajah menakutkan itu sangat mempengaruhi perasaannya. Apakah sebenarnya latar belakang dari semua kejadian ini? Kenapa orang itu menyebut-nyebut pertunjukan membunuh Bagus Handaka? Mau tidak mau Bagus Handaka menjadi ngeri juga. Ia sudah membayangkan dirinya diikat di tengah-tengah lapangan, kemudian setiap orang diperkenankan untuk melukainya, sampai mati. Tetapi apa salahnya?
Tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Ini hanyalah suatu gertakan saja. Karena itu ia menjawab sambil berteriak keras-keras, “Jangan coba-coba takut-takuti aku.” Namun demikian terasa suara Handaka bergetar pula.
Mendengar teriakan Bagus Handaka, orang itu sekali lagi tertawa keras-keras. “Jangan berbohong pula. Kau sudah ketakutan bukan? Bagus…, semakin takut kau, semakin lucu pertunjukan itu jadinya.”
Sekarang Bagus Handaka benar-benar menjadi marah sekali. Ternyata orang itu telah menghinanya. Karena itu segera ia meloncat dan langsung menyerang leher dengan jari-jarinya.
Orang itu, yang masih enak tertawa, ternyata terkejut melihat kecepatan bergerak Bagus Handaka, sehingga tertawanya segera terhenti. Desisnya, “Memang kau anak berani. Tetapi hati-hatilah.” Sambil berkata demikian ia merendahkan dirinya, dan dengan kakinya ia menghantam lambung Bagus Handaka. Bagus Handaka yang menyerang dengan sekuat tenaga, tidak sempat menarik serangannya, maka yang dapat dilakukan adalah memukul kaki itu dengan tangannya ke samping. Ternyata usahanya berhasil pula. Orang itu terputar sedikit dan dengan demikian lambungnya dapat diselamatkan, meskipun tangannya yang berbenturan dengan kaki orang itu terasa sakit. Dengan demikian Bagus Handaka segera dapat mengetahui, bahwa orang ini mempunyai ilmu diatas orang-orang yang pernah menyerangnya. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak gentar ketika diingatnya bahwa gurunya telah menungguinya. Mengingat hal itu, segera Bagus Handaka menjadi bertambah tatag, karena itu serangannya menjadi bertambah sengit. Tetapi perlawanan orang itu bertambah sengit pula. Bahkan ia pun telah menyerangnya dengan gerak-gerak yang sangat membingungkan dan berbahaya sekali. Namun ternyata Bagus Handaka telah memberikan perlawanan dengan gigih. Setiap serangan yang datang, bagaimanapun berbahayanya, Handaka selalu dapat menghindarkan dirinya. Malahan tidak jarang pula iapun berhasil membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan yang tak kalah berbahayanya. Namun serangan-serangan itu pun selalu tidak berhasil pula.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi bertambah hebat dan cepat. Masing-masing menyerang dan menghindar berganti-ganti, sehingga tampaknya kedua orang itu seperti bayangan yang sedang libat-melibat dengan cepatnya, semakin lama semakin cepat. Tetapi kemudian ternyata bahwa Bagus Handaka tidak dapat menyamai kecepatan gerak lawannya, sehingga tiba-tiba terasa punggungnya terdorong oleh suatu kekuatan yang besar sekali. Dengan derasnya ia terlempar ke udara. Mengalami peristiwa itu hati Bagus Handaka berdesir. Untuk beberapa saat ia menjadi bingung. Tetapi untunglah bahwa otaknya yang cerdas dapat bekerja dengan cepat. Ia pernah menyaksikan lawannya terlempar ke udara pula, namun ia dapat jatuh dengan enaknya, seolah-olah sama sekali tidak terasakan sesuatu. Maka tanpa dikehendakinya sendiri Bagus Handaka menirukan gerak-gerak yang pernah disaksikannya itu. Cepat-cepat ia berusaha melingkarkan diri dan menjatuhkan diri pada punggungnya, yang kemudian dilanjutkan dengan berguling sampai dua kali. Setelah itu ia melenting berdiri.
Untunglah bahwa Bagus Handaka telah dibekali dengan olah keprigelan yang cukup, serta kekuatan jasmaniah yang besar, sehingga meskipun gerak-geraknya masih belum sempurna, namun ia tidak pula mengalami sesuatu.
Melihat cara Bagus Handaka membebaskan diri dengan cara yang demikian, terdengar lawannya tertawa keras-keras sambil berkata, “Hai monyet kecil, dari mana kau belajar berjungkir balik demikian…? Untunglah bahwa kau mengenal cara yang baik untuk menyelamatkan dirimu.”
Bagus Handaka tidak sempat menjawab kata-kata itu. Dengan darah yang mendidih ia meloncat maju kembali untuk menyerang lawannya sejadi-jadinya. Tangannya bergerak berganti-ganti mengarah ke segenap tubuh lawannya, sedang kakinya bergerak dengan lincahnya di atas pasir pantai. Tetapi ternyata lawannya tidak kalah lincah pula.
Karena itu, maka untuk beberapa lama serangan-serangannya tidak dapat menyentuh tubuh lawannya sama sekali. Bahkan ketika ia mencoba untuk menyerang mata lawannya dengan jarinya, maka tiba-tiba terasa kepalanya berguncang hebat. Guncangan yang pertama, disusul dengan yang kedua. Untunglah dalam keadaan terakhir Bagus Handaka masih sempat melihat sebuah kepalan tangan sekali lagi mengarah ke pelipisnya. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya. Tangan itu dengan derasnya menyambar tidak lebih dari tebal daun padi di muka hidungnya. Untunglah bahwa Bagus Handaka masih dapat bekerja cepat. Tangan itu segera ditangkapnya, serta sambil merendahkan diri ia pergunakan tenaga dorong serta berat badan lawannya sendiri untuk membantingnya ke tanah lewat pundaknya. Dengan kerasnya orang itu terpelanting. Tetapi meski ia jatuh terlentang namun ia berusaha jatuh di atas kedua kaki serta pundaknya saja yang menyentuh tanah. Bagus Handaka tidak mau membiarkannya dalam sikap yang demikian, cepat-cepat ia menyerang lagi lawannya sebelum sempat memperbaiki keadaannya. Dengan kakinya ia menghantam dada orang yang masih terlentang itu. Gerak Bagus Handaka sedemikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Maka terdengarlah keluhan pendek. Tetapi sesaat kemudian kaki lawannya itu dengan cepatnya menyapu kakinya, sehingga Bagus Handaka jatuh terbanting pula.
Ketika ia kemudian tegak, lawannya telah berdiri di hadapannya pula. Bahkan dengan suatu lontaran dahsyat ia menyerang ke arah dadanya. Dengan cepatnya Bagus Handaka merendahkan dirinya, dan bersamaan dengan itu ia menjulurkan kakinya lurus-lurus, sehingga dengan demikian ia berhasil mengenai perut lawannya. Agaknya lawannya sama sekali tidak menyangka bahwa Bagus Handaka akan menyerang selagi ia melakukan serangan yang sedemikian cepat. Karena itu ia terdorong keras beberapa langkah surut disusul dengan serangan Bagus Handaka yang dahsyat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin hebat dan cepat. Pada malam kelima, Bagus Handaka yang hampir merasa dapat dikalahkan, ternyata memiliki nafas yang lebih baik dari lawannya sehingga akhirnya lawannya menjadi lemas karena kehabisan nafas. Tetapi orang keenam ini agaknya mempunyai nafas lebih baik dari kuda. Karena itu semakin lama terasa Bagus Handaka semakin terdesak, tenaganya semakin lama semakin berkurang pula setelah ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Akhirnya pertempuran itu pun menjadi berat sebelah. Beberapa kali Bagus Handaka terpaksa terlempar, terbanting dan kadang-kadang perutnya terasa terguncang-guncang hebat. Dari mulut serta hidung melelehlah darah segar.
Sampai sedemikian jauh Bagus Handaka tidak melihat gurunya datang membantunya. Bahkan ketika matanya sudah mulai berkunang-kunang pun Manahan masih belum menampakkan dirinya. Ia menjadi keheran-heranan. Apakah sebenarnya maksud Manahan dengan membiarkannya demikian? Seolah-olah segenap sisa-sisa tenaganya ia tetap melawan dengan beraninya. Sampai beberapa saat kemudian ketika ia terbanting diatas pasir dan seolah-olah ia sudah sama sekali tidak dapat bergerak lagi, dilihatnya orang berwajah menakutkan itu tertawa berderai sambil selangkah demi selangkah mendekatinya. Bagus Handaka tidak tahu lagi bagaimana ia harus melawan. Tangannya serasa sudah membeku dan darahnya seolah-olah sudah tidak mengalir lagi.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba orang itu, yang sudah tinggal beberapa langkah dari padanya, terhenyak dan memandang ke suatu titik. Maka sekali lagi meledaklah tertawanya yang mengerikan, disusul dengan suaranya yang menggelegar, “Hai, kaukah itu? Jadi kau datang pula untuk membantu muridmu…?”
Mendengar suara orang itu, melonjaklah sebuah kegembiraan di hati Bagus Handaka. Agaknya gurunya telah datang. Dan apa yang diduganya adalah benar. Ketika ia mengangkat mukanya, dilihatnya Manahan berjalan dengan tenangnya ke arah orang yang berwajah mirip hantu itu. Melihat gurunya datang, tiba-tiba Bagus Handaka merasa bahwa akan datanglah saatnya ia mengetahui latar belakang dari semua peristiwa-peristiwa itu.
Ketika Manahan telah berdiri di muka orang berwajah jelek itu terdengarlah orang berwajah menakutkan itu berkata, “Kaukah yang bernama Manahan?”
Manahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kenapa kau tanyakan itu? Bukankah kau sudah pasti bahwa guru Bagus Handaka bernama Manahan?”
Kembali terdengar orang itu tertawa berderai sehingga suaranya memenuhi pantai. “Aku tidak mengira bahwa Manahan orangnya seperti kau ini.”
Terdengarlah Manahan menjawab sambil tersenyum, “Lalu dari mana kau tahu bahwa aku bernama Manahan?”
“Karena kau datang pada saat Bagus Handaka sudah tidak dapat bergerak lagi. Aku kira tidak ada orang lain yang akan menolongnya, selain gurunya,” sahut orang itu.
“Lalu apa anehnya aku ini?” tanya Manahan pula.
“Aku jadi kecewa melihat tampangmu. Seharusnya kau berwajah seperti asahan batu, berkumis lebat dan bertubuh seperti orang hutan. Supaya ujudmu sesuai dengan namamu yang terkenal itu.”
“Tak ada orang yang mengenal aku sebagai seorang yang seharusnya bertubuh demikian. Aku adalah seorang petani yang tidak lebih dari menggarap sawah setiap hari,” jawab Manahan.
Mendengar jawaban Manahan yang masih bernada dingin itu, Bagus Handaka bertambah heran pula. Kenapa gurunya tidak saja langsung menghantamnya sampai pingsan. Apalagi orang itu telah menghinanya pula.
Kemudian, dalam gelap malam Handaka melihat orang berwajah menakutkan itu menyeringai, benar-benar seperti hantu. Namun Manahan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan masih saja ia tersenyum-senyum.
“Bagus…. Kau adalah seorang petani yang baik, Manahan. Pekerjaan petani adalah pekerjaan yang mulia pula. Tanpa petani maka banyaklah orang yang kelaparan. Tetapi daerah pertanian bukankah daerah pelarian? Apabila seseorang telah berputus asa dalam melaksanakan tugasnya sendiri, maka kemudian orang itu menerjunkan diri dalam daerah pertanian. Bukankah demikian…?”
Mendengar kata-kata orang itu tampaklah wajah Manahan berkerut. Segera senyumnya lenyap dari bibirnya. Namun tak sepatah katapun ia menjawab. Sehingga kemudian terdengar orang yang menakutkan itu meneruskan, “Atau barangkali kau sudah bercita-cita untuk menjadi seorang tuan tanah yang kaya raya, yang dapat menandingi kekayaan demang Gunung Kidul?”

No comments:
Write comments