Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 C

Ketika ketiga orang itu lenyap dari pandangan matanya, Mahesa Jenar segera menyadari, betapa semakin sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan. Dengan melihat kedua orang itu Mahesa Jenar dapat menerka, bahwa pasti tidak saja sepasang Uling itu yang pergi merantau, tetapi pasti juga tokoh-tokoh hitam yang lain, menempuh perjalanan dan bertebaran ke segenap penjuru untuk dahulu-mendahului menemukan Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau saja ia bertemu dengan Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, bagaimanapun masih ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menyelamatkan diri. Tetapi bagaimana halnya kalau di perjalanan ia berjumpa dengan tokoh-tokoh tua seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel Kaliki dan barangkali tokoh-tokoh tua yang berdiri di belakang Sepasang Uling dan Jaka Soka, atau guru-guru mereka, yang ternyata juga mengingini pusaka-pusaka itu? Terhadap mereka tidak akan banyak yang dapat dilakukan. Untunglah sampai saat ini beberapa kali jiwanya selalu terselamatkan oleh pertolongan mereka dari angkatan yang sebaya. Tetapi kalau tak seorangpun dari mereka yang melihat, pasti bahwa tinggal nama Mahesa Jenar saja yang mungkin masih sering disebut-sebut orang. Mengingat hal itu, tiba-tiba dirasanya bulu tengkuknya berdiri. Tetapi ketika segera menyusul gema yang berkumandang di rongga hatinya, gema suara orang tua yang tak dikenalnya, yang mengatakan bahwa Keris Nagasasra dan Sabuk Inten berada di dalam kekerasan hatinya serta usahanya, maka nyala tekad di dalam hatinya berkobar semakin besar, sebesar nyala api di lubang kepundan Gunung Merapi, yang tak akan dapat padam oleh hujan selebat apapun serta angin sekencang apapun.
Sementara itu Arya telah menggeliat pula. Ketika ia membuka matanya maka yang pertama-tama dilakukan adalah berteriak memanggil, “Paman…, Paman Mahesa Jenar….”
“Sst…!” desis Mahesa Jenar. “Kenapa kau berteriak, Arya…?
Dengan pandangan yang masih diliputi oleh keragu-raguan, Arya mengawasi Mahesa Jenar tanpa berkedip. Sambungnya, “Paman tidak meninggalkan aku lagi bukan?”
Mahesa Jenar tertawa kosong, dengan penuh pengertian atas kecemasan yang mencengkam perasaan Arya.  Jawabnya, “Kalau aku akan meninggalkan engkau, bukankah lebih baik pada saat kau sedang tidur?”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya menjadi percaya bahwa pamannya tidak akan pergi meninggalkannya. Setelah beberapa kali menggeliat, segera Arya duduk di samping Mahesa Jenar.
“Sudah tidak lelah lagi kau Arya”’ tanya Mahesa Jenar.
“Bukankah sejak tadi aku tidak lelah Paman?” jawab anak itu.
Terdengar Mahesa Jenar tertawa pendek, katanya meneruskan, Bagus kalau begitu. Nah sekarang kau sudah siap untuk berjalan lagi?”
“Tentu Paman, tentu aku siap berjalan setiap saat,” sahut Arya.
“Kalau begitu, mari kita berjalan, ajak Mahesa Jenar.
Oleh ajakan itu segera Arya meloncat berdiri dengan sigapnya. Memang setelah ia tertidur beberapa lama, tubuhnya telah menjadi segar kembali.
“Kita sekarang kembali ke rumah kita sebentar Arya,” ajak Mahesa Jenar meneruskan.
“Kenapa hanya sebentar Paman?” tanya Arya.
“Biarlah kami tinggalkan rumah itu. Rumah dimana kau hampir saja mengalami bencana,” jawab Mahesa Jenar, seterusnya ia menerangkan, “Arya, rumah itu ternyata sudah diketahui oleh orang-orang yang ingin membunuhmu. Karena itu bukankah lebih baik kalau kita pergi? Kita mampir sebentar hanyalah untuk mengambil tombak pusaka Banyubiru Kyai Bancak. Biarlah tombak itu kau bawa serta. Supaya tidak mencurigakan, nanti sebaiknya kita lepas tangkainya.”
“Baiklah Paman,” jawab Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian berangkatlah mereka berdua meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian matahari tenggelam di ujung barat langit.
Dalam kegelapan, mereka tetap meneruskan perjalanan. Mahesa Jenar yang berpandangan tajam dapat menempuh perjalanan dengan tidak banyak menemui kesulitan, sambil menggandeng Arya Salaka.
Belum sampai tengah malam, mereka berdua telah tiba di pedukuhan dimana telah mereka bangun tempat untuk berteduh.
Pada pagi harinya, tetangga-tetangga Mahesa Jenar yang baik hati, ketika mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil menemukan anak yang mereka anggap anak Mahesa Jenar sendiri, dengan selamat, segera berkerumun untuk mengucapkan syukur. Mereka bertanya bergantian tak ada henti-hentinya sehingga Mahesa Jenar kerepotan untuk menjawabnya.
Tetapi kemudian, mereka, tetangga-tetangga yang baik itu menjadi tercengang-cengang ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar mohon diri kepada mereka untuk pergi meneruskan perantauannya seperti ketika belum menetap di pedukuhan itu. Para tetangga yang menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang petani yang banyak memberikan sesuluh kepada mereka, menjadi agak kecewa. Kata salah seorang dari mereka, “Adakah kami berbuat kesalahan terhadap Angger?”
“Tidak, Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat. “Sama sekali tidak.”
“Atau barangkali Adi marah kepada kami?” sambung yang lain, “Karena kami tidak dapat melindungi anak Adi?”
“Juga tidak,” jawab Mahesa Jenar. “Tidak ada kesalahan saudara-saudara kepada kami”.
“Lalu kenapa Adi mau pergi?” tanya seseorang pula.
Mahesa Jenar agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Saudara-saudaraku yang baik. Aku ingin berjalan semata-mata karena kegemaranku merantau. Aku ingin menunjukkan beberapa pengalaman kepada anakku ini. Sebab aku bercita-cita bahwa kelak nasib anakku ini harus lebih baik dari nasibku sendiri.”
Para tetangga yang ramah itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya Mahesa Jenar sudah tidak dapat di tahan lagi. Karena itu dengan berat hati mereka lepas Mahesa Jenar dan anaknya berjalan.
Pada suatu saat kami akan datang kembali, kata Mahesa Jenar kepada mereka yang mengantar sampai ke ujung desa.
Setelah itu, mulailah Mahesa Jenar dengan perantauannya kembali. Tetapi kali ini Mahesa Jenar tidak berjalan sendiri.

No comments:
Write comments