Ketika ketiga orang itu lenyap dari
pandangan matanya, Mahesa Jenar segera menyadari, betapa semakin
sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan. Dengan melihat kedua orang itu
Mahesa Jenar dapat menerka, bahwa pasti tidak saja sepasang Uling itu
yang pergi merantau, tetapi pasti juga tokoh-tokoh hitam yang lain,
menempuh perjalanan dan bertebaran ke segenap penjuru untuk
dahulu-mendahului menemukan Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Kalau saja ia bertemu dengan Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan
sebagainya, bagaimanapun masih ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk
menyelamatkan diri. Tetapi bagaimana halnya kalau di perjalanan ia
berjumpa dengan tokoh-tokoh tua seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua,
Bugel Kaliki dan barangkali tokoh-tokoh tua yang berdiri di belakang
Sepasang Uling dan Jaka Soka, atau guru-guru mereka, yang ternyata juga
mengingini pusaka-pusaka itu? Terhadap mereka tidak akan banyak yang
dapat dilakukan. Untunglah sampai saat ini beberapa kali jiwanya selalu
terselamatkan oleh pertolongan mereka dari angkatan yang sebaya. Tetapi
kalau tak seorangpun dari mereka yang melihat, pasti bahwa tinggal nama
Mahesa Jenar saja yang mungkin masih sering disebut-sebut orang.
Mengingat hal itu, tiba-tiba dirasanya bulu tengkuknya berdiri. Tetapi
ketika segera menyusul gema yang berkumandang di rongga hatinya, gema
suara orang tua yang tak dikenalnya, yang mengatakan bahwa Keris
Nagasasra dan Sabuk Inten berada di dalam kekerasan hatinya serta
usahanya, maka nyala tekad di dalam hatinya berkobar semakin besar,
sebesar nyala api di lubang kepundan Gunung Merapi, yang tak akan dapat
padam oleh hujan selebat apapun serta angin sekencang apapun.
Sementara itu Arya telah menggeliat pula.
Ketika ia membuka matanya maka yang pertama-tama dilakukan adalah
berteriak memanggil, “Paman…, Paman Mahesa Jenar….”
“Sst…!” desis Mahesa Jenar. “Kenapa kau berteriak, Arya…?”
Dengan pandangan yang masih diliputi oleh keragu-raguan, Arya mengawasi Mahesa Jenar tanpa berkedip. Sambungnya, “Paman tidak meninggalkan aku lagi bukan?”
Mahesa Jenar tertawa kosong, dengan penuh pengertian atas kecemasan yang mencengkam perasaan Arya. Jawabnya, “Kalau aku akan meninggalkan engkau, bukankah lebih baik pada saat kau sedang tidur?”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya
menjadi percaya bahwa pamannya tidak akan pergi meninggalkannya. Setelah
beberapa kali menggeliat, segera Arya duduk di samping Mahesa Jenar.
“Sudah tidak lelah lagi kau Arya”’ tanya Mahesa Jenar.
“Bukankah sejak tadi aku tidak lelah Paman?” jawab anak itu.
Terdengar Mahesa Jenar tertawa pendek, katanya meneruskan, Bagus kalau begitu. Nah sekarang kau sudah siap untuk berjalan lagi?”
“Tentu Paman, tentu aku siap berjalan setiap saat,” sahut Arya.
“Kalau begitu, mari kita berjalan, ajak Mahesa Jenar.
Oleh ajakan itu segera Arya meloncat
berdiri dengan sigapnya. Memang setelah ia tertidur beberapa lama,
tubuhnya telah menjadi segar kembali.
“Kita sekarang kembali ke rumah kita sebentar Arya,” ajak Mahesa Jenar meneruskan.
“Kenapa hanya sebentar Paman?” tanya Arya.
“Biarlah kami tinggalkan rumah itu. Rumah dimana kau hampir saja mengalami bencana,” jawab Mahesa Jenar, seterusnya ia menerangkan, “Arya,
rumah itu ternyata sudah diketahui oleh orang-orang yang ingin
membunuhmu. Karena itu bukankah lebih baik kalau kita pergi? Kita mampir
sebentar hanyalah untuk mengambil tombak pusaka Banyubiru Kyai Bancak.
Biarlah tombak itu kau bawa serta. Supaya tidak mencurigakan, nanti
sebaiknya kita lepas tangkainya.”
“Baiklah Paman,” jawab Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian berangkatlah mereka berdua meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian matahari tenggelam di ujung barat langit.
Dalam kegelapan, mereka tetap meneruskan
perjalanan. Mahesa Jenar yang berpandangan tajam dapat menempuh
perjalanan dengan tidak banyak menemui kesulitan, sambil menggandeng
Arya Salaka.
Belum sampai tengah malam, mereka berdua telah tiba di pedukuhan dimana telah mereka bangun tempat untuk berteduh.
Pada pagi harinya, tetangga-tetangga
Mahesa Jenar yang baik hati, ketika mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah
berhasil menemukan anak yang mereka anggap anak Mahesa Jenar sendiri,
dengan selamat, segera berkerumun untuk mengucapkan syukur. Mereka
bertanya bergantian tak ada henti-hentinya sehingga Mahesa Jenar
kerepotan untuk menjawabnya.
Tetapi kemudian, mereka,
tetangga-tetangga yang baik itu menjadi tercengang-cengang ketika
tiba-tiba saja Mahesa Jenar mohon diri kepada mereka untuk pergi
meneruskan perantauannya seperti ketika belum menetap di pedukuhan itu.
Para tetangga yang menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang petani yang
banyak memberikan sesuluh kepada mereka, menjadi agak kecewa. Kata salah
seorang dari mereka, “Adakah kami berbuat kesalahan terhadap Angger?”
“Tidak, Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat. “Sama sekali tidak.”
“Atau barangkali Adi marah kepada kami?” sambung yang lain, “Karena kami tidak dapat melindungi anak Adi?”
“Juga tidak,” jawab Mahesa Jenar. “Tidak ada kesalahan saudara-saudara kepada kami”.
“Lalu kenapa Adi mau pergi?” tanya seseorang pula.
Mahesa Jenar agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Saudara-saudaraku
yang baik. Aku ingin berjalan semata-mata karena kegemaranku merantau.
Aku ingin menunjukkan beberapa pengalaman kepada anakku ini. Sebab aku
bercita-cita bahwa kelak nasib anakku ini harus lebih baik dari nasibku
sendiri.”
Para tetangga yang ramah itu pun
mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya Mahesa Jenar sudah tidak dapat di
tahan lagi. Karena itu dengan berat hati mereka lepas Mahesa Jenar dan
anaknya berjalan.
Pada suatu saat kami akan datang kembali, kata Mahesa Jenar kepada mereka yang mengantar sampai ke ujung desa.
Setelah itu, mulailah Mahesa Jenar dengan perantauannya kembali. Tetapi kali ini Mahesa Jenar tidak berjalan sendiri.
No comments:
Write comments