Karena pandangan mata itu, hati Mahesa
Jenar jadi gelisah. Seolah-olah ada suatu pengaruh yang aneh pada
dirinya. Maka untuk mengatasi kegelisahannya, kembali ia berteriak, “He, siapakah kau, yang telah berani mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyu Biru…?”
Orang itu masih belum menjawab. Tetapi
pandangan matanya semakin dalam menembus dada Mahesa Jenar yang menjadi
semakin gelisah. Dan seperti orang yang bingung, Mahesa Jenar
membentak-bentak, “Kau yang mengambil, he..? Ayo bilang, tak usah kau ingkari. Kalau demikian, kembalikan keris itu kepadaku. Kembalikan…!”
Karena orang itu masih saja tidak
menjawab, perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin melonjak-lonjak.
Timbullah suatu perasaan kecut dan ngeri di dalam dirinya. Seolah-olah
orang yang berdiri di hadapannya itu memancarkan suatu perbawa yang
aneh. Sehingga kemudian Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan
kecemasannya, bercampur-baur dengan perasaan bingung dan pepat. Mahesa
Jenar mundur beberapa langkah, disilangkan satu tangannya di depan dada,
satu lagi diangkat tinggi-tinggi. Sambil memusatkan segala tenaganya,
Mahesa Jenar mengangkat satu kakinya dan ditekuknya ke depan. Sambil
berteriak nyaring Mahesa Jenar meloncat maju, “Kembalikan keris-keris itu atau kau binasa.” Setelah
itu, tangannya terayun deras dengan aji Sasra Birawa tersimpan di
dalamnya. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali tak
terkirakan. Dengan cekatan, tangan orang tua itu bergerak dan dalam
sekejap tangan Mahesa Jenar yang sedang mengayunkan Sasra Birawa itu
dengan tenang ditangkapnya. Dengan demikian maka Mahesa Jenar tersentak
oleh kekuatannya yang tidak tersalur itu, sehingga seolah-olah suatu
pukulan yang dahsyat telah menghantam dadanya. Tetapi hanya sebentar.
Sebab sesaat kemudian terasalah seolah-olah udara yang sejuk mengalir ke
seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian tubuhnya sama sekali tidak
merasakan suatu gangguan apapun.
Mengalami peristiwa itu, jantung Mahesa
Jenar berdesir hebat sekali. Sadarlah ia bahwa yang berdiri di
hadapannya itu adalah seorang yang maha sakti. Yang memiliki kedahsyatan
ilmu lahir dan batin. Karena itu, ketika tangannya telah dilepaskan,
Mahesa Jenar segera mundur beberapa langkah dan kemudian seperti orang
yang tak berdaya, Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya duduk bersila
menghadap kepada orang yang tak dikenalnya itu. Maka, dengan gemetar
Mahesa Jenar berkata, „Maafkanlah kelancanganku Kyai, dan perkenankanlah aku mengetahui siapakah sebenarnya Tuan?”
Terdengarlah orang tua berjubah abu-abu itu tersenyum, jawabnya, „Sudahlah
Mahesa Jenar, kau tak perlu terlalu merasa bersalah. Bahkan aku menjadi
gembira ketika kau masih ingat kepada kewajibanmu untuk menemukan
kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sehingga kau berani
bertindak terhadap apapun dan siapapun. Dengan demikian maka masa
depanmu tidaklah akan gelap sama sekali”.
Mendengar kata-kata orang tua yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya itu, Mahesa Jenar menjadi tertegun heran. „Apakah gerangan maksudnya?”
Kemudian terdengarlah orang tua itu melanjutkan, “Mahesa Jenar…, apakah sebenarnya yang kau cari, sehingga kau sampai ke tempat ini?”
Perasaan Mahesa Jenar terasa seperti
disentakkan mendengar pertanyaan itu. Yah, apakah sebetulnya yang
dikehendaki sehingga sampai ke tempat ini…?
Teringatlah kemudian apa yang pernah
dialami akhir-akhir ini, yang masalahnya berkisar di sekitar Rara Wilis.
Namun untuk menguraikan kepada orang tua itu, Mahesa Jenar masih merasa
kurang enak. Karena itu ia jadi bimbang sehingga beberapa lama ia tidak
menjawab.
Karena Mahesa Jenar masih berdiam diri, terdengarlah orang tua itu meneruskan, “Aku
kira, aku dapat menduga-duga apa yang sebenarnya telah kau alami Mahesa
Jenar. Dan ketika aku melihat kau berlari-lari ke arah yang sama sekali
tak kau ketahui, aku pun dapat mengira-ngira pula, apa yang akan kau
lakukan. Sebab sebagian besar dari percakapanmu dengan Kyai Ageng Pandan
Alas, serta kemarahanmu kepada Arya Salaka dapat aku dengar. Ditambah
lagi dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini yang dapat aku lihat pula.
Hubunganmu dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas serta murid Ki Ageng Pandan
Alas yang bernama Sarayuda.”
Mendengar uraian orang tua itu, Mahesa
Jenar seperti orang yang dihadapkan pada suatu peristiwa yang diluar
kemampuan jalan pikirannya. Demikian banyaknya masalah yang dapat
diketahui oleh orang tua itu. Kalau demikian maka orang tua itu pasti
telah beberapa hari mengikutinya. Karena itu, pasti orang itu adalah
orang yang sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. Dengan demikian
ia menjadi agak berani pula. Maka katanya, “Apa yang Tuan katakan adalah benar.”
Maka terdengarlah orang tua itu tertawa. “Bagus… katanya. Kau sadari semua itu, dan sekarang kau akan pergi kemana?”
Oleh pertanyaan itu kembali, Mahesa Jenar
kebingungan. Apakah sebaiknya ia bekata terus terang? Sebab andaikata
ia berbohong maka orang tua itupun agaknya dapat mengetahui pula. Karena
itu jawabnya, “Aku akan pergi bertapa, Kyai. Menjauhi kesibukan kesibukan duniawi yang menjemukan.”
Sekali lagi orang tua itu tertawa. Katanya, “Apakah
dengan bertapa serta menjauhkan diri dari persoalan manusia itu,
kemudian keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten akan datang kepadamu
dengan sendirinya?”
Sedikit-sedikit arah pembicaraan orang
tua itu sudah dapat ditangkap oleh Mahesa Jenar. Ia menjadi bertanya
pula pada diri sendiri, apakah sebenarnya yang dicarinya selama ini?
No comments:
Write comments