Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 A

Karena pandangan mata itu, hati Mahesa Jenar jadi gelisah. Seolah-olah ada suatu pengaruh yang aneh pada dirinya. Maka untuk mengatasi kegelisahannya, kembali ia berteriak, “He, siapakah kau, yang telah berani mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyu Biru…?”
Orang itu masih belum menjawab. Tetapi pandangan matanya semakin dalam menembus dada Mahesa Jenar yang menjadi semakin gelisah. Dan seperti orang yang bingung, Mahesa Jenar membentak-bentak, “Kau yang mengambil, he..? Ayo bilang, tak usah kau ingkari. Kalau demikian, kembalikan keris itu kepadaku. Kembalikan…!”
Karena orang itu masih saja tidak menjawab, perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin melonjak-lonjak. Timbullah suatu perasaan kecut dan ngeri di dalam dirinya. Seolah-olah orang yang berdiri di hadapannya itu memancarkan suatu perbawa yang aneh. Sehingga kemudian Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan kecemasannya, bercampur-baur dengan perasaan bingung dan pepat. Mahesa Jenar mundur beberapa langkah, disilangkan satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi. Sambil memusatkan segala tenaganya, Mahesa Jenar mengangkat satu kakinya dan ditekuknya ke depan. Sambil berteriak nyaring Mahesa Jenar meloncat maju, “Kembalikan keris-keris itu atau kau binasa.” Setelah itu, tangannya terayun deras dengan aji Sasra Birawa tersimpan di dalamnya. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali tak terkirakan. Dengan cekatan, tangan orang tua itu bergerak dan dalam sekejap tangan Mahesa Jenar yang sedang mengayunkan Sasra Birawa itu dengan tenang ditangkapnya. Dengan demikian maka Mahesa Jenar tersentak oleh kekuatannya yang tidak tersalur itu, sehingga seolah-olah suatu pukulan yang dahsyat telah menghantam dadanya. Tetapi hanya sebentar. Sebab sesaat kemudian terasalah seolah-olah udara yang sejuk mengalir ke seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian tubuhnya sama sekali tidak merasakan suatu gangguan apapun.
Mengalami peristiwa itu, jantung Mahesa Jenar berdesir hebat sekali. Sadarlah ia bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang yang maha sakti. Yang memiliki kedahsyatan ilmu lahir dan batin. Karena itu, ketika tangannya telah dilepaskan, Mahesa Jenar segera mundur beberapa langkah dan kemudian seperti orang yang tak berdaya, Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya duduk bersila menghadap kepada orang yang tak dikenalnya itu. Maka, dengan gemetar Mahesa Jenar berkata, „Maafkanlah kelancanganku Kyai, dan perkenankanlah aku mengetahui siapakah sebenarnya Tuan?”
Terdengarlah orang tua berjubah abu-abu itu tersenyum, jawabnya, „Sudahlah Mahesa Jenar, kau tak perlu terlalu merasa bersalah. Bahkan aku menjadi gembira ketika kau masih ingat kepada kewajibanmu untuk menemukan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sehingga kau berani bertindak terhadap apapun dan siapapun. Dengan demikian maka masa depanmu tidaklah akan gelap sama sekali”.
Mendengar kata-kata orang tua yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya itu, Mahesa Jenar menjadi tertegun heran. „Apakah gerangan maksudnya?”
Kemudian terdengarlah orang tua itu melanjutkan, “Mahesa Jenar…, apakah sebenarnya yang kau cari, sehingga kau sampai ke tempat ini?”
Perasaan Mahesa Jenar terasa seperti disentakkan mendengar pertanyaan itu. Yah, apakah sebetulnya yang dikehendaki sehingga sampai ke tempat ini…?
Teringatlah kemudian apa yang pernah dialami akhir-akhir ini, yang masalahnya berkisar di sekitar Rara Wilis. Namun untuk menguraikan kepada orang tua itu, Mahesa Jenar masih merasa kurang enak. Karena itu ia jadi bimbang sehingga beberapa lama ia tidak menjawab.
Karena Mahesa Jenar masih berdiam diri, terdengarlah orang tua itu meneruskan, “Aku kira, aku dapat menduga-duga apa yang sebenarnya telah kau alami Mahesa Jenar. Dan ketika aku melihat kau berlari-lari ke arah yang sama sekali tak kau ketahui, aku pun dapat mengira-ngira pula, apa yang akan kau lakukan. Sebab sebagian besar dari percakapanmu dengan Kyai Ageng Pandan Alas, serta kemarahanmu kepada Arya Salaka dapat aku dengar. Ditambah lagi dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini yang dapat aku lihat pula. Hubunganmu dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas serta murid Ki Ageng Pandan Alas yang bernama Sarayuda.”
Mendengar uraian orang tua itu, Mahesa Jenar seperti orang yang dihadapkan pada suatu peristiwa yang diluar kemampuan jalan pikirannya. Demikian banyaknya masalah yang dapat diketahui oleh orang tua itu. Kalau demikian maka orang tua itu pasti telah beberapa hari mengikutinya. Karena itu, pasti orang itu adalah orang yang sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. Dengan demikian ia menjadi agak berani pula. Maka katanya, “Apa yang Tuan katakan adalah benar.”
Maka terdengarlah orang tua itu tertawa. “Bagus… katanya. Kau sadari semua itu, dan sekarang kau akan pergi kemana?”
Oleh pertanyaan itu kembali, Mahesa Jenar kebingungan. Apakah sebaiknya ia bekata terus terang? Sebab andaikata ia berbohong maka orang tua itupun agaknya dapat mengetahui pula. Karena itu jawabnya, “Aku akan pergi bertapa, Kyai. Menjauhi kesibukan kesibukan duniawi yang menjemukan.”
Sekali lagi orang tua itu tertawa. Katanya, “Apakah dengan bertapa serta menjauhkan diri dari persoalan manusia itu, kemudian keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten akan datang kepadamu dengan sendirinya?”
Sedikit-sedikit arah pembicaraan orang tua itu sudah dapat ditangkap oleh Mahesa Jenar. Ia menjadi bertanya pula pada diri sendiri, apakah sebenarnya yang dicarinya selama ini?

No comments:
Write comments