Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.

Untuk beberapa saat beberapa pasang mata
memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan
Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan
geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di
sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri
Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah. Ialah kepala
daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring, “Menyebutlah nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang.”
Handaka tidak tahu siapakah yang telah
mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu.
Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya. Baginya lebih baik mati
dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama
sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam
menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap
sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan
itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena
pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab, “Ampun Tuan, ampun…. Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?”
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa
memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta
untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak
menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil
berseru, “Apakah kerjamu berdua di sini?”
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar, “Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa.”
Sekali lagi anak muda itu tertawa
menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan.
Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, “Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.” Dan setelah itu ia merenung sejenak menyambung “Kenapa kau pilih desa ini untuk bermalam…?”
Manahan emandang wajah anak muda itu
dengan wajah kecemasan. Untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sampai
terdengar anak muda itu membentaknya, “Hei perantau malas, jawab, kenapa kau bermalam di sini”
“Aku tidak tahu,” jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang
mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang
memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia
berkata, “Kalau di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu,
maka manusia ini tak ada bedanya dengan binatang-binatang melata yang
mengais makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa.” Kemudian ia membentak, “He
orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin
mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku
menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan.
Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke
rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan
besok.”
Sesudah berkata demikian anak muda itu
segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan
yang menghina ia menggerutu, “Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.” Setelah
itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang
bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu.
Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas.
Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar, “He Wiradapa, apa yang kau kerjakan?”
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu
dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah
langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang,
melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan
yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah
ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan
kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram, “Bapak…”
Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya
yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan
berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata
itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak
mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir
yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di
hadapannya, ia berkata “Duduklah Handaka.”
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti
patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti
mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi, “Duduklah Handaka.”
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh
teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa
dadanya masih bergetar keras.
“Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan,” sambung Manahan kemudian.
“Tetapi…” sahut Handaka tergagap. “Tetapi kenapa demikian?”
Handaka menjadi semakin bingung ketika
gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak
menimbulkan suara riuh.
“Apa yang demikian…?” tanya Manahan sambil tertawa.
No comments:
Write comments