Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 I

Kemudian terdengarlah langkah-langkah mereka semakin dekat dan dengan sekali dorong pintu itu sudah terbuka.
Dengan tangkasnya salah seorang dari mereka meloncat masuk dan tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Dalam sinar pelita yang remang-remang, berkilat-kilatlah cahayanya menyilaukan. Dengan suara yang keras orang itu membentak, “He, perantau malang, aku bunuh kau.” Berbareng dengan itu melekatlah ujung pedangnya di dada Manahan yang masih saja berbaring di bale-bale bambu. Mendengar orang itu berteriak, Bagus Handaka menjadi terkejut. Cepat ia dapat menguasai kesadarannya karena latihan-latihan berat yang pernah dijalani. Tetapi demikian ia akan bergerak, terasalah pergelangannya dipijat oleh gurunya, yang berbaring di sampingnya. Sehingga dengan demikian ia mengurungkan niatnya, meskipun ia sama sekali tidak tahu maksudnya. Bahkan kemudian ia melihat gurunya menggigil ketakutan dan dengan suara gemetar berkata, “Tuan… jangan aku Tuan bunuh. Ampunilah aku yang tidak berdosa.”
Untuk beberapa saat beberapa pasang mata memandanginya dengan seksama. Mereka terdiri seorang anak sebaya dengan Bagus Handaka, yang kira-kira baru berumur 16 tahun. Dialah yang dengan geraknya yang lincah mengancam Manahan dengan pedangnya. Kemudian di sampingnya sebelah-menyebelah berdiri dua orang yang lain lagi terdiri Wiradapa dan seorang lagi yang disebutnya Kakang Lurah. Ialah kepala daerah Pedukuhan Gedangan.
Kemudian terdengarlah anak yang memegang pedang itu berkata dengan nyaring, “Menyebutlah nama nenek moyangmu, sebab saat kematianmu telah datang.”
Handaka tidak tahu siapakah yang telah mengancam gurunya, juga orang-orang yang berdiri di dalam ruangan itu. Ia tidak habis herannya melihat sikap gurunya. Baginya lebih baik mati dengan tangan terentang daripada mati seperti seekor cacing yang sama sekali tak berdaya. Bukankah gurunya telah menuntunnya demikian dalam menghadapi lawan-lawannya …? Tetapi sekarang gurunya sendiri bersikap sebagai seorang pengecut. Karena perasaan-perasaan yang berdesakan itulah Handaka menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan, tetapi karena pergolakan dadanya yang tak tertahan.
Hampir Handaka tak dapat menguasai dirinya ketka sekali lagi ia mendengar Manahan menjawab, “Ampun Tuan, ampun…. Apakah dosaku maka Tuan akan membunuhku?”
Melihat sikap Manahan itu Wiradapa memandangi wajah anak muda yang memegang pedang itu dengan sikap meminta untuk membebaskannya. Tetapi anak muda itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan. Namun kemudian terdengarlah ia tertawa sambil berseru, “Apakah kerjamu berdua di sini?”
Manahan nampak gugup mendengar pertanyaan itu. Maka jawabnya gemetar, “Aku tidak apa-apa, Tuan. Sungguh aku tidak apa-apa.”
Sekali lagi anak muda itu tertawa menyeringai. Sedang ujung pedangnya masih saja melekat di dada Manahan. Sesaat kemudian terdengarlah ia berkata, “Kau datang pada saat yang tidak menguntungkan bagimu.” Dan setelah itu ia merenung sejenak menyambung “Kenapa kau pilih desa ini untuk bermalam…?”
Manahan emandang wajah anak muda itu dengan wajah kecemasan. Untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sampai terdengar anak muda itu membentaknya, “Hei perantau malas, jawab, kenapa kau bermalam di sini”
“Aku tidak tahu,” jawab Manahan gugup.
Anak muda itu menarik nafas panjang mendengar jawaban Manahan yang ketakutan itu. Kemudian tangannya yang memegang pedang itu mengendor. Dan dengan nada yang merendahkan ia berkata, “Kalau di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang macam itu, maka manusia ini tak ada bedanya dengan binatang-binatang melata yang mengais makanan dari dalam tanah tanpa dapat berbuat apa-apa.” Kemudian ia membentak, “He orang-orang malang. Kau harus menggerakkan tanganmu kalau kau ingin mengisi perutmu. Selama kau berada di sini kau harus bekerja keras. Aku menjadi muak melihat kau menjual belas kasihan untuk mendapat makan. Karena itu besok pada saat matahari terbit, kau sudah harus datang ke rumah bapak lurah untuk menerima pekerjaan yang harus kau lakukan besok.”
Sesudah berkata demikian anak muda itu segera menyarungkan pedangnya kembali, dan sekali lagi dengan pandangan yang menghina ia menggerutu, “Seharusnya orang-orang macam itu wajib dimusnahkan, supaya dunia kita tidak kekurangan makan.” Setelah itu segera ia pun melangkah pergi, diikuti oleh kedua orang yang bertubuh kokoh kuat berwajah seram, serta lurah pedukuhan itu. Tinggallah Wiradapa yang memandangi Manahan dengan perasaan welas. Tetapi ketika ia akan berkata sesuatu, terdengarlah suara di luar, “He Wiradapa, apa yang kau kerjakan?”
Wiradapa mengurungkan niatnya, lalu dengan cepatnya ia melangkah keluar. Sebentar kemudian hilanglah langlah-langkah mereka ditelan oleh bunyi binatang-binatang malam.
Demikian langkah mereka menghilang, melentinglah Bagus Handaka dari tempat tidurnya, dan dengan kecepatan yang luar biasa ia sudah tegak berdiri di hadapan gurunya, seolah-olah ia ingin memperlihatkan ketangkasannya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan gigi yang gemeretak terdengar ia menggeram, “Bapak…” Setelah itu bibirnya sajalah yang gemetar, tetapi tak ada kata-katanya yang meluncur keluar. Meskipun di dalam dadanya berdesak-desakkan berbagai macam perasaan yang akan dilahirkan, namun hanya satu kata itulah yang berhasil diucapkan.
Tetapi ia bertambah bingung dan tidak mengerti ketika dilihatnya gurunya masih saja berbaring dengan bibir yang tersenyum-senyum. Baru ketika ia melihat Handaka gemetar di hadapannya, ia berkata “Duduklah Handaka.
Tetapi Handaka masih saja tegak seperti patung, suara gurunya itu tidak terdengar oleh telinganya yang seperti mendesing-desing, sehingga Manahan terpaksa mengulangi lagi, “Duduklah Handaka.”
Dengan perasaan yang dipenuhi oleh teka-teki, Handaka kemudian duduk di samping gurunya. Namun terasa bahwa dadanya masih bergetar keras.
“Tenanglah Handaka. Tak ada yang perlu kau khawatirkan,” sambung Manahan kemudian.
“Tetapi…” sahut Handaka tergagap. “Tetapi kenapa demikian?”
Handaka menjadi semakin bingung ketika gurunya kemudian tertawa panjang, meskipun perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara riuh.
“Apa yang demikian…?” tanya Manahan sambil tertawa.

No comments:
Write comments