Mula-mula Mahesa Jenar dan Arya Salaka
berjalan ke arah selatan, tetapi kemudian mereka membelok ke barat dan
terus ke utara. Untuk sementara mereka berjalan asal saja menjauhi
daerah kekuasaan Lembu Sora. Di bawah baju Arya Salaka terseliplah
tombak pusaka Banyubiru yang telah dilepas dari tangkainya, yang dibalut
rapi dengan kulit kayu.
Di perjalanan pagi itu Mahesa Jenar tidak
banyak berkata-kata. Pikirannya diliputi oleh kegelapan yang
menyelubungi keris-keris pusaka Demak yang hilang. Sampai saat itu ia
sama sekali masih belum tahu kemana dan bagaimana harus mencari kedua
keris itu. Apa yang dilakukan adalah seperti meraba-raba di dalam kelam.
Tetapi disamping itu masih ada yang harus dilakukan. Membentuk Arya
menjadi seorang jantan. Dan mengantarnya kembali ke daerah perdikan
Banyubiru.
Sedang Arya Salaka agaknya sama sekali
tidak menghiraukan apa-apa. Dalam cerah matahari pagi, ia berjalan agak
di depan dengan riangnya. Ia berlari-lari selincah anak kijang, tanpa
perasaan takut serta prasangka apa-apa, dalam irama nyanyi burung-burung
liar yang berloncat-loncatan di rerumputan yang hijau segar.
Sekali-sekali Arya mengambil batu serta
dilemparkan kearah gerombolan burung-burung yang asyik mematuk-matuk
biji-biji rumput, yang kemudian karena terkejut beterbangan
berputar-putar, tetapi sesaat kemudian burung-burung itu kembali hinggap
di rerumputan.
Tiba-tiba Arya Salaka terhenti ketika
didengarnya Mahesa Jenar memanggil. Ketika ia menoleh, dilihatnya
pamannya sudah agak jauh tertinggal di belakang. Karena itu Arya segera
duduk di atas batu untuk menanti Mahesa Jenar.
“Arya…” kata Mahesa Jenar setelah mereka berjalan bersama-sama. “Aku
mempunyai pikiran bahwa untuk keselamatanmu kau harus berusaha
sejauh-jauhnya agar kau tak dikenal orang. Karena itu Arya, aku
berpendapat bahwa sebaiknya nama panggilanmu harus diganti. Sebab,
selama kau masih mengenakan namamu yang sekarang, Arya Salaka, maka
orang-orang yang akan mencarimu dengan mudahnya akan dapat menemukan
kau. Sebab namamu adalah nama yang jarang-jarang dipakai orang. Maka
sekarang kau ingin mengubah namamu dengan nama lain?”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan herannya, katanya,. “Apakah kalau aku berganti nama, orang tak mengenal aku lagi?”
“Bukan begitu Arya,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi setidak-tidaknya orang tidak mendengar lagi nama Arya Salaka. Bukankah dengan mendengar namamu orang dapat menemukanmu?”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia sudah mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Paman,
meskipun namaku sudah diganti, tetapi apabila seseorang berkata tentang
seorang anak yang berjalan bersama-sama dengan Mahesa Jenar, bukankah
segera orang mengenal aku? Sebab yang selalu berjalan bersama-sama
dengan Arya Salaka adalah Mahesa Jenar.”
“Kau benar-benar cerdas Arya,” jawab Mahesa Jenar sambil tertawa, “Aku setuju dengan pendapatmu. Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mengganti nama.”
Mendengar pendapat itu Arya Salaka
tertawa berderai. Agaknya hal itu merupakan suatu hal yang lucu. Melihat
Arya tertawa, Mahesa Jenar pun tertawa.
“Nah, Arya… siapakah nama yang pantas buat mengganti namamu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya tampak mengerutkan keningnya, tetapi beberapa lama kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Terserahlah kepada paman.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berpikir. Nama apakah yang sepantasnya diberikan buat
anak itu. Tiba-tiba terlintaslah suatu nama yang tepat diberikan kepada
Arya Salaka. Katanya, “Arya, kau tahu bahwa namaku adalah Mahesa
Jenar. Mahesa adalah sejenis binatang bertanduk. Maksud dari nama itu
adalah supaya aku mempunyai kesigapan dan ketangguhan seperti Mahesa.
Sedang harapanku, kau harus lebih hebat daripadaku. Karena itu aku akan
memberi nama kepadamu dengan nama yang lebih hebat pula. Bukankah nama
ayahmu hebat pula? Gajah Sora. Dan ayahmu benar-benar hebat seperti
seekor gajah. Nah, dengarlah Arya, aku akan memberimu nama Handaka.”
“Handaka…” ulang Arya, “Apakah Handaka itu?”
“Handaka adalah nama binatang bertanduk pula,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi jauh lebih hebat dari Mahesa Jenar. Sebab Handaka berarti banteng.”
Mendengar uraian Mahesa Jenar, hati Arya Salaka bergetar. Maka dengan bangga ia berkata, “Aku pernah mendengar ayah berceritera tentang seekor banteng.”
“Apa kata ayahmu?” tanya Mahesa Jenar.
“Banteng adalah binatang yang hebat sekali,” jawab Arya.
“Nah, kalau begitu sekarang aku memanggil kau, Handaka,” kata Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi siapakah kelanjutan nama itu?”
“Handaka Sora, seperti nama ayah,” usul Arya.
“Tetapi orang akan masih dapat mengenal kau dalam hubungan nama dengan ayahmu,” jawab Mahesa Jenar. “Juga seandainya kau bernama Handaka Jenar. Orang akan menghubungkan dengan nama Mahesa Jenar.”
“Lalu apakah yang baik menurut Paman?” tanya Arya Salaka.
“Begini Arya… aku mempunyai nama yang baik. Dengarlah…. Nama lengkapmu adalah Bagus Handaka. Bagaimana pendapatmu?”
Mata Arya menjadi berkilat-kilat. “Bagus… Paman. Bagus sekali. Nah, sejak saat ini aku bernama Bagus Handaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Dan sekarang siapakah namaku?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Bagus Handaka.
“Jangan panggil aku Paman. Panggil aku Bapak untuk seterusnya.”
“Baiklah Bapak.”
“Bagus Handaka, dengarlah. Aku akan memakai nama seorang petani biasa. Sejak saat ini panggilah aku dengan nama Manahan, Bapak Manahan.”
“Baiklah Bapak Manahan.”
“Bagus. Kita sekarang sudah merupakan
orang baru. Meskipun apa yang kita lakukan adalah kelanjutan usaha kita
sebelumnya. Kau harus kembali ke Banyubiru kelak. Dengan atau tidak
dengan kekerasan.”
“Tentu Paman… eh… Bapak. Sebab tanah itu bagiku merupakan Tanah Pusaka sekaligus tanah tercinta.”
Manahan dengan menepuk pundak Bagus Handaka berkata pula, “Bagus
Handaka, karena semuanya itu, kau mulai saat ini harus melatih diri
dengan tekun dan sungguh-sungguh. Supaya kau kelak tidak akan
ketinggalan dengan anak pamanmu Lembu Sora.”
“Adi Sawung Sariti?” potong Bagus Handaka.
Manahan mengangguk. Katanya meneruskan, “Anak
itu pun sekarang pasti mengalami penggemblengan. Supaya kelak dapat
menjadi anak hebat pula. Karena itu kau jangan sampai kalah.”
“Baik Bapak, aku akan mencoba untuk
berlatih sekuat-kuat tenagaku, supaya aku tidak mengecewakan Bapak
Manahan serta ayah Gajah Sora,” jawab Bagus Handaka.
“Bagus Handaka. Masa yang akan datang ini bagimu adalah suatu masa pembajaan diri,” desis Bagus Handaka.
Kemudian setelah itu, mereka saling berdiam diri, hanyut dalam arus angan-angan masing-masing.
Di langit, matahari masih memancar dengan cemerlang memanasi gunung serta lembah-lembah.
Itulah permulaan dari suatu masa yang
panjang, yang akan penuh dengan latihan olah kanuragan jaya kasantikan
bagi Arya Salaka, yang kemudian bernama Bagus Handaka.
Ternyata ia memang seorang anak yang
tangkas dan cerdas. Memiliki kekuatan jasmaniah yang hebat pula. Dalam
perantauan mereka dari satu tempat ke lain tempat, mereka sama sekali
hidup dalam keprihatinan. Manahan dan Bagus Handaka tidak lebih dari dua
orang bapak dan anak yang miskin. Apabila mereka merambah hutan, maka
yang dimakan adalah buah-buahan yang dapat mereka jumpai di perjalanan
mereka. Sedangkan apabila mereka melalui jalan-jalan kota, mereka
berusaha untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dapat mereka lakukan.
Tetapi karena semuanya itu mereka lakukan
dengan suatu keyakinan bagi masa datang, maka hal itu sama sekali tidak
menimbulkan gangguan apapun dalam diri mereka. Baik jasmaniah maupun
tekad yang tersimpan di dalam dada mereka.
Di dalam masa perantauan itu, satu hal
yang tak seorang pun mengetahui, adalah, bahwa setiap saat Bagus Handaka
selalu menerima latihan-latihan yang berat dan teratur dari gurunya.
Setiap pagi, bila matahari belum menampakkan diri, Bagus
Handaka harus sudah melakukan latihan
berlari-lari dan kemudian dengan alat apa saja yang mungkin
dipergunakan, cabang-cabang pohon, ia harus melakukan latihan tangan
dengan bergantung dan berayun. Disamping itu, sedikit demi sedikit
Manahan mengajarinya pula gerakan-gerakan pembelaan diri dengan segala
unsur-unsurnya.
Bagus Handaka menerima semua pelajaran
dari gurunya dengan tekad yang bulat, hati yang mantap. Karena itu semua
pelajaran dengan cepatnya dapat dikuasainya dengan baik.
Maka beberapa lama kemudian perjalanan
mereka sampai ke pantai utara. Seterusnya mereka menyusur pantai
membelok ke arah barat, menerobos hutan-hutan rimba yang kadang-kadang
masih sangat lebat.
Tetapi semuanya itu tidak menghalangi
pertumbuhan Bagus Handaka. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin kekar
dan kuat, sedang geraknya menjadi semakin sigap.
Akhirnya mereka sampai ke suatu daerah
pedukuhan yang kecil, dimana para penduduknya hidup sebagai nelayan. Di
samping itu mereka gemar berburu kalong, sejenis binatang malam yang
mirip dengan kelelawar, tetapi lebih besar dan pemakan buah-buahan.
Meskipun ada juga diantara mereka yang bercocok tanam, tetapi
penghidupan sebagai seorang petani agak tidak begitu menarik perhatian.
Di pedukuhan itulah Manahan dan Bagus
Handaka berhenti berjalan. Mereka menyatakan diri untuk tinggal
bersama-sama di padepokan itu. Meskipun penduduknya tampaknya agak
bersikap kasar, namun sebenarnya hati mereka tulus. Karena itu Manahan
dan anaknya diterima oleh mereka dengan tangan terbuka.
Di pedukuhan itulah Manahan menambah
jumlah mereka yang mengolah tanah pertanian. Dengan tidak mencolok
Manahan membawa cara-cara baru dalam pengolahan tanah dan cara-cara
pengairan yang agak teratur. Karena itu dalam waktu singkat Manahan
telah menjadi orang yang disenangi oleh penduduk pedukuhan itu.
Sedang di pedukuhan itu, Bagus Handaka
mendapat kesenangan baru. Dengan para nelayan kadang-kadang ia ikut
serta berlayar menangkap ikan. Adalah mengherankan bahwa Handaka yang
belum begitu lama hidup di kalangan para nelayan, kesigapannya telah
hampir melampaui pemuda-pemuda nelayan yang sebayanya. Agaknya
kesenangannya bermain-main di Rawa Pening, serta kegemarannya menangkap
Uling, merupakan bekal yang baik bagi seorang nelayan. Apalagi darah
pelaut yang mengalir dalam tubuh ayahnya, Gajah Sora, agaknya melimpah
juga kepada anak ini. Ditambah lagi dengan latihan-latihan keprigelan
yang diterimanya dari Manahan. Dengan demikian Handaka pun menjadi cepat
terkenal diantara teman-temannya. Bahkan orang-orang tua pun kemudian
mengaguminya.
Tetapi ada kegemaran Handaka yang lain,
yang tidak sama dengan pemuda-pemuda nelayan pada umumnya. Handaka
mempunyai kegemaran menyepi apabila semua pekerjaannya sudah selesai.
Kadang-kadang ia betah duduk lama-lama di pasir pantai yang sepi.
Memandang ke arah laut yang luas. Pada gelombang-gelombang yang selalu
bergerak disapu angin.
Apabila malam gelap yang turu, serta saat
berlatih telah lampau, juga apabila ia tidak turuta serta ke laut, maka
ia lebih senang duduk di pantai dari pada pergi tidur. Apabila tubuhnya
terasa lelah sekali, di pasir pantailah Handaka merebahkan diri, yang
kadang-kadang ketika terdengar ayam berkokok menjelang matahari terbit,
ia baru bangkit dan berjalan pulang ke pondoknya.
No comments:
Write comments