Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 B

“Mahesa Jenar…” lanjut orang tua itu, “Kau adalah seorang kesatria, bukan seorang brahmana atau pertapa. Kewajiban kesatria adalah membina kesejahteraan umat manusia, kesejahteraan bangsanya dan tanah airnya. Apakah yang dapat kau lakukan apabila kau mengasingkan dirimu di puncak gunung atau di tengah-tengah hutan yang lebat? Di dalam goa-goa atau di bawah pohon beringin tua? Mahesa Jenar, aku sudah tua. Aku adalah gambaran dari orang-orang yang tak berarti. Tinggal di dalam goa yang jauh dari masalah-masalah bangsa dan tanah air, dimana aku meneguk air jika aku haus serta mencari ketenteraman diri. Tetapi dengan demikian masalah keluarga besar kita tak akan dapat diselesaikan. Sekarang adakah kau mau memperbanyak jumlah dari orang-orang yang demikian itu?”
Kata-kata orang tua itu memancar ke hati Mahesa Jenar seperti sinar matahari yang memecahkan gelapnya malam. Meskipun ia masih duduk tepekur, namun dadanya telah menyala kembali dengan api kekesatriaannya.
“Masihkah kau akan melanjutkan mencari pusaka-pusaka yang hilang itu?” tanya orang tua itu.
Karena pertanyaan itu Mahesa Jenar tersentak. Jawabnya tergagap, “Ya… Tuan, aku tetap mencarinya. Dan adakah Tuan mengetahui di manakah kedua keris itu sekarang?”
Orangtua itu tersenyum, lalu jawabnya, “Aku tahu. Kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu.”
Kembali Mahesa Jenar tertunduk. Tepat benar jawaban orang tua itu.
“Mahesa Jenar…” lanjut orang itu, “hati-hatilah kelak akan memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa di antara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negerinya. Kepadanyalah keris itu kau serahkan. Seterusnya kau masih mempunyai satu kewajiban lagi. Membina masa depan. Dan sekarang kau sia-siakan satu tugas kekuatan masa depan itu.” Orang tua itu diam sesaat, lalu bertanya kepada Mahesa Jenar, “Dengarlah siapakah yang menyebut-nyebut namamu?”
Lamat-lamat ketajaman pendengaran Mahesa Jenar mendengar suara memanggil-manggilnya, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…, di manakah kau Paman…?” Mendengar suara itu, terbantinglah hati Mahesa Jenar seperti kaca yang menimpa batu. Itu adalah suara Arya Salaka, putra Gajah Sora.
“Apa salah anak itu kepadamu Mahesa Jenar?” tanya orang tua itu sambil tersenyum.
Karena pertanyaan itu hati Mahesa Jenar merasa semakin pecah-pecah. Teringatlah ia, bagaimana ia membentak-bentak anak itu, meninggalkannya dalam kebingungan dan kekalutan pikiran.
“Mahesa Jenar…”  terdengarlah kembali kata-kata orang tua itu, “Masa depan tidaklah kalah pentingnya dengan masa kini. Justru apa yang kau lakukan adalah buat kepentingan masa depan. Karena itu peliharalah tunas-tunas buat masa depan itu dengan baik-baik. Kali ini kau telah mendapatkan pengalaman untuk dapat kau pergunakan sebagai cermin pada masa-masa yang akan datang. Setiap usaha pasti mengalami rintangan-rintangan. Apabila kau terperosok pada kepatahan hati maka tak akan ada usahamu yang berhasil. Aku setuju dengan kata-kata Pandan Alas, hatimu sekeras baja, tetapi getas seperti baja pula. Nah sekarang hayatilah tugasmu kembali. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten serta anak Gajah Sora yang dititipkan kepadamu itu.”
Mahesa Jenar membungkuk hormat, namun masih juga ia mencoba bertanya, Siapakah sebenarnya Tuan?
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, “Tak banyak gunanya kau mengetahui siapakah aku ini. Sebab aku adalah orang yang tak berarti. Salah satu dari gambaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab buat membina bebrayan agung. Namun aku masih ingin menitipkan sumbangsihku atas tanah ini kepadamu, dengan mencegah kehendakmu untuk menambah barisan orang-orang yang tak berarti seperti aku ini. Nah selamat bekerja Mahesa Jenar. Seharusnya kau memiliki keagungan seperti gurumu, Pangeran Handayaningrat.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, orang tua yang berkumis dan berjanggut lebat itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar yang masih belum puas itu segera akan mengikutinya, tetapi tiba-tiba kembali didengarnya suara sayup-sayup menyusup dedaunan, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…. Kenapa aku kau tinggalkan sendiri, Paman…?”
Suara yang timbul-tenggelam diantara desir angin di hutan itu telah menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar seperti panasnya bara api. Cepat ia menyadari kesalahannya telah meninggalkan anak yang tak bersalah itu. Karena itu ia berteriak pula, “Arya…, tunggulah Paman segera datang.”
Setelah itu segera ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menuju ke arah suara Arya Salaka, yang ketika mendengar suara Mahesa Jenar, berteriak lebih keras lagi, “Paman…, Paman….”
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar yang tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan, segera ia berlari menyongsongnya. Tetapi karena tubuhnya sudah sangat lelah, maka ia pun terjatuh lemas. Melihat kadaan Arya, Mahesa Jenar jadi terharu. Cepat ia menangkap tubuh Arya yang sudah hampir terjerembab, dan dengan hati-hati anak itu didudukkan di atas rumput-rumputan.
“Arya….” bisik Mahesa Jenar.
Arya tidak menjawab, karena kerongkongannya terasa buntu. Namun air matanya mengalir seperti tanggul yang pecah.
Arya Salaka yang sebenarnya bukanlah anak cengeng, pada saat itu tangisnya tak tertahankan lagi, seperti berdesak-desakan berebut jalan.
“Arya…” kata Mahesa Jenar, “Anak laki-laki tidak sepantasnya menangis. Diamlah.
Meskipun nada suara Mahesa Jenar sudah menjadi lunak, namun Arya masih ketakutan kalau-kalau pamannya akan marah kembali. Karena itu ditahannya tangisnya kuat-kuat. Tetapi karena itu pula maka dadanya menjadi sesak karena isaknya yang tersekat, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Sudahlah Arya…” sambung Mahesa Jenar, “Kalau kau terlalu lama menangis kau dapat kemasukan angin.”
“Aku takut paman” kata Arya di sela-sela sedu sedannya.
“Takut…?” tanya Mahesa Jenar. “Apa yang kau takutkan?”
“Aku takut kalau Paman meninggalkan aku sendiri,” jawab Arya.
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar. Adalah wajar kalau seorang anak sebesar Arya Salaka menjadi ketakutan ditinggalkan seorang diri di padang ilalang di pinggir hutan yang sama sekali tak dikenalnya, bagaimanapun beraninya anak itu.
“Tidak Arya…, Paman tak akan meninggalkan kau sendiri,” kata Mahesa Jenar membesarkan hati anak itu.
“Tetapi tadi Paman berlari kencang sekali,” potong Arya.
Mendengar kata-kata Arya itu, Mahesa Jenar tersenyum. Senyuman yang pahit bagi dirinya sendiri. Namun jawabnya, “Tadi Paman tidak akan meninggalkan kau, Arya. Tetapi karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan tidak boleh orang lain tahu, apalagi anak-anak. Karena hal itu adalah rahasia besar, maka aku pergi mendahuluimu untuk beberapa lama.”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan pandangan yang penuh keragu-raguan. Apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar tadi menurut anggapannya bukanlah sekadar mendahului, tetapi benar-benar telah berusaha untuk meninggalkannya. Karena itu ia bertanya, “Tetapi tadi Paman marah kepadaku.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Namun hatinya mengeluh. “Sudahlah Arya, sekarang dan seterusnya Paman tak akan meninggalkan kau lagi.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih tetap ragu, katanya, “Kemana Paman pergi, aku ikut Paman.”
“Bagus Arya, bagus,” jawab Mahesa Jenar. “Nah, sekarang kemana?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya.
“Kau lelah?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak, kalau berjalan dengan Paman aku masih kuat,” jawab Arya dengan mantapnya, meskipun sebenarnya kakinya sudah terlalu letih. Agaknya Mahesa Jenar mengetahui pula kelelahan Arya, karena itu katanya, “Kita beristirahat sebentar Arya, nanti kalau kau sudah tidak begitu letih, kita berjalan kembali.”
Arya menjadi gembira mendengar ajakan pamannya. Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah beberapa lama berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya, “Baiklah Paman. Aku akan beristirahat dahulu.”
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh di bawah pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka dengan segera merebahkan dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering. Dan, karena lelahnya maka segera ia pun tertidur.
Mahesa Jenar memandang Arya yang sedang tidur itu dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya, bahwa hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri. Dari wajah anak itu tampaklah memancar ketulusan serta keberanian yang diwarisinya dari ayahnya, Gajah Sora. Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan serta latihan yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang pemuda yang perkasa.
Sementara itu matahari telah menempuh lebih dari tigaperempat bagian dari jalan peredarannya, karena itu panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih, hanya kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir perlahan-lahan.
Bersama dengan awan yang tipis itu kenangan Mahesa Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap masa lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian silih berganti. Ketenaran dua keagungan sebagai seorang perwira pasukan Naramanggala, kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi peristiwa yang datang silih berganti di masa perantauannya.
Namun akhirnya, ketika awan di langit itu pecah berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua kenangan yang mengganggu pikiran Mahesa Jenar. Yang tampak sekarang adalah masa yang menghadang di hadapannya. Masa yang akan penuh dengan tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan tindakan-tindakan yang tepat.
Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang lurus. Siapakah kira-kira orang itu? Benarkah orang itu yang telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten? Ketika pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak menyangkalnya meskipun tidak pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa orang itulah yang mengambil kedua pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang orang yang berpakaian jubah berwarna abu-abu, kecuali Pasingsingan dan orang itu. Meskipun Mahesa Jenar belum pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama sebenarnya adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang tua itu bukannya Umbaran.
Kalau demikian sampailah Mahesa Jenar pada suatu dugaan bahwa orang tua itu adalah Pasingsingan tua, guru dari Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Namun ia sendiri tidak yakin, apakah dugaannya itu benar.
Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten akan merupakan suatu usaha yang berjangka panjang. Sebab sampai saat itu segala sesuatunya masih gelap. Gelap sama sekali. Tak ada satu titik pun yang dapat menunjukkan arah lenyapnya kedua pusaka yang sedang menjadi rebutan oleh beberapa pihak itu. Akibat dari itu, pasti akan menyangkut Gajah Sora pula. Makin lama waktu yang diperlukan untuk menemukan kedua keris itu, semakin lama pula waktu pembebasan yang akan diberikan kepadanya. Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Paningron dan Gajah Alit dapat menolong meringankan tuduhan yang dibebankan kepada Gajah Sora.
Tetapi ketika Mahesa Jenar baru asyik berangan-angan, tiba-tiba terdengarlah derap kuda yang semakin lama semakin dekat. Karena itu segera didukungnya Arya yang masih tidur, dibawa masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Untunglah bahwa Arya yang kelelahan itu tidak terbangun. Sedang Mahesa Jenar, dengan hati-hati sekali mengintip dari celah-celah rapatnya dedaunan ke arah suara kuda-kuda itu.
Sebentar kemudian dari balik tikungan semak-semak muncullah tiga orang berkuda. Melihat tiga orang itu, dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Mereka adalah sepasang Uling dari Rawa Pening, disertai oleh Sri Gunting.
Menilik perbekalan mereka, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa dua bersaudara Uling itu akan menempuh perjalanan yang jauh. Mula-mula timbul keinginan Mahesa Jenar untuk menghadang mereka serta langsung membinasakan mereka. Tetapi tiba-tiba diingatnya pesan Ki Paniling, bahwa ia dinasehatkan untuk tidak bertindak tergesa-gesa. Ia harus tahu pasti bahwa tindakannya benar-benar akan menguntungkan. Sedang pada saat itu, ia masih belum yakin bahwa ia seorang diri dapat mengalahkan orang-orang itu. Apalagi ia sedang membawa Arya. Kalau sampai terjadi sesuatu atas anak itu, maka letak kesalahan ada padanya. Karena itu akhirnya, Mahesa Jenar hanya mengintip dengan dada yang bergetar menahan perasaannya.

No comments:
Write comments