“Mahesa Jenar…” lanjut orang tua itu, “Kau
adalah seorang kesatria, bukan seorang brahmana atau pertapa. Kewajiban
kesatria adalah membina kesejahteraan umat manusia, kesejahteraan
bangsanya dan tanah airnya. Apakah yang dapat kau lakukan apabila kau
mengasingkan dirimu di puncak gunung atau di tengah-tengah hutan yang
lebat? Di dalam goa-goa atau di bawah pohon beringin tua? Mahesa Jenar,
aku sudah tua. Aku adalah gambaran dari orang-orang yang tak berarti.
Tinggal di dalam goa yang jauh dari masalah-masalah bangsa dan tanah
air, dimana aku meneguk air jika aku haus serta mencari ketenteraman
diri. Tetapi dengan demikian masalah keluarga besar kita tak
akan dapat diselesaikan. Sekarang adakah kau mau memperbanyak jumlah
dari orang-orang yang demikian itu?”
Kata-kata orang tua itu memancar ke hati
Mahesa Jenar seperti sinar matahari yang memecahkan gelapnya malam.
Meskipun ia masih duduk tepekur, namun dadanya telah menyala kembali
dengan api kekesatriaannya.
“Masihkah kau akan melanjutkan mencari pusaka-pusaka yang hilang itu?” tanya orang tua itu.
Karena pertanyaan itu Mahesa Jenar tersentak. Jawabnya tergagap, “Ya… Tuan, aku tetap mencarinya. Dan adakah Tuan mengetahui di manakah kedua keris itu sekarang?”
Orangtua itu tersenyum, lalu jawabnya, “Aku tahu. Kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu.”
Kembali Mahesa Jenar tertunduk. Tepat benar jawaban orang tua itu.
“Mahesa Jenar…” lanjut orang itu, “hati-hatilah
kelak akan memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris
itu. Keturunan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa
di antara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta
kesejahteraan negerinya. Kepadanyalah keris itu kau serahkan. Seterusnya
kau masih mempunyai satu kewajiban lagi. Membina masa depan. Dan
sekarang kau sia-siakan satu tugas kekuatan masa depan itu.” Orang tua itu diam sesaat, lalu bertanya kepada Mahesa Jenar, “Dengarlah siapakah yang menyebut-nyebut namamu?”
Lamat-lamat ketajaman pendengaran Mahesa Jenar mendengar suara memanggil-manggilnya, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…, di manakah kau Paman…?” Mendengar
suara itu, terbantinglah hati Mahesa Jenar seperti kaca yang menimpa
batu. Itu adalah suara Arya Salaka, putra Gajah Sora.
“Apa salah anak itu kepadamu Mahesa Jenar?” tanya orang tua itu sambil tersenyum.
Karena pertanyaan itu hati Mahesa Jenar
merasa semakin pecah-pecah. Teringatlah ia, bagaimana ia
membentak-bentak anak itu, meninggalkannya dalam kebingungan dan
kekalutan pikiran.
“Mahesa Jenar…” terdengarlah kembali kata-kata orang tua itu, “Masa depan tidaklah kalah pentingnya dengan masa kini. Justru apa yang kau lakukan adalah buat kepentingan masa depan. Karena
itu peliharalah tunas-tunas buat masa depan itu dengan baik-baik. Kali
ini kau telah mendapatkan pengalaman untuk dapat kau pergunakan sebagai
cermin pada masa-masa yang akan datang. Setiap usaha pasti mengalami
rintangan-rintangan. Apabila kau terperosok pada kepatahan hati maka tak
akan ada usahamu yang berhasil. Aku setuju dengan kata-kata Pandan
Alas, hatimu sekeras baja, tetapi getas seperti baja pula. Nah sekarang
hayatilah tugasmu kembali. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten serta anak Gajah Sora yang dititipkan kepadamu itu.”
Mahesa Jenar membungkuk hormat, namun masih juga ia mencoba bertanya, Siapakah sebenarnya Tuan?
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, “Tak
banyak gunanya kau mengetahui siapakah aku ini. Sebab aku adalah orang
yang tak berarti. Salah satu dari gambaran orang-orang yang tidak
bertanggungjawab buat membina bebrayan agung. Namun aku masih ingin
menitipkan sumbangsihku atas tanah ini kepadamu, dengan mencegah
kehendakmu untuk menambah barisan orang-orang yang tak berarti seperti
aku ini. Nah selamat bekerja Mahesa Jenar. Seharusnya kau memiliki
keagungan seperti gurumu, Pangeran Handayaningrat.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, orang tua yang berkumis dan berjanggut lebat itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar yang masih belum puas itu
segera akan mengikutinya, tetapi tiba-tiba kembali didengarnya suara
sayup-sayup menyusup dedaunan, “Paman…, Paman Mahesa Jenar…. Kenapa aku kau tinggalkan sendiri, Paman…?”
Suara yang timbul-tenggelam diantara
desir angin di hutan itu telah menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar
seperti panasnya bara api. Cepat ia menyadari kesalahannya telah
meninggalkan anak yang tak bersalah itu. Karena itu ia berteriak pula, “Arya…, tunggulah Paman segera datang.”
Setelah itu segera ia meloncat berlari
sekencang-kencangnya menuju ke arah suara Arya Salaka, yang ketika
mendengar suara Mahesa Jenar, berteriak lebih keras lagi, “Paman…, Paman….”
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar
yang tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan, segera ia berlari
menyongsongnya. Tetapi karena tubuhnya sudah sangat lelah, maka ia pun
terjatuh lemas. Melihat kadaan Arya, Mahesa Jenar jadi terharu. Cepat ia
menangkap tubuh Arya yang sudah hampir terjerembab, dan dengan
hati-hati anak itu didudukkan di atas rumput-rumputan.
“Arya….” bisik Mahesa Jenar.
Arya tidak menjawab, karena kerongkongannya terasa buntu. Namun air matanya mengalir seperti tanggul yang pecah.
Arya Salaka yang sebenarnya bukanlah anak
cengeng, pada saat itu tangisnya tak tertahankan lagi, seperti
berdesak-desakan berebut jalan.
“Arya…” kata Mahesa Jenar, “Anak laki-laki tidak sepantasnya menangis. Diamlah.”
Meskipun nada suara Mahesa Jenar sudah
menjadi lunak, namun Arya masih ketakutan kalau-kalau pamannya akan
marah kembali. Karena itu ditahannya tangisnya kuat-kuat. Tetapi karena
itu pula maka dadanya menjadi sesak karena isaknya yang tersekat,
sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Sudahlah Arya…” sambung Mahesa Jenar, “Kalau kau terlalu lama menangis kau dapat kemasukan angin.”
“Aku takut paman” kata Arya di sela-sela sedu sedannya.
“Takut…?” tanya Mahesa Jenar. “Apa yang kau takutkan?”
“Aku takut kalau Paman meninggalkan aku sendiri,” jawab Arya.
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar
tergetar. Adalah wajar kalau seorang anak sebesar Arya Salaka menjadi
ketakutan ditinggalkan seorang diri di padang ilalang di pinggir hutan
yang sama sekali tak dikenalnya, bagaimanapun beraninya anak itu.
“Tidak Arya…, Paman tak akan meninggalkan kau sendiri,” kata Mahesa Jenar membesarkan hati anak itu.
“Tetapi tadi Paman berlari kencang sekali,” potong Arya.
Mendengar kata-kata Arya itu, Mahesa Jenar tersenyum. Senyuman yang pahit bagi dirinya sendiri. Namun jawabnya, “Tadi Paman tidak akan meninggalkan kau, Arya. Tetapi
karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan tidak boleh orang lain
tahu, apalagi anak-anak. Karena hal itu adalah rahasia besar, maka aku
pergi mendahuluimu untuk beberapa lama.”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan
pandangan yang penuh keragu-raguan. Apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar
tadi menurut anggapannya bukanlah sekadar mendahului, tetapi
benar-benar telah berusaha untuk meninggalkannya. Karena itu ia
bertanya, “Tetapi tadi Paman marah kepadaku.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Namun hatinya mengeluh. “Sudahlah Arya, sekarang dan seterusnya Paman tak akan meninggalkan kau lagi.”
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih tetap ragu, katanya, “Kemana Paman pergi, aku ikut Paman.”
“Bagus Arya, bagus,” jawab Mahesa Jenar. “Nah, sekarang kemana?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya.
“Kau lelah?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak, kalau berjalan dengan Paman aku masih kuat,”
jawab Arya dengan mantapnya, meskipun sebenarnya kakinya sudah terlalu
letih. Agaknya Mahesa Jenar mengetahui pula kelelahan Arya, karena itu
katanya, “Kita beristirahat sebentar Arya, nanti kalau kau sudah tidak begitu letih, kita berjalan kembali.”
Arya menjadi gembira mendengar ajakan
pamannya. Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah beberapa lama
berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya, “Baiklah Paman. Aku akan beristirahat dahulu.”
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh
di bawah pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka dengan segera merebahkan
dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering. Dan, karena lelahnya
maka segera ia pun tertidur.
Mahesa Jenar memandang Arya yang sedang
tidur itu dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya, bahwa
hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri. Dari wajah anak itu
tampaklah memancar ketulusan serta keberanian yang diwarisinya dari
ayahnya, Gajah Sora. Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan
serta latihan yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang pemuda
yang perkasa.
Sementara itu matahari telah menempuh
lebih dari tigaperempat bagian dari jalan peredarannya, karena itu
panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih, hanya
kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir perlahan-lahan.
Bersama dengan awan yang tipis itu
kenangan Mahesa Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap masa
lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian silih berganti.
Ketenaran dua keagungan sebagai seorang perwira pasukan Naramanggala,
kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi peristiwa
yang datang silih berganti di masa perantauannya.
Namun akhirnya, ketika awan di langit itu
pecah berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua kenangan yang
mengganggu pikiran Mahesa Jenar. Yang tampak sekarang adalah masa yang
menghadang di hadapannya. Masa yang akan penuh dengan
tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan tindakan-tindakan yang
tepat.
Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang
lurus. Siapakah kira-kira orang itu? Benarkah orang itu yang telah
mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten? Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak
menyangkalnya meskipun tidak pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya
maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa orang itulah yang mengambil kedua
pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang orang yang berpakaian jubah
berwarna abu-abu, kecuali Pasingsingan dan orang itu. Meskipun Mahesa
Jenar belum pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama sebenarnya
adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang tua itu bukannya Umbaran.
Kalau demikian sampailah Mahesa Jenar
pada suatu dugaan bahwa orang tua itu adalah Pasingsingan tua, guru dari
Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite, Anggara dan Umbaran.
Namun ia sendiri tidak yakin, apakah dugaannya itu benar.
Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat
kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten akan merupakan suatu usaha yang berjangka panjang. Sebab sampai
saat itu segala sesuatunya masih gelap. Gelap sama sekali. Tak ada satu
titik pun yang dapat menunjukkan arah lenyapnya kedua pusaka yang sedang
menjadi rebutan oleh beberapa pihak itu. Akibat dari itu, pasti akan
menyangkut Gajah Sora pula. Makin lama waktu yang diperlukan untuk
menemukan kedua keris itu, semakin lama pula waktu pembebasan yang akan
diberikan kepadanya. Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, mudah-mudahan
Paningron dan Gajah Alit dapat menolong meringankan tuduhan yang
dibebankan kepada Gajah Sora.
Tetapi ketika Mahesa Jenar baru asyik
berangan-angan, tiba-tiba terdengarlah derap kuda yang semakin lama
semakin dekat. Karena itu segera didukungnya Arya yang masih tidur,
dibawa masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Untunglah bahwa Arya yang
kelelahan itu tidak terbangun. Sedang Mahesa Jenar, dengan hati-hati
sekali mengintip dari celah-celah rapatnya dedaunan ke arah suara
kuda-kuda itu.
Sebentar kemudian dari balik tikungan
semak-semak muncullah tiga orang berkuda. Melihat tiga orang itu, dada
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Mereka adalah sepasang Uling dari
Rawa Pening, disertai oleh Sri Gunting.
Menilik perbekalan mereka, maka Mahesa
Jenar dapat mengetahui bahwa dua bersaudara Uling itu akan menempuh
perjalanan yang jauh. Mula-mula timbul keinginan Mahesa Jenar untuk
menghadang mereka serta langsung membinasakan mereka. Tetapi tiba-tiba
diingatnya pesan Ki Paniling, bahwa ia dinasehatkan untuk tidak
bertindak tergesa-gesa. Ia harus tahu pasti bahwa tindakannya
benar-benar akan menguntungkan. Sedang pada saat itu, ia masih belum
yakin bahwa ia seorang diri dapat mengalahkan orang-orang itu. Apalagi
ia sedang membawa Arya. Kalau sampai terjadi sesuatu atas anak itu, maka
letak kesalahan ada padanya. Karena itu akhirnya, Mahesa Jenar hanya
mengintip dengan dada yang bergetar menahan perasaannya.
No comments:
Write comments