Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab, “Kenapa
Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku,
barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun
kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa
daripada mereka hinakan sedemikian?”
“Bagus, memang sedemikianlah seharusnya,” potong Manahan.
“Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?”
sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan
perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan
dari langit. “Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan
perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali
tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap
mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan… “
“Sudahlah Handaka,” potong Manahan. Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya.
Handaka menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan. Memang
harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang
bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati
jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah.
Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut
tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena
pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali
ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya.”
“Tetapi ia tidak sekadar mengancam,” bertanya Handaka, “Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?”
“Bukankah ia tidak berbuat demikian? jawab Manahan sambil tersenyum, dan
hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk
mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia
hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tata perkelahian atau
tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah
orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk
sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat
keuntungan?”
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan, “Handaka… sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun.”
Mendengar penjelasan itu Handaka
menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas
ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari
gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk
maksud-maksud tertentu.
“Sudahkah kau jelas Handaka?” tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia
sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya,
yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua
persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat
diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan
gurunya sangat jauh mendahuluinya.
“Nah, Handaka… marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu,”
ajak Manahan sambil membaringkan dirinya kembali. Handaka sama sekali
tidak berkata sepatah kata pun. Perlahan-lahan ia pun bangkit menutup
pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya
sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya
tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah
mereka dengan jelas.
“Handaka… kata Manahan pelan, “Mulai
besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah
kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita
akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka
kemari.”
“Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak,” gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya, “Bukankah
itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam
taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta
kelebihannya.”
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula.
Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan, “Karena
itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya.
Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta
keadaan yang melingkupinya.”
Seperti biasa, Handaka selalu
mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia
akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata
lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia
pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam
jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam.
Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun.
Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit
mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima
tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu
mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun
baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata
mengingatkan, “Ki Sanak, bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?”
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab, “Benar Tuan, dan aku akan segera pergi.”
“Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula,” kata Wiradapa sambil melangkah pergi.
No comments:
Write comments