Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 J

Handaka menjadi semakin bingung, meskipun demikian ia menjawab, “Kenapa Bapak tadi menjadi sedemikian takut? Kalau Bapak tidak menahan aku, barangkali aku sanggup berbuat sesuatu untuk mengusir mereka. Ataupun kalau mereka adalah orang-orang sakti, bukankah lebih baik binasa daripada mereka hinakan sedemikian?”
“Bagus, memang sedemikianlah seharusnya,” potong Manahan.
“Tetapi kenapa aku tidak boleh berbuat demikian?” sambung Handaka yang merasa mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka mengalirlah kata-katanya seperti hujan yang dicurahkan dari langit. “Dan kenapa Bapak sama sekali tidak melakukan perlawanan. Malahan bapak minta ampun kepada orang yang sama sekali tidak kenal. Bukankah kami tidak pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Sebab kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan… “
“Sudahlah Handaka,” potong Manahan. Tenanglah, dan dengarkanlah kata-kataku seterusnya.
Handaka menjadi terdiam. Ia mencoba untuk mendengarkan kata-kata gurunya dengan baik.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu dapat kau lakukan. Memang harusnya kita berbuat demikian. Tetapi untuk kali ini aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan pikiran yang kadang-kadang bertentangan dengan perasaan. Sebagai seorang laki-laki yang berhati jantan, seharusnya kita lawan setiap serangan dengan dada tengadah. Apalagi penghinaan. Namun demikian ada kalanya keadaan menuntut tanggapan yang lain atas penghinaan yang kita terima itu. Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka aku tidak melawan sama sekali ketika anak muda itu mengancamku dengan pedangnya.”
“Tetapi ia tidak sekadar mengancam,” bertanya Handaka, “Bagaimana kalau pedang itu benar-benar ditusukkan kepada Bapak?”
“Bukankah ia tidak berbuat demikian? jawab Manahan sambil tersenyum, dan hal itu aku ketahui dengan pasti. Ia hanya akan menggertak untuk mengetahui apakah aku memiliki kemampuan untuk melawan atau tidak. Ia hanya ingin mengetahui apakah kita memiliki ilmu tata perkelahian atau tidak. Sekarang ternyata bahwa ia telah mendapat kesan bahwa kita adalah orang-orang yang malas, yang merantau dari satu desa ke lain desa untuk sekadar mendapat makan. Bukankah dengan demikian kita mendapat keuntungan?”
Setelah diam sejenak, Manahan kemudian meneruskan, “Handaka… sebenarnya aku ingin mengetahui apa yang mereka lakukan di sini, tanpa kecurigaan apapun.”
Mendengar penjelasan itu Handaka menundukkan kepalanya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri atas ketergesa-gesaannya. Apalagi ia telah telanjur seolah-olah mengajari gurunya. Ternyata apa yang dilakukan gurunya adalah suatu cara untuk maksud-maksud tertentu.
“Sudahkah kau jelas Handaka?” tanya Manahan.
Handaka mengangguk perlahan. Sadarlah ia sekarang, betapa banyak persoalan yang sama sekali tidak dipikirkannya, yang ternyata perlu untuk diketahuinya. Ternyata bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekuatan dan kekerasan, tetapi dapat diambil cara yang lain. Dengan demikian ternyata bahwa pandangan gurunya sangat jauh mendahuluinya.
“Nah, Handaka… marilah kita tidur kembali. Hari masih malam. Tutuplah pintu itu,” ajak Manahan sambil membaringkan dirinya kembali. Handaka sama sekali tidak berkata sepatah kata pun. Perlahan-lahan ia pun bangkit menutup pintu, dan kemudian merebahkan dirinya di samping Manahan. Pikirannya sibuk menduga-duga siapakah orang-orang yang telah datang menjenguk nya tadi. Dalam remang-remang cahaya pelita ia tidak dapat memandang wajah mereka dengan jelas.
“Handaka… kata Manahan pelan, “Mulai besok kita akan mendapat pekerjaan baru. Aku tidak tahu apakah kira-kira yang harus kita kerjakan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan mengetahui siapakah mereka dan apakah maksud kedatangan mereka kemari.”
“Tetapi alangkah sombongnya anak muda itu, Bapak,” gerutu Handaka.
Manahan tertawa pendek, lalu jawabnya, “Bukankah itu persoalan biasa? Anak-anak sebaya dengan kau memang sedang dalam taraf pergolakan. Mereka senang menunjukkan ketangkasan serta kelebihannya.”
Handaka tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa sebagian jawaban gurunya ditujukan kepadanya pula.
Sesaat kemudian terdengarlah Manahan meneruskan, “Karena itu, jiwa yang bergolak itu harus mendapat saluran yang sebaik-baiknya. Untuk itu perlu kesadaran. Kesadaran akan keadaan diri sendiri serta keadaan yang melingkupinya.”
Seperti biasa, Handaka selalu mendengarkan nasihat gurunya baik-baik. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan berusaha untuk mentaatinya sejauh-jauh mungkin.
Setelah itu Manahan tidak berkata-kata lagi. Kantuknya telah mulai menyerangnya kembali. Dan sesaat kemudian ia pun telah tertidur pula. Demikian pula Bagus Handaka. Ketika ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, kesadarannya pun mulai tenggelam. Dan ia pun tertidur kembali dengan penuh angan-angan di kepala.
Pagi-pagi benar Manahan telah bangun. Segera Handaka dibangunkannya pula. Sebab pada saat matahari terbit mereka harus sudah sampai di halaman kalurahan untuk menerima tugas-tugas yang akan diberikan oleh anak muda yang datang semalam.
Ketika mereka keluar dari ruang itu mereka melihat Wiradapa sudah berdiri di pagar halaman. Agaknya ia pun baru bangun. Maka ketika ia melihat Manahan mendekati, ia pun berkata mengingatkan, “Ki Sanak, bukankah kau diwajibkan datang ke kalurahan pagi ini?”
Manahan mengangguk hormat sambil menjawab, “Benar Tuan, dan aku akan segera pergi.”
Baik Ki Sanak, bersiap-siaplah. Nanti kita pergi bersama. Sekarang mandilah, aku pun akan membersihkan diri pula,” kata Wiradapa sambil melangkah pergi.

No comments:
Write comments