Meskipun demikian, disamping melayani
lawannya yang tangguh luar biasa, Manahan masih selalu mencemaskan
muridnya. Hanya kadang-kadang saja ia sempat melirik Handaka yang
berlari-larian di dekatnya, kemudian anak itu menyerang sekali dua kali,
kemudian kembali berlindung di balik pohon-pohonan.
Namun bagaimanapun juga akhirnya Manahan terpaksa mengakui bahwa Handaka sama sekali tak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Karena itu Manahan telah berjuang semakin
keras. Ia mengharap dapat segera menyelesaikan pertempuran. Dengan
demikian ia akan dapat pula menyelamatkan Bagus Handaka. Tetapi ternyata
Sima Rodra sekarang bukan lagi Sima Rodra tiga tahun yang alu. Sima
Rodra itu ternyata telah memiliki berbagai macam ilmu yang belum
dimilikinya dahulu. Gerakannya menjadi sangat garang, cekatan dan sangat
berbahaya, sehingga untuk menandinginya, Manahan sudah harus memeras
segenap ilmunya. Karena itu ia menjadi gelisah. Bagaimana jadinya Bagus
Handaka kalau ia tidak segera dapat menolongnya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal di
luar dugaan. Ketika Bagus Handaka telah benar-benar terdesak, dan tidak
mampu untuk berbuat sesuatu, hati Manahan tergoncang hebat. Cepat ia
meloncat mundur, menghindar dari lingkaran pertempuran. Pada saat itu ia
melihat tangan istri Sima Rodra itu telah terayun deras sekali, sedang
Bagus Handaka yang baru saja kehilangan keseimbangan dan jatuh
bergulingan, masih belum sempat meloncat berdiri. Manahan tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk meloncat mendekati. Maka satu-satunya
kemungkinan adalah menyelamatkan muridnya dari jarak jauh. Untunglah
bahwa ia masih sempat menyambar sebuah batu dan dengan sekuat tenaga
batu itu dilemparkan ke arah istri Sima Rodra. Ternyata pertolongannya
itu untuk sementara berhasil. Istri Sima Rodra terpaksa meloncat
menghindari batu yang dengan derasnya menyambar kepalanya. Saat yang
sangat berharga itu ternyata dapat dipergunakan Handaka dengan baiknya.
Cepat ia melenting berdiri dan dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar tombaknya, Kyai Bancak. Pada saat itu Manahan tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Sebab Sima Rodra telah menggeram dengan
hebatnya dan menerkamnya sebagai seekor harimau yang kelaparan. Sehingga
sesaat kemudian pertempuran telah berulang lagi dengan dahsyatnya.
Demikian juga Bagus Handaka, ia harus sudah bekerja mati-matian melawan
istri Sima Rodra itu. Meskipun di tangannya telah tergenggam Tombak
Pusaka Banyubiru, namun ia masih banyak mengalami kesulitan. Tetapi
sedikit banyak tombak di tangannya itu akan dapat memperpanjang daya
perlawanannya.
Tiba-tiba, ketika Bagus Handaka sekali
lagi mengalami tekanan yang hebat, sedang Manahan masih belum sempat
untuk menolongnya, datanglah sebuah bayangan yang seperti melayang
memasuki lingkaran pertempuran. Dengan tangan kirinya ia mendorong Bagus
Handaka, sehingga anak itu jatuh terpelanting. Dan sesudah itu tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang istri Sima Rodra.
Bagus Handaka ketika kemudian telah dapat
meloncat berdiri, memandang orang itu dengan penuh keheranan. Tenaganya
meskipun terasa lunak, namun kuatnya bukan kepalang. Meskipun demikian,
dalam keheranannya itu ia menjadi gembira pula. Sebab menilik
kekuatannya, ia mengharap bahwa orang itu dapat mengimbangi istri Sima
Rodra. Kemudian dengan mulut ternganga ia memperhatikan pertempuran yang
berlangsung dengan hebatnya. Kedua-duanya memiliki kecepatan bergerak
yang mengagumkan, sehingga pertempuran itu seolah-olah berubah menjadi
bayang-bayang daun yang bergerak-gerak ditiup angin pusaran.
Manahan dan Sima Rodra suami-istri pun
tidak pula kalah herannya. Mereka sama sekali tidak mengenal siapakah
orang yang telah berani ikut campur dalam pertempuran itu. Namun
beberapa saat mereka tidak sempat memperhatikan lebih saksama lagi,
karena masing-masing masih harus berjuang diantara hidup dan mati. Hanya
kemudian terdengar istri Sima Rodra itu berteriak melengking karena
marahnya. ”He, orang yang tak tahu diri. Siapakah kau yang berani mencampuri urusan kami?”
Namun orang yang perkasa itu sama sekali
tidak menjawab. Bahkan ia mempercepat gerakannya sehingga istri Sima
Rodra itu terpaksa bekerja lebih keras lagi, sejalan dengan memuncaknya
kemarahannya. Tetapi agaknya lawannya pun memiliki ketangkasan yang
mengagumkan. Tangannya dengan lemasnya bergerak menyambar-nyambar
seperti ujung ribuan cambuk yang bergerak bersama-sama, sehingga dengan
demikian terasa bahwa serangan orang itu datangnya dari ribuan arah
pula.
Hal yang sedemikian itu dapat dilihat
pula oleh Sima Rodra. Ia kemudian agak mencemaskan istrinya. Maka
sekarang ialah yang bekerja mati-matian untuk segera dapat menundukkan
lawannya. Karena itu tandangnya menjadi semakin garang. Serangannya
datang bergulung-gulung seperti ombak yang diguncang oleh badai. Namun
ternyata lawannya tangguh seperti batu karang, yang sama sekali tak
dapat ditundukkan. Karena itu, maka tiba-tiba Harimau Hitam dari Gunung
Tidar itu tidak sabar lagi. Dengan mengaum hebat, direntangkannya kedua
belah tangannya, serta tubuhnya menggeletar dengan hebatnya. Itulah
tandanya bahwa Hantu Gunung Tidar itu akan mempergunakan Aji Macan
Liwung.
Melihat sikap lawannya, Manahan terkejut.
Ia pernah melihat sikap yang demikian ketika ia melawan orang
berkerudung kulit harimau hitam bersama-sama dengan Gajah Sora. Yang
kemudian ternyata bahwa orang itu adalah Sima Rodra tua dari Lodaya. Ia
mengenal gerak yang demikian, yang menurut seorang sakti dari
Banyuwangi, Titis Anganten, adalah pemusatan tenaga untuk melontarkan
Aji Macan Liwung. Karena itu untuk sesaat hatinya tergetar hebat.
Tetapi Manahan tidak sempat berbuat
banyak. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, dilihatnya Sima Rodra itu
telah meloncat dengan suatu auman yang mengerikan. Untunglah bahwa
Manahan adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang mumpuni. Ditambah lagi
dengan pengalaman yang telah menempa dirinya siang malam. Karena itu,
melihat Sima Rodra menerkamnya dengan ajinya yang sangat berbahaya,
Manahan tetap dapat menguasai dirinya. Dengan cermat ia mempelajari
gerak lawannya untuk dengan tepat menghindarkan dirinya. Ketika kedua
tangan Sima Rodra dengan kuku-kukunya yang mengembang itu melayang ke
arahnya, cepat Manahan menjatuhkan diri dan berguling-guling ke arah
yang berlawanan, justru lewat di bawah kaki Sima Rodra yang melayang di
atas satu kakinya, kakinya yang lain ditekuk ke depan, sebuah tangannya
menyilang dada dan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan gerak
secepat petir menyambar, Manahan meloncat dan menghantamkan sisi telapak
tangannya ke arah dada Sima Rodra yang baru saja berhasil memutar
tubuhnya. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Sima Rodra
yang telah mengenal pula tanda-tanda yang mengerikan itu, segera mencoba
menghimpun kekuatannya untuk melawan. Namun Sasra Birawa adalah suatu
ilmu yang jarang ada tandingnya. Itulah sebabnya maka tubuh Sima Rodra
yang besar kekar itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian seperti
sebuah batu terbanting berguling-guling, dibarengi dengan pekik ngeri
yang keluar sekaligus dari mulut istri Sima Rodra dan orang yang
melawannya. Untuk beberapa kejap, orang yang bertempur melawan Harimau
Betina Gunung Tidar itu diam mematung mengawasi tubuh Sima Rodra yang
kemudian terbujur diam tak bergerak. Sedang mata yang membayangkan
kengerian dan ketakutan tersirat di wajah istri Sima Rodra. Agaknya ia
merasa, dengan kekalahan yang dialami oleh suaminya itu, merupakan suatu
titik batas yang tak akan mampu lagi diatasi. Apalagi dengan demikian
ia merasa bahwa ia harus berhadap-hadapan dengan orang yang telah
berhasil membinasakan suaminya itu, di samping orang yang tak
dikenalnya. Karena itu, meskipun dendamnya menggelegak sampai ke
lehernya, maka ia lebih baik menghindarkan diri dari kebinasaan, untuk
kelak dapat membalaskan sakit hati serta kematian suaminya. Maka selagi
mereka masih belum sampai menarik perhatian atasnya, lebih baik ia
melenyapkan diri.
Mendapat keputusan itu, secepatnya ia
meloncat ke arah kudanya, dan dalam sekejap melontarkan diri ke punggung
kuda itu, untuk seterusnya menarik kendali kudanya yang kemudian
berlari seperti angin. Berbareng dengan itu mengumandanglah suara
Harimau Betina itu berteriak, “Tunggulah hari pembalasan akan datang.”
Setelah derap suara kuda yang kemudian
disusul oleh para pengawalnya itu lenyap, suasana menjadi hening sepi.
Mereka kini ternyata telah berada agak jauh dari ujung desa, dimana
pertempuran itu dimulai. Manahan, Bagus Handaka, orang yang takdikenal
itu, beserta setiap orang yang berada di situ, berdiri diam seperti batu
dengan wajah-wajah yang tegang. Pandangan mereka berganti-ganti beralih
dari Manahan, Bagus Handaka yang masih menggenggam Kyai Bancak, orang
yang hanya tampak remang-remang dalam gelap malam, dan Sima Rodra yang
terbujur diam, meskipun masih terdengar ia lamat-lamat mengerang menahan
sakit dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Untuk beberapa lama, orang itu mengawasi
Sima Rodra pula. Tetapi kemudian, terjadilah suatu hal yang tak seorang
pun menduganya. Dengan menggeram orang itu dengan dahsyatnya menjadi
terkejut sekali. Untunglah bahwa ia cekatan, sehingga meskipun agak
sulit, ia berhasil menghindarkan dirinya. Tetapi agaknya pemuda itu
tidak mau berbicara lagi. Sekali lagi ia menyerang Manahan, sekali lagi
dan sekali lagi berturut-turut. Mula-mula Manahan yang masih bingung
menebak-nebak, hanya selalu menghindar-hindar saja. Dengan suara
bergetar ia mencoba bertanya, Ada apakah Ki Sanak menyerang aku?
Akibat dari pertanyaan itu mengherankan.
Orang yang menyerang Manahan itu tiba-tiba terloncat selangkah mundur.
Meskipun wajahnya tak begitu jelas dalam gelap malam, namun agaknya
orang itu memperhatikan Manahan dengan saksama. Tetapi kemudian kembali
ia mengejutkan tidak saja Manahan, juga orang-orang yang hadir menjadi
semakin bertanya-tanya dalam hati. Sebab sesaat kemudian orang itu
dengan tiba-tiba kembali meloncat menyerang Manahan dengan dahsyatnya.
Kembali Manahan dengan penuh pertanyaan mencoba menghindarkan diri dari
serangan-serangan yang sangat berbahaya itu. Sekali dua kali Manahan
masih berhasil meloncat-loncat seperti berpijak di atas batubara. Namun
apa yang dapat dilakukan itu tidaklah lama. Sebab bagaimanapun juga
orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula, sehingga akhirnya
Manahanpun menjadi jengkel. Akhirnya terpaksa Manahan pun mulai membalas
serangan demi serangan. Dalam sekejap terjadilah kembali pertempuran
yang dahsyat. Kedua-duanya memiliki tenaga serta kecepatan gerak yang
mengagumkan.
Pertempuran ini pun tidak kalah
dahsyatnya dengan pertempuran yang telah terjadi antara Manahan melawan
Sim Rodra. Meskipun lawan Manahan ini belum memiliki kedahsyatan tenaga
seperti Sima Rodra, namun kelincahannya sangat mengagumkan. Ia memiliki
daya serang yang luar biasa serta membingungkan. Dua belah tangannya itu
merupakan senjata yang sangat berbahaya. Kini, Manahan seolah-olah kini
berhadapan dengan seorang yang memiliki beberapa pasang tangan, yang
bergerak bersama-sama menyerangnya. Itulah sebabnya semakin lama Manahan
semakin kehilangan kesabaran. Ia tidak mau menjadi korban dari suatu
masalah yang gelap, yang sama sekali tak diketahuinya. Maka akhirnya,
dengan mengerahkan kekuatannya, Manahan pun kemudian berjuang dengan
hebatnya. Serangannya datang seperti asap yang bergulung-gulung melibat
lawannya. Karena itu beberapa lama kemudian terasa bahwa Manahan akan
dapat menguasai keadaan. Setapak demi setapak tetapi pasti, ia selalu
berhasil mendesaknya.
Tetapi dalam pada itu lawannya pun segera
mengerahkan segenap tenaganya. Gerakannya menjadi semakin lincah dan
cepat. Agaknya ia pun menyadari bahwa lawannya memiliki beberapa
kelebihan daripada dirinya. Karena itu ia bertempur dengan sangat
berhati-hati.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran
itu, termasuk Bagus Handaka, tidak habisnya keheran-heranan. Mereka sama
sekali tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi. Mula-mula mereka
melihat seseorang membantu Bagus Handaka melawan istri Sima Rodra
sehingga sepasang Harimau Gunung Tidar itu sudah dapat dikalahkan.
Tetapi yang tiba-tiba saja malahan orang yang telah membantu itu dengan
dahsyatnya berganti menyerang. Namun demikian tak seorangpun berani
berbuat sesuatu. Tak seorangpun yang berani mencoba melerainya.
Jangankan para penduduk Gedangan, sedang Bagus Handaka pun melihat
pertempuran itu dengan wajah yang kagum. Pada saat Manahan bertempur
dengan Sima Rodra, ia sama sekali tidak sempat menyaksikannya, sebab ia
sendiri harus selalu berloncat-loncatan menghindari serangan istri Sima
Rodra. Pada saat ia menyaksikan pertempuran antara orang yang
menolongnya itu melawan istri Sima Rodra yang tak sehebat gurunya, iapun
telah mengaguminya. Apalagi pertempuran itu. Diam-diam ia menjadi
semakin kagum melihat keperkasaan Manahan, namun ia heran juga melihat
orang dapat bertempur selincah lawan gurunya itu.
Tetapi yang tak seorang pun tahu, adalah
kesibukan hati Manahan. Ketika lawannya telah sangat terdesak, dan
melawannya dengan segenap ilmu yang dimilikinya, Manahan menjadi
berdebar-debar. Agaknya ia pernah bertempur dengan seseorang yang
memiliki ilmu yang demikian dahsyat serta lincah. Meskipun demikian
sesaat ia masih bertempur sepenuh tenaga. Ia tak mau ditelan oleh
angan-angannya, yang belum mendapat kepastian. Karena itulah ia masih
saja mendesak maju, serta mempersempit setiap kesempatan bergerak dari
lawan, yang bagaimanapun lincahnya, akhirnya merasakan juga ilmunya
belum dapat disejajarkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Manahan.
Akhirnya ketika ia sudah tidak mampu lagi
melawan dengan tangannya, tiba-tiba memancarlah sebuah cahaya yang
berkilat-kilat. Di tangan orang itu kemudian tergenggam sehelai pedang
yang tipis, yang agak lebih kecil sedikit dibandingkan dengan pedang
biasa.
Melihat pedang itu hati Manahan berdesir.
Cepat ia meloncat mundur, dan dengan dada bergetaran ia akan mencoba
untuk menghentikan pertempuran. Namun belum lagi mulutnya sempat
mengucapkan kata-kata, orang itu telah meloncat menyerang dadanya.
Tetapi sekarang Manahan tidak lagi berusaha untuk melawan, bahkan
menghindar pun tidak.
Ketika ia melihat pedang itu, dan
kemudian ia melihat ujung pedang itu selalu bergetar dalam tangan
lawannya, ia sudah pasti, siapakah orang itu. Karena itu betapa
menyesalnya, bahwa ia telah benar-benar bertempur, dan bahkan mungkin
sudah menyakitinya pula.
Dalam sesaat itu, ia sudah dapat
mengetahui hampir segala persoalan kenapa tiba-tiba ia diserangnya. Juga
ia yakin bahwa lawannya telah pula mengetahui siapakah sebenarnya
dirinya.
Sebaliknya, orang itupun terkejut ketika
Manahan sama sekali tak menghindari mata pedangnya yang sudah hampir
merobek dada itu. Kalau semula ia benar-benar marah dan dendam, namun
ketika Manahan sama sekali seolah-olah pasrah diri, hatinya bergoncang.
Tiba-tiba saja timbullah suatu perasaan, bahwa tidak semestinyalah ia
harus melukai orang itu, apalagi setelah lawannya itu pasrah.
Lebih-lebih sampai mengambil jiwanya. Karena itu, kemudian dengan
gugupnya ia mencoba untuk menarik serangannya. Tetapi sayang bahwa
lontaran tenaga loncatnya sedemikian besar. Maka yang dapat dilakukannya
adalah mengubah arah pedangnya. Meskipun demikian, karena ujung
pedangnya yang setajam pisau pencukur itu sudah hampir melekat dada,
maka terpaksa ujung pedang itu masih menggores lengan Manahan.
Mengalami peristiwa itu, Manahan berdesis
kecil sambil terdorong setapak ke samping oleh gerak naluriahnya.
Tetapi setelah itu, kembali ia tegak seperti patung, tanpa suatu usaha
untuk membalas, apalagi membinasakan lawannya.
Berdesirlah setiap dada, dari mereka yang
mengelilingi arena pertempuran itu. Sedang diantara mereka, dada
Handakalah yang paling terguncang. Tanpa disengajanya ia telah meloncat
maju. Tetapi kemudian ia tidak berani melangkah, sebelum mendapat izin
dari gurunya. Meskipun keinginannya untuk melakukan apapun karena
kemarahannya yang telah memuncak melihat gurunya dilukai, pada saat
gurunya sudah menghentikan perlawanan. Sedangkan ia yakin bahwa kalau
saja Manahan menghendaki, pasti ia berhasil menghindari tusukan pedang
itu.
Tetapi lebih dari segala keanehan yang
telah terjadi, orang-orang di sekitar arena pertempuran itu seolah-olah
benar-benar melihat suatu pertunjukan yang sengaja untuk memusingkan
kepala mereka. Sebab setelah itu, tiba-tiba ia melihat orang yang telah
melukai Manahan itu pun berdiri pula seperti patung sambil menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun sangat menyesal bahwa
Manahan telah terluka. Orang itu merasa bersalah, bahkan lebih dari itu,
berbagai-bagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Karena itu dengan
tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Setelah itu,
tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Sima Rodra yang
masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera ia menjatuhkan
dirinya, dan berlutut di sampingnya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian
yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan
suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan
pula.
Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu
terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi
tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis
seorang perempuan.
”Ayah…” terdengar suara di antara isak tangis itu.
Untunglah, bahwa pada saat itu sisi
telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam
kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya
kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia
telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena
kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah
mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia
masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena
luka-luka di tubuhnya bagian dalam.
Karena itu ia masih dapat mendengar
seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia
terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang
telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia
memandanginya.
Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu, ”Ayah….”
Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar
itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang
dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh.
Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan.
Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya,
hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya,
bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi
menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya
itu.
Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya, ”Siapakah kau…? ”
Orang yang berlutut itu memandang wajah
Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah
mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali
tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap
dihanyutkan banjir.
Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus, ”Siapakah kau…?”
Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih, ”Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis.”
”Wilis, kau Rara Wilis…?” tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.
”Ya, ayah….” Aku Rara Wilis.
”Wilis… Wilis….” Suara Sima
Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya.
Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya
sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.
Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima
Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap
kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.
Melihat Mahesa Jenar berusaha
menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu
letih, namun ia memaki-maki juga. Katanya, ”Pergilah kau Mahesa
Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di
dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada
tubuhku.”
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak
melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima
Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.
”Tenangkanlah hatimu Sima Rodra, bisik Mahesa Jenar. Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu
kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya
kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka
meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan
singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula, ”Wilis… benarkah kau anakku…?”
”Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu,” jawab Rara Wilis sedih.
”Di mana ibumu sekarang?” tanya Sima Rodra semakin lemah.
Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya, ”Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah.”
Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
”Wilis…” katanya kemudian, ”Maafkanlah
ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan
hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan
maafku kepada kakekmu, Ki Santanu.”
”Ayah…” sahut Rara Wilis, ”Lupakanlah
apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku
atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng
Pandan Alas.”
”Pandan Alas…?” ulang Sima Rodra.
”Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Rara Wilis menegaskan.
“O…” kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam. Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas, “Alangkah
bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah
bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau
memperoleh ilmu yang dahsyat itu….”
Rara Wilis mengangguk kecil. Jawabnya, “Aku
pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah
kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku,
aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah
ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam
keadaan parah.”
Kembali terdengar Rara Wilis menangis
terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan
yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.
”Sudahlah Wilis…” kata Sima Rodra, ”Kau
adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu
jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku.
Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki
Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?”
Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk.
Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya.
Sambil menunjukkan keris itu ia berkata, Inilah ayah.
”Sigar Penjalin…” desis Sima Rodra, ”Cobalah aku merabanya.”
Segera keris itu diserahkan kepada Sima
Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian,
terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah
Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke
tangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang.
Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya
akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia memekik kecil.
”Kenapa kau terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah membunuhku. Adakah kau kenal dia…?”
Rara Wilis mengangguk perlahan.
Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya, ”Hem…” desahnya. ”Siapakah orang ini sebenarnya…?”
”Sebagai yang ayah kenal,” jawab Rara Wilis, ”Namanya
Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah
bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya.”
”Bekas prajurit…?” ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda. ”Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?”
”Tak ada,” sahut Rara Wilis.
”Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan.”
“He…” Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata, ”Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu.”
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, ”Maafkan
aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk
menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang
terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa
Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku
akan berlalu dengan hati yang lapang.”
”Ayah…” potong Rara Wilis, ”Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah.”
No comments:
Write comments