Manahan sama sekali tidak keberatan atas
kelakuan muridnya itu. Ia mengharap bahwa dengan demikian Bagus Handaka
mendapat ketenangan dan pengendapan. Dalam kesepian yang demikian
kadang-kadang ditemukannya masalah-masalah besar dalam perjuangan masa
depan. Karena itu ia sama sekali tak mengganggunya. Dibiarkannya Handaka
pada saat terluangnya menyepikan diri, sedang Manahan sendiri
waktu-waktu luangnya selalu diisi dengan duduk-duduk di sudut desa
bersama-sama dengan para petani yang menunggui sawahnya yang sering
diganggu oleh babi hutan. Dalam keadaan yang demikian banyaklah
masalah-masalah yang dapat diberikan kepada para petani secara tidak
langsung.
Tetapi pada suatu malam terjadilah suatu
hal yang mengejutkan. Saat itu, ketika malam kelam membalut pantai,
Handaka sedang duduk seperti biasa merenungi lampu-lampu perahu nelayan
yang hilir-mudik di laut. Tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan lurus
ke arahnya. Di dalam gelap malam, Handaka tidak segera mengenal siapakah
orang itu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang itu bukanlah Manahan.
Ketika orang itu sudah berdiri dekat di
hadapannya, mendadak tanpa berkata apa-apa orang itu langsung
menyerangnya. Mula-mula Handaka terkejut bukan main, tetapi kemudian ia
sadar bahwa ia harus membebaskan dirinya. Karena itu segera ia meloncat
menghindar. Tetapi penyerangnya tidak membiarkannya lolos, malahan
kembali ia menyerang lebih hebat. Untuk beberapa saat Handaka menjadi
ragu. Apakah salahnya dan siapakah orang itu? Sambil meloncat
menghindar, ia berteriak, “Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Tetapi penyerang itu sama sekali tak menghiraukannya. Dengan penuh nafsu orang itu menyerang terus.
Akhirnya karena tak ada kemungkinan lain,
Handaka terpaksa melayaninya. Mula-mula ia masih berusaha untuk
meyakinkan orang itu, bahwa mungkin ia keliru. Sebab selama ini Handaka
merasa tak ada seorang pun yang memusuhinya di seluruh pedukuhan nelayan
itu.
Tetapi ia menjadi terkejut sekali ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang dalam, “Bagus Handaka, kau sekarang tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku.”
Sekali lagi ia mencoba bertanya, “Apakah hubunganmu dengan diriku sehingga kau bermaksud menangkap aku? Dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang itu tidak menjawab, tetapi
tertawanya yang nyaring terdengar sangat mengerikan. Dan berbareng
dengan itu serangannya menjadi bertambah cepat dan mendesak.
Tetapi Bagus Handaka sekarang bukanlah
Arya Salaka dua tahun yang lalu. Bagus Handaka adalah seorang pemuda
yang meskipun umurnya belum lebih dari 15 tahun, namun karena gemblengan
yang menempa dirinya setiap saat, maka ia adalah seorang pemuda yang
tangkas dan kuat. Karena itu ia dapat berkelahi dengan tenang dan
lincah. Sehingga serangan-serangan orang yang tak dikenalnya itu
beberapa kali dapat dihindarinya dengan mudah.
Tetapi ia tidak dapat terus-menerus
menghindar dan mengelak. Sebab orang yang menyerangnya menjadi semakin
marah. Gerak-geriknya semakin cepat dan berbahaya. Karena itu, akhirnya
Bagus Handaka terpaksa melakukan serangan-serangan pula, sebagai suatu
cara terbaik untuk mempertahankan diri.
Perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin hebat. Namun di masa-masa yang pendek, Bagus Handaka sempat
mengamat-amati wajah penyerangnya. Orang itu agaknya telah berumur
sedikit lebih tua dari gurunya. Wajahnya tampak bengis dan berkumis
tebal. Selebihnya ia tidak begitu jelas. Kecuali orang itu selalu
bergerak, juga karena malam yang kelam.
Untunglah bahwa orang itu tidak memiliki
ilmu yang tinggi, sehingga meskipun Bagus Handaka pantas menjadi
anaknya, tetapi dalam perkelahian itu, meskipun ia harus bekerja keras,
ia sama sekali tidak perlu cemas akan kesudahan dari pertempuran itu.
Setelah mereka bertempur beberapa lama,
akhirnya Bagus Handaka mendengar desah nafas lawannya semakin lama
semakin cepat. Ia menjadi bergembira, karena dengan demikian ia tahu
bahwa sebentar lagi lawannya akan kehabisan nafas. Karena itu, ia tidak
perlu untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ia cukup mengganggunya
sehingga apabila nafas orang itu telah benar-benar tersekat, maka ia
dengan mudah akan dapat menangkapnya. Mungkin gurunya tahu siapakah
orang itu. Tetapi agaknya penyerang itu menyadari kelemahannya. Karena
itu, dengan tergesa-gesa orang itu meloncat mundur sebelum kehabisan
nafas dan berusaha melarikan diri. Tetapi Bagus Handaka sama sekali tak
melepaskannya. Cepat ia berusaha mengejarnya. Namun ia menjadi
keheran-heranan. Orang yang nafasnya tinggal seujung kuku itu, masih
dapat melarikan diri dari kejarannya.
Bagus Handaka berhenti mengejar ketika
orang itu menyusup ke dalam semak-semak yang rimbun. Sulitlah baginya
untuk mencari seseorang di dalam gelapnya malam diantara semak-semak
itu.
Setelah puas merenungi semak-semak itu,
kemudian dengan langkah yang berat Bagus Handaka berjalan pulang ke
pondoknya. Di dalam otaknya terjadilah suatu keributan. Ia sibuk
menebak-nebak, siapakah orang yang dengan tiba-tiba saja menyerangnya.
Bukan karena suatu kekeliruan, tetapi benar-benar dirinyalah yang
dicari.
Sampai di pondoknya segera ia mencari
gurunya. Tetapi ternyata Manahan masih belum pulang. Bagus Handaka yang
tahu akan kebiasaan gurunya segera pergi menyusul ke pojok desa.
Tetapi akhirnya ia menjadi ragu. Apakah
hal yang demikian saja sudah merupakan suatu hal yang perlu dibicarakan
dengan gurunya. Apakah dalam hal-hal yang kecil tidak cukup kalau
diselesaikannya sendiri.
Karena pikiran itu maka Bagus Handaka
kemudian membatalkan maksudnya untuk menyatakan peristiwa yang baru saja
dialami itu kepada gurunya. Sehingga ketika ia sampai di pojok desa,
dan ketika ia sudah duduk di antara para petani dan nelayan yang sedang
tidak turun ke laut, ia sama sekali tak berkata apapun mengenai
peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak mau mengganggu Manahan dengan
soal-soal yang remeh-remeh.
Tetapi apa yang dialami kemudian adalah
sangat memusingkan kepalanya. Pada malam berikutnya, ketika ia sedang
berbuat seperti kebiasaannya, tiba-tiba datanglah seseorang yang juga
tanpa sebab menyerangnya. Tetapi orang ini adalah orang yang lain dari
yang menyerangnya kemarin. Orang ini agaknya sudah jauh lebih tua dari
gurunya.
Seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka
berusaha pula meyakinkan bahwa mungkin orang itu keliru. Tetapi juga
seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka terkejut dan keheran-heranan
ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang tinggi, “Tak
usah kau mengelakkan diri. Soalnya sudah cukup jelas. Dan kau harus
menyerah kepadaku sebelum orang lain berhasil menangkapmu mati atau
hidup.”
Maka bersaling-silanglah teka-teki di
dalam kepala Bagus Handaka. Apakah sebabnya maka hal ini bisa tejadi?
Tiba-tiba ia teringat kepada orang-orang yang beberapa tahun yang lalu
memburunya. Adakah orang-orang ini juga terdiri dari gerombolan yang
sama? Karena itu dengan keras Bagus Handaka berkata, “Hai orang tua
yang tak tahu diri, adakah kau termasuk dalam gerombolan orang-orang
yang akan membunuhku beberapa tahun yang lalu?”
Terdengar orang itu tertawa dengan nada yang tinggi. Jawabnya, “Aku
tidak mengenal orang-orang lain yang memburumu. Tetapi aku memerlukan
kau seperti orang-orang lain yang barangkali juga memerlukan.”
Bagus Handaka menjadi semakin bingung. Katanya, “Adakah hubungan semua itu dengan tanah perdikan Banyubiru?”
“Banyubiru?” bertanya orang tua itu dengan heran. “Aku belum pernah mendengar nama Tanah Perdikan Banyubiru.”
“Lalu apa perlumu menangkap aku?” potong Handaka.
Sekali lagi orang tua itu memperdengarkan
suara tertawanya yang semakin tinggi. Tetapi bersamaan dengan itu
serangan menjadi bertambah cepat dan berbahaya.
Bagus Handaka pun kemudian tidak
bertanya-tanya lagi. Ia menjadi jengkel sekali atas kejadian-kejadian
itu. Karena itu ia bertekad untuk menangkap penyerangnya kali ini.
Tetapi ternyata orang tua ini mempunyai
ilmu yang agak lebih tinggi dari orang yang menyerang kemarin. Meskipun
umurnya sudah lanjut, namun geraknya masih sangat membahayakan.
Serangannya datang tiba-tiba dan kadang-kadang tak terduga.
Mula-mula Bagus Handaka menjadi agak
mengalami kesulitan. Ia belum pernah melihat beberapa dari unsur-unsur
gerak lawannya. Tetapi karena orang tua itu agaknya belum memiliki
unsur-unsur gerak yang banyak macamnya, maka serangannya selalu
dilakukan berulang kali dengan unsur-unsur gerak yang hanya ada beberapa
macam itu saja. Meskipun unsur-unsur gerak itu mula-mula agak
membingungkannya, tetapi lambat laun dapat dikuasainya. Apalagi karena
Bagus Handaka sendiri telah banyak menerima bahan-bahan serta ilmu yang
cukup banyak dari gurunya.
Malahan ketika mereka telah bertempur
beberapa lama, Bagus Handaka mulai dapat mengenal ilmu lawannya dengan
baik. Karena itu seperti malam sebelumnya, ia tidak perlu
mengkhawatirkan dirinya. Ia pasti akan dapat mengatasi lawannya yang
sudah tua itu. Tetapi karena kali ini ia benar-benar ingin menangkap
penyerang itu, maka Bagus Handaka selalu berusaha untuk dengan
secepat-cepatnya menjatuhkan lawannya, meskipun hal itu tidak dapat
dilakukannya dengan mudah.
Akhirnya, ketika orang tua itu merasa
bahwa Bagus Handaka bukanlah anak-anak yang dengan mudahnya dapat
ditakut-takuti serta dengan mudahnya dapat ditangkap, bahkan malahan
dalam beberapa hal Bagus Handaka dapat melebihinya, maka tak ada jalan
lain daripada melarikan diri.
Apalagi ketika ternyata Bagus Handaka
dapat melawannya dengan mempergunakan bagian-bagian dari unsur-unsur
geraknya sendiri. Orang tua itu menjadi bertambah takut lagi.
Cepat-cepat ia meloncat mundur beberapa
langkah, dan kemudian berusaha untuk berlari secepat-cepatnya. Bagus
Handaka yang sudah mengira hal itu akan terjadi, segera meloncat
menghadang. Tetapi orang tua itu seakan-akan telah dapat memperhitungkan
pula tindakan Bagus Handaka, karena demikian Bagus Handaka melontarkan
diri, demikian orang tua itu membalik ke arah yang berlawanan, dan
seperti terbang orang itu berlari masuk ke dalam semak-semak yang gelap.
Bagus Handaka yang mengejarnya menjadi keheran-heranan. Meskipun
ternyata ilmunya tidak kalah tinggi, bahkan beberapa unsur gerak orang
tua itu malahan telah dapat dikuasai, namun dalam hal berlari ternyata
ia masih kalah. Karena itu dengan hati yang semakin jengkel Bagus
Handaka terpaksa melepaskan orang tua itu pergi.
Dengan kejadian-kejadian itu, teka teki
yang melibat dirinya menjadi semakin kisruh. Ia mencoba mengingat-ingat
semua kejadian yang pernah dialami, namun ia sama sekali tak dapat
menghubungkannya dengan peristiwa dua malam terakhir itu.
Tetapi Bagus Handaka adalah seorang
pemuda yang berani, cerdas dan banyak hal yang ingin diketahui. Karena
itulah maka, setelah mengalami peristiwa dua malam berturut-turut,
malahan ia ingin untuk mengetahui apakah yang akan terjadi seterusnya.
Ia ingin melihat apakah pada malam-malam berikutnya akan terjadi pula
hal-hal semacam itu. Malahan ia mengharap kedatangan salah seorang
diantaranya, sehingga apabila orang itu dapat ditangkapnya, maka
pastilah latar belakang dari peristiwa-peristiwa itu dapat disingkapkan.
Namun sampai sedemikian jauh Bagus Handaka masih belum merasa perlu
untuk menyampaikan masalah itu kepada gurunya. Nanti apabila salah
seorang dari mereka dapat ditangkapnya, barulah Bagus Handaka bermaksud
membawa orang itu kepada Manahan.
Pada malam berikutnya Bagus Handaka
sengaja menghindarkan diri dari beberapa kawannya yang sering
mengajaknya turun ke laut. Dengan demikian maka ia dapat leluasa pergi
ke pantai untuk menanti peristiwa yang aneh, yang barangkali masih ada
kelanjutannya.
Dan apa yang dinantinya benar-benar datang.
Ketika angin laut menghembus
perlahan-lahan mempermainkan buih di pantai, Bagus Handaka dikejutkan
oleh sebuah bayangan yang seolah-olah muncul saja dari dalam laut, dan
dengan langkah yang cepat langsung menuju ke arahnya.
Meskipun Bagus Handaka sengaja menanti
kejadian itu, namun hatinya tergetar juga. Dua malam berturut-turut ia
mengalami serangan dari orang yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang
itu datang dari arah semak-semak, sedangkan kali ini orang itu muncul
seakan-akan dari dalam air.
Ketika orang itu sudah semakin dekat,
Bagus Handaka segera meloncat berdiri serta mempersiapkan diri. Sebab
menilik gerak serta arah datangnya, maka orang ini pasti lebih berbahaya
dari dua orang yang pernah dilawannya.
Melihat Bagus Handaka berdiri serta
mempersiapkan diri, orang itu terhenti. Agaknya ia heran melihat sikap
Handaka. Tetapi kemudian terdengar ia tertawa pendek, menyeramkan.
Katanya, “Aku tidak akan keliru lagi. Bukankah kau yang bernama Bagus Handaka?”
Di dalam gelap, Bagus Handaka mencoba
mengawasi wajah orang itu. Tetapi yang dapat diketahuinya adalah, orang
itu janggut serta kumisnya tumbuh lebat sekali, sehingga menutupi hampir
seluruh lubang mulut serta hidungnya. Selain dari itu tak ada lagi
kesan yang diperolehnya.
Dengan suara yang mantap, Bagus Handaka menjawab, “Ya, aku Bagus Handaka. Kau mau apa?”
Kembali terdengar suara tertawa pendek yang menyeramkan. Katanya, “Kau memang berani Handaka. Aku kira kau akan memungkiri dirimu. Kau tidak takut mendapat bahaya?”
“Kenapa aku mesti takut. Aku sudah
mengira bahwa kau akan berkata seperti orang-orang yang pernah
menyerangku dua malam berturut-turut meskipun orangnya tidak sama,” potong Bagus Handaka.
Agaknya orang itu heran mendengar kata-kata Handaka, sehingga ia bertanya, “Dua malam berturut-turut kau mendapat serangan?”
Sekarang Bagus Handaka yang tertawa berderai. Jawabnya, “Aku
bukan anak-anak yang masih pantas kau bohongi dengan cara demikian.
Adakah suatu peristiwa kebetulan sampai tiga kali berturut-turut dengan
cara yang sama?”
Mendengar jawaban Bagus Handaka, orang itu berdesis, “Agaknya mereka telah mendahului aku.” Lalu tiba-tiba ia berkata kepada Bagus Handaka, “Tetapi
kenapa kau masih sempat bermain-main di sini. Kalau apa yang kau
katakan benar, aku kira kau sudah tergantung mati di tengah Alas Roban.”
Mau tidak mau jantung Handaka tergetar
hebat mendengar kata-kata itu. Apakah sebabnya orang-orang itu
memburunya dan akan menggantungnya di Alas Roban…? Karena itu pula ia
menjadi marah sekali. Ia tidak pernah merasa berbuat salah kepada orang
lain, tetapi kenapa ada orang yang menginginkan kematiannya?
Kemudian dengan tidak menunggu lebih lama
lagi, Bagus Handaka meloncat mendahului menyerang orang itu.
Serangannya hebat sekali dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada.
Orang yang berkumis dan berjanggut lebat
itu agaknya terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Bagus Handaka akan
memulai lebih dahulu. Cepat ia meloncat ke samping. Tetapi Bagus Handaka
tidak membiarkannya. Disusullah serangan itu dengan serangan
berikutnya. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga orang asing
itu tidak sempat mengelakkan dirinya. Karena itu cepat-cepat ia berusaha
menahan serangan Bagus Handaka dengan kedua tangan yang disilangkan di
muka dadanya.
Maka terjadilah suatu benturan yang
keras. Bagus Handaka terdorong beberapa langkah surut, tetapi orang itu
pun tak dapat bertahan pada tempatnya dan terlempar beberapa langkah
pula. Dengan demikian masing-masing mengetahui bahwa kekuatan mereka
berimbang. Maka untuk memenangkan pertempuran selanjutnya adalah
terletak pada keprigelan dan ketinggian ilmu masing-masing.
Karena itu segera Bagus Handaka
mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa apabila orang itu dapat
mengalahkannya, maka taruhannya adalah nyawanya. Ia tidak mau mati
bergantungan di tengah-tengah Alas Roban, dan bangkainya nanti akan
menjadi makanan burung gagak.
Sesaat berikutnya terjadilah pertempuran
yang dahsyat. Masing-masing mempergunakan segenap tenaganya serta
segenap ilmunya. Meskipun Bagus Handaka masih terlalu muda untuk melawan
orang yang berjanggut dan berkumis lebat itu, namun karena
latihan-latihan berat yang pernah dilakukan selama ini, maka ia pun
tidak mengecewakan. Sebaliknya orang asing itu pun ternyata bukan pula
seperti dua orang yang menyerangnya malam-malam sebelumnya. Sehingga
dengan demikian perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Hanya
kadang-kadang saja Bagus Handaka dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang
aneh-aneh yang dilakukan oleh lawannya. Tetapi karena lawannya itu pun
agaknya belum menguasai benar-benar ilmunya itu, sehingga pelaksanaannya
masih belum seperti yang diharapkan. Bagus Handaka yang lincah dan kuat
itu dapat untuk beberapa kali menyelamatkan diri dari serangan-serangan
yang demikian.
Setelah mereka bertempur beberapa lama
maka terasalah oleh Handaka bahwa meskipun kekuatan orang itu dapat
menyamainya tetapi ia masih dapat membanggakan kelincahannya. Orang itu
agaknya terlalu memberatkan serangan-serangannya pada kekuatan tenaga
serta beberapa unsur geraknya yang meskipun berbahaya tetapi belum dapat
dilakukannya dengan lancar. Karena itu lambat laun ia merasa bahwa ia
akan dapat berhasil mengatasinya.
Sebaliknya orang asing itu akhirnya
kehabisan akal. Semua ilmu serta tenaganya sudah dicurahkannya, namun ia
sama sekali tidak berhasil menangkap anak yang dicarinya itu. Meskipun
beberapa kali ia berhasil mengenai tubuh Bagus Handaka, namun ia sendiri
dapat dikenai oleh anak itu dua kali lipat.
Dengan demikian maka sudah tidak ada
harapan lagi baginya untuk memenangkan pertempuran itu. Maka akhirnya
orang itu putus asa, dan menyerang membabi buta dengan ilmu andalannya.
Dengan demikian bagi Bagus Handaka, malahan menguntungkan sekali. Sebab
dengan membabi buta, lawannya telah kehilangan sebagian dari pengamatan
diri serta kewaspadaan. Karena itulah agaknya Bagus Handaka semakin lama
semakin berada dalam keadaan yang menguntungkan.
Tetapi hampir seperti kejadian-kejadian
pada malam-malam sebelumnya, orang itu pun kemudian meloncat melarikan
diri. Juga kali ini Bagus Handaka sama sekali tak berhasil mengejarnya.
Apalagi orang aneh yang muncul dari dalam air itu berlari terjun ke
dalam air pula.
Ketika orang itu lenyap, Bagus Handaka
berdiri bertolak pinggang di batas air. Dadanya melonjak-lonjak dipenuhi
oleh kemarahan, keheranan dan kengerian yang bercampur aduk. Tiga malam
ia mengalami peristiwa yang disaput oleh kabut rahasia. Apakah kejadian
ini akan berlangsung berlarut-larut…?
Tetapi jiwa keingintahuan Bagus Handaka
tiba-tiba menguasai perasaannya kembali. Bagaimana dengan malam keempat?
Kalau hal ini disampaikan kepada gurunya, mungkin kejadiannya akan
berubah. Ia ingin melihat para penyerang itu datang berturut-turut
sampai orang yang terakhir. Lalu apakah yang terjadi sesudah itu…?
Demikianlah kembali pada malam keempat.
Bagus Handaka mencari-cari alasan untuk tidak terjun ke laut.
Kawan-kawannya yang mengajaknya sama sekali tidak curiga bahwa Bagus
Handaka sedang melakukan suatu perbuatan yang aneh namun sebenarnya
penuh dengan bahaya.
Dan apa yang diharapkan kali inipun benar-benar datang pula.
Dengan penuh pertanyaan di dalam hati
Bagus Handaka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menangkap
penyerangnya. Namun kali inipun ia tidak berhasil. Malahan orang keempat
ini berhasil menghantam pergelangan tangan kirinya sehingga terasa
sangat sakit. Untunglah bahwa akhirnya ia masih dapat mengalahkan orang
itu, meskipun ia tidak pula berhasil menangkapnya.
Demikian pula pada malam kelima. Otak
bagus Handaka rasa-rasanya hampir meledak memikirkan hal itu. Apalagi
ketika orang kelima ini ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Tidak seperti keempat orang sebelumnya,
yang datang dari jurusan yang tidak sama, namun kedatangan mereka itu
dapat diketahui sebelumnya, meskipun ada dua diantaranya yang datang
dari jurusan yang aneh, dari laut. Tetapi orang kelima ini jauh lebih
aneh lagi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di belakang Bagus Handaka
dengan suara garang dibarengi dengan suara tertawa yang menyeramkan ia
berkata, “Bagus Handaka, kau mau melarikan dirimu kemana lagi. Berbulan-bulan aku mencarimu, dan sekarang aku menemukan kau di sini.”
Empat malam berturut-turut Bagus Handaka
sudah bertempur dengan orang-orang yang tak dikenal, dan empat kali pula
ia berhasil mengalahkan mereka. Namun kali ini bulu tengkuknya meremang
juga. Wajah orang ini sama sekali bersih, hanya alisnya agak terlalu
lebat dan hampir bertemu di atas hidungnya. Tetapi wajah yang bersih itu
seakan-akan memancarkan udara maut dari setiap lubang-lubangnya.
Kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Ha,
agaknya kau sudah ketakutan. Aku kira kau anak yang berani. Bukankah
kau murid seorang perkasa yang menamakan dirinya Manahan? Sayang kalau
murid Manahan sepengecut kau ini.”
Bagus Handaka adalah seorang anak yang
berani. Meskipun hatinya tergetar pula menghadapi sesuatu, tetapi ia
tidak akan menilai seseorang berlebih-lebihan. Apalagi orang itu telah
menghinanya dengan menyebut-nyebut nama gurunya. Karena itu ia menjadi
marah sekali. Dengan mulut yang terkatub rapat serta gigi yang
gemeretak, Bagus Handaka tidak menanti orang itu selesai berkata.
Seperti seekor banteng luka ia dengan dahsyatnya menyerang orang itu.
Orang yang mendapat serangan itu agaknya
terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia menggeser kakinya sehingga ia
terbebas dari serangan Bagus Handaka. Tetapi Bagus Handaka yang hatinya
sudah terbakar oleh kemarahan itu, dengan cepatnya menyerang pula.
Sekali lagi orang itu terpaksa mengelakkan diri, tetapi agaknya ia tidak
mau diserang terus-menerus. Kemudian dengan garangnya ia pun menyerang
kembali. Namun ternyata Bagus Handaka memiliki kelincahan yang cukup
pula, sehingga serangan orang itu dapat dielakkannya. Kemudian
terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Masing-masing melancarkan
serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya. Tetapi masing-masing
ternyata memiliki kegesitan dan ketahanan yang cukup.
Bagus Handaka yang telah bertempur empat
malam berturut-turut dan memenangkan setiap pertempuran, ternyata sangat
mempengaruhi jiwanya. Ia semakin percaya kepada kekuatan dirinya
sendiri. Dan perasaan yang demikian sangat membantu keadaannya pada
malam kelima itu. Meskipun ia merasa bahwa orang kelima ini memiliki
ilmu yang lebih tinggi dari orang-orang sebelumnya, namun hatinya yang
telah dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa empat malam sebelumnya
menjadikannya tetap tatag dan tenang.
Tetapi suatu hal yang kurang
menguntungkan bagi Bagus Handaka, adalah karena orang itu jauh lebih
besar dan lebih tinggi, maka kesempatan orang itu untuk mengenainya agak
lebih banyak. Tangan serta kakinya yang agak lebih panjang, ternyata
mempengaruhi jalan pertempuran itu.
Rupa-rupanya orang itu mempergunakan
keuntungan itu sebaik-baiknya. Ia selalu melawan serangan Bagus Handaka
dengan serangan pula. Beberapa kali Bagus Handaka dapat dikenai dengan
cara demikian sebelum tangannya sempat menyentuh tubuh orang itu.
Sehingga Bagus Handaka menjadi semakin marah dan bertempur mati-matian.
Ternyata kali ini lawannya benar-benar
tangguh. Orang itu licin seperti belut, serta lincah seperti singgat.
Beberapa kali, apabila serangan-serangan Bagus Handaka agaknya sudah
tidak dapat dihindari, tiba-tiba saja ia melenting beberapa langkah, dan
kemudian dengan cara yang sama ia telah menyerang kembali.
Menghadapi
serangan yang demikian Bagus Handaka merasa agak sulit. Dengan
menjatuhkan diri ia mencoba membebaskan dirinya. Tetapi orang itu tidak
membiarkan Bagus Handaka lolos. Dengan kakinya yang kokoh ia meloncat
kearah dada anak itu. Sekali lagi Bagus Handaka berguling. Tetapi sekali
lagi orang itu melakukan serangan yang sama pula sebelum Handaka sempat
berdiri. Bagus Handaka kemudian menjadi agak gugup. Berapa kali ia
harus bergulung-gulung di pasir pantai itu. Tiba-tiba ia teringat kepada
lawan-lawannya yang pernah dikalahkannya. Ada beberapa unsur gerak yang
dapat dikuasainya. Karena itu ketika sekali lagi Bagus Handaka mendapat
serangan dengan cara yang sama, setelah ia berhasil menggeser tubuhnya,
cepat-cepat ia menangkap pergelangan kaki lawannya. Dengan
mempergunakan daya dorongnya sendiri, Bagus Handaka ternyata berhasil
menjatuhkan orang itu, dengan menghantam betisnya. Ia sendiri pernah
pula mengalami hal yang demikian. Ketika orang itu terjatuh dan
berguling-guling, kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Bagus Handaka
untuk berdiri. Tetapi demikian ia berdiri, orang itupun dengan suatu
gerak seperti roda yang bergulung telah berdiri di hadapannya pula.
Bagus Handaka, melihat hal itu menjadi bertambah marah. Matanya menjadi
merah menyala-nyala dan dadanya berdegupan. Dengan dahsyatnya ia
melontar maju menyerang dada orang itu. Serangan itu demikian tak
terduga-duga sehingga orang asing itu tak sempat mengelak. Karena itulah
maka dadanya terpaksa terhantam hebat. Terhuyung-huyung ia terdorong
beberapa langkah surut. Bagus Handaka tidak mau melepaskan kesempatan
itu lagi. Dengan garangnya ia memburu dan sekali lagi menghantamnya.
Sayang bahwa kali ini orang itu sempat memiringkan tubuhnya, sehingga
serangan Bagus Handaka tidak mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri
hampir-hampir kehilangan keseimbangan. Dalam saat yang demikian, tampak
lawannya mengayunkan tangannya dengan dahsyatnya. Melihat serangan itu,
Bagus Handaka agak bingung. Tiba-tiba tanpa sadar Bagus Handaka telah
mempergunakan unsur-unsur gerak yang pernah ditiru-tirukannya dari
lawan-lawannya sebelumnya. Cepat ia sedikit merendahkan diri, menangkap
tangan orang itu sambil memutar tubuhnya, dan dengan bantuan tenaga
berat lawannya. Bagus Handaka menarik orang itu melampau pundaknya.
Dengan kerasnya orang itu terlempar keatas lewat diatas pundaknya dan
terbanting di pasir pantai.
Tetapi sekali lagi Bagus Handaka
keheran-heranan. Demikian orang itu terbanting, demikian ia
bergulung-gulung dan dengan cepatnya bangkit kembali. Namun sesaat
kemudian ia sadar bahwa lawannya adalah orang yang luar biasa. Karena
itu demikian orang itu berdiri, demikian kaki Bagus Handaka terlontar
mengenai perutnya. Sekali lagi orang itu terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tetapi seterusnya ketika Bagus Handaka menyusul menyerang dagu
orang itu, maka orang itu pun menghantamnya. Kali ini Bagus Handaka
mengalami kembali hal yang sangat merugikannya. Tangannya agak lebih
pendek dari tangan lawannya. Dengan demikian sebelum tangannya menyentuh
dagu orang itu, terasa wajahnya seperti tersentuh bara. Dengan kerasnya
wajahnya terangkat dan ia terlempar beberapa langkah surut, dan
kemudian jatuh terlentang. Serangan itu disusul dengan suatu serangan
yang garang sekali. Seperti seekor harimau, lawannya menerkam selagi
Handaka belum sempat bangun. Maka tidak ada suatu cara yang mungkin
untuk membebaskan dirinya kecuali dengan kedua kakinya Bagus Handaka
menghantam tubuh orang yang seperti melayang ke arahnya. Akibatnya
adalah bebat sekali. Orang itu terlempar ke udara. Kali ini Bagus
Handaka juga menjadi keheran-heranan. Dengan gerak yang bagus orang itu
melingkar di udara dan jatuh pada punggungnya untuk kemudian berguling
dua kali. Setelah itu dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Pada saat itu
Bagus Handaka pun telah berdiri. Keringatnya mengalir membasahi seluruh
tubuhnya, yang hampir seluruhnya terbalut oleh debu-debu pasir pantai.
Sebenarnya Bagus Handaka pada saat itu telah menjadi gelisah sekali.
Lawannya ternyata benar-benar licin seperti belut.
Tetapi kemudian terjadilah suatu hal di
luar dugaan. Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah dan liar. Nafasnya
mengalir dengan derasnya. Bagus Handaka melihat keadaan itu, sehingga
kelegaan membersit di hatinya. Ia tahu bahwa lawannya telah kehabisan
tenaga. Karena itu ia tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia
melangkah maju dan menyerangnya dengan hebat. Ternyata orang itu telah
hampir tidak mampu melawannya. Beberapa kali Bagus Handaka berhasil
menghantamnya sampai orang itu terhuyung-huyung dan roboh. Sekali lagi
kegembiraan membayang di wajah Bagus Handaka. Orang yang hebat ini pasti
akan dapat ditangkapnya. Tetapi ketika sekali lagi ia maju menyerang,
tiba-tiba orang itu melemparkan segenggam pasir ke arah matanya.
Cepat-cepat Handaka memalingkan mukanya, namun beberapa butir pasir
telah menyebabkan matanya terasa nyeri sekali. Ketika ia sedang sibuk
membersihkan mata itu, terasa sebuah hantaman mengenai punggungnya.
Untunglah bahwa tenaga orang itu, telah
hampir separo lenyap, sehingga dengan demikian hantamannya telah tidak
lebih dari sebuah dorongan saja. Meskipun demikian, karena Bagus Handaka
sama sekali tidak menduga bahwa lawannya akan berbuat curang, menjadi
sangat terkejut dan jatuh tertelungkup. Dengan marahnya Handaka cepat
memutar tubuhnya, untuk menanti serangan berikutnya, yang dapat saja
dilakukan dengan curang oleh lawannya itu.
Tetapi Bagus Handaka menjadi terkejut
sekali sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Orang yang sudah kehabisan
tenaga dan hampir saja dapat ditangkapnya itu lenyap seperti debu dibawa
angin. Beberapa kali Bagus Handaka mengusap-usap matanya yang masih
terasa agak nyeri, tetapi orang itu benar-benar telah lenyap.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di atas pasir. Dilayangkannya
pandangannya ke segenap malam, tetapi di pantai yang luas itu, pastilah
ia tak dapat melihat seseorang. Bulu tengkuknya tiba-tiba terasa
meremang. Meskipun ia selama ini mendapat didikan untuk tidak takut
kepada hantu, namun mengalami peristiwa ini, hatinya bergetar juga.
Kecuali itu, terasa pula kengerian
merayapi perasaannya. Untunglah kali ini ia masih dapat membebaskan
diri, meskipun hampir saja ia kehilangan akal.
Lalu bagaimana dengan malam besok?
Sekarang Bagus Handaka tidak berani
main-main lagi. Kalau besok datang seseorang menyerangnya, dan memiliki
sedikit saja kelebihan dari orang ini, maka pasti ia tidak dapat
melawannya. Sedangkan kalau para penyerang itu dapat menangkapnya,
hampir pasti bahwa dirinya benar-benar akan digantung di tengah-tengah
Alas Roban.
Karena itu akhirnya Bagus Handaka
memutuskan untuk menyampaikan segala peristiwa yang pernah dialami itu
kepada gurunya, serta menyerahkan segala penyelesaiannya kepadanya.
Pada saat Bagus Handaka melangkah pulang
ke pondoknya, terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Di
langit sebelah timur sudah mulai tampak membayang warna fajar, diantar
oleh angin pagi yang sejuk. Namun tubuh Bagus Handaka justru mulai
merasa nyeri dan sakit-sakit. Empat malam sebelumnya ia bertempur
terus-menerus, tetapi tidak pernah ia merasakan lelah, letih dan
sakit-sakit seperti saat itu.
Sampai di pondok, ia melihat Manahan
telah bangun dan menunggui api. Agaknya ia sedang merebus air.
Cepat-cepat Bagus Handaka mendekatinya dan berkata, “Bapak, biarlah aku yang merebus air dan jagung.”
Manahan tersenyum melihat kedatangan Bagus Handaka, katanya bertanya, “Apakah kau turun ke laut Handaka?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka singkat.
“Dari pantai…?” tanya Manahan
lebih lanjut. Bagus Handaka menganggukkan kepalanya. Dalam cahaya api
barulah Bagus Handaka melihat tubuhnya merah-merah biru dan berdarah di
beberapa tempat. Ketika Manahan melihat luka-luka itu, serta melihat
wajah Handaka yang pucat dan nafasnya yang kurang teratur, ia menjadi
keheran-heranan. Maka kemudian ia bertanya, “Handaka, apakah yang terjadi? Apakah kau berselisih dengan kawan-kawanmu, sehingga kau berkelahi?”
“Tidak, Bapak,” jawab Handaka.
“Lalu kenapa kau?” desak Manahan.
Bagus Handaka yang memang telah
berkeputusan untuk menyampaikan keadaan yang dialaminya lima malam
berturut-turut itu pun segera duduk disamping Manahan, dan segera
mengalirlah ceritera dari mulutnya. Sejak malam pertama sampai malam
terakhir, lengkap dengan bentuk-bentuk wajah dari orang-orang yang
menyerangnya.
Mendengar ceritera Bagus Handaka itu,
Manahan menarik alisnya. Memang ia pun menjadi keheranan-heranan, apakah
pamrih orang-orang itu menyerang Bagus Handaka.
“Handaka…, kenapa kau baru sekarang mengatakan semua kejadian itu kepadaku?” tanya Manahan.
Dengan jujur Handaka mengatakan segala
keinginannya untuk mengetahui kelanjutan peristiwa-peristiwa itu, serta
keinginannya untuk menyelesaikan masalah itu sendiri.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya di dalam hatinya berkobar pula kemarahan ketika ia mendengar
bahwa orang kelima yang menyerang Bagus Handaka itu telah
menyebut-nyebut namanya. Padahal pada saat orang itu ia hanya melawan
seorang anak-anak.
“Handaka…” kata Manahan kemudian, “Pergilah kau besok sekali lagi ke pantai. Aku akan melihat siapakah yang selalu datang itu.”
Mendengar kesanggupan gurunya, Handaka
menjadi bergembira. Besok apabila benar-benar ada seseorang yang datang
menyerangnya, meskipun kepandaiannya berlipat tiga, namun pasti orang
itu akan dapat ditangkap oleh gurunya. Karena itu ia tersenyum-senyum
sendiri. Dipandanginya api yang berkobar-kobar di hadapannya, yang
bergerak-gerak seolah-olah menari-nari riang. Dan sebentar kemudian
mendidihlah air yang dipanasinya. Segera ia bangkit untuk mengambil daun
serai serta gula kelapa. Itulah kegemaran gurunya, air serai bergula
kelapa.
Hari itu rasa-rasanya panjang sekali bagi
Bagus Handaka. Matahari seolah-olah menjalani garis edar dengan
malasnya. Sehari itu ia merasa amat malas untuk bermain-main dengan
kawan-kawannya. Dihabiskannya waktunya dengan berangan-angan. Namun
akhirnya, perlahan-lahan datanglah senja. Langit yang cerah dengan
gumpalan-gumpalan mega yang berarak-arak mulai dirayapi oleh warna-warna
lembayung. Bagus Handaka yang hampir tidak sabar itu memaki-maki di
dalam hati. Kenapa kedatangan malam tidak saja langsung tanpa melewati
senja?
Setelah melampaui masa-masa yang
menjengkelkan, kemudian malam turun dengan tabir hitamnya. Bagus Handaka
segera berangkat ke pantai, dimana ia biasa duduk-duduk memandangi
ombak lautan. Manahan sengaja tidak berangkat bersama-sama supaya
kehadirannya tidak diketahui. Ketika Manahan telah sampai di pantai
pula, segera ia bersembunyi dengan membaringkan dirinya di belakang
sebuah puntuk pasir tak begitu jauh dari Bagus Handaka.
Bersamaan dengan semakin gelapnya malam,
hati Bagus Handaka menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan
orang-orang yang menyerangnya telah mengetahui bahwa gurunya berada di
tempat itu, sehingga para penyerang itu tidak berani mendekatinya.
Dan dalam kesempatan itu, ia mencoba pula
mengingat-ingat kelima orang yang datang berturut-turut setiap malam.
Masing-masing menyatakan bahwa mereka satu sama lain tidak berhubungan.
Sejak semula ia sudah tidak percaya. Tetapi yang mengherankan, bahwa
seolah-olah kedatangan mereka telah diatur sedemikian, sehingga setiap
orang yang datang pasti memiliki kepandaian setingkat lebih tinggi dari
orang sebelumnya. Tiba-tiba ketika sedang berangan-angan, Bagus Handaka
dikejutkan oleh suara tertawa dekat di sampingnya. Suara itu terdengar
nyaring dan menggetarkan hatinya. Cepat ia meloncat bangkit dan bersiap.
Perasaannya telah mengatakan kepadanya bahwa orang ini pasti salah
seorang yang datang untuk menyerangnya pula seperti malam-malam yang
lewat. Ketika ia memandang wajah orang itu, hatinya menjadi bertambah
berdebar-debar. Wajah orang itu sama sekali tidak mirip dengan wajah
manusia. Barangkali demikian itulah wajah hantu yang ditakuti oleh
anak-anak. Beberapa bintil-bintil sebesar biji rambutan bertebaran
hampir di seluruh wajah itu. Gigi-giginya tampak berleret pada saat
orang itu tertawa.
Kemudian disela-sela tertawanya ia berkata, “Siapakah nama anak muda yang bermain-main di pantai di malam hari…?”
Meskipun sebenarnya Bagus Handaka ngeri
juga melihat wajah itu, namun karena ia merasa bahwa gurunya berada di
dekatnya, hatinya menjadi tabah pula. Maka jawabnya lantang, “Kenapa
kau bertanya? Kau pasti sudah tahu pula siapa aku. Dan kau pasti akan
menangkapku seperti yang pernah dilakukan oleh lima orang sebelum kau
datang, pada malam-malam sebelum malam ini.”
Mendengar kata-kata Bagus Handaka itu, tertawanya menjadi bertambah keras. Katanya, “Bagus…
bagus, jadi sebelum ini telah datang lima orang mendahului aku? Agaknya
monyet-monyet itu ingin menerima hadiah pula dengan menangkap anak ini.
Dan kau dapat mengalahkan mereka berlima?”
“Mereka datang satu-persatu,” jawab Handaka.
“Alangkah bodohnya mereka,” sambung orang berwajah iblis itu. “Tentu kau dapat mengalahkannya.”
“Jangan banyak bicara,” potong Bagus Handaka dengan beraninya, “Jangan
coba bohongi aku. Kau pasti telah bersekongkol dengan mereka. Dan
barangkali kau malam ini akan mencoba menangkap aku bersama-sama. Ayo datanglah berenam.”
Kembali orang yang menakutkan itu tertawa berderai-derai sampai seluruh tubuhnya bergetar. Katanya, “Hebat,
kau memang hebat. Tetapi jangan terlalu sombong. Sebab malam ini
nyawamu benar-benar akan lenyap. Aku harus menangkap kau, mati atau
hidup. Meskipun kalau aku membawamu hidup-hidup hadiahnya akan berlipat
banyaknya. Sebab pertunjukan membunuh Bagus Handaka akan dapat
mendatangkan uang yang banyak sekali.”
Tanpa sadar, bulu tengkuk Bagus Handaka
serentak berdiri. Perkataan orang berwajah menakutkan itu sangat
mempengaruhi perasaannya. Apakah sebenarnya latar belakang dari semua
kejadian ini? Kenapa orang itu menyebut-nyebut pertunjukan membunuh
Bagus Handaka? Mau tidak mau Bagus Handaka menjadi ngeri juga. Ia sudah
membayangkan dirinya diikat di tengah-tengah lapangan, kemudian setiap
orang diperkenankan untuk melukainya, sampai mati. Tetapi apa salahnya?
Tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Ini hanyalah suatu gertakan saja. Karena itu ia menjawab sambil berteriak keras-keras, “Jangan coba-coba takut-takuti aku.” Namun demikian terasa suara Handaka bergetar pula.
Mendengar teriakan Bagus Handaka, orang itu sekali lagi tertawa keras-keras. “Jangan berbohong pula. Kau sudah ketakutan bukan? Bagus…, semakin takut kau, semakin lucu pertunjukan itu jadinya.”
Sekarang Bagus Handaka benar-benar
menjadi marah sekali. Ternyata orang itu telah menghinanya. Karena itu
segera ia meloncat dan langsung menyerang leher dengan jari-jarinya.
Orang itu, yang masih enak tertawa,
ternyata terkejut melihat kecepatan bergerak Bagus Handaka, sehingga
tertawanya segera terhenti. Desisnya, “Memang kau anak berani. Tetapi hati-hatilah.” Sambil
berkata demikian ia merendahkan dirinya, dan dengan kakinya ia
menghantam lambung Bagus Handaka. Bagus Handaka yang menyerang dengan
sekuat tenaga, tidak sempat menarik serangannya, maka yang dapat
dilakukan adalah memukul kaki itu dengan tangannya ke samping. Ternyata
usahanya berhasil pula. Orang itu terputar sedikit dan dengan demikian
lambungnya dapat diselamatkan, meskipun tangannya yang berbenturan
dengan kaki orang itu terasa sakit. Dengan demikian Bagus Handaka segera
dapat mengetahui, bahwa orang ini mempunyai ilmu diatas orang-orang
yang pernah menyerangnya. Tetapi meskipun demikian ia sama sekali tidak
gentar ketika diingatnya bahwa gurunya telah menungguinya. Mengingat hal
itu, segera Bagus Handaka menjadi bertambah tatag, karena itu
serangannya menjadi bertambah sengit. Tetapi perlawanan orang itu
bertambah sengit pula. Bahkan ia pun telah menyerangnya dengan
gerak-gerak yang sangat membingungkan dan berbahaya sekali. Namun
ternyata Bagus Handaka telah memberikan perlawanan dengan gigih. Setiap
serangan yang datang, bagaimanapun berbahayanya, Handaka selalu dapat
menghindarkan dirinya. Malahan tidak jarang pula iapun berhasil membalas
serangan-serangan itu dengan serangan-serangan yang tak kalah
berbahayanya. Namun serangan-serangan itu pun selalu tidak berhasil
pula.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi
bertambah hebat dan cepat. Masing-masing menyerang dan menghindar
berganti-ganti, sehingga tampaknya kedua orang itu seperti bayangan yang
sedang libat-melibat dengan cepatnya, semakin lama semakin cepat.
Tetapi kemudian ternyata bahwa Bagus Handaka tidak dapat menyamai
kecepatan gerak lawannya, sehingga tiba-tiba terasa punggungnya
terdorong oleh suatu kekuatan yang besar sekali. Dengan derasnya ia
terlempar ke udara. Mengalami peristiwa itu hati Bagus Handaka berdesir.
Untuk beberapa saat ia menjadi bingung. Tetapi untunglah bahwa otaknya
yang cerdas dapat bekerja dengan cepat. Ia pernah menyaksikan lawannya
terlempar ke udara pula, namun ia dapat jatuh dengan enaknya,
seolah-olah sama sekali tidak terasakan sesuatu. Maka tanpa
dikehendakinya sendiri Bagus Handaka menirukan gerak-gerak yang pernah
disaksikannya itu. Cepat-cepat ia berusaha melingkarkan diri dan
menjatuhkan diri pada punggungnya, yang kemudian dilanjutkan dengan
berguling sampai dua kali. Setelah itu ia melenting berdiri.
Untunglah bahwa Bagus Handaka telah
dibekali dengan olah keprigelan yang cukup, serta kekuatan jasmaniah
yang besar, sehingga meskipun gerak-geraknya masih belum sempurna, namun
ia tidak pula mengalami sesuatu.
Melihat cara Bagus Handaka membebaskan diri dengan cara yang demikian, terdengar lawannya tertawa keras-keras sambil berkata, “Hai
monyet kecil, dari mana kau belajar berjungkir balik demikian…?
Untunglah bahwa kau mengenal cara yang baik untuk menyelamatkan dirimu.”
Bagus Handaka tidak sempat menjawab
kata-kata itu. Dengan darah yang mendidih ia meloncat maju kembali untuk
menyerang lawannya sejadi-jadinya. Tangannya bergerak berganti-ganti
mengarah ke segenap tubuh lawannya, sedang kakinya bergerak dengan
lincahnya di atas pasir pantai. Tetapi ternyata lawannya tidak kalah
lincah pula.
Karena itu, maka untuk beberapa lama
serangan-serangannya tidak dapat menyentuh tubuh lawannya sama sekali.
Bahkan ketika ia mencoba untuk menyerang mata lawannya dengan jarinya,
maka tiba-tiba terasa kepalanya berguncang hebat. Guncangan yang
pertama, disusul dengan yang kedua. Untunglah dalam keadaan terakhir
Bagus Handaka masih sempat melihat sebuah kepalan tangan sekali lagi
mengarah ke pelipisnya. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya. Tangan itu
dengan derasnya menyambar tidak lebih dari tebal daun padi di muka
hidungnya. Untunglah bahwa Bagus Handaka masih dapat bekerja cepat.
Tangan itu segera ditangkapnya, serta sambil merendahkan diri ia
pergunakan tenaga dorong serta berat badan lawannya sendiri untuk
membantingnya ke tanah lewat pundaknya. Dengan kerasnya orang itu
terpelanting. Tetapi meski ia jatuh terlentang namun ia berusaha jatuh
di atas kedua kaki serta pundaknya saja yang menyentuh tanah. Bagus
Handaka tidak mau membiarkannya dalam sikap yang demikian, cepat-cepat
ia menyerang lagi lawannya sebelum sempat memperbaiki keadaannya. Dengan
kakinya ia menghantam dada orang yang masih terlentang itu. Gerak Bagus
Handaka sedemikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat
menghindarinya. Maka terdengarlah keluhan pendek. Tetapi sesaat kemudian
kaki lawannya itu dengan cepatnya menyapu kakinya, sehingga Bagus
Handaka jatuh terbanting pula.
Ketika ia kemudian tegak, lawannya telah
berdiri di hadapannya pula. Bahkan dengan suatu lontaran dahsyat ia
menyerang ke arah dadanya. Dengan cepatnya Bagus Handaka merendahkan
dirinya, dan bersamaan dengan itu ia menjulurkan kakinya lurus-lurus,
sehingga dengan demikian ia berhasil mengenai perut lawannya. Agaknya
lawannya sama sekali tidak menyangka bahwa Bagus Handaka akan menyerang
selagi ia melakukan serangan yang sedemikian cepat. Karena itu ia
terdorong keras beberapa langkah surut disusul dengan serangan Bagus
Handaka yang dahsyat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung
semakin hebat dan cepat. Pada malam kelima, Bagus Handaka yang hampir
merasa dapat dikalahkan, ternyata memiliki nafas yang lebih baik dari
lawannya sehingga akhirnya lawannya menjadi lemas karena kehabisan
nafas. Tetapi orang keenam ini agaknya mempunyai nafas lebih baik dari
kuda. Karena itu semakin lama terasa Bagus Handaka semakin terdesak,
tenaganya semakin lama semakin berkurang pula setelah ia berjuang
mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Akhirnya pertempuran itu pun
menjadi berat sebelah. Beberapa kali Bagus Handaka terpaksa terlempar,
terbanting dan kadang-kadang perutnya terasa terguncang-guncang hebat.
Dari mulut serta hidung melelehlah darah segar.
Sampai sedemikian jauh Bagus Handaka
tidak melihat gurunya datang membantunya. Bahkan ketika matanya sudah
mulai berkunang-kunang pun Manahan masih belum menampakkan dirinya. Ia
menjadi keheran-heranan. Apakah sebenarnya maksud Manahan dengan
membiarkannya demikian? Seolah-olah segenap sisa-sisa tenaganya ia tetap
melawan dengan beraninya. Sampai beberapa saat kemudian ketika ia
terbanting diatas pasir dan seolah-olah ia sudah sama sekali tidak dapat
bergerak lagi, dilihatnya orang berwajah menakutkan itu tertawa
berderai sambil selangkah demi selangkah mendekatinya. Bagus Handaka
tidak tahu lagi bagaimana ia harus melawan. Tangannya serasa sudah
membeku dan darahnya seolah-olah sudah tidak mengalir lagi.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba
orang itu, yang sudah tinggal beberapa langkah dari padanya, terhenyak
dan memandang ke suatu titik. Maka sekali lagi meledaklah tertawanya
yang mengerikan, disusul dengan suaranya yang menggelegar, “Hai, kaukah itu? Jadi kau datang pula untuk membantu muridmu…?”
Mendengar suara orang itu, melonjaklah
sebuah kegembiraan di hati Bagus Handaka. Agaknya gurunya telah datang.
Dan apa yang diduganya adalah benar. Ketika ia mengangkat mukanya,
dilihatnya Manahan berjalan dengan tenangnya ke arah orang yang berwajah
mirip hantu itu. Melihat gurunya datang, tiba-tiba Bagus Handaka merasa
bahwa akan datanglah saatnya ia mengetahui latar belakang dari semua
peristiwa-peristiwa itu.
Ketika Manahan telah berdiri di muka orang berwajah jelek itu terdengarlah orang berwajah menakutkan itu berkata, “Kaukah yang bernama Manahan?”
Manahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kenapa kau tanyakan itu? Bukankah kau sudah pasti bahwa guru Bagus Handaka bernama Manahan?”
Kembali terdengar orang itu tertawa berderai sehingga suaranya memenuhi pantai. “Aku tidak mengira bahwa Manahan orangnya seperti kau ini.”
Terdengarlah Manahan menjawab sambil tersenyum, “Lalu dari mana kau tahu bahwa aku bernama Manahan?”
“Karena kau datang pada saat Bagus
Handaka sudah tidak dapat bergerak lagi. Aku kira tidak ada orang lain
yang akan menolongnya, selain gurunya,” sahut orang itu.
“Lalu apa anehnya aku ini?” tanya Manahan pula.
“Aku jadi kecewa melihat tampangmu. Seharusnya
kau berwajah seperti asahan batu, berkumis lebat dan bertubuh seperti
orang hutan. Supaya ujudmu sesuai dengan namamu yang terkenal itu.”
“Tak ada orang yang mengenal aku
sebagai seorang yang seharusnya bertubuh demikian. Aku adalah seorang
petani yang tidak lebih dari menggarap sawah setiap hari,” jawab Manahan.
Mendengar jawaban Manahan yang masih
bernada dingin itu, Bagus Handaka bertambah heran pula. Kenapa gurunya
tidak saja langsung menghantamnya sampai pingsan. Apalagi orang itu
telah menghinanya pula.
Kemudian, dalam gelap malam Handaka
melihat orang berwajah menakutkan itu menyeringai, benar-benar seperti
hantu. Namun Manahan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan
masih saja ia tersenyum-senyum.
“Bagus…. Kau adalah seorang petani
yang baik, Manahan. Pekerjaan petani adalah pekerjaan yang mulia pula.
Tanpa petani maka banyaklah orang yang kelaparan. Tetapi daerah
pertanian bukankah daerah pelarian? Apabila seseorang telah berputus asa
dalam melaksanakan tugasnya sendiri, maka kemudian orang itu
menerjunkan diri dalam daerah pertanian. Bukankah demikian…?”
Mendengar kata-kata orang itu tampaklah
wajah Manahan berkerut. Segera senyumnya lenyap dari bibirnya. Namun tak
sepatah katapun ia menjawab. Sehingga kemudian terdengar orang yang
menakutkan itu meneruskan, “Atau barangkali kau sudah bercita-cita
untuk menjadi seorang tuan tanah yang kaya raya, yang dapat menandingi
kekayaan demang Gunung Kidul?”