
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
Ketika mereka sampai ke halaman
kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka
segera dapat diketahui bahwa beberapa orang di antaranya bukanlah orang
dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan
lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di
pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka
mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di
sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di
tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang,
namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang
dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar
cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir
di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah
orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram.
Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya
menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru
saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab.
Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering
menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan
tetesan-tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat
memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti
butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari,
semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa
kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu
Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing
itu satu demi satu mulai dapat dikenal. Manahan dan Bagus Handaka yang
duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula.
Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari
mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah
dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi
menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan
diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka
kerjakan di situ. “Mudah-mudahan mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya
beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari
pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon
liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena
gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang
merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak
terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu.
Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir
saja melompat berdiri.
“Handaka…” bisik Manahan, “Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri. “Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan. “Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
“Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata, “Tenanglah Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya dengan anak itu?”
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat
melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku
tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku
kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah dada Manahan mendengar
jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi
bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal. Apalagi setelah ia
mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk
mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka
itu segera ia berkata, “Bagus Handaka, cobalah kuasai perasaanmu.
Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali, tidak banyak keuntungannya.
Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya
kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi
anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar
matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan
bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan
mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu
menjadi semakin licin…?”
Bagus Handaka menekan giginya kuat-kuat.
Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak
pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya, bagaimanapun
nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
“Handaka…” sambung Manahan, “Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya.”
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab, “Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula, “Nah,
sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak
berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu
tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang.”
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi
ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh
yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat
membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak
dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya
dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam
berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan
yang teratur.
“Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah…?” pikirnya.
Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai
pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan
mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang
sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu.
Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari
Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa
petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.
No comments:
Write comments