Wednesday, May 18, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 9 K

Manahan dan Handaka pun segera pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka menghangatkan diri dengan air panas dan gula kelapa yang sudah disediakan untuk mereka. Sementara itu Manahan selalu menasihati Handaka untuk tidak bertindak tergesa-gesa dalam segala hal. Ia harus menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai seorang yang dianggap tak berdaya. Hanya apabila jiwanya benar-benar terancam, barulah boleh bertindak untuk melindungi dirinya.
Beberapa saat kemudian Wiradapa pun telah siap. Bertiga mereka berjalan bersama-sama ke kalurahan.
Ketika mereka sampai ke halaman kalurahan, ternyata di pendapa telah banyak orang. Dari pakaian mereka segera dapat diketahui bahwa beberapa orang di antaranya bukanlah orang dari padukuhan itu. Orang-orang asing itu berpakaian lebih baik dan lengkap daripada orang pedukuhan itu sendiri, serta pada umumnya di pinggang mereka terselip sebilah keris atau senjata-senjata yang lain.
Melihat Wiradapa datang, segera mereka mempersilahkannya. Dan lurah mereka sendiri memanggilnya untuk duduk di sampingnya. Sedang Manahan dan Handaka, mereka suruh duduk di lantai di tangga pendapa itu. Tampaklah di wajah Handaka perasaan tidak senang, namun Manahan sendiri, wajahnya sama sekali tidak berkesan apa-apa.
Sebentar kemudian muncullah dari ruang dalam seorang pemuda sebaya dengan Bagus Handaka. Wajahnya memancar cerah dan pakaiannya pun lebih baik dari pakaian mereka semua yang hadir di pendapa itu. Di sampingnya sebelah menyebelah, berdirilah orang-orang yang bertubuh gagah tegap dengan wajah-wajahnya yang seram. Mereka itulah yang tadi malam datang melihat Manahan di tempatnya menginap.
Pada saat itu, sinar matahari yang baru saja naik, mulai menembus dedaunan dan jatuh di tanah-tanah lembab. Embun malam yang melekat di rerumputan perlahan-lahan mulai mengering menimbulkan asap putih yang melapisi cahaya pagi. Sedangkan tetesan-tetesan embun yang tersangkut di dedaunan, tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang masih kemerah-merahan, seperti butiran-butiran permata yang cemerlang.
Dengan semakin cerahnya cahaya matahari, semakin jelas pulalah wajah-wajah yang berada di dalam pendapa kalurahan. Mulai dari wajah yang sudah dikenalnya dengan baik, yaitu Wiradapa, sampai wajah lurah pedukuhan itu. Juga wajah orang-orang asing itu satu demi satu mulai dapat dikenal. Manahan dan Bagus Handaka yang duduk agak jauh dari mereka, mulai memperhatikan wajah-wajah itu pula. Satu demi satu. Namun Manahan tak dapat mengenal seorang pun dari mereka. Mereka bagi Manahan benar-benar orang asing yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Karena itu Manahan sama sekali tidak lagi menaruh banyak perhatian, kecuali menanti pekerjaan apakah yang akan diberikan kepadanya, dan seterusnya menyelidiki apakah yang mereka kerjakan di situ. “Mudah-mudahan mereka tidak berbuat keributan,” pikirnya.
Lalu setelah itu mulailah perhatiannya beredar ke sudut-sudut halaman rumah kepala pedukuhan itu. Sejak dari pagar batu yang mengelilingi setinggi orang, sampai pada pohon-pohon liar yang tumbuh tidak begitu teratur bertebaran di sana-sini.
Tetapi tiba-tiba Manahan terkejut karena gemeretak gigi Handaka. Ketika ia menoleh, dilihatnya wajah Handaka yang merah padam, sedang nafasnya mengalir cepat. Manahan menjadi agak terkejut. Sadarlah ia bahwa pasti ada sesuatu di hati anak itu. Untunglah bahwa Manahan cepat dapat menggamit Bagus Handaka yang hampir saja melompat berdiri.
“Handaka…” bisik Manahan, “Ada apa?”
Mata Bagus Handaka menjadi merah menyala. Tubuhnya gemetar karena menahan diri. “Bapak, biarkan aku kali ini membuat perhitungan,” desisnya.
Manahan menjadi keheran-heranan. “Kau kenapa Handaka?” tanya Manahan.
Aku tidak mau melepaskan anak itu pergi,” jawabnya.
Manahan menjadi semakin heran. Karena itu ia segera berusaha menenangkan hati Bagus Handaka.
Dengan perlahan-lahan ia berkata, “Tenanglah Handaka, jangan kau biarkan perasaanmu meluap-luap. Ada apakah sebenarnya dengan anak itu?”
“Bapak, belumkah Bapak kenal dia?” tanya Handaka.
Manahan menggelengkan kepalanya.
“Semalam aku agak kurang dapat melihat wajah anak muda itu. Juga barangkali setelah tiga tahun aku tidak bertemu, maka baru setelah aku mengingat-ingat agak lama, aku kenal ia kembali,” sambung Bagus Handaka.
“Siapakah dia?” desak Manahan ingin tahu.
“Sawung Sariti, putra Paman Lembu Sora,” jawab Handaka.
Berdesirlah dada Manahan mendengar jawaban itu. Memang sebelumnya ia belum pernah melihat anak itu. Tetapi bagaimanapun, Manahan tidak ingin maksudnya gagal. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak itu adalah anak Lembu Sora, keinginannya untuk mengetahui maksud kedatangannya di pedukuhan itu semakin mendesak. Maka itu segera ia berkata, “Bagus Handaka, cobalah kuasai perasaanmu. Dengan bertindak tergesa-gesa barangkali, tidak banyak keuntungannya. Sudah aku katakan bahwa aku ingin mengetahui apakah kedatangannya kemari. Agaknya ia sudah tidak mengenal kau kembali setelah kau menjadi anak sawah dan anak laut. Barangkali kulitmu telah hitam terbakar matahari dan tersiram ombak lautan. Hal itu adalah suatu keuntungan bagimu sehingga usaha kita tidak lekas dapat diketahui. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Sawung Sariti itu, bukankah jalanmu menjadi semakin licin…?”
Bagus Handaka menekan giginya kuat-kuat. Ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Seperti biasa ia tidak pernah berani melanggar perintah dan nasehat gurunya, bagaimanapun nasehat atau perintah itu bertentangan dengan kehendaknya.
“Handaka…” sambung Manahan, “Barangkali permintaanku ini mengecewakan engkau, tetapi dengan sangat aku harapkan bahwa kau dapat memenuhinya.”
Handaka menundukkan kepalanya. Dengan penuh ketaatan ia menjawab, “Baiklah Bapak, aku selalu berusaha untuk dapat memenuhi nasehat Bapak.”
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Sambil tersenyum ia berkata pula, “Nah, sekarang nikmatilah permainan ini. Ingat, kita adalah perantau yang tak berharga. Dua orang ayah-beranak yang malas, yang pergi dari satu tempat, ke lain tempat untuk menuntut belas kasihan orang.”
Handaka menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Terkilaslah di dalam otaknya permainan-permainan aneh yang pernah dilakukan oleh gurunya, yang kadang kadang sangat membingungkannya. Kemudian teringat pulalah keanehan orang yang tak dikenal, yang bahkan gurunya pun tak mengenalnya, yang mengajarkannya dengan cara yang sama sekali tak diduga-duganya. Enam malam berturut-turut menyerangnya dengan cara yang berbeda-beda menurut urutan yang teratur.
“Apakah setiap orang sakti itu mempunyai cara-cara yang tidak menurut kebiasaan orang-orang lumrah…?” pikirnya.
Tetapi ia tidak menanyakan hal itu kepada gurunya.
Sementara itu terjadi pulalah berbagai pembicaraan diantara orang-orang yang berada di pendapa. Pembicaraan mereka mula-mula berkisar pada persoalan-persoalan yang berarti. Tentang sawah, air dan tentang kebiasaan-kebiasaan penduduk pedukuhan itu. Diantara mereka terdengarlah seorang yang tampaknya berasal dari Pamingit, yang bersama-sama dengan Sawung Sariti memberikan beberapa petunjuk mengenai cara-cara mengolah sawah.

No comments:
Write comments