Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih. ”Anakmas
telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu.
Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat
melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas
berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik
yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama
Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir
setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang
rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama
itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga
Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang
seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun
demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi
permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya. Maka
dengan agak berat Mahesa Jenar berkata, ”Bapa Panembahan, aku
mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama
Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan.
Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon
petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami
berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan
Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari
perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang
menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut
pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu
lalu terbunuh di Gedangan.”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu
Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya. Perlahan-lahan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata, ”Anakmas,
dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang
sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan
dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan
ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas
berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda
yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris
yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak
dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas
datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat
mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula
kepadaku.”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut, ”Bapa
Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah
mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan
suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, ”Aku
sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak
muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku
tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu.”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba
menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan
hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama
sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab
bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua
sudut dunia ini dapat diketahuinya.
Agaknya perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan, ”Anakmas,
aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita
yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat
melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling
halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas
berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung
Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang
Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada
tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu.
Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku
mempunyai kewajiban untuk membantu. ”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya
yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu
diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun
tidak sesederhana kata-kata itu sendiri. Maka karena itu segera ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, ”Panembahan
adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik
bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat
berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi.”
Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan, ”Anakmas
berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa
kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu,
yang hanya dibekali oleh kemauan melulu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata, ”Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga.”
Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka
diperkenankan untuk beristirahat. Selanjutnya memenuhi permintaan
Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal
bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan
beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya
di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.
Namun setelah tujuh hari mereka tinggal
di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah
menyinggung-nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu,
maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang
sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat
terbatas. Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya,
bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan
untuk menemukan kedua keris itu.
Selama mereka berada di Karang Tumaritis,
mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku
pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya,
sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri.
Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima
pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari
tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya
tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah
kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.
Tetapi pada beberapa hari kemudian,
terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar
dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing
bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu,
beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan. Mula-mula mereka sama
sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa
kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu.
Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu
dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga.
Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang
Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah
mendapat pengawasan dengan saksama.
Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.
Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk
menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar
pergi memenuhi undangan itu.
Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut
kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar
dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu.
Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.
”Anakmas…” kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu. ”Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….” Panembahan
Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian
mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu.
Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang
tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang
dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit
itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.
”Di sekeliling bukit ini…” Panembahan itu meneruskan, ”Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula.”
”Benar Bapa Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini”.
Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula, ”Tak
ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah
melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada
Anakmas.” Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.
Mendengar permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya, ”Bapa
Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang
mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang
sangat menarik hati itu.”
”Benar Anakmas,” sambung Panembahan, ”Memang
aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan
itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka
katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka
pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan
dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini.”
”Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?” tanya Mahesa Jenar.
”Anakmas…” jawab Panembahan itu, ”Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?”
Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar
terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari
orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia
menjawab, ”Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa
Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku
dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada
”Panembahan.’
Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya, ”Hal
itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini.
Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu
pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan
berpangku tangan.”
”Panembahan…” sela Mahesa Jenar, ”Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami? ”
Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya, ”Itupun
tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di
dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan
kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat
menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada
Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan
melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan
dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak
menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan
seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang
Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal
yang belum pasti.”
Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar
kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut,
namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat
melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila
ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.
Maka yang dapat dikatakan hanyalah, ”Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa.”
”Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun
aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang
yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan
keselamatannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali
menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan
pernyataan Panembahan Ismaya itu. Sebagai seorang prajurit, ia
membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya.
Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi
disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan
Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.
Maka ketika malam telah larut, Panembahan
tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang
Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan
menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam
gelapnya malam.
Bersambung Seri 11
Bersambung Seri 11
No comments:
Write comments