Thursday, May 5, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 10 I

Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih. ”Anakmas telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya. Maka dengan agak berat Mahesa Jenar berkata, ”Bapa Panembahan, aku mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan. Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu lalu terbunuh di Gedangan.
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.  Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata, ”Anakmas, dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula kepadaku.
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut, ”Bapa Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, ”Aku sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu.”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut dunia ini dapat diketahuinya.
Agaknya perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan, ”Anakmas, aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu. Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk membantu. ”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri.  Maka karena itu segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, ”Panembahan adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi.”
Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan, ”Anakmas berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya dibekali oleh kemauan melulu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata, ”Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga.”
Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat. Selanjutnya memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.
Namun setelah tujuh hari mereka tinggal di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung-nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas.  Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua keris itu.
Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.
Tetapi pada beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan. Mula-mula mereka sama sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama.
Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.
Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi memenuhi undangan itu.
Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.
”Anakmas…” kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu. ”Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….” Panembahan Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.
”Di sekeliling bukit ini…” Panembahan itu meneruskan, ”Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula.
”Benar Bapa Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini”.
Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula, ”Tak ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas.” Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.
Mendengar permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya, ”Bapa Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang sangat menarik hati itu.
”Benar Anakmas,” sambung Panembahan, ”Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini.
”Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?” tanya Mahesa Jenar.
”Anakmas…” jawab Panembahan itu, ”Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?
Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia menjawab, ”Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada ”Panembahan.
Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya, ”Hal itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan.”
”Panembahan…” sela Mahesa Jenar, ”Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami?
Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya, ”Itupun tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum pasti.”
Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.  Maka yang dapat dikatakan hanyalah, ”Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa.”
”Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan keselamatannya.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu. Sebagai seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.
Maka ketika malam telah larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam.

Bersambung  Seri 11

No comments:
Write comments