Thursday, May 5, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 10 H

Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka berkatalah Jatirono, ”Tuan berdua, kami persilahkan tuan beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar.”
Maka pergilah Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada bidang.  Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat ia berkata, ”Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap.
Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang Panembahan seperti Panembahan Ismaya. Sedang Arya Salaka, justru karena selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan suatu kejanggalan apapun. Meskipun dari gurunya ia selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan.
Dari pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.
”Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan”, kata pemuda yang bertubuh tegap itu.
Menilik sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki dari Endang Widuri.
Ketika mereka memasuki rumah itu segera mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh kulit kayu. Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.
Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.
”Silahkan Anakmas, silahkan….”
Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan, ”Alangkah bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini.
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab, ”Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan.”
Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar, ”Bagiku kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya.”
Mahesa Jenar menjadi semakin sibuk menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama Rangga Tohjaya?
Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali, ”Marilah Anakmas….”
Seperti orang yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.
Setelah Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya.
Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu, “Anakmas, kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud. Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini, sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah tempurung.
Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab, “Panembahan telah mengetahui apa yang tidak pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua. Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak percaya akan ketajaman pandangan Panembahan.”

No comments:
Write comments