Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya
Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka
berkatalah Jatirono, ”Tuan berdua, kami persilahkan tuan
beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat
menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar.”
Maka pergilah Jatirono meninggalkan
Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya
telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam
rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada
bidang. Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti
para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan
penuh hormat ia berkata, ”Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah
selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima
Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap.”
Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar
menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul
dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana.
Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang
Panembahan seperti Panembahan Ismaya. Sedang Arya Salaka, justru karena
selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali
tidak merasakan suatu kejanggalan apapun. Meskipun dari gurunya ia
selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan
tata pergaulan.
Dari pondok kecil itu mereka menyusur
jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari
berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar.
Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.
”Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan”, kata pemuda yang bertubuh tegap itu.
Menilik sebutan yang diucapkan, maka
Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari
Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki
dari Endang Widuri.
Ketika mereka memasuki rumah itu segera
mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu
hitam yang dialasi oleh kulit kayu. Meskipun kesan wajahnya yang telah
tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak
segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang
sesungguhnya.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera
mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu
mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.
Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka
terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka,
segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat
hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar
menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian
menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda
kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat
kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.

Panembahan
Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin
keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan, ”Alangkah bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini.”
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab, ”Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan.”
Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar, ”Bagiku
kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak
bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira
istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya.”
Mahesa Jenar menjadi semakin sibuk
menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun
demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah
orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama
Rangga Tohjaya?
Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali, ”Marilah Anakmas….”
Seperti orang yang kehilangan kesadaran
Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua
kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu.
Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk
bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.
Setelah Panembahan Ismaya menanyakan
keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta
perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai
pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia
masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah
Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang
tersimpan di dalam dadanya.
Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu, “Anakmas,
kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud.
Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan
diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku
kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini,
sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah
tempurung.”
Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar
menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera
keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan
takzimnya ia menjawab, “Panembahan telah mengetahui apa yang tidak
pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua.
Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat
mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus
mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak
percaya akan ketajaman pandangan Panembahan.”
No comments:
Write comments