Ketika itu di langit bertaburan jutaan
bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang
silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati
menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis. Mereka, Panembahan
Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang
biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar
sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang
gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang
agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat
diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti
apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang
telah lanjut usia.
Karena itulah maka perjalanan mereka
sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju
dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya,
supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug
Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai
dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu
cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata, ”Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?”
Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya, ”Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar,
Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya
terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas,
jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam
perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya
Mahesa Jenar agak segan. Panembahan Ismaya kemudian sadar dengan
sendirinya. Katanya berbisik-bisik, “Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?” Setelah
mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara
apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan
Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di
seberang padang ilalang.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu.”
“Uh..!” keluh Panembahan Ismaya, “Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta.”
Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas
membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih
belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari
orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan
ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan
geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih
diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang.
Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar
melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.
Karena itu, maka kemudian mereka
bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di
depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih
adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar
merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan
kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di
belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali
Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang
tua di depannya.
Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu
jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang
itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa
Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak
menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit,
namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.
Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.
Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak
batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya
tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir
padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar
oleh Mahesa Jenar dengan jelas. Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda
kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan
Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk
bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah. Mahesa Jenar pun segera
duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil
memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh
batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat
itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang
yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.
Untuk beberapa lama pembicaraan
orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah
di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka
saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah
senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh. Meskipun
demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan
itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk
dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil,
tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.
Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap
bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka
sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya
maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah. Arya Salaka sendiri
mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat
oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap
dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia, ”Hati-hatilah
kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau
lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan
menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul
kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor
tikus tak berarti.”
Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi, jawabnya, ”Macam
apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu
aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini
dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya
tujuh kali.”
Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya, ”Aku
akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul. Setelah itu
ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah
yang lain.”
Kedua orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata, ”Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil.”
Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar
berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon
adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau
demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima
Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar. Cepat ia
menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima
Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya
bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan
yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik
kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?
Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan, ”Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar berbisik pula, ”Mereka
adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal
salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk
menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa
mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada
tikus-tikus yang sangat rakus.”
Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan, ”Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan.”
Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan
Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia
menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena
Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, ”Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?”
Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, ”Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah.”
”O ngger…, aku akan mati ketakutan
melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui
apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku
selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah
mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?”
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung.
Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun
sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.
Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah
seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh
cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya
sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan
menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat
dibinasakannya pula. Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk
berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik, ”Anakmas,
kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita
kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk
menyelesaikan masalah ini.”
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.
Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti
apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri,
namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar
giginya gemeretak menahan hati.
Melihat gelagat itu, maka Panembahan
Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka
berdesis dengan suara yang gemetar.
”Cucu Arya Salaka…” bisik Panembahan Ismaya, ”Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?”
”Eyang Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata, ”Apakah
salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar,
darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?”
”Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?”
“Bapa Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut, “Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang.”
“Kau juga benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu. “Tetapi
membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta
cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan.”
“Akan sampai juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut Panembahan Ismaya
semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang
menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya. “Kalau
kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada
tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya.
Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu.”
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu,
Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar
dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang
dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu
tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang
jauh ternyata sangat bermanfaat.
Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Sekarang
atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu
atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah
bedanya?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar dengan tenang, ”Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita
Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya
Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya
akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang
memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya, ”Guru…
ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah
bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya.
Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan
betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan
penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa
Jenar berkata, ”Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada
golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan.
Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan.”
”Paman…” potong Arya Salaka, ”Haruskah
kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…?
Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di
pohon beringin tua itu…?”
”O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan Ismaya.
”Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya. ”Mula-mula
ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman
Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan
terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?”
”Arya…” potong Mahesa Jenar, ”Biarlah
aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa
pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai
tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau
orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan
menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan
bertambah sulit.”
”Kalau demikian biarlah kita
tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan
santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari
gerombolan hitam itu,” jawab Arya. Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.
Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya. ”Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini.”
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai
keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya
benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap
orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki
bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi
nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang
bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan
berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan
bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara
itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun
terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki
itu berkata, ”Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu
daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan
begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu.”
Sekali lagi terdengar tertawa iblis
betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara
laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara
itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan. ”Jangan coba merayu aku,” katanya, ”Kecuali
kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak
bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku
ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku.”
”Kau benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra, ”Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
”Itu urusanmu. Kau boleh minta
pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga
Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu.”
”Kenapa urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
”Banyak sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu. ”Pertama,
Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat
perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga,
kau yang minta aku mengawinimu.”
“He…” potong Istri Sima Rodra terkejut. “Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya, “Soka…
kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan
kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan
di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak.
Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan
menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing.”
“Gila!” gerutu Jaka Soka. “Ternyata
kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk
hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu
kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh.“
“Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu.”
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat
menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata
kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang
lain.
Mendengar percakapan itu hati Mahesa
Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan
Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah
suaranya yang lemah gemetar, ”Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini.”
”Itulah pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar. ”Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya
tentang hal yang lain. Katanya, ”Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti
terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu,
Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya
akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu?
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat
ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
”Bapa Panembahan…” jawabnya, ”Orang-orang
itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar
biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia
biasa.”
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar. Sambungnya, ”Adakah orang-orang itu di tempat ini pula?”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Jawabnya, ”Entahlah”
Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara, ”He, kau lihat tadi lurah kita?”
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam. ”Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?”
”Ya!” jawab orang yang pertama. ”Sima Rodra tua ingin menemuinya.”
Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup
menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia
berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di
belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, ”Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu.”
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam.
Di langit, bintang-bintang masih bermain
dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah
langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus
perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa
menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada
pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima,
dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam
suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada
saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena
mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa
menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung
rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi
dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima
Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu
tenaga dahsyat yang tak terbayangkan.
Disamping itu, ia merasa berterima kasih
pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak,
meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun
dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah
menyelamatkannya beserta muridnya.
Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya. ”Sakayon…” katanya, ”Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos.”
”Baik Nyi Lurah,” jawab Sakayon.
”Aku akan tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka. ”Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan.”
”Kau benar,” jawab Jaka Soka. ”Tetapi
aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan
kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai
ayahmu datang untuk membinasakannya.’
Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya, ”Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya.”
”Kenapa?” potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan, katanya, ”Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh.”
”Gila kau!” bentak Jaka Soka.
Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya
menggigil menahan kemuakan hatinya. Hampir ia kehilangan pengamatan
diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis, ”Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan, ”Jangan
cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk
menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa
aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar
jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu
bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku.”
”Gila kau. Pergilah, pergilah ke
ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat,
sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab Jaka Soka.
Terdengar kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.
Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan
itu telah berakhir. Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang
dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan
kemuakan yang meluap-luap.
”Anakmas…” bisik Panembahan Ismaya, ”Sungguh mengerikan.”
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa.”
”O, ngger,” sahut Panembahan itu, ”Aku
tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti
segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua
menuntunku mendaki bukit kecil ini.”
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan
itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi
tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka
perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan
batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke
Padepokan diatas bukit.
Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang
jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan
alasan yang berbeda-beda.
Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar
dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejap
pun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak
karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula,
bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di
sekitar bukit kecil itu.
Menilik persiapan mereka, maka sudah
dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu
yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau
menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi
mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka
Soka dengan Janda Sima Rodra. Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya
meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling
berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri.
Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebaran.
Pada pagi harinya, sesaat setelah
matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk
menyampaikan undangan Panembahan Ismaya.
Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang
penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri,
bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…” kata Panembahan itu kemudian, “Agaknya
keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama
sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas
bukit ini.”
“Aku kira tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Persiapan
mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya
barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka
memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung
likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku
sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau
akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang
Maha Adil.”
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Katanya, “Angger
memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang
Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha
dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan
diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun.”
Ucapan Panembahan tua itu mengena benar
di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu.
Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula.
Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya.
Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu,
akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Pendapat
Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan
Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka
pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau
Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu
biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena
persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut
dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka
bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu,
bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha,
kalau mungkin menerobos kepungan mereka.”
Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya, ”Sekali
lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian,
berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap
Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih.
Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk
beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan,
sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas
malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu
benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi
akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka
tidak akan tergesa-gesa bertindak.”
”Anakmas…,” lanjut Panembahan Ismaya,
”Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu,
siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam.
Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas
dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun
dapat menemukan mulut goa itu.”
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan
mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena
Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil
itu.
”Panembahan…” jawab Mahesa Jenar, ”Aku
tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian.
Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa terjadi?”
”Sekali lagi aku minta,” potong Panembahan Ismaya, ”Anakmas
jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat
sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari
kedatangan Anakmas di bukit ini.”
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
”Panembahan…” akhirnya Mahesa Jenar berkata, ”Memang
tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin
supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi
kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak
atas pertimbanganku sendiri.”
”Baiklah Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.
Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya
memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan.
Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak
tertentu
No comments:
Write comments