Beberapa lama kemudian tampaklah dua
orang cantrik menuruni lereng itu. Wajahnya jernih cerah dan masih
sangat muda, sebaya dengan Bagus Handaka. Meskipun pakaian mereka sangat
sederhana, namun tampaknya bersih dan serasi.
Tetapi mereka menjadi terkejut sekali
ketika mereka melihat Manahan dan Bagus Handaka menaiki bukit itu.
Bahkan mereka kemudian terpaku seperti patung dengan pandangan yang
bertanya-tanya. Melihat sikap mereka, segera Manahan mengetahuinya,
bahwa pasti bukit kecil yang terpencil ini sangat jarang dikunjungi
orang. Untuk segera menghilangkan kesan yang kurang baik, segera
Manahan dan Bagus Handaka mengangguk hormat. Melihat tamunya mengangguk,
kedua cantrik itupun segera menanggapinya, dan dengan ramahnya berkata,
”Tuan… apakah keperluan Tuan berdua mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini?”
Dengan ramah pula Manahan menjawab, ”Ki
Sanak, kedatangan kami kemari adalah terdorong dari keinginan kami
untuk menghadap yang terhormat Panembahan Ismaya yang bertapa di bukit
Karang Tumaritis. Bukankah bukit ini yang bernama KarangTumaritis?”
Kedua cantrik itu tersenyum. Salah seorang diantaranya menjawab, ”Benar
Tuan, bukit kecil ini memang bernama Karang Tumaritis. Dan di bukit ini
pula tinggal Panembahan Ismaya. Kami adalah cantrik-cantrik yang
mengabdikan diri pada Panembahan. Kalau Tuan-tuan ingin menghadap,
baiklah kami sampaikan nama Tuan-tuan berdua kepada Panembahan Ismaya.
Sedang Tuan-tuan kami persilahkan untuk menanti di bawah beringin itu.”
”Baiklah Ki Sanak,” sahut Manahan. ”Nama kami adalah Manahan dan Bagus Handaka.”
Setelah mengangguk sekali lagi, segera
kedua cantrik itu berlalu untuk menyampaikan permintaan kedua orang tamu
yang akan menghadap Panembahan.
Di bawah beringin tua, Manahan dan Bagus
Handaka menanti, sambil menikmati keindahan lembah dan ngarai yang
terbentang di bawah bukit kecil itu. Pandangan mata mereka beredar dari
relung-relung lembah, padang-padang rumput di dataran yang berseling
dengan semak-semak, kemudian merayapi lereng-lereng bukit kecil itu
sendiri dan akhirnya taman bunga di sekitar mereka. Tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka melihat beberapa bagian dari taman itu tersulam
beberapa jenis tanaman baru. Bukan karena jenis tanaman baru itu akan
menambah keasriannya, tetapi jelas bahwa sulaman itu disebabkan karena
kerusakan. Dugaan mereka bertambah kuat pula ketika mereka melihat
pagar-pagar hidup yang membatasi jalan-jalan sempit di pekarangan itu
terdapat beberapa sulaman pula. Siapakah kira-kira yang merusakkan
tanaman-tanaman yang begitu rapi itu…?
Belum lagi Manahan dan Bagus Handaka
selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah kedua cantrik yang
menemuinya tadi berjalan mendekatinya. Dua cantrik itu baru saja muncul
dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun
rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.
Beberapa langkah di depannya, kedua
cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah
seorang, Tuan, marilah Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug
kami dahulu. Panembahan tengah merendam diri di telaga Pangawikan di
bagian selatan bukit ini. Nanti apabila matahari telah surut beliau baru
kembali.
”Ki Sanak…” jawab Manahan, ”Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan.”
Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain, ”Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami.”
”Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam”, sahut Manahan.
”Tuan benar,” jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan, ”Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan.”
Tidak sepantasnyalah kalau Manahan
menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka
diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu
pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke
dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang
besar di sisi pintu.
”Tuan…” kata salah seorang, ”Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami.”
”Silahkan,” kata Manahan sambil mengangguk.
Kedua orang itu segera meninggalkan
Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang
cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan
senyum ramah pula ia menyapa, ”Tuankah yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?”
Mendengar pertanyaan itu Manahan dan
Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan
diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut
nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.
Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia, “Tuan… kalau demikian agaknya aku salah duga. Mungkin
ada tamu yang lain yang bernama seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab
Panembahan telah memerintahkan kepadaku untuk datang mendahului kemari
menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka,
putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah kesalahan ini.
Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui
Panembahan?”
Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin
kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai
pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus
terang, ”Ki Sanak, benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”
Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam, ”Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan.”
Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur, ”Ki
Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang
akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan
Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut
nama-nama kami yang sebenarnya.”
”O….” desis cantrik itu. ”Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya.”
Mendengar keterangan itu, Manahan dan
Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar
akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.
”Kalau demikian…” cantrik itu melanjutkan, ”Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang.”
Kemudian duduklah cantrik itu
bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula,
Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan
kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga
Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.
Maka kemudian mereka bercakap-cakap
tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang
lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan
yang mengandung manfaat untuk obat-obatan. Akhirnya sampailah
pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta
sulaman-sulaman barunya. Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono, ”Tuan,
beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa
orang berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan
kuda-kuda mereka menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan
memaki-maki. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka
menghadap Panembahan, agaknya mereka merasa kecewa karena beberapa
sebab. Lalu seorang diantaranya yang sebaya dengan Tuan Muda putra
Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja merusak taman kami, tetapi
mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami.”
”Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya?” tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.
Cantrik itu menggelengkan kepalanya, katanya, ”Siapakah
diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah
orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu
pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang
dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar.”
Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang
sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk
mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda
yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak
itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak
berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah
lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang
melonjak-lonjak.
Maka, ketika mereka sedang bercakap-cakap
dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan
berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan
mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada
tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.
Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan
gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah
pertanyaannya, Alangkah tangkasnya gadis kecil itu. ”Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?”
Jatirono tertawa kecil. Jawabnya, ”Gadis
kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya
laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal,
yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan.”
”O…” sahut Mahesa Jenar. ”Karena itulah maka wajahnya bercahaya.”
”Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?”
”Endang Widuri,” jawab Jatirono.
„Endang Widuri?“ ulang Mahesa Jenar. „Suatu
nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah
seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna
pula.”
”Mudah-mudahan demikianlah,” jawab Jatirono, ”Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang.”
No comments:
Write comments