Ki Panutan itu tampak tersenyum. Meskipun
wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru
beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai
seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah
sama sekali. Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia
berbisik perlahan sekali, ”Wilis… biarlah aku pergi. Puaslah sudah
hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku telah menjadi seorang gadis
yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau berlutut di sampingku
meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda dan dosa.”
Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.
”Ayah… ayah….” Rara Wilis hampir memekik.
Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.
”Ayah, jangan pergi….” jerit
Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan
ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang
menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.
Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan
renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup
matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu
pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir
memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan
sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya
menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang
aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah
dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau
hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh
keikhlasan. Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis memekik tinggi.
Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di
atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.
Melihat semuanya itu, serta setelah
mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit
banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian
mereka masih berdiri tegak seperti patung. Bagus Handaka juga tidak
beranjak dari tempatnya. Ia kini sudah teringat siapakah orang itu.
Namun ia mengenalnya sebagai Pudak Wangi.
Maka terharulah sekalian yang menyaksikan
peristiwa itu. Pertemuan pada saat-saat terakhir yang memilukan. Tidak
ketinggalan pula hati Mahesa Jenar. Disamping itu ia tidak mengerti apa
yang harus dilakukan.
Tiba-tiba kembali hatinya digetarkan oleh
gadis anak Ki Panutan itu. Dengan tangkasnya gadis itu berdiri tegak.
Tangan kirinya menggenggam Kyai Sigar Penjalin, sedangkan tangan
kanannya menuding ke arah Mahesa Jenar dengan pandangan yang
menyala-nyala.
Rara Wilis hampir saja tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Setelah bertahun-tahun ia bekerja keras
untuk dapat merebut ayahnya dan kemudian berangan-angan untuk dapat
hidup damai kembali di tempat asalnya, ternyata kini pada saat yang
diimpi-impikan itu datang, ayahnya terbunuh oleh Mahesa Jenar.
Maka dengan gemetar penuh luapan perasaan ia berkata, ”Kakang
Mahesa Jenar. Kau telah merampas seluruh masa depan yang
kuangan-angankan selama ini. Karena itu Kakang, aku akan membuat suatu
perhitungan hutang-piutang. Kau telah membebaskan diriku dari tangan
Jaka Soka di hutan Tambak Baya. Tetapi kemudian kau binasakan ayahku
pada saat aku menemukannya. Dengan demikian maka aku anggap bahwa
hutang-piutang kita telah lunas. Sejak ini aku anggap bahwa aku adalah
orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Mahesa Jenar.
Semua persoalan berikutnya adalah persoalan yang harus diperhitungkan
tersendiri.”
”Wilis…” jawab
Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak sempat berkata lebih banyak lagi, sebab
sekejap kemudian Rara Wilis telah meloncat dengan kecepatan yang
mengagumkan, menerobos ke dalam gelap malam, dan hilang di dalamnya.
Mahesa Jenar kemudian diam tertegun.
Banyak hal yang sebenarnya akan diutarakan. Tetapi apa boleh buat.
Sebenarnya ia sangat kecewa mendengar kata-kata Rara Wilis. Kalau ia
membunuh Sima Rodra, adalah karena Sima Rodra telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bertentangan
dengan perikemanusiaan, apalagi dipandang dari segi Ketuhanan.
Namun demikian ia percaya, bahwa pada suatu saat Rara Wilis pasti akan dapat menginsyafi hal ini.
Melihat kekisruhan yang sedang membelit
hati Mahesa Jenar, yang dikenal oleh penduduk Gedangan bernama Manahan,
tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi bertanya sesuatu kepadanya,
termasuk Bagus Handaka. Baru kemudian ketika Manahan itu telah
melangkah pergi dan mengajak muridnya, Wiradapa segera menjejerinya,
meskipun ia masih berdiam diri.
Pada pagi hari berikutnya, atas
permintaan Mahesa Jenar, diselenggarakanlah pemakaman Sima Rodra muda
yang sebenarnya bernama Ki Panutan, dengan baik. Bagaimanapun jahatnya
orang itu, namun pada saat terakhirnya, ia sudah menemukan dirinya
kembali. Karena itu wajarlah bahwa terhadap jenazah itu tidak perlu
dilakukan pembalasan dendam.
Namun bagaimanapun, pada hari itu
perasaan Manahan seolah-olah sedang diselimuti oleh kabut tebal. Ia
merasa bahwa dirinya telah dihanyutkan oleh keadaan yang sama sekali tak
menguntungkan. Adalah suatu kebetulan yang sangat menyulitkan bahwa
orang yang pertama-tama dibinasakan adalah Sima Rodra, ayah Rara Wilis.
Meskipun demikian, dengan penuh kesadaran
Mahesa Jenar yang juga bernama Manahan itu, tetap pada pendiriannya.
Bahwa mereka yang termasuk dalam golongan hitam harus dibinasakan,
terutama pemimpinnya, yang mempunyai nama menggetarkan seperti Lawa Ijo,
sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan
tidak ketinggalan Istri Sima Rodra yang masih tidak kalah berbahayanya.
Maka karena semuanya itu pula Mahesa
Jenar teringat pada kesanggupannya untuk mencari Keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten. Diketemukannya kedua keris itu, akan dapat
membuktikan pula bahwa Gajah Sora tidak bersalah.
Karena itu maka ia bermaksud untuk secepatnya meninggalkan Gedangan meneruskan perjalanan. Tetapi kemana…?
Dari Wiradapa ia pernah mendengar seorang
yang menamakan diri Panembahan Ismaya. Menurut Wiradapa, berdasarkan
kabar yang baru-baru saja didengarnya, orang itu adalah seorang yang
sangat luas pengetahuannya. Meskipun Panembahan Ismaya itu hampir tidak
meninggalkan pertapaannya, namun ia adalah seorang yang sakti, yang
mungkin dapat menunjukkan di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, atau setidak-tidaknya petunjuk ke mana ia harus mencari,
atau bagaimanakah caranya untuk menemukannya.
Dengan demikian maka timbullah keinginan
Manahan untuk bertemu dengan orang yang disebut Panembahan Ismaya itu.
Seandainya orang itu tidak dapat menunjukkan pusaka-pusaka yang hilang
itu, namun setidak-tidaknya pertemuan dengan seorang Panembahan akan
banyak memberinya manfaat.
Maka segera Manahan mengemukakan
hasratnya itu kepada Wiradapa, untuk mendapat petunjuk-petunjuk ke mana
ia harus pergi serta syarat-syarat yang diperlukan untuk menemui
Panembahan Ismaya.
Setelah ia mendapat beberapa petunjuk
maka segera ia minta diri untuk menghadap Panembahan itu, serta
seterusnya melanjutkan perjalanannya. Tentu saja Wiradapa merasa
keberatan, tetapi bagaimanapun juga Manahan terpaksa meninggalkan
padukuhan kecil itu.
Setelah Manahan memberikan beberapa
petunjuk untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin datang, baik
dari pihak Sawung Sariti maupun dari pihak istri Sima Rodra, dengan
memberikan latihan-latihan singkat kepada beberapa orang, barulah
Manahan tega meninggalkan pedukuhan Gedangan. Sebab kemungkinan yang
paling baik adalah mempergunakan senjata-senjata jarak jauh dengan
mengandalkan jumlah yang banyak. Sebab tidak mungkin mereka melakukan
perlawanan perseorangan terhadap orang-orang seperti Sawung Sariti
ataupun Istri Sima Rodra.
Di suatu pagi yang cerah, berangkatlah
Manahan dan Bagus Handaka meninggalkan Gedangan untuk menghadap seorang
yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya, dengan diantar oleh
berduyun-duyun penduduk yang ditinggalkan sampai ke ujung desa. Mereka
melepas Manahan bersama muridnya dengan hati yang berat. Sedang
sebenarnya Manahan pun merasa khawatir pula. Tetapi ia mengharap bahwa
apabila masih ada orang-orang yang mendendam, dendam mereka tidak
ditujukan kepada rakyat Gedangan, tetapi kepada dirinya yang telah
bertekad menghadapi segala akibat dari perbuatannya.
Sebaliknya, dengan perjalanan itu,
Handaka menemukan kegembiraannya kembali. Berjalan di alam luas, di
bawah langit yang terentang tanpa batas. Batu -batu yang menjorok di
lereng-lereng bukit, serta semak-semak yang terserak-serak diantara
padang-padang ilalang, tampaknya sangat mengagumkan di bawah cahaya
pagi. Gemersik daun-daun yang bergerak ditiup angin, terdengar seperti
suara orang yang berbisik-bisik, terpesona oleh kebesaran alam serta
Maha Penciptanya.
Di lereng-lereng bukit, di kehijauan
rumput yang basah oleh embun, tampak berloncat-loncatan, dan kemudian
menghilang di dalam semak anak-anak kijang yang keriangan.
Tetapi perjalanan mereka kali ini
bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Setelah mereka bermalam satu
malam di perjalanan, maka pada keesokan harinya, tanda-tanda yang
pertama dari padepokan yang dicarinya telah tampak.
Di sebuah puncak bukit kecil, tampaklah
dari kejauhan sebatang pohon beringin tua yang menghijau diantara
batu-batu padas yang berwarna sawo. Itulah padepokan yang dinamai oleh
penghuninya Karang Tumaritis. Di situlah Panembahan Ismaya mengolah
diri, bertapa mesuraga. Belum lagi matahari mencapai titik tertinggi di
langit, mereka telah menyusur jalan setapak yang melingkar-lingkar
menaiki lereng bukit kecil itu. Sampai di lambung bukit, Manahan dan
Bagus Handaka telah dipesonakan oleh tanam-tanaman berbunga yang asri.
Di sana sini tampaklah taman-taman yang teratur rapi, diwarnai oleh
dedaunan yang berseling-seling. Tanam-tanaman yang berdaun lebar,
berdaun sedang dan tanam-tanaman yan berdaun sempit. Dari yang berwarna
hijau muda, hijau tua dan berwarna kemerah-merahan.
Demikianlah Manahan dan Bagus Handaka
berjalan di antara keindahan taman bunga yang digarap oleh tangan yang
pasti sangat mencintai alam.
No comments:
Write comments