Thursday, May 5, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 10 B


Kembali Wiradapa tersenyum. Katanya, ”Banyak juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja.”
”Raja…?” ulang Manahan. ”Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun.”
”He, kau tahu juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan, ”Tetapi tidak selamanya demikian.”
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
”Tuan…, adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. ”Memang dapat terjadi demikian. Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?”
Manahan tertawa pula. Sahutnya, ”Siapakah yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang.”
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. ”Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta kewajibannya.”
”Apakah pekerjaan raja?” tanya Manahan.
”Banyak sekali,” jawab Wiradapa.
”Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti.”
”Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?” sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa. Jawabnya, ”Baiklah aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah, sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka, cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
”Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu,” sambung Wiradapa.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya, ”Adakah kedua keris itu di sini?”
Wiradapa menggelengkan kepala, jawabnya, ”Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini.”
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.
”Tetapi…” sambung Wiradapa, ”Di sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya.”
Kata-kata yang terakhir itu justru menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting. Dan tiba-tiba tanpa sadar ia bertanya, ”Kenapa demikian Tuan?”
Wiradapa tersadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar, ”Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan.”
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati Wiradapa.
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut, ”Kalau Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja, bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya, ”Bukankah kau mau berdoa untukku?”
”Tentu, Tuan…, tentu!” jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan, ”Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang.”
Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata, ”Ah, lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan penting?”
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok. ”Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?”
Wiradapa menggelengkan kepalanya, ”Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.”
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa pertentangan pendapat diantara mereka.
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka, ”Handaka…, bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?”
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab, ”Permainan yang sulit, Bapak.”
Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan, ”Semakin sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali.”
”Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.
”Karena itu…” sahut Manahan, ”Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok.”
Handaka tidak menjawab, dan ketika kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari. Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus dikerjakan.
Siang hari itu, Manahan dan Handaka duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding dan padasan.Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar. Dalam kesempatan yang demikian Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.
Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara memanggil dari halaman.
”Adi Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?”
Kemudian terdengar jawaban dari dalam, ”Belum Kakang, marilah, silahkan.”
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
”Kakang Lurah….” Terdengar suara Wiradapa. ”Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu.”
”Adi Wiradapa…” jawab lurah itu, ”Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?”
”Aku hanya mau bekerja sewajarnya,” jawab Wiradapa.
”Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,” sahut lurah pedukuhan itu.
”Hem….” Wiradapa menggeram, ”Aku tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat.”
”Jangan berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya sendiri.”
”Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.
”Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku.”
”Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.
”Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku.”
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.
”Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik.
Manahan menggelengkan kepala. ”Entahlah,” jawabnya.
”Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.
”Pasti tidak,” jawab Manahan. ”Kalau demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?”
Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.
”Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan kemudian.
”Ya, mungkin demikian Bapak,” sahut Handaka.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi.
Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya, ”Nyai, tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi.”
”Ada apakah sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?” tanya istrinya.
”Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab Wiradapa.
”Tetapi…?” Terdengar istrinya masih akan bertanya.
”Sudahlah Nyai,” potong suaminya, ”Tak ada apa-apa yang terjadi”.
Kemudian istri Wiradapa tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat dengan ruang Manahan.Setelah itu terdengar gemerincing senjata. Agaknya Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Manahan dan Handaka menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan senjata, untuk menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja bersama-sama.
Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit. Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan keinginan tahu tentang apa yang bakal terjadi.
Sampai tengah malam, kesepian malam berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka masing-masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu harus dijebolnya untuk dapat dengan segera sampai di ruang dalam.
Baru ketika tengah malam itu telah lewat, terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman, bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang.
Hati Manahan dan Handaka kemudian berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring, tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi ketika dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu bergerak-gerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu kecurigaan.
Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman masih saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilir-mudik itu tak berbuat lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan demikian Manahan menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar suara senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena mereka merasa cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk perasaan mereka terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin teka-teki itu segera terpecahkan.
Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan.
Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin riuh. Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui bahwa keributan itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang Sawung Sariti dengan para pengikutnya. Kalau demikian, maka besar kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi kalau demikian halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan itu, yang menjanjikan hadiah besar?
Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, ”Siapakah di luar…?”
Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya, ”Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa.”
”Baik, aku tak perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa. ”Tapi hentikan pengkhianatan itu.”
Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut. Ternyata yang berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu Manahan dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.
”Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar kembali Wiradapa berteriak. Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di halaman. ”Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan kami berenam. Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada keputusan hukuman apa yang harus kau jalani besok.”
”Gila…!” potong Wiradapa. ”Kau kira aku sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah kalian, meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat.”
”Luar biasa,” teriak orang lain dari halaman. ”Sayang kami tak mendapat perintah untuk memasukinya.”
Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di dalam rumahnya.
Kegelisahan di rumah itu tidak saja mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di kepala Manahan dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian bangkit dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai Bancak.
Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap. Tetapi justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat firasat bahwa ada suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini. Ia kemudian teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun akan berbuat demikian.
Belum lagi Manahan mendapat suatu perkiraan apa-apa, terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa marah. Geramnya, ”Setan. Orang itu benar-benar cari perkara.”
Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, ”Masih adakah tikus itu di dalam?
”Masih, Tuan,” jawab yang lain dari halaman pula.
”Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi.
Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa. ”He, Wiradapa. Bukalah pintu”
”Siapakah kau?” teriak Wiradapa dari dalam.
”Apa pedulimu. Tak ada kesempatan untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.
”Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.

No comments:
Write comments