Kembali Wiradapa tersenyum. Katanya, ”Banyak
juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang
telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan.
Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin
tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah
diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan
istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja.”
”Raja…?” ulang Manahan. ”Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun.”
”He, kau tahu juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan, ”Tetapi tidak selamanya demikian.”
Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa
dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa
sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.
”Tuan…, adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tertawa geli. ”Memang dapat terjadi demikian. Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?”
Manahan tertawa pula. Sahutnya, ”Siapakah
yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada.
Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan
yang cemerlang.”
Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. ”Memang
barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan
lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang
pekerjaan serta kewajibannya.”
”Apakah pekerjaan raja?” tanya Manahan.
”Banyak sekali,” jawab Wiradapa.
”Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti.”
”Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?” sahut Manahan.
Sekali lagi Wiradapa tertawa. Jawabnya, ”Baiklah
aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat
anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi
menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang
diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah
untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu,
orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang
yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila.
Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya
sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga
akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah,
sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan
pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua
keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten.”
Mendengar keterangan itu sesuatu terasa
berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih
cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya.
Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga
perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka,
cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.
”Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu,” sambung Wiradapa.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya, ”Adakah kedua keris itu di sini?”
Wiradapa menggelengkan kepala, jawabnya, ”Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini.”
Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.
Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.
”Tetapi…” sambung Wiradapa, ”Di
sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan
Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang
tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan
kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung
Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya
Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa
Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti
kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya
beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya.”
Kata-kata yang terakhir itu justru
menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau
sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata
yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting. Dan tiba-tiba
tanpa sadar ia bertanya, ”Kenapa demikian Tuan?”
Wiradapa tersadar bahwa ia telah
mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba
memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar, ”Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan.”
Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa
Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan
karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati
Wiradapa.
Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut, ”Kalau
Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja,
bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”
Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya, ”Bukankah kau mau berdoa untukku?”
”Tentu, Tuan…, tentu!” jawab Manahan.
Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan, ”Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang.”
Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata, ”Ah,
lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki
Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat
beristirahat di rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan
penting?”
Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok. ”Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?”
Wiradapa menggelengkan kepalanya, ”Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.”
Dari percakapan pendek itu Manahan dapat
mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di
pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa
pertentangan pendapat diantara mereka.
Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka, ”Handaka…, bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?”
Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab, ”Permainan yang sulit, Bapak.”
Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan, ”Semakin
sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi
besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali.”
”Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.
”Karena itu…” sahut Manahan, ”Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok.”
Handaka tidak menjawab, dan ketika
kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka
dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di
sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak
orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari.
Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang
aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi.
Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di
seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus dikerjakan.
Siang hari itu, Manahan dan Handaka
duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong
tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding
dan padasan.Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil
bermain macanan.
Sesaat kemudian setelah malam semakin
dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka
sama sekali tidak bernafsu untuk keluar. Dalam kesempatan yang demikian
Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang
mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta
gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan
sangat berguna kelak.
Demikian juga malam itu, Manahan
menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya
sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.
Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh
suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara
memanggil dari halaman.
”Adi Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?”
Kemudian terdengar jawaban dari dalam, ”Belum Kakang, marilah, silahkan.”
Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan
pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan
dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula
perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan
Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.
”Kakang Lurah….” Terdengar suara Wiradapa. ”Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu.”
”Adi Wiradapa…” jawab lurah itu, ”Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?”
”Aku hanya mau bekerja sewajarnya,” jawab Wiradapa.
”Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,” sahut lurah pedukuhan itu.
”Hem….” Wiradapa menggeram, ”Aku
tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh
tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang
sesat.”
”Jangan berlagak seperti malaekat.
Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak
Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi
Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi
hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk
mendapatkannya sendiri.”
”Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.
”Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku
telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan
selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku.”
”Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.
”Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku.”
Lurah pedukuhan itu tidak menjawab,
tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi
disusul oleh langkah menjauhi.
Percakapan itu sangat menarik perhatian
Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak
ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.
”Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik.
Manahan menggelengkan kepala. ”Entahlah,” jawabnya.
”Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.

Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.
”Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan kemudian.
”Ya, mungkin demikian Bapak,” sahut Handaka.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi.
Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya, ”Nyai, tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi.”
”Ada apakah sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?” tanya istrinya.
”Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab Wiradapa.
”Tetapi…?” Terdengar istrinya masih akan bertanya.
”Sudahlah Nyai,” potong suaminya, ”Tak ada apa-apa yang terjadi”.
Kemudian istri Wiradapa tidak berkata
apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat
dengan ruang Manahan.Setelah itu terdengar gemerincing senjata. Agaknya
Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Manahan dan Handaka menjadi semakin
bertanya-tanya di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang
dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan senjata, untuk
menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja bersama-sama.
Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang
terdengar hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit.
Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan
dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan keinginan tahu tentang apa
yang bakal terjadi.
Sampai tengah malam, kesepian malam
berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di
pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan
kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka
masing-masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau
kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam
Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu
harus dijebolnya untuk dapat dengan segera sampai di ruang dalam.
Baru ketika tengah malam itu telah lewat,
terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman,
bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang.
Hati Manahan dan Handaka kemudian
berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring,
tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi ketika
dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka
pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu
bergerak-gerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun
demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu
kecurigaan.
Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama
sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman masih
saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilir-mudik itu tak berbuat
lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan demikian Manahan
menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi
Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih
tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar
suara senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian
rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Manahan dan
Bagus Handaka sama sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena
mereka merasa cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi
tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk perasaan mereka
terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin teka-teki itu segera
terpecahkan.
Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan.
Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit
untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin
riuh. Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui
bahwa keributan itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat
menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak
penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang
Sawung Sariti dengan para pengikutnya. Kalau demikian, maka besar
kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi kalau demikian
halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan itu, yang
menjanjikan hadiah besar?
Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, ”Siapakah di luar…?”
Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya, ”Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa.”
”Baik, aku tak perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa. ”Tapi hentikan pengkhianatan itu.”
Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar
dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut. Ternyata yang
berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu
Manahan dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.
”Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar kembali Wiradapa berteriak. Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di halaman. ”Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya
kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan kami berenam.
Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada keputusan hukuman apa
yang harus kau jalani besok.”
”Gila…!” potong Wiradapa. ”Kau
kira aku sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah
kalian, meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar
lagi dengan selamat.”
”Luar biasa,” teriak orang lain dari halaman. ”Sayang kami tak mendapat perintah untuk memasukinya.”
Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di dalam rumahnya.
Kegelisahan di rumah itu tidak saja
mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di kepala Manahan
dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian bangkit
dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka
menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai
Bancak.
Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu
tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap. Tetapi
justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat firasat bahwa ada
suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini. Ia kemudian
teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun
akan berbuat demikian.
Belum lagi Manahan mendapat suatu
perkiraan apa-apa, terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki
halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa
marah. Geramnya, ”Setan. Orang itu benar-benar cari perkara.”
Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, ”Masih adakah tikus itu di dalam?
”Masih, Tuan,” jawab yang lain dari halaman pula.
”Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi.
Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa. ”He, Wiradapa. Bukalah pintu”
”Siapakah kau?” teriak Wiradapa dari dalam.
”Apa pedulimu. Tak ada kesempatan
untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku
menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.
”Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.
No comments:
Write comments