Thursday, May 5, 2016

Nogososro Sabuk Inten Seri 10 A


Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekati.
”Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat.
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab, ”Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah.”
”Kemanakah mereka pergi?” tanya Manahan pula.
”Entahlah,” jawab Wiradapa. Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
”Siapakah mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.
”Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?”
”Bukan Ki Sanak,” jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan. Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.
”Anak muda itu bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa, ”Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit.”
”Apakah keperluan mereka datang kemari?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu. Jawabnya, ”Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula, ”Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”

No comments:
Write comments