Kemudian setelah titik-titik itu hilang
di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba
matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah
pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia
melangkah mendekati.
”Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat.
Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab, ”Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah.”
”Kemanakah mereka pergi?” tanya Manahan pula.
”Entahlah,” jawab Wiradapa.
Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak
wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.
”Siapakah mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.
”Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?”
”Bukan Ki Sanak,” jawab Wiradapa
sambil duduk di sisi Manahan. Mereka bukan penduduk pedukuhan ini.
Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu
adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut
keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama.
Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi
merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan
itu tidaklah begitu nampak.
”Anak muda itu bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa, ”Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit.”
”Apakah keperluan mereka datang kemari?” tanya Manahan pula.
Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu. Jawabnya, ”Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,
Manahan menarik nafas. Ia sadar akan
permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu
desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun
demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia
bertanya pula, ”Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”
No comments:
Write comments