Tiba-tiba kemudian terdengarlah anak muda yang ternyata adalah Sawung Sariti itu berkata nyaring, “He, Paman Lurah, siapakah dua orang yang duduk di sana itu?”
Mendengar sapa itu, semua mata kemudian
tertuju kepada Manahan dan Bagus Handaka, yang kemudian kepalanya
menjadi semakin tunduk. Dadanya terasa bergelora hebat, namun ia sama
sekali tidak berani melanggar pesan gurunya.
Sesaat kemudian terdengarlah Wiradapa menjawab, “Mereka adalah Manahan dan Bagus Handaka, yang semalam bermalam di rumahku, Tuan.”
“O…” sahut Sawung Sariti. “Untuk apa mereka datang kemari?”
“Bukankah Tuan yang memerintahkannya?” jawab Wiradapa pula.

Mendengar percakapan itu dada Bagus
Handaka serasa akan pecah terdesak oleh gelora perasaannya. Ia belum
pernah mengalami tanggapan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Ia
menjalani semua pahit getir penghidupan dengan senang hati, tetapi tidak
untuk direndahkan sedemikian.
Namun dengan tabah ia menelan segala
kepahitan itu, sebagai suatu kewajiban. Karena itu mukanya menjadi merah
pengab. Dadanya seolah-olah berdentang dentang oleh pukulan detak
jantungnya. Manahan melihat keadaan Bagus Handaka itu dengan penuh
pengertian. Sebenarnya ia merasa kasihan kepada anak itu, namun ia harus
mengajarinya menahan diri. Maka dengan lembut ia berbisik, “Di
dalam perjalanan hidupmu kelak Handaka, banyaklah tekanan-tekanan batin
yang lebih dahsyat daripada permainan ini. Karena itu anggaplah kali ini
sebagai latihanmu yang masih terlalu ringan.”
Kata-kata Manahan itu ternyata besar
pengaruhnya. Memang latihan selamanya terasa hebat. Karena itu ia
menjadi agak tenang dan menerapkan dirinya dalam suatu keadaan latihan.
“Paman Lurah…” kembali terdengar suara Sawung Sariti, “Pekerjaan apakah yang dapat diberikan kepada orang-orang malas itu?”
Lurah Gedangan yang sama sekali tidak mempunyai rencana apapun menjadi agak bingung, maka jawabnya, “Terserahlah Tuan, sebab aku tidak memerlukan mereka berdua.”
Kembali terdengar Sawung Sariti tertawa
nyaring. Tetapi kemudian tampak wajahnya berkerut. Agaknya ia teringat
sesuatu yang sangat penting. Tiba-tiba ia berdiri dan mendekati salah
seorang pengiringnya. Untuk beberapa saat mereka saling berbisik-bisik.
Setelah itu kemudian dengan tersenyum-senyum Sawung Sariti berkata, “He orang-orang malas, siapakah namamu?”
Manahan memutar duduknya, dan sambil membungkuk hormat ia menjawab, “Namaku Manahan, Tuan… dan ini anakku bernama Handaka.”
“Nama-nama yang bagus,” sahutnya, kemudian ia meneruskan, “Apakah yang dapat kau kerjakan?”
Manahan mengangkat mukanya, jawabnya, “Apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan mencoba melakukannya.”
Sawung Sariti mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Besok
aku mempunyai pekerjaan penting untukmu berdua. Sekarang belum. Tetapi
ingat, jangan coba-coba meninggalkan pedukuhan ini. Sebab menurut
pikiranku tak ada orang lain yang dapat melakukannya kecuali kalian
berdua. Kalau kalian mencoba dengan diam-diam pergi dari pedukuhan ini,
maka pasti orang-orangku akan menemukan kalian dan memenggal leher
kalian. Mengerti…?”
Manahan memandangi wajah anak muda itu dengan penuh pertanyaan. Dengan nada bertanya-tanya ia menjawab, “Pekerjaan apakah yang akan Tuan berikan itu. Dan adakah aku mampu melaksanakan?”
“Kau pasti dapat melakukan,” jawabnya bersungguh-sungguh lalu ia meneruskan, “Karena
kalian akan melakukan pekerjaan yang penting itu, maka sekarang kalian
boleh beristirahat, tidur untuk sehari penuh. Dan jangan takut kelaparan
untuk sehari ini. Paman Wiradapa akan memberimu makan
sebanyak-banyaknya.”
Sekali lagi dada Handaka berguncang.
Apalagi kalau diingatnya bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu
adalah anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.
Tetapi kemudian Bagus Handaka telah dapat
menempatkan perasaannya sebaik baiknya, sehingga karena itu hanya suatu
tarikan nafas yang dalam yang terdengar.
“Nah, orang-orang malas…” sambung Sawung Sariti, “Sekarang kau boleh pergi. Kau boleh berjalan kemana kau suka, tetapi ingat jangan tinggalkan pedukuhan ini.”
“Baiklah Tuan,” jawab Manahan penuh hormat. Dan kemudian bersama-sama dengan Bagus Handaka mereka meninggalkan halaman kalurahan.
Mereka berjalan begitu saja sepanjang
jalan desa tanpa tujuan. Manahan berjalan di depan dengan kepala tunduk,
sedang di belakangnya Bagus Handaka mengikutinya dengan kepala yang
dipenuhi teka-teki.
“Kemana kita pergi Bapak?” tanya Handaka kemudian.
Manahan menoleh, dan kemudian memperlambat jalannya sampai Handaka berjalan di sisinya. Kemudian ia menjawab, “Asal kita berjalan Handaka. Melihat sawah-sawah, ladang serta lereng-lereng pegunungan.”
“Apakah kira-kira yang harus kita kerjakan besok pagi?” tanya Handaka pula.
“Entahlah,” jawab Manahan. “Agaknya bukan pekerjaan yang menyenangkan.”
Setelah itu mereka berdua bersama-sama
berdiam diri. Tetapi kaki mereka melangkah terus sepanjang jalan yang
kemudian sampai ke daerah persawahan. Batang-batang jagung yang sudah
setinggi lutut, tampak hijau segar di bawah sinar matahari pagi.
Burung liar terbang bertebaran mencari
mangsanya. Dan di sana sini beberapa orang telah mulai mengerjakan
sawahnya. Menyiangi tanamannya dan mengalirkan air dari parit-parit.
Meskipun apa yang mereka lakukan adalah cara-cara yang sederhana sekali,
namun karena tanah yang subur maka tanaman mereka tampak subur pula.
Manahan dan Handaka berjalan saja
berkeliling tanpa tujuan. Ketika kemudian matahari semakin tinggi,
mereka berdua beristirahat di bawah pohon rindang di simpang jalan.
Selama itu tidak juga banyak yang mereka percakapan, karena pikiran
mereka masing-masing dipenuhi oleh berbagai masalah yang
melingkar-lingkar.
Matahari merayap-rayap semakin tinggi di
kaki langit. Manahan dan Handaka melihat iring-iringan orang berkuda
keluar dari pedukuhan. Mereka adalah Sawung Sariti dengan tiga atau
empat pengawalnya, Pak Lurah dan beberapa orang lagi. Agaknya mereka
akan menempuh suatu perjalanan yang agak jauh, meskipun pasti pada hari
itu juga mereka akan kembali ke pedukuhan itu.
“Wiradapa tidak ikut dengan mereka,” bisik Manahan.
Handaka menganggukkan kepalanya. Tetapi,
ia tidak menjawab. Manahan pun tidak melanjutkan kata-katanya pula.
Kembali mereka tenggelam dalam angan-angan mereka masing-masing.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat
Wiradapa berjalan keluar lewat sudut desanya. Sebentar ia berhenti
sambil memperhatikan titik-titik yang semakin lama semakin jauh sambil
meninggalkan hamburan debu putih.
No comments:
Write comments