Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 14 C

Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang calon untuk merebut tahta.”
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya, ”O… Ngger…. Jangan berpikiran demikian. Aku berdua sama sekali tidak mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani.”
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, ”Aku sudah bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih, ”Angger Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan. Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar tertawa semakin keras. ”Hampir setiap anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.”
Angger…” potong Paniling, ”Pandanglah wajah-wajah kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu katanya dengan lantang, ”Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”
Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu. Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada yang sedih terdengar Paniling menjawab, ”Jadi, adakah Angger Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami…?”
Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.
Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?” lanjut Paniling.
Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar menjadi semakin tegas.
Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.
Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,” potong Mahesa Jenar.
Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam, ”Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang hati.”
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniling dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti membentak pesakitan, ”Hai paman berdua, jangan coba berputar-putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”
Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut. Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, ”Angger… barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat akhir kami.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata Paniling, ”Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.
Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa nyaring. ”Hai orang-orang yang berjiwa kerdil… buat apa kami membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian. Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu. Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin keras.
Bagaimanapun jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar juga.
Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata, ”Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, ”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. ”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata. ”Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”
Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, ”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. ”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. ”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, ”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak, ”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali. ”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. ”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar. ”Angger berdua… aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata, ”Bagus… bagus…. Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”
Kebo Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.
———-oOo———-

IV

Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak, ”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali.
Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar, ”Paman Anggara… karena Paman Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur. Karena itu Darba pun menjawab, ”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak, ”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak. Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindari.
Sementara itu, anggara yang tidak menduga sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya, sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut. Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya. Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas. Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor harimau yang garang.
Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.
Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka percayakan kepada sumber hidup mereka.
Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah tertancap dalam-dalam membenam di tanah tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan. Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak demi setapak, namun kadang-kadang seakan-akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan tangan yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian, mempertahankan serangannya.
Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda. Namun murid termuda ini pun memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu diri serta meraga-sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap. Demikianlah Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya. Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh lawannya.
Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh. Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan. Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan seimbang.
Tetapi justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya, mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.
Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka, atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.
Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak dapat disentuhnya.
Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu. Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.
Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan masing-masing.
Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri sendiri.
Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah pertarungan itu. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih memiliki masa depan yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak terus, mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup mereka. Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal dari hati mereka, bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk kebajikan. Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia.
Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk padukuhan itu yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang sengit itu berlangsung dengan tertibnya. Sama sekali tidak nampak kekasaran-kekasaran seperti yang pernah terjadi, ketika Mahesa Jenar dalam tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan yang terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat dan penuh mengandung bahaya.
Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang sakti itu sedang terbenam dalam arus pertempuran yang merampas segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan mengandung pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke dalam tulang sungsum, sehingga dengan demikian tenaga mereka seolah-olah ikut serta terhembus oleh aliran udara aneh itu. Demikianlah perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap sama sekali. Dengan penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan mereka telah mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika serangan-serangan lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran pertempuran itu.
Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti. Yang tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar diri mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri mereka, segera mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan sekuat tenaga jasmaniah dan batiniah, mereka berusaha untuk menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka.
Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian besarnya, sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa tenaga mereka susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.
Radite adalah yang tertua diantara mereka berempat. Ialah orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak. Pengalaman yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran udara yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan, ”Alangkah kuatnya sirep ini.”
Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan suatu ilmu sirep semacam ini.
Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang, sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat seolah-olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di Istana, beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh sirep yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung Tidar, ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus sirep itu pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora, namun yang sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima Rodra tua, kalau saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten dari ujung timur tidak membantunya.
Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep. Seandainya kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang pernah mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini, kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang sekarang hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan kesadarannya. Apalagi tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka berempat hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.
Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan bumi. Di daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang setetes demi setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara jangkrik seperti teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang tekun berjuang untuk tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah sebuah bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali, seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep itupun menjadi semakin kendor, bahkan kemudian dengan cepatnya lenyap dari diri mereka berempat.
Meskipun mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang aneh itu.
Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan jubah abu-abu.
Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa disengajanya ia bergeser sejengkal maju.

No comments:
Write comments