”Paman, aku tidak tahu siapakah yang
berdiri di belakang Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai
seorang calon untuk merebut tahta.”
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya, ”O…
Ngger…. Jangan berpikiran demikian. Aku berdua sama sekali tidak
mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak mempunyai anak
keturunan. Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta
kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani.”
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, ”Aku
sudah bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab
seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua orang
sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih, ”Angger
Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami berdua
benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan. Namun mustahillah
bahwa kami berdua akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal
kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar tertawa semakin keras. ”Hampir
setiap anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua
sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan tunduk
dengan sendirinya tanpa kekerasan.”
”Angger…” potong Paniling, ”Pandanglah
wajah-wajah kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang
nafsu duniawi yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah
orang-orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah
bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha untuk
menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang
langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya.
Dengan tajam ia memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu
katanya dengan lantang, ”Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak
mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada wajah kalian
memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”
Paniling dan Darba tersentak mendengar
jawaban itu. Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat
kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada yang sedih
terdengar Paniling menjawab, ”Jadi, adakah Angger Mahesa Jenar tetap
pada pendirian Angger, menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten ada pada kami…?”
”Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.
”Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?” lanjut Paniling.
”Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar menjadi semakin tegas.
”Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.
”Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,” potong Mahesa Jenar.
Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan
kepala. Untuk beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya
terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam, ”Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang hati.”
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia
ingin Paniling dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti
membentak pesakitan, ”Hai paman berdua, jangan coba berputar-putar
lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar.
Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana
kau sembunyikan.”
Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut. Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, ”Angger…
barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku sendiri.
Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum
kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling benar dan
adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger menganggap bahwa kami
sepantasnya dihukum mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami
akan menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat akhir
kami.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban
itu. Demikian agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga
bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut sekalipun,
untuk membuktikan betapa bersih mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung.
Ternyata ia tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan
menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu
sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata Paniling, ”Anakmas
agaknya mempunyai wewenang untuk bertindak. Baik sebagai seorang yang
setia pada keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang
benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau
dengan menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas Angger
maka kami akan merasa bahagia karenanya.”
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi
apa yang harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan
kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.
Dalam pada itu Kebo Kanigara yang
sebenarnya terharu pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah
diri, tiba-tiba tertawa nyaring. ”Hai orang-orang yang berjiwa
kerdil… buat apa kami membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku
adalah seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung
Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu sekarang,
maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku berwenang
untuk menghukum kalian, dan hukuman yang aku rencanakan adalah mengikat
leher kalian, serta menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang
berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian.
Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu. Sedang
laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar
kata-kata itu, sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara
dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin
keras.
Bagaimanapun jernihnya hati yang
tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia
juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai
manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya,
dada mereka terasa bergetar juga.
Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih
muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka
sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa
kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri
supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata, ”Tuan…
maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi
datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah
sembah bekti kami berdua.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, ”Aku
sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti
itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar
daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. ”Tetapi
memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan
telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
”Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata. ”Kau
bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti,
berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf
atas kelancangan mulutmu.”
Paniling yang berdada luas lautan pun
kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap
bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar,
kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
”Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, ”Namun
biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab
barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. ”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. ”Sekarang
aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan
Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang
berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas
mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina
sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
Sekarang Darba sudah tidak dapat
membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya
nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak
dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya
kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang
terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, ”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar
menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk
di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu,
ia berteriak, ”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan
kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran
kemarahan melontar hampir tak terkendali. ”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. ”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh
luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam
kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri.
Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang
hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar.
Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah
merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan.
Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar
biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar. ”Angger berdua… aku sudah
mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger
berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang
paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu
agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga.
Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama
Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara.
Nah, Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi
jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah
sama berharganya dengan nyawa kami.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap
Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian
benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti
yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti
pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang
telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh.
Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging.
Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja
memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite
dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata, ”Bagus…
bagus…. Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku,
Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya
pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku
renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”
Kebo Kanigara tidak menunggu Paniling
menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu,
diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula
ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam
gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba
mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya
Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.
———-oOo———-
IV
Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak, ”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.”
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite
terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan
luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti
lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang
orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang
dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari
bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite
benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai
tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak
terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur
yang sangat berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur
beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda
itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu
yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan.
Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya
dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng
Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami
perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah
dilihatnya dahulu.
Darba dan Mahesa Jenar melihat
pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula
persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu
dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya,
siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh
serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa
Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak
berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu
pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu
sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau
untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang
diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam
hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik
memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah
Mahesa Jenar, ”Paman Anggara… karena Paman Anggara ikut pula dalam
usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus
menerima hukumannya.”
Anggara yang sehari-hari menamakan
dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan
ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi
bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang
itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan
ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun
terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.
Karena itu Darba pun menjawab, ”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu
Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita
tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau
juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung
Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu
yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar
berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi
kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula
kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami
menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar
menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara
dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal
diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala
sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang
benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak, ”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera
Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan
kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak
mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak. Sebenarnya Anggara masih
ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal
dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya
ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini
benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan
kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara
bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk
bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu
benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut
sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindari.
Sementara itu, anggara yang tidak menduga
sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar
telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, segera ia
menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya, sambil melindungi
lambungnya dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar. Dengan
demikian maka terjadilah benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar
dengan siku Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga
oleh Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi,
Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut. Bagi Mahesa
Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian kedua tokoh murid
Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa kekuatan yang ada pada dirinya,
setelah ia bekerja keras untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat
mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan
bertanya-tanya di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar
dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya.
Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa Mahesa
Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Dengan
demikian. Anggara kemudian benar-benar telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar
menyerang dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat
mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa
tahun lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit
dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih daripada lima
ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas. Tetapi tikus itu kini
telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing yang ganas, namun
benar-benar telah berubah menjadi seekor harimau yang garang.
Karena itulah maka Anggara pun menyambut
serangan Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang
sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.
Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang
sepi itu terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang
orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri,
serta sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu
tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan
berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka percayakan kepada
sumber hidup mereka.
Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan
pertempuran yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki
ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang
kakinya yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan yang
menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah tertancap
dalam-dalam membenam di tanah tempatnya berpijak, seperti batu karang
yang kokoh kuat berdiri dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula
dapat berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan.
Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya.
Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak demi
setapak, namun kadang-kadang seakan-akan kakinya seakan-akan tidak
berpijak di atas tanah. Dengan tangan yang mengembang ia berloncatan
kesana kemari, seperti seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur
mati-matian, mempertahankan serangannya.
Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar
dengan gigihnya bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang
termuda. Namun murid termuda ini pun memiliki ilmu yang luar biasa
tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang Mahesa Jenar
dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan
kakinya seolah-olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut.
Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu diri
serta meraga-sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil
menemukan intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan
kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta
usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan ilmu dari
perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada bandingnya. Dengan
demikian, maka iapun telah berusaha secermat-cermatnya, menyesuaikan
diri untuk melawan Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya.
Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya
yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan
ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama, menimbulkan desing
angin yang menderu-deru, disamping kaki-kakinya yang menyambar-nyambar
ke segenap bagian tubuh lawannya.
Ternyata, ketika pertempuran itu telah
berlangsung beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo
Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang
pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng yang terkenal
sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta
akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang kuning
gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh. Radite bukan seorang yang sombong,
yang menganggap kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini,
yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu orang
itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan sahabatnya Pengging
Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat
menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan yang
mengagumkan. Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya
mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan bergelar Rangga
Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya
sepintas, tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya.
Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan
seimbang.
Tetapi justru karena itulah, maka
akhirnya mereka benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga serta
kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru
dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-bayangan
hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar
semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang
Wisnu dalam bentuknya yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya,
mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.
Sementara itu, malam menjadi semakin
dalam. Orang-orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula
mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar
apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk
mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang menyusur
jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa
kedua orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut lorong dari
satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah lain. Mereka berhenti di
ujung padepokan mereka, dan kemudian bertempur mati-matian dengan orang
cikal bakal pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun
yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau mereka
sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan menjadi keheran-heranan,
bahwa orang-orang yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki
Darba, yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang rajin, mampu
bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan
pengamatan mereka, atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.
Demikianlah pertempuran itu masih belum
tampak akan berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh
tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak dapat
disentuhnya.
Dalam saat-saat yang demikian itulah,
terlintas di dalam otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang
lebih cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti
memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang
waktu. Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian
tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka.
Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam otak mereka
untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.
Karena itu, mereka telah mempersiapkan
diri mereka untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak
dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-unsur
gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa
yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap pihak. Meskipun
demikian pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sebab
bagaimanapun juga mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak
dikalahkan oleh lawan masing-masing.
Tetapi justru dalam hal yang demikian
itulah kadang-kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan
dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul
kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di dalam
dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri sendiri.
Demikian pula apa yang terjadi dalam
kancah pertarungan itu. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih
memiliki masa depan yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat
memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-masa yang masih
memungkinkan perkembangan yang menanjak terus, mereka selalu berusaha
untuk melengkapi ilmunya dengan apapun yang mereka ketemukan dalam
perjalanan hidup mereka. Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal
dari hati mereka, bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk
kebajikan. Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang
hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia.
Ketika kemudian terdengar kokok ayam
jantan bersahut-sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih
berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk padukuhan itu
yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang sengit itu berlangsung
dengan tertibnya. Sama sekali tidak nampak kekasaran-kekasaran seperti
yang pernah terjadi, ketika Mahesa Jenar dalam tingkatannya pada waktu
itu bertempur melawan Jaka Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam
keadaan yang terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat
dan penuh mengandung bahaya.
Dalam keadaan yang demikian, ketika
keempat orang sakti itu sedang terbenam dalam arus pertempuran yang
merampas segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh
mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan mengandung
pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke dalam tulang sungsum,
sehingga dengan demikian tenaga mereka seolah-olah ikut serta terhembus
oleh aliran udara aneh itu. Demikianlah perlahan-lahan tenaga mereka
menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap sama sekali.
Dengan penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk mempertahankan
diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula mereka mengira bahwa
kesaktian lawan-lawan mereka telah mempengaruh tenaga mereka. Tetapi
ketika serangan-serangan lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka
mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran
pertempuran itu.
Mereka berempat adalah orang-orang yang
cukup sakti. Yang tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar
diri mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu
kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri mereka, segera
mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan sekuat tenaga jasmaniah dan
batiniah, mereka berusaha untuk menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka.
Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu
demikian besarnya, sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa
tenaga mereka susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah
dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.
Radite adalah yang tertua diantara mereka
berempat. Ialah orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak.
Pengalaman yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah
dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran udara
yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan, ”Alangkah kuatnya sirep ini.”
Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal
pula, bahwa seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas
orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan suatu
ilmu sirep semacam ini.
Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah
mengalami betapa pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran
seseorang, sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat
seolah-olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di
Istana, beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh sirep
yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung Tidar, ketika
ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, ia pernah terkena arus sirep itu pula. Sirep yang disebarkan oleh
Gajah Sora, namun yang sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima
Rodra tua, kalau saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten
dari ujung timur tidak membantunya.
Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh
sirep. Seandainya kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang
pernah mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini,
kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata
kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah
mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang sekarang
hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan kesadarannya. Apalagi
tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian, akhirnya
mereka berempat hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri,
berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.
Malam yang kelam masih saja terserak di
permukaan bumi. Di daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang
setetes demi setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang
bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi hening
sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara jangkrik seperti
teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang
tekun berjuang untuk tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah
sebuah bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali,
seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan mereka. Dan
bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep itupun menjadi semakin
kendor, bahkan kemudian dengan cepatnya lenyap dari diri mereka
berempat.
Meskipun mereka terkejut pula atas
kehadiran seseorang tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat
pula menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang
aneh itu.
Ketika mereka telah sempat memperhatikan
bayangan yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu
adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-hitaman di
dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal,
bahwa orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan jubah
abu-abu.
Karena itu segera terpancarlah cahaya
yang cerah dari wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa
disengajanya ia bergeser sejengkal maju.
No comments:
Write comments