Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 14 B

Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak mempedulikannya.
Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya.
Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan kembali.
Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap. Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.
Pada sebuah puncak kecil dari bukit-bukit yang merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar berhenti.
Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
Siapa saja?” tanya Kebo Kanigara.
Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.
Jaka Soka…?” tanya Kanigara pula.
Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,” jawab Mahesa Jenar pula.
Dapatkah kau mengatasi keadaan?
Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke dalam jurang karena pertolongan seseorang.”
”Bagaimana ia menolongmu?”
”Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah menolongnya itu.
Siapakah dia?”
”Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, ”Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?”
Ya.
Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang hitam, batang-batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.
Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?” tanya Kebo Kanigara.
Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya hujan.
Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti untuk melepaskan lelah.
Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.
Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada arah yang harus mereka tuju.
Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna.
Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.
Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak Pungkuran.
Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.
Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, ”Menurut pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang, belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami. Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra tua. Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya, ”Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”
Kanigara tersenyum pula. ”Aku hanya merupakan lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat berguna pula.”
Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah terlalu cerah.
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti empat atau lima tahun yang lalu.
Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada sebatang pohon.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah terjadi.
Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih.
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.
Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta berkata, ”Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai.”
”Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku kembali,” jawabnya.
Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan bernama Putut Karang Jati.
Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari, namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya, ”Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba membayanglah teja di langit.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang bernama sebenarnya Radite dan Anggara.
Ketika aku mendengar derap kuda,” Darba meneruskan, ”aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”
Demikianlah Paman…” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.
Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab beberapa hal saja.
Sehingga, akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling bertanya ”Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa. Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”
Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak melihatnya.
Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.
Maka kemudian berkatalah ia, ”Paman berdua… benarlah dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”
Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?
Paman…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Setelah beberapa tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku katakan dahulu, dan sama sekali aku tidak menemukan jejaknya, maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling bertanya, ”Angger, apakah yang Angger katakan itu?”
Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, ”Bahwa aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau kedua-duanya.”
Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih sekalipun.
Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, ”Angger, beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu…? Kami telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh dengan arti.”
”Paman…” jawab Mahesa Jenar, ”Sekali lagi aku mohon maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain daripada itu.”
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang suram ia berkata, ”Bagaimana aku dapat menduga yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu, bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada Angger Mahesa Jenar.”

No comments:
Write comments