Namun demikian, wajah-wajah mereka itu
tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang
terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun batu-batu
padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak
mempedulikannya.
Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan
kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan
yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung hutan
itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian
perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun
seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya.
Ketika matahari menjadi terik,
seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka
segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun
beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan
kembali.
Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah
kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan
ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah
mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi
gelap. Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati
hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah
Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur dan seterusnya menyusur
sepanjang lerengnya ke utara.
”Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
”Siapa saja?” tanya Kebo Kanigara.
”Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.
”Jaka Soka…?” tanya Kanigara pula.
”Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,” jawab Mahesa Jenar pula.
”Dapatkah kau mengatasi keadaan?”
”Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke dalam jurang karena pertolongan seseorang.”
”Bagaimana ia menolongmu?”
”Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah menolongnya itu.
”Siapakah dia?”
”Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, ”Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?”
”Ya.”
Kemudian mereka terdiam untuk beberapa
saat. Angin malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar
itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak
berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa Pening yang
tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang
hitam, batang-batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.
”Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?” tanya Kebo Kanigara.
”Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya
sekali lagi. Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan.
Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga sawah
ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya hujan.
Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan
perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti
untuk melepaskan lelah.
Ketika matahari pagi mulai menerangi
punggung-punggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan
perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan
berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini bukanlah
merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini
dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.
Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang
putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi
sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan
pada hari terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah
sampai pada arah yang harus mereka tuju.
Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah
dapat begitu lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat
jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia
pernah ke tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang
berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk
mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang
sedemikian adalah sangat berguna.
Mereka sampai ke tempat tujuan ketika
matahari masih tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun
sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung
dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.
Karena itu mereka masih harus
beristirahat kembali sambil menunggu matahari itu membenamkan diri,
sebelum mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak
Pungkuran.
Demikianlah, sambil beristirahat mereka
memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap
bahwa mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun masih
harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam
tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar
dengan angkatan gurunya.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, ”Menurut
pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging
Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang,
belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih
penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang barangkali tidak
terlalu banyak orang lain mengalami. Kesenanganmu bersama muridmu
mengamat-amati gerak-gerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu.
Dan bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima
Rodra tua. Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi
ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi
ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang,
bahkan seekor kelinci sekalipun.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya, ”Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”
Kanigara tersenyum pula. ”Aku hanya
merupakan lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk
mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang
lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat berguna
pula.”
Sementara itu langit telah bertambah
buram. Dan sesaat kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir.
Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah
terlalu cerah.
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan
kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti empat atau
lima tahun yang lalu.
Ketika mereka sampai di depan sebuah
rumah di ujung pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada
sebatang pohon.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan
wajah-wajah yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu
hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu
mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang demikian
adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah terjadi.
Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu
mendengar langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka
pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia pertengahan
menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar.
Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya sebuah
senyuman yang jernih.
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya.
Wajah yang ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung
yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya
memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.
Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta berkata, ”Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai.”
”Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku kembali,” jawabnya.
Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo
Kanigara sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan
bernama Putut Karang Jati.
”Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
mengikuti orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai
dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi
kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari,
namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah berdiri
di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari dadanya ia
menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya, ”Aku tidak mimpi apapun
malam tadi, serta siang tadi burung-burung prenjak tidak berkicau.
Tetapi tiba-tiba membayanglah teja di langit.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk
hormat pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua
orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun mereka
berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti
bukanlah sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak, bahwa
kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan
Darba, atau yang bernama sebenarnya Radite dan Anggara.
”Ketika aku mendengar derap kuda,” Darba meneruskan, ”aku
bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke pedukuhan
kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat mengintip dari celah-celah
pintu berkata kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah Kakang
Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari. Dan dugaanku benar.
Bahwa pasti orang yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah
ini.”
”Demikianlah Paman…” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.
Demikianlah mereka setelah masing-masing
mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya
mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka apapun. Namun
Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab beberapa hal saja.
Sehingga, akhirnya Paniling dan Darba
merasa bahwa sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu
kemudian Paniling bertanya ”Angger, aku sangka kedatangan Angger
mengandung suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak
tergesa-gesa. Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat
menolong kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”
Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu.
Beberapa kali ia memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo
Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak
melihatnya.
Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk
melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar.
Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.
Maka kemudian berkatalah ia, ”Paman
berdua… benarlah dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang
penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan
melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”
Paniling dan Darba bersama-sama
mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan
oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan
rakyat?
”Paman…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Setelah
beberapa tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk
mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku katakan
dahulu, dan sama sekali aku tidak menemukan jejaknya, maka berdasarkan
pengamatanku, atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari
Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang
demikian saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah
abu-abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua paman
ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan
kata demi kata dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah
menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas kepala mereka.
Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah tidak sepatah katapun
yang dapat mereka tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu
pada pendengarannya, Paniling bertanya, ”Angger, apakah yang Angger katakan itu?”
”Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, ”Bahwa
aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau kedua-duanya.”
Paniling dan Darba bersama-sama menarik
nafas panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut,
menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih
sekalipun.
Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, ”Angger,
beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun ikut merasa
sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang yang berjubah abu-abu
itu bukanlah salah seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan
menyimpan kedua keris itu…? Kami telah merasa berbahagia hidup di
padepokan ini bersama-sama dengan para petani. Sebab mereka adalah
orang-orang yang berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian
pulalah yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh
dengan arti.”
”Paman…” jawab Mahesa Jenar, ”Sekali lagi aku mohon maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain daripada itu.”
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang suram ia berkata, ”Bagaimana
aku dapat menduga yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat
adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang
kami tahu, bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris
itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada
Angger Mahesa Jenar.”
No comments:
Write comments