Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang
meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya
berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar ditanah
lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang
dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama sekali tidak
bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang
menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab
dalam bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan
menjadi basah karenanya.
Setelah itu, segera Kebo Kanigara
teringat kepada Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia
berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat.
Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara
meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang
Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman
kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah
dan jalan-jalan lain di Banyubiru. Tetapi dengan demikian, beruntunglah
ia, karena sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh
lebih banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru saja
bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak
terkejar oleh orang-orang yang pasti akan mencarinya.
Baru ketia ia telah menyusup ke
semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan
memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali
jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat.
Beberapa lama kemudian sampailah ia di
tempat mereka berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa
Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya, ”Sudah puaskah Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula, ”Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab, ”Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri, ”Aku
terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat
bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut.
Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya,
dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan
langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan
darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan
dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran. Sebagai seorang pemimpin laskar
Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang
berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama,
masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran, ”Bantaran…
aku masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan
laskar Penjawi. Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan
Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
”Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai
saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah
artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki
Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat
keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora
itu.”
”Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
”Itulah yang mendorong kami untuk
tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki
Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
”Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
”Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran. ”Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, ”Bantaran,
agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan
kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki
Ageng Gajah Sora.”
”Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
”Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
”Syukurlah,” sahut Bantaran.
”Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum
meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku
dapat mempercayainya.”
”Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
”Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran. ”Tetapi
aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang
mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu
bersama-sama dengan Tuan.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk=anggukkan kepalanya. Katanya, ”Berita
itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk
kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran
mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan
Sawung Sariti. Maka katanya, ”Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
”Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban
itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda
yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun
seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak
itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Malahan, seandainya
paman guru Mahesa Jenar itu yang mendidiknya, ia masih belum yakin bahwa
Arya dapat menyamai Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah
seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau
menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat
menyinggung perasaan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, ”Yang
penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu
terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku
akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.”
Tiba-tiba dada Bantaran terasa
seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di
tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad
baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar
kekuasaan manusia.
”Karena itu…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
”Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap. ”Akan
kami kabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang
mereka lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
”Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
”Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat. ”Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
”Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”
Demikianlah, mereka mengakhiri
pembicaraan. Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya
ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri
untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah
menunggunya. Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat
jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul
kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah
sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu.
Namun kali ini dengan bangga ia akan
dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di
Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya.
Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat
Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.
Di perjalanan kembali ke Karang
Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya
memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru.
Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah
sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan,
melintasi padang-padang rumput, hutan-hutan yang tidak begitu lebat,
mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk
kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan
mereka, setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru.
Sedang pedukuhan yang tampak di hadapan
mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan
Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi
yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang
berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang
perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat
semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan
para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka
selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih daripada
itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh
pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian.
Setelah puas memandang sawah yang
terbentang di hadapan mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda
masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung
liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan
terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi,
seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang
baru datang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi
orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena
mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil
itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera
berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga
sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera
bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.
Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula
mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang
hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui
duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu
sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki. Sebab apa yang mereka
lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban
mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil
pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa
ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak
dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban
yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja,
untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang
Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka
kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka
masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
”Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.
”Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
”Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata, ”Kecuali
itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan
putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
”Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
”Kami akan mengadakan upacara bersih
desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia
Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta
tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. ”Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian setelah itu, mumpung masih pagi, segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis.
Ketika matahari telah sampai di atas
kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan
mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang
menyenangkan.
Kedatangan mereka disambut dengan meriah
oleh penghuni bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebih-lebih
lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama
ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai
kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun
menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun
hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo
Kanigara adalah tugas yang berbahaya.
Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya, “Widuri, apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”
Dengan manjanya Widuri menjawab, “Yang
aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam
sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut
serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai
dengan samadinya.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa
sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan
padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama
dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.
Widuri menggeleng. Jawabnya, “Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata, “Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan
ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya
Salaka sambil berbisik, “Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum. Jawab Kanigara, “Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar. “Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya
masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap
gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.
Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata
sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu
yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo
Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua
disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
“Marilah Angger berdua… beberapa hari
aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua
tidak menemui halangan sesuatu.”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak
menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan
mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik, “Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik, “Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah
Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula
bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang,
terutama kemunduran akhlak.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Menurut
pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus
segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau
lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk
membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu
agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia menjawab, “Kau benar
Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat
membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan
sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru
setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu,
seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang
menyedihkan.”
Mahesa Jenar masih merenungkan
masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan
yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak,
maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora
adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi
ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak
hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia
percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan
suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Syukurlah kalau kalau nanti Gajah Sora
dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum
seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali
ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.
Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa
Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar
Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui
permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya
mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa
orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan
pekerjaan berat itu.
“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati,
“Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang
sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa
pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya
untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan
pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian
berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala.
Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya
dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan
keseimbangan.”
Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak
sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki
Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan
menitipkan anaknya kepadanya.
Setelah makan siang bersama-sama dengan
Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri
untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.
Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak
sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera
ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, “Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, “Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, “Tidak.
Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara
nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang
Kanigara.”
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk
memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya
tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka
sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk
mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau
keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan
itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya
keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.
Hampir setiap malam ia duduk
bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo
Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan
selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta
berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang
dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua, yang pada saat
Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka
Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng
Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan
satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.
Disamping semua penjelasan, untuk
mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan
yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula
tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih
sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah
senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan
jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang
mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam,
setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti. Untunglah bahwa di bukit
kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang
memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari
Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Meskipun
sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang
persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya,
Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan
itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri
agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan
sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.
Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian
tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya
lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling
menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari
perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya,
keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan
Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat
memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang
sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal
dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang
mengelabuhi lawan.
Maka, ketika segala sesuatunya telah
dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari
pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu
mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan.
Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang
dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat
tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup
yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang
baik dalam pekerjaannya itu.
Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula
lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha.
Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya,
namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar
menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala
sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu,
ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta
sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara
pergi bersamanya.
Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar
dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit,
yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa
seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan
tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti
harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa
diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak
menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas
manusia-manusia yang lain. Dan terhadap manusia-manusia yang demikian
itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir
pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari
tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan
adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri.
Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup
dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang
sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri.
Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia
sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh
cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia,
serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Di sinilah
kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara
pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk
mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara
tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri,
sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala
macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban,
kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai
tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka
Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini.
Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan
diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya.
Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak
terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang
terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari
tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya, “Karena
itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan
tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang
memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur
dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa kecil. Ada
orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu
satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam
tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung
nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk
mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas
tumpukan bangkai-bangkai. Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam
diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih
untuk mencemerlangkan diri.
———-oOo———-
Bersambung ke Jilid 16
No comments:
Write comments