Maka, timbullah keinginannya untuk
mengenal orang itu dari dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari
secepat-cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu. Namun ternyata
Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasil. Yang terbentang di hadapannya
hanyalah wajah malam yang hitam kelam. Sedangkan bayangan itu sama
sekali sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian perhatiannya kini telah
berpindah dari pertempuran yang baru saja terjadi kepada orang yang
berjubah abu-abu itu. Siapakah gerangan orang yang telah menjadi
teka-teki sampai bertahun-tahun itu? Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah
Sora ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari pertimbangan, bahwa
pasti orang itulah yang telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Tetapi apakah gerangan maksud yang
sebenarnya? Dan kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul pada saat
dirinya terancam bahaya? Bahaya yang hampir saja tak dapat dihindarkan.
Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap seluruh anak buahnya.
Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap. Yang tinggal hanyalah beberapa
masalah, pertanyaan-pertanyaan dan teka-teki yang bercampur baur
berputar-putar di dalam otak Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran –
gambaran hari esok serta kenangan hari kemarin yang kadang-kadang tak
dapat ditemukan sendi-sendi penyambungnya.
Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar
terkejut. Kali ini lamat-lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali,
meskipun setiap kata yang terlontar dapat didengarnya dengan jelas.
Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu.
Siapakah yang berdendang di tengah malam, diantara bau mayat dan darah
ini…? Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng Pandan Alas. Namun
ternyata suara itu lain. Bukan suara yang sudah sering didengarnya.
Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata terdengar diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya dengan seksama.
“Memanising manungsa sejati,
sesantine mring laku utama,
lukita mesu budine,
meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin,
kanti atapa brata, gegulang mrih hayu, hayuningrat sak isinya,
rumantine rinakit budi pakarti,
tata gatining jalma.”
Dada Mahesa Jenar
berdesir mendengar tembang itu. Suatu gambaran tentang manusia idaman.
Manusia sejati, yang bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal
bentuk-bentuk hawa nafsu, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin.
Dengan penuh prihatin dan memeras diri. Berjuang untuk kesejahteraan
dunia dengan segala isinya. Menuju ke arah masyarakat yang tata tentram
kerta raharja.
Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang itu.
Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya manusia yang demikian itu
masih harus dilahirkan. Manusia yang dapat mengenal dengan seksama
segala bentuk-bentuk nafsu, serta menghindarinya, untuk mencapai
kesempurnaan lahir dan batin. Tetapi jelas dikatakan oleh tembang itu,
bahwa manusia itu tidak menunggu datangnya tata masyarakat yang
diidamkan, tetapi manusia yang demikian harus berjuang untuk
mencapainya. Mahesa Jenar meraba dadanya. Di sinilah kadang-kadang letak
persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis yang jelas
antara berjuang untuk masyarakat yang dicitakan, dengan unsur-unsur
nafsu yang menyusup kedalamnya tanpa disadari. Dalam pada itu, tiba-tiba
Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya sendiri. Ia telah sekian
lama berjuang untuk satu cita-cita yang menurut keyakinannya akan dapat
mendatangkan keteguhan pemerintahan yang seterusnya akan dapat
menciptakan masyarakat yang dicita-citakan. Dan bersyukurlah ia bahwa
sampai saat ini sama sekali tidak timbul nafsu di dalam dirinya, seperti
golongan hitam yang juga sedang berjuang dengan tujuan yang sama.
Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi bagi
mereka, penemuan itu sama sekali bukan suatu perjuangan untuk menegakkan
pemerintahan, tetapi bahkan mereka menganggap bahwa siapa yang
menemukan sepasang keris itu, akan mampu menguasai golongannya dan
dengan kekuatan mereka, mereka dapat merebut tahta Demak.
Untunglah bahwa keris itu sudah dapat
direnggutnya dari tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus
dicarinya kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya, untuk mencoba
mengetahui dari manakah suara tembang itu dilontarkan. Tetapi untuk
beberapa lama ia tidak berhasil. Suara itu seolah-olah bergulung-gulung
dari segala arah membentur dan melontar kembali dari tebing-tebing bukit
di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia merasa, bahwa ia tak akan berhasil
menemukannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara
tembang itu telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja
membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu pasti lebih sakti
dari Ki Ageng Pandan Alas. Dalam tingkatannya sekarang, ia sama sekali
tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk dapat berdiri sejajar dengan
orang tua itu. Tetapi orang ini, yang berdendang dengan asiknya,
bukanlah orang sejajarnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
orang yang berjubah abu-abu yang baru saja menampakkan diri di
hadapannya. Dengan demikian ia menduga bahwa orang itulah yang telah
melagukan tembang dimalam yang sunyi itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar
mengambil keputusan untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab usahanya
pasti akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak sendiri
menunjukkan tempatnya berada.
Tetapi yang tumbuh kemudian didalam dada
Mahesa Jenar adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang orang
itu. Orang yang aneh dalam pandangan matanya. Meskipun dalam sepintas
lalu, orang itu benar-benar mirip dengan bentuk Pasingsingan, namun ia
pasti bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Kalau orang itu
juga berjubah abu-abu dan juga memakai wajah yang bukan wajah aslinya,
mungkin hanyalah suatu kebetulan saja, meskipun kebetulan yang masih
meragukan.
Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di
kepalanya itulah Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan Gedangan.
Di sepanjang perjalanannya, ia sama sekali tak dapat melepaskan diri
dari persoalan orang berjubah abu-abu itu.
Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya
di rumah Wiradapa masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak, Kebo
Kanigara beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta yang tampak sangat
kelelahan, serta beberapa orang lainnya, yang kemudian mempersilahkan
Mahesa Jenar untuk duduk diantara mereka.
Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta
untuk tetap bersiaga dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok
pertempuran masih harus dilakukan. Setelah itu maka segera ia minta diri
untuk beristirahat, malahan ia menasehatkan kepada orang-orang lain
untuk beristirahat pula.
Setelah Mahesa Jenar membersihkan
dirinya, terasalah bahwa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah
ia mengisi perut sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas sehari penuh
itu merasa sehat dan kekuatannya telah utuh seperti semula.
Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian
depan rumah Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan Rara Wilis.
Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk bercakap-cakap dengan
Widuri.
Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri untuk meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis menangkap lengannya. “Mau kemana kau Widuri?”
“Tidur, Bibi,” jawab gadis itu.
“Bukankah kau akan menemani aku malam ini?” sahut Rara Wilis.
Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.
“Bukankah kau sudah berjanji…?” Wilis meneruskan.
Widuri mengangguk.
“Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi,” sambung Mahesa Jenar.
Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia duduk kembali disamping Rara Wilis.
“Silahkan masuk Kakang….” Wilis
mempersilahkan. Tetapi Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak
akan terlalu lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu beristirahat.
“Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali Wilis,” kata Mahesa Jenar.
“Pangestumu Kakang,” jawab Wilis.
“Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih diperlukan besok atau lusa,” sambung Mahesa Jenar. Setelah itu segera ia minta diri untuk pergi ke ruang tidurnya
Di dalam ruangan itu dilihatnya lampu
minyak yang terayun-ayun dipermainkan angin yang menyusup lubang-lubang
dinding bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat bayang-bayang yang selalu
bergerak-gerak pula. Sebuah bayangan hitam yang terlukis di dinding
tampak seperti sebuah lukisan hitam yang berguncang-guncang. Itulah
bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja duduk dipembaringannya memeluk
lutut.
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar
masuk, segera ia membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak suram
setelah mengalami peristiwa yang membentur langsung lubuk hatinya yang
paling dalam, bahkan agaknya mandi pun Arya Salaka masih belum sempat.
Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa
Jenar terketuk kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid
satu-satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk meredakannya. “Katanya
Jangan banyak kau pikirkan apa yang sudah kau lakukan Arya. Menurut
pendapatku kau telah melakukan hal yang sebaik-baiknya.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya.
Meskipun tampak perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas.
Namun ketika ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan kata-kata
gurunya. “Paman, tidakkah aku mengecewakan Paman?”
“Kenapa aku harus kecewa Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat,” jawab Arya sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.
“Justru karena itu aku mengagumimu,” potong Mahesa Jenar.
Arya memandang gurunya dengan mata yang
memancarkan keraguan. Namun ia kenal betul watak gurunya. Kalau ia
berkata demikian, maka hatinyapun akan berkata demikian pula. Karena itu
ia menjadi terharu. Bahkan mata itu kemudian menjadi berkilat-kilat
memantulkan sinar pelita karena air yang membayang didalamnya.
“Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam
dalam angan-angan. Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji.
Sekarang beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi segar. Dan adakah kau telah makan?”
Arya Salaka menggeleng.
“Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan
mintalah kepada Bibi Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita
masih harus bekerja keras.”
Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai melangkah keluar ruangan.
Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat
kemudian terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul
dengan suara guyuran air yang dingin segar.
Dalam pada itu, ketika Arya sedang
menikmati sejuknya air, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan
orang berjubah yang berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut dan
agak bingung. Dalam keadaannya sekarang, selagi ia tidak berpakaian,
sulitlah agaknya untuk melawan seandainya orang itu tiba-tiba menyerang.
Meskipun demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai beberapa lama orang
itu berdiri diam mematung. Dalam pada itu Arya ingin mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia meloncat untuk menyambar,
setidak-tidaknya kainnya. Namun ia menjadi terkejut pula ketika orang
itu sudah menghadangnya dengan sama sekali tak diketahuinya, kapan ia
melontarkan diri. Karena hal itu, segera Arya Salaka mengetahui bahwa
orang yang berjubah itu pasti seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat
gurunya pernah berceritera tentang seorang yang berjubah abu-abu dan
bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini Pasingsingan, guru
Lawa Ijo? Tetapi orang ini sama sekali tidak mempergunakan topeng yang
jelek, meskipun wajahnya tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian
Arya Salaka menjadi berdebar-debar.
Tiba-tiba orang itu melangkah maju,
setapak demi setapak, seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor
tikus. Dalam keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat berbuat lain daripada
bersiaga untuk melawan. Bahkan kemudian ia lupa akan keadaan dirinya
yang sama sekali tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di tangan
seorang yang bagaimanapun juga saktinya tanpa perlawanan.
Maka ketika orang yang berjubah itu sudah
sedemikian dekat, Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu
untuk melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya melihat orang itu
perlahan-lahan menjulurkan tangannya. Demikian perlahan-lahan sehingga
agaknya itu bukanlah suatu serangan. Namun Arya tidak mau tertipu. Iapun
perlahan-lahan surut beberapa langkah. Tetapi kemudian orang itu
meloncat dengan cepatnya untuk menangkap pinggangnya. Arya yang telah
siap itupun segera meloncat menghindar dan bahkan dengan sekuat tenaga
ia membalas menyerang dengan kakinya ke arah lambung orang yang belum
dikenalnya itu. Kalau saja pada saat ia bertempur melawan orang-orang
Pamingit, tidak berada di sayap kanan, maka setidak-tidaknya ia dapat
melihat orang yang berjubah abu-abu yang sekarang berdiri di hadapannya
itu. Namun seandainya demikian iapun pasti tidak mau diserang tanpa
sebab dan pasti akan melawannya.
Tangan yang menjepit pinggangnya itu
semakin lama terasa semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya
menjadi semakin surut semakin surut. Bahkan akhirnya tubuhnya menjadi
tidak lebih dari selembar kain yang sama sekali tidak dapat digerakkan
atas kemauan sendiri.
Demikianlah Arya Salaka
kini tidak dapat berbuat lain daripada menunggu apa yang bakal terjadi.
Hanya matanyalah yang dapat memancarkan cahaya kemarahan yang
meluap-luap. Sedangkan mulutnya sama sekali tidak berhasil mengeluarkan
suara. Meskipun dalam keadaan yang demikian kesadarannya sama sekali
tidak terganggu. Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas
dirinya.
Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat
apapun, maka kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan.
Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya kedalam kelam, dibawah
daun-daun yang lebat rimbun di halaman belakang rumah Wiradapa.
Di tempat itu perlahan-lahan Arya
diletakkan berbaring. Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab
ia sama sekali tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun.
Kemudian ia melihat orang itu berdiri
tegap di sampingnya. Diangkatnya kepala sambil memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Namun yang terdengar hanyalah kemerisik daun yang
digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi jangkrik bersahutan dengan suara
bilalang. Sedang malam semakin bertambah malam jua.
Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam
kesunyian yang lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur,
kecuali beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar yang telah
membaringkan dirinya sama sekali tidak curiga tentang keadaan Arya
Salaka. Ketika ia sudah tidak mendengar guyuran air, ia hanya mengira
bahwa Arya sedang pergi ke dapur untuk minta makan kepada Nyai Wiradapa.
Karena itulah maka ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Dalam
pada itu, malahan kenangan Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang
yang berjubah abu-abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari
kehancuran. Ia mencoba untuk menghubung – hubungkan orang itu dengan
orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang aneh-aneh dan
orang-orang yang telah menyisihkan diri dari pergaulan. Diingatnya
nama-nama Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah murid Pasingsingan,
yang bahkan Radite adalah orang yang sebenarnya berhak mempergunakan
gelar Pasingsingan beserta tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia
mengalami kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa hidupnya
seolah-olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa setiap dosa yang dibuat
oleh Umbaran, orang yang kemudian memiliki tanda-tanda serta
pusaka-pusaka Pasingsingan adalah akibat dari dosanya.
Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar,
Radite dan Umbaran tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih berada
dalam deretan yang sejajar dengan gurunya, dengan Ki Ageng Sora
Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga dengan demikian ia tidak
akan dapat melampaui Kebo Kanigara. Tetapi orang yang datang itu adalah
orang yang terpaut banyak daripadanya, yang telah menemukan inti dari
ilmu perguruan Pengging. Sehingga dengan demikian orang itu pasti bukan
salah seorang diantara Radite maupun Anggara.
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada Arya Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu
lama bagi seorang yang hanya mandi dan makan saja.
Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat
lagi, akhirnya perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak. Karena
itu, iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruang tidurnya.
Sekali dua kali ia masih mencoba untuk menanti saja kedatangan anak itu,
tetapi kemudian ia menjadi tidak sabar. Bahkan kemudian ia menduga
bahwa pasti terjadi sesuatu yang tidak wajar. Untung kalau saja anak itu
pergi berjalan-jalan untuk menenangkan dirinya.
Maka dengan perlahan-lahan agar tidak
mengejutkan orang-orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar
berjalan ke halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia melihat lampu
dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa anak itu tidak ada di sana.
Kemudian Mahesa Jenar pergi ke perigi, meskipun ia menduga bahwa anak
itu sudah tidak ada di sana. Tetapi tiba-tiba dadanya bergelora cepat
sekali. Ia menemukan pakaian Arya lengkap diatas sebuah batu di tepi
sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu kemanakah anak itu pergi? Pasti tidak
mungkin kalau Arya sengaja meninggalkan pakaian di sana, meskipun
seandainya ia berganti dengan pakaian lain. Karena itu Mahesa Jenar
mendapat kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu hal yang tidak
wajar, yang bahkan mungkin berbahaya. Menilik keadaannya, serta tidak
adanya sesuatu yang didengarnya, maka Mahesa Jenar menjadi berteka-teki.
Ia menjadi heran kepada dirinya sendiri ketika tanpa sadarnya ia
menjengukkan kepalanya ke dalam perigi, ke dalam lingkaran yang hitam
kelam. Seolah-olah ia sedang mencari Arya Salaka di sana. ”Suatu pikiran gila,” gerutu Mahesa Jenar. ”Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang dihadapinya.”
Dengan demikian maka kesimpulan yang
terakhir, yang mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat
bahaya dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan anak muda itu.
Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar menjadi marah sekali. Siapakah
yang telah berani mengganggu murid satu-satunya itu? Murid yang
diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta mengembangkannya. Bahkan
murid yang keselamatannya menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah
anak itu sendiri.
Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan
jawabnya. Namun ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu dapat
dilakukan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun kedua Uling itu
menyerangnya bersama, namun pasti akan terjadi perkelahian yang cukup
lama untuk memberinya kesempatan mendengar dan membantu. Tetapi apa yang
terjadi adalah sangat mengagumkan. Anak itu agaknya begitu saja hilang
sebelum ia sempat berbuat sesuatu.
Darah Mahesa Jenar menjadi semakin
bergelora. Untuk beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang
renggang. Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk menangkap setiap
suara yang berdesir di sekitarnya. Namun ia tidak mendengar sesuatu.
Juga matanya yang tajam, setajam mata burung hantu itupun tidak dapat
menangkap sesuatu yang mencurigakan. Karena itu ia menjadi gelisah.
Kemana agaknya Arya Salaka harus dicari…?
Sambil berpikir keras, Mahesa Jenar
demikian saja melangkah meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula
dilakukan adalah berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau ada hal-hal
yang mencurigakan yang dapat dipakainya untuk bahan pencariannya. Dalam
hal ini, ia sama sekali tidak ingin mengganggu orang lain. Ia ingin
mencarinya seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia akan minta
pertolongan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat
separo dari perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan
didengarnya nafas seseorang yang mengalir dengan teratur. Mahesa Jenar
mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia melangkah
setapak maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas seseorang.
Menilik tarikannya yang teratur itu,
Mahesa Jenar dapat menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang
tertidur. Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Adakah
Arya Salaka yang tertidur di situ…? Anehlah kalau demikian. Bagaimanapun
letih serta kantuknya, tetapi tidak mungkin bahwa ia tidak sempat
berpakaian, lalu begitu saja menjatuhkan diri dan tertidur di situ.
Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya
mendapatkan sesuatu hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang
serupa telah menyeret Arya kedalam bencana, karena ia kurang hati-hati
atas suara desah nafas yang dikiranya orang yang sedang tertidur
nyenyak.
Dengan demikian malahan Mahesa Jenar
menjadi bersiaga penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan setiap
saat, apabila ia benar-benar berhadapan dengan bahaya yang besar,
ilmunya Sasrabirawa siap untuk dilontarkan.
Setelah beberapa saat ia menunggu dengan
tidak ada perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi setapak
demi setapak dengan penuh kewaspadaan.
Akhirnya suara desah nafas itu sudah
sedemikian dekatnya. Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak
beberapa jengkal maju. Matanya tajam dipergunakannya sebaik-baiknya
menembus daerah yang gelap pekat karena daun-daun yang rimbun.
Perlahan-lahan seolah-olah muncul dari daerah yang hitam sesosok tubuh
yang terbujur diam. Melihat tubuh itu Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar. Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan demikian tubuh
yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin jelas. Dan apakah yang
nampak kemudian sangat mengejutkannya. Ketika tubuh itu menjadi jelas
segera Mahesa Jear dapat mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya
Salaka. Dan dari tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah
nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur nyenyak.
Meskipun tubuh yang terbaring tanpa
pakaian itu adalah Arya Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa
mendekatinya. Ia masih belum tahu pasti, apakah tidak ada hal-hal yang
berbahaya. Baru setelah beberapa saat tidak terdengar sesuatu selain
nafas Arya, Mahesa Jenar melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika ia
meraba tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat seperti
biasa.
Demikian tubuh Arya tersentuh tangan
Mahesa Jenar, tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan
bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika yang
dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa Jenar, iapun segera
mengendorkan perasaannya.
Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa Jenar berkata, “Kau tertidur Arya?”
Arya menganggukkan kepalanya.
“Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan…?” Mahesa Jenar meneruskan.
Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia
baru merasa bahwa ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu
segera ia meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi semakin
heran. Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu telah terjadi.
Setelah Mahesa Jenar sekali lagi
memperhatikan keadaan sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang
mencurigakan, iapun segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka.
Sampai di tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya. Ia tidak sempat
membersihkan debu serta tanah lembab yang melekat pada tubuhnya.
Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa
Jenar tidak segera bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya,
tetapi diajaknya Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang tidurnya,
setelah Arya menolak membangunkan Nyai Wiradapa untuk minta disediakan
makan buatnya.
Baru setelah mereka duduk di pembaringan,
Mahesa Jenar segera bertanya kepada anak muridnya, apakah sebabnya anak
itu telah melakukan suatu pekerjaan yang aneh. Tidur di halaman
belakang, di bawah daun-daun yang lebat rimbun serta sama sekali tidak
berpakaian.
Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia
telah tertidur di halaman belakang tanpa pakaian sama sekali. Diingatnya
kembali apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan sekali, semakin
lama menjadi semakin jelas tampak kembali apa yang pernah dialaminya.
Maka diceriterakannya apa saja yang terjadi atas dirinya. Pada saat ia
sedang mandi, dan tiba-tiba muncullah seorang berjubah menangkapnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk iabertanya, “Apa
yang dilakukan atasmu ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun
yang lebat itu, dan adakah ia berkata sesuatu kepadamu?”
Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab, “Ya,
Paman…. Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu pendengaranku
sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada saat itu terasa bahwa kantukku
tiba-tiba menjadi tidak tertahan lagi.” Arya berhenti sebentar, lalu ia meneruskan. “Mula-mula
dipijitnya seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun sampai ke ujung ibu jari
kakiku. Mula-mula terasa betapa sakitnya. Setiap jari-jari orang itu
menyentuh kulitku terasa seolah – olah seluruh tubuhku menjadi nyeri tak
terhingga. Namun aku sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah
katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi semakin lama perasaan sakit
itu menjadi semakin berkurang. Bahkan akhirnya pijitan itu terasa nyaman
sekali. Sehingga aku menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku
tertidur aku masih mendengar orang itu berkata, “Arya Salaka, kau telah
terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun
kau sama sekali tidak memelihara urat-urat darah serta otot-ototmu.
Dengan demikian kau telah menyia-nyiakan sebagian dari tenaga dahsyat
yang sebenarnya dapat kau ikut sertakan dalam setiap lontaran tenaga.” Sekali lagi Arya berhenti, kemudian, “Sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai Paman membangunkan aku.”
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar
mendengar ceritera Arya. Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang
dapat dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar
tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam tubuh.
Memperlancar jalan darah serta memperbaiki letak otot – ototnya sehingga
pada orang itu tidak lagi diperlukan tenaga untuk mengatasi kesulitan –
kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan demikian segenap cadangan
tenaga apabila diperlukan dapat dipergunakan seluruhnya dan disalurkan
lewat bagian-bagian tubuh yang dikehendaki. Tetapi masih belum jelas,
apakah orang itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya,
membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran
tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu segera ia
bertanya, “Arya, bagaimanakah rasanya tubuhmu sekarang?”
Dengan tidak sesadarnya, Arya
mengamat-mati tubuhnya sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan
jari-jarinya. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan, apakah ada
perubahan – perubahan di dalam dirinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar
bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain
di dalam dirinya. Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya serta
sendi – sendi anggota badannya.
Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar
darah yang mengalir di dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung
rambut di seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi
betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak bertambah cepat
dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur serta sendi-sendi
anggota badannya yang licin, namun seakan-akan bertambah kokoh.
Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan
bahwa kini ia telah mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan
ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat diucapkan
hanyalah beberapa kata saja. “Tubuhku menjadi bertambah baik Paman.”
Jawaban itu sendiri tidak begitu
meyakinkan bagi Mahesa Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya
menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu
keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang
telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda
dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu. Anak itu agaknya kini telah
memiliki kesempurnaan tata nadi dalam tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri
merasa bahwa selama ini ia telah memaksa anak itu bekerja keras,
berlatih, berkelahi, berjalan dan berlari setiap hari. Namun ia tidak
dapat melakukan hal yang lain bagi tata nadi anak itu. Meskipun ia
sendiri dahulu pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan mengenai
urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari
daripada saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan.
Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-pertempuran
yang sebenarnya.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi
atas Arya. Orang yang berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya
Arya tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah
menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan
didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula Mahesa Jenar
merasa cemas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang
yang berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan
kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah
dugaan yang telah tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun sama
sekali tidak bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat
hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan dilereng
bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam
diri. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang
menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat, siang dan
malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-olah baru
sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah
Sora, yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah dapat
mencerminkan kebesaran jiwa yang diwarisinya dari orang tuanya, serta
pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh
gurunya, menjadi tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya sama sekali
tidak menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun
tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar yang
memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu harapan dalam
dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.
Sedang yang tersangkut di dalam otak Arya
Salaka kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang
berjubah itu. Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan
menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu kemudian ia
bertanya kepada gurunya, “Paman, adakah Paman mengenal orang yang berjubah itu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Tetapi aku pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”
“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.
“Tidurlah Arya,” desis Mahesa
Jenar kemudian sambil membaringkan dirinya. Dan sejenak kemudian mereka
berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan
sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi
punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang menggigitnya.
Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di
semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa Jenar pun kemudian tertidur
karena kelelahan.
Padukuhan Gedangan kini benar-benar telah
terbenam dalam suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang
berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis
menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara pegunungan yang
dingin.
Ketika di timur tampak fajar mulai
membayangkan cahaya kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim
untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda
mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur sudah
tidak lagi berada di perkemahan mereka. Agaknya mereka telah merasa,
bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun mereka pasti tidak
akan berhasil. Karena itu, lebih baik mereka menarik diri.
Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan datang.
Meskipun tidak terdengar tanda-tanda
bahaya, namun Mahesa Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada
saat terang-terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka
melihat beberapa orang telah berada di halaman depan. Tetapi demikian
Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa
tidak ada lagi bahaya yang mengancam pedukuhan itu. Setidak-tidaknya
untuk waktu-waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita
oleh laskar Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar
memerintahkan juga laskar Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan
daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.
Demikianlah sehari itu, yang dilakukan
oleh orang-orang Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat
yang berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.
Ketika matahari condong ke barat,
selesailah pekerjaan mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga
masing-masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan.
Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-gardu
penjagaan. Siang maupun apabila nanti malam datang.
Dalam keadaan yang demikian terasalah,
betapa akibat pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk
Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang anggota
keluarga mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada
menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur
dalam perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup mereka untuk
seterusnya.
Ketika pekerjaan mereka telah selesai
seluruhnya, barulah mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka
kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang. Namun agaknya
Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap diantara mereka. Agaknya
beberapa masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta diri
untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka,
ternyata Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari
diluar. Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta
bersama Arya Salaka bermain-main.
Demikianlah mereka berdua berjalan
menyusur jalan-jalan pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang
Widuri minta Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang
pengalamannya dan tentang cita-citanya. Sebaliknya kadang-kadang ia
bercerita tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung –
burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar di
halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingin-tahuan, Widuri
menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di seberang punggung-punggung
bukit, daerah dimana langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu
garis yang membujur panjang sekali.
Dalam percakapan yang asik itu Arya
selalu berusaha untuk menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang
pernah dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di
pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang luas
serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras untuk
mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada
anak muda itu. Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan
ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal datang.
Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada gadis itu.
Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat mengetahui betapa banyak kemauan
dan cita-cita yang tersimpan didalam dadanya.
Demikianlah dengan tidak merasakan lelah,
mereka berjalan terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah memeras
keringat membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-jalan
bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap dengan
orang-orang yang tidak sebayanya.
Karena itulah maka dengan tidak terasa,
mereka telah melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan.
Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur ke dalam
daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang selalu dilewati oleh
orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam hutan itu, tanpa prasangka
dan raga-ragu.
Bahkan dengan wajah yang berseri-seri
mereka memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup
angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak
berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau
mengantar datangnya senja. Selembar awan yang menggantung di langit
bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan.
Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil bergumam, “Layung…, layung senja, jangan kau pancarkan penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak nakal di sampingku.”
Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya, “Layung-layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah sakit mata.” Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya, “Layung…, layung senja yang baik. Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”
“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa. “Candhik ala tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih penyakit mata.”
“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu
terputus. Dari balik semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka
mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera
dapat mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu mereka
tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang
terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan suara langkah itu sama
sekali tidak tertahan-tahan, sehingga mereka menduga bahwa orang yang
datang itu sengaja akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.
———-oOo———-
II
Ketika mereka menoleh ke dalam
semak-semak di belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak.
Suara langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai
suram. Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar suara
orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri
bukanlah seorang gadis penakut, namun mendengar suara tertawa yang
mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya Salaka. Kecuali itu,
sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang
berada di dalam semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi
sedikitnya dua orang, yang tertawa bersama-sama.
Dalam pada itu perasaan Arya Salaka
menjadi tidak enak. Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang
baik. Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang
bakal terjadi.
Sesaat kemudian tampaklah daun-daun
semak-semak itu tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan
kasar yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah di
hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang terangkat
tinggi. Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali
terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti ringkik
kuda-kuda liar.
Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka
berdebar-debar. Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah
melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak
lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang lebar,
bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.
Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati Arya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal
keduanya. Tetapi dalam pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu
ia melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian
dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa
bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Karena itu
bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan kemampuan diri. Dirinya
sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya kawan yang ada di tempat itu.
Tetapi karena di dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging,
maka ia tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
Tetapi, yang justru menggoncangkan
dadanya, bukanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila
ia benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu. Dalam hal
yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-latihan yang
berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat bertempur sambil
menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada Arya
Salaka, meskipun ia masih belum dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda
itu dibandingkan dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu. Tetapi
yang lebih mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati
dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka.
Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang
senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri berdiri
serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam senyuman
yang aneh itu.
Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.” Suara yang terdengar adalah suara yang serak parau.
Arya Salaka memandang kedua orang itu
dengan seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan
terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling
itu ia menjawab, “Selamat bertemu sahabat. Adakah kau akan menyampaikan kabar tentang daerahku…?”
Terdengar Uling Putih tertawa berderai. “Ya…
ya… Tuan muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah
Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti
dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki. Bahkan
akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi…?
Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan Sawung Sariti. Tetapi itu
bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi atas daerah Tuan itu.
Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu
akan mati juga. Kau ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?” Uling
Putih berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu
meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan, “Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning.” Seterusnya kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.
Dada Arya Salaka terguncang oleh
kata-kata itu. Namun ia tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu
betapa perkasanya kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi, “Tetapi
Tuan muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga
berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong mempercepat
rencana itu, supaya aku lebih cepat menguasai daerah Banyubiru itu
sebagai kepala daerah perdikan yang dihormati, tidak sebagai sepasang
perampok seperti sekarang itu.”
Jantung Arya Salaka terasa seperti
diguncang-guncang mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan
suara gemetar karena marah ia menjawab, “Sepasang Uling yang
perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan demikian
aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus
bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan
kewajiban-kewajibanku sebaik-baiknya. Salah satu dari kewajibanku adalah
menyelamatkan daerah Banyubiru.”
Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-keras. Katanya, “Tuan
adalah seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari
kedudukannya, namun masih merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak
usah menunggu lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar
melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan
yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi sepeninggal
Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit telah terbuka
pula.” Kemudian terdengar Uling Putih menyambung, “Apalagi
dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan
Banyubiru dan Pamingit. Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung.”
“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka, “Tetapi
kau lupa bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau
dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan Paman Lembu
Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana
itu?”
Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya, “Adakah
kau mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan tahun
lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka orang tua itu pasti
akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu
tidak takut melihat kenyataan hari depannya yang patah, maka aku pun
dapat mempertemukannya dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa
Pening, khusus untuk keperluan itu.”
“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.
Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling Putih, “Ya, guruku Sura Sarunggi.“
Arya Salaka mengerutkan keningnya.
Agaknya Uling Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk
dapat sampai ke kedudukan yang diinginkan.
Dalam pada itu ia sudah tidak melihat
kemungkinan lain daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan
kekerasan. Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan
percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus
memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah memiliki
bekal untuk membela dirinya sendiri. Namun sekarang bagaimanakah
imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan kekuatan Uling itu
sepasang…?
“Tuan muda…” tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan, “Sepeninggal
Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu. Meskipun kami sudah tidak
semuda Tuan, namun kami akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”
Widuri menjadi muak mendengar perkataan
itu. Apalagi ketika kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang
mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat
menahan dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya Salaka pun menjadi marah
mendengar perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan
lantang iapun menjawab, “Sepasang Uling yang baik. Terima kasih atas
berita yang telah kau sampaikan kepadaku. Dan terima kasih pula atas
perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang anak-anak, kau berdua
telah memberikan waktu yang cukup banyak serta tenaga yang besar
sekali. Dengan demikian aku merasa mendapat kehormatan dari sepasang
orang perkasa. Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali
lagi, apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik kau
tetap menjadi perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa Pening.”
Arya Salaka sama sekali tidak mempedulikan ancaman itu, jawabnya, “Sebaiknya
kau kembali saja ke Rawa Pening. Lebih baik kau menghadap Paman Lembu
Sora dan minta menjadi pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan seumur
hidupmu. Kau tidak akan kelaparan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Uling Kuning sambil melangkah maju. Ternyata darahnya agak lebih panas dari kakaknya. “Berlututlah dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami siksaanku.”
Arya menatap mata Uling Kuning itu dengan penuh kebencian. Dengan dada menengadah ia menjawab, “Maaf
Uling Kuning, aku tidak bisa berjongkok dan minta ampun. Kalau kau
telah biasa melakukan itu kau sajalah yang berjongkok dan minta ampun.”
Darah Uling Kuning maupun Uling Putih
menjadi mendidih karenanya. Tetapi pada saat Uling Kuning hampir saja
lupa diri dan meloncat menyerang, tiba-tiba terpandanglah olehnya Endang
Widuri. Karena itu tiba-tiba ia mengurungkan serangannya. Bahkan
kemudian ia menoleh kepada Uling Putih sambil berkata, “Apakah yang harus kita lakukan terhadap anak yang telah menghina kebesaran nama Sepasang Uling dari Rawa Pening ini Kakang?”
Uling Putih yang telah marah itu menjawab, “Menyingkirlah, biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku biarkan ia hidup sampai matahari terbit esok.“
Ancaman itu sungguh mengerikan. Suatu
siksaan yang tiada taranya. Namun Arya Salaka sama sekali tidak gentar.
Ia masih berdiri dengan dada menengadah menghadapi setiap kemungkinan.
Juga kemungkinan untuk disayat kulit wajahnya, dan dibiarkan hidup
sampai besok.
Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di
dalam hati. Memang sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka kepada
kakaknya. Sebab ia lebih tertarik untuk menangkap gadis yang menjelang
dewasa yang datang kepadanya seolah-olah hadiah dari langit. Meskipun
demikian ia masih berpura-pura berkata, “Adakah Kakang perlu menanganinya sendiri?”
Uling Putih menjawab, “Biar puas hatiku, jangan kau ikut campur.”
Uling Kuning mundur selangkah. Matanya
dengan liar merambat ke segenap bagian tubuh Endang Widuri. Tubuh yang
tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja.
Sementara itu Uling Putih telah siap.
Dengan wajah yang mengerikan ia melangkah maju. Selangkah demi
selangkah. Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk
merobek-robek kulit Arya Salaka.
Arya Salaka pun segera mempersiapkan
dirinya. Ia harus melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul,
bahwa sepasang Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang hampir seluruh
hidupnya diwarnai oleh noda-noda yang hitam kelam. Karena itu, Arya
Salaka berpendapat bahwa ia harus mencoba untuk dapat memusnahkannya.
Tetapi ia masih belum dapat mengukur, apakah ilmu yang selama ini
dipelajarinya akan cukup mampu untuk melawan Uling Putih itu. Namun
dalam pada itu, yang tergores didalam hatinya, adalah perbuatan yang
sebaik-baiknya sebagai suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada
sesama. Tetapi yang masih sedikit mengganggu pikirannya adalah Endang
Widuri. Ia melihat suatu tanda-tanda yang mencemaskan pada Uling Kuning.
Ia melihat bagaimana cara Uling Kuning itu memandang Endang Widuri.
Karena itu maka mau tidak mau ia merasa bertanggungjawab pula atas
keselamatan gadis itu.
Uling Putih kini sudah dekat berdiri di
depannya. Giginya gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat. Tetapi
sesaat kemudian terdengar ia menggeram, “Tidak sia-sia aku berdua tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang aku akan puas menghisap darahmu.”
Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki kirinya setengah langkah surut.
Bersamaan dengan itu, Uling Putih
meloncat dengan garangnya menyerang dada Arya Salaka. Cepat Arya Salaka
menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya. Sementara itu tangannya
menyambar lambung lawannya dengan gerak yang mendatar.
Dalam pada itu Arya Salaka menjadi
terkejut sendiri dengan gerakannya. Sebab tiba-tiba ia merasa
seolah-olah ada tenaga kuat yang mendorong dari dalam. Tenaga yang
selama ini seolah-olah tersembunyi. Bahkan dalam gerakannya itu, terasa
benar bahwa segala sesuatu di dalam tubuhnya telah berubah. Mungkin
itulah yang dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang dilakukan oleh
orang berjubah abu-abu. Dan dengan demikian geraknya menjadi cepat dan
kuat.
Uling Putih terkejut melihat kecepatan
gerak anak itu. Bahkan ia terkejut pula ketika melihat tangan lawannya
menyambar lambung. Karena ia sama sekali tidak menduga bahwa hal yang
demikian akan terjadi, maka iapun kurang mempersiapkan dirinya. Ia
mengira bahwa anak itu hanya dapat berloncat-loncatan sedikit. Ia tidak
tahu bahwa Arya Salaka dalam perkelahian seorang lawan seorang telah
dapat mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung Sariti sendiri selalu
mengatakan bahwa ia harus bertempur menghadapi beberapa orang yang
datang membantu Arya Salaka. Dengan demikian Uling Putih itu tidak
sempat berbuat lain daripada membentur tangan Arya Salaka. Uling Putih
menarik kaki kanannya, kemudian memutar tubuhnya dan menghantam lengan
lawannya itu dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih belum dapat
menguasai geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab sejak ia bertemu
dengan laki-laki aneh yang berjubah abu-abu serta menidurkannya di dalam
semak-semak, ia belum pernah mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama
kalinya ia dapat melihat akibat dari kejadian malam yang mendebarkan
itu. Karena itu ia tidak dapat menghindarkan diri dari benturan yang
terjadi. Benturan antara lengannya dengan kedua tangan Uling Putih.
Akibatnya diluar dugaan Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling Putih
yang pada dasarnya memandang rendah kepada lawannya, sengaja tidak
mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia mengira bahwa sebagian
tenaganya saja ia akan mampu mematahkan lengan anak yang dianggapnya
terlalu sombong itu.
Tetapi yang terjadi sama sekali tidaklah
demikian. Tenaga tangan Arya ternyata besar sekali, sehingga Uling Putih
terdorong surut beberapa langkah, sedang Arya sendiri tetap tidak
bergeser dari tempatnya.
Mengalami peristiwa itu, dada Uling Putih
seolah-olah menyala karena hatinya yang panas. Disamping perasaan heran
yang tak habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga anak yang dianggapnya
tidak lebih dari seekor kelinci yang lemah itu, juga menggelora di dalam
dadanya suatu perasaan malu, marah, dendam dan nafsu bercampur baur.
Karena itu, maka segera ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk satu
tujuan, membunuh dan menyayat-nyayat putera kepala daerah Perdikan
Banyubiru itu.
Demikianlah dengan garangnya ia menyerang
kembali. Serangan yang datang menggelombang dengan dahsyatnya. Arya
Salaka pun kemudian melayaninya dengan tangguhnya. Ia telah mewarisi
hampir segenap jenis unsur-unsur gerak dari perguruan Pengging, ditambah
dengan tata nadinya yang telah disempurnakan. Dengan demikian anak muda
itu seolah-olah dapat bertempur seperti burung elang di udara,
menyambar-nyambar dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula
bertempur laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang dan meyakinkan.
Uling Kuning dan Endang Widuri berdiri
terpaku menyaksikan pertempuran itu. Pertempuran yang berjalan dengan
sengitnya. Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi kemudian menjadi
lambat, namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan.
Uling Kuning, yang mula-mula menjadi
sangat gembira ketika kakaknya bermaksud untuk membunuh Arya Salaka
dengan tangannya sendiri, karena dengan demikian ia dapat berbuat
leluasa atas gadis cantik itu, kemudian terpaksa mengikuti pertempuran
itu dengan seksama. Bahkan kadang-kadang timbullah kecemasan di hatinya.
Sebab kadang-kadang ia melihat serangan Arya Salaka seperti air yang
mengalir dengan derasnya, melanda setiap usaha yang akan merintanginya.
Untunglah bahwa Uling Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman
bertempur. Dalam keadaan-keadaan yang sulit, ia masih mampu untuk
membebaskan dirinya. Namun dengan demikian anggapannya terhadap Arya
Salaka telah berubah. Ia kemudian menganggap anak muda itu seorang lawan
yang berbahaya tak henti-hentinya, yang rasa-rasanya datang dari
segenap penjuru. Dalam keadaan yang demikian Uling Putih harus memeras
keringatnya untuk dapat mencapai titik keseimbangan. Namun agaknya anak
muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling Putih telah berusaha
membentengi tubuhnya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan berubah-ubah,
tetapi ia tidak bisa menutup mata, atas suatu kenyataan bahwa dadanya
menjadi semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang meluncur
seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari. Bahkan beberapa kali, ia
tidak dapat berhasil membebaskan diri seluruhnya atas serangan-serangan
kaki lawannya yang masih sangat muda itu.
Meskipun Uling Kuning melihat kenyataan
itu, namun ia terlalu mengagumi kakaknya, seperti ia mengagumi dirinya
sendiri yang seolah-olah tak seorangpun dari angkatan sebayanya, apalagi
anak-anak seperti Arya Salaka, akan mampu mengalahkannya. Karena itu,
ia tidak mengalami sendiri tekanan-tekanan maut yang mendesing-desing di
telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan keadaan Uling Putih. Bahkan
tiba-tiba ia teringat kepada kepentingannya sendiri. Kepada gadis yang
berdiri tak seberapa jauh darinya.
Dengan sudut matanya sekali lagi ia
memandang Endang Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya
Salaka dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu bergetar.
Kalau saja ia nanti berhasil membawa anak itu ke Rawa Pening, pasti akan
merupakan barang yang sangat berharga di daerah yang tersekat dari
pergaulan. Berbeda dengan daerah Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut
yang tampan, dimana terdapat berpuluh-puluh gadis korbannya yang
disimpan di sana. Berbeda pula dengan cara hidup Sima Rodra muda dari
Gunung Tidar. Yang seolah-olah telah kehilangan tingkat tata pergaulan
hidup manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan dibiarkan
mengalami suatu penghidupan yang buas dalam segala segi-seginya.
Karena itu maka kemudian perlahan-lahan
perhatiannya berkisar dari titik pertempuran kepada Endang Widuri.
Bahkan kemudian iapun menggeser kakinya setapak demi setapak ke arah
gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat itu pula. Dengan demikian,
kecuali ia akan mendapat sesuatu yang dianggapnya permainan yang
menyenangkan, sekaligus ia dapat mempengaruhi perhatian Arya Salaka.
Dengan demikian secara tidak langsung ia sudah membantu kakaknya. Sebab
sedikit saja Arya Salaka lengah, maka kakaknya pasti akan dapat
mempergunakan kesempatan itu sebaik – baiknya.
Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat
atas rencananya itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia
memastikan bahwa rencana itu akan berhasil. Menangkap Endang Widuri dan
sekaligus menyebabkan Arya Salaka binasa.
Sementara itu, pertempuran berjalan
semakin sengit. Arya Salaka terpaksa mengakui ketangguhan lawannya.
Tahulah ia sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak tergesa-gesa bertindak
terhadap kedua orang yang berbahaya itu. Pada waktu itu pasti ayahnya
sedang mempersiapkan segala kemungkinan serta perhitungan-perhitungan
yang masak. Ternyata kedua orang itu benar-benar luar
biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah banyak menerima tuntunan
langsung atau tidak langsung, sehingga dengan demikian ia dapat melawan
Uling Putih dengan sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa ia
berhasil mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di
seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah segar,
kuat dan lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa sesuatu rintangan.
Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di
dalam hati. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki
keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia
menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya. Tetapi ia harus
menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap
tidak mampu untuk menundukkan lawannya. Akhirnya ia menjadi gelisah.
Bahkan ia mengharap agar adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat
berteriak memintanya ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga
dirinya. Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi,
apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun. Tetapi sebelum ia
benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam sekilas ia melihat Uling
Kuning perlahan-lahan mendekati gadis kecil yang sedang asik melihat
perkelahian itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan padanya.
Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian
menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat
itu saat yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.
Pada saat itu, malam telah turun
perlahan-lahan. Warna-warna merah di langit telah lenyap disapu oleh
warna-warna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali
diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini
menghias langit.
Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang
sedang tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka
melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya Salaka
melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan garangnya
menghantam lawannya. Tetapi ia mengerti pula bahwa Uling Putih pun
mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya. Ia
bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan berputar untuk menjaga
agar ia tetap dapat menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja.
Sekali muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja
lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi pening
dan kebingungan.
Semakin lama pertempuran itu menjadi
semakin seru. Arya Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat
peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu
tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti
anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping.
Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya sendiri dengan kuatnya.
Tetapi ketika Uling Putih telah
benar-benar terdesak, tiba-tiba tangannya menarik tali yang membelit
pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai, tampaklah bahwa
sebenarnya yang membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya
Salaka tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu
benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian ia harus
berhati-hati menghadapinya.
Ketika itulah Uling Putih itu menyerang
dengan garangnya. Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah
sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka. Dengan tangkasnya Arya
membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali berputar, kakinya menyambar
perut Uling Putih. Namun Uling Putih sempat menarik dirinya setapak
mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar
pula. Kali ini Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi. Tetapi ia
harus meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan.
Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil mengayunkan
cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui betapa bahaya
yang mengancam apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat
kesamping. Ketika ujung cemeti itu berdesing disamping telinganya, ia
melontar dengan cepatnya maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan
sekuat tenaganya ia menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut
melihat gerakan yang cepat dan tak terduga-duga itu. Dengan tangan
kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar
cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang pendek itu.
Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri Uling
Putih yang mencoba melindungi dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya
sehingga terdengarlah Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya
ternyata tidak mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga
bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan itu demikian
kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian jatuh terguling.
Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan
senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir melekat tubuhnya,
ujung cambuknya berhasil juga menyentuh pundaknya, sehingga terasalah
betapa nyerinya, dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.
Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa
disengaja tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa
darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera
melenting berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.
Dalam pada itu, baik Uling Putih maupun
Arya Salaka telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing
telah merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh
lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh dendam. Matanya
yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian
menggigil karena kemarahan. Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya
bergetaran, siap untuk menghancurkan lawannya.
Uling Putih yang telah dapat menguasai
dirinya kembali, segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil
serangannya pada lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit
berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi
keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap. Karena luka itu Arya malah
menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang gemetar telah
menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai Bancak.
Demikianlah pertempuran itu berkobar
kembali. Cambuk Uling Putih berputar seperti baling-baling.
Bergulung-gulung seolah-olah ingin melibas lawannya dan membenamkan
kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya
sehingga terdengarlah angin mendesing-desing menggoyang daun-daun
pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering yang sudah
tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi.
Tetapi ia berhadapan dengan murid
keturunan dari perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri
yang luar biasa beratnya. Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang
ahli tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya.
Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam
lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh penggunaan tenaga
cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini di tangannya telah
tergenggam tombak sipat kandel yang dapat melipatgandakan kemampuannya
melawan Uling Putih itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah
gulungan sinar keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang
seolah-olah sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala
kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang
kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan bahkan
sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan
sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya Salaka dapat
mengimbangi lawannya dengan baik. Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa
memeras keringat habis-habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak
bertangkai pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan
yang kokoh kuat dan terlatih baik.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun
menjadi semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan Arya
Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih bersama-sama
dengan anak muda itu, maka sekarang dengan penuh keheranan ia melihat
Arya Salaka telah melangkah jauh kedepan. Pada waktu Arya bertempur
melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini.
Tetapi ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat
beberapa perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.
Tetapi karena keasyikannya melihat
pertempuran itulah maka ia sama sekali tidak menduga bahwa Uling Kuning
telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.
Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang
tangan yang kuat telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian
Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja ia
memekik kecil.
Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu
oleh kedua Uling bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap
Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-benar
terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia tidak menjadi
lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu. Arya Salak
meloncat jauh-jauh ke belakang. Meskipun demikian, karena perhatiannya
sebagian terampas oleh peristiwa lain, maka terasalah sebuah sengatan
pedih di pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil
mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya
berdesis menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi
agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah Widuri yang
berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.
Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali
tidak seperti yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu.
Luka di pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih
dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram penuh
kemarahan. Meskipun demikian otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Ia
tidak mau terlibat dalam pertempuran yang liar.
Uling Kuning, yang berhasil menangkap
Widuri tanpa diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali.
Ketika ia memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti
seorang yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut kalau
merusakkannya. Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa gadis kecil
itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang manis namun sengatnya
sangat berbahaya.
Demikian Endang Widuri merasa tangkapan
pada lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya.
Tetapi otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu
terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu
gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran, kakinya
dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut Uling Kuning bagian bawah.
Uling Kuning sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian dapat
terjadi, sehingga ia sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah
ia mengaduh kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup
melemparkannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke
tanah.
Untunglah Uling Kuning telah mempunyai
cukup pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki
gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan
pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi perutnya.
Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali, seolah-olah isi perutnya
diaduk dengan hebatnya. Belum lagi Uling Kuning benar-benar sadar atas
apa yang terjadi, dilihatnya gadis kecil itu melayang dengan lincahnya,
menyerang seperti semburan air hujan yang datang ke segenap bagian
tubuhnya. Uling Kuning terpaksa surut beberapa langkah. Namun demikian
ia mempunyai cukup kesempatan untuk membentengi dirinya dengan
tangkisan-tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan
cekatan untuk membingungkannya.
Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang
Widuri ternyata telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi
berbesar hati. Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan
serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa
keadaan akan memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika dilihatnya
Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang
tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari
serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling
Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang
melilit-lilit di dalam rongga perutnya.
Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan
lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling
Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula,
bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu
menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun
bergeser dari tempatnya.
Demikianlah di tempat yang sepi itu telah
terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia
tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin
marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi
semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya
semakin teguh. Ujung tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan,
mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi
beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah.
Sejalan dengan itu, dada Uling Putih
terasa menjadi semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi
lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun
lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya. Karena
setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya Salaka selalu
dengan garangnya mendesak maju. Kepada lawannya yang sangat berbahaya
itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Bahkan
kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru.
Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening. Pada
saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang
ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi
sepasang Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang
dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah berjanji kepada
Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itu pun kelak akan dibunuhnya.
Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru.
Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun
sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya
itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu,
dada Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan
lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang
Uling yang berhati hitam itu.
Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu
seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat
tenaga yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke
segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian
sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di dalam dadanya,
Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan badai.
Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam
tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran. Demikianlah Uling Putih
akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin
dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan
dirinya, terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa
yang dilihatnya sangat mengejutkannya. Ternyata ujung cambuknya telah
terpotong oleh ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling
Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini
dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi
ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas Arya menyaksikan gadis
itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning
dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling
Kuning akan dapat membantunya.
Tetapi Uling Putih adalah seorang yang
berhati batu. Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan
kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain
loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan pertempuran
itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas. Geraknya
semakin lama menjadi semakin liar. Dalam keadan yang demikian itulah
Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur dengan
hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia
memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.
Demikianlah, ketika bulan muda telah
membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu
jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri
yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh
terbanting.
Sesaat kemudian kembali malam terlempar
ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan
tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah
Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang
terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang
melonjak-lonjak. Tetapi Arya Salaka tidak mendapat
kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab
tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling
Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang Widuri,
yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah
mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya.
Tetapi Arya telah melihat bayangannya. Dengan secepat kilat dikejarnya
Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak
dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama
sekali tidak mau lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk
meloloskan diri.
Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau
pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan
yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap
menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan
jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus
pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa
saat Endang Widuri berdiri termangu-mangu.
Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari
jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat
memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang
renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di muka
dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Dalam sepi malam, terdengar langkah itu
semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan
yang berjalan dengan tetap ke arahnya.
Endang Widuri yang baru saja bertempur
melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana
perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan
sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut
ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering
didengarnya.
“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,” jawab gadis itu.
“Hem… desis ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa
Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui
bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya sendiri.
“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari sudah gelap, dan kau
berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau
berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang,
yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh
tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.
“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.
“Marilah kita cari. Agaknya ia akan
terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya
sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi
segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang
di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar dapat melihat
bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan
tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan
demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat
mencari jejak mereka berdua.
Ternyata perjalanan itu cukup panjang.
Ketika mereka telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka
menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan
sejalan dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.
“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.
“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.
Dan apa yang mereka perkirakan adalah
benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi
batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang telaga
yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri
dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka sudah berdiri di tepi
telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah
sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.
Demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
melihat bayangan itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak
itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di dalam
air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas melihat
pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu
bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di sekitar tanah
yang berawa-rawa, sehingga baginya, air merupakan tempat berlindung yang
terbaik.
Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.
Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau
melepaskan Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam
telaga. Ia sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan
mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di dalam
perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak memberinya
keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Arya tidak peduli
lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa berkelahi di dalam air.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung
dengan sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak
terbinasakan oleh lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya
tidak tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang
seolah-olah dapat hidup di dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar
dapat dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta
kakinya, atau binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia
dapat dengan lincahnya bertempur. Namun sayang bahwa perasaan muak dan
nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi yang dihadapi
adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah mimpi bahwa anak itu
pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun
tidak begitu lama, namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup
untuk menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi
air yang sedang murka sekalipun. Arya Salaka pernah terjun ke dalam
gelombang yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya
bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang mengalir di dalam
tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam tubuhnya. Pada masa
kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi dengan seekor uling yang cukup
besar di dalam rawa. Sedang pada saat ia menginjak dewasa, ia
menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan. Karena itu, dengan tidak
diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil
menyerang lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia
melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat
yang tak terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan seorang yang memang
sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka Arya pasti akan dengan
mudahnya dapat membinasakan. Tetapi sekarang ia menemukan lawan yang
seimbang.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih.
Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya diantara bayangan hitam
yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya
seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta
Endang Widuri yang berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika
tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air
yang melingkar-lingkar.
Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar
lagi menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju
serta kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula ke
dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan itu
tenggelam.
Sementara itu Arya berjuang mati-matian
melawan maut. Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air.
Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang melilit
korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa, sehingga dengan
pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari
belitan Uling Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil.
Seperti gila ia tidak menghiraukan sama sekali pukulan-pukulan terakhir
yang dilontarkan oleh Arya Salaka yang tenaganya semakin lama semakin
kendor. Bahkan tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata
Uling Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil
membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian seolah-olah
nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat tenaga, namun tenaga
Uling Kuning itu semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher Arya.
Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan dan mengamuk
sejadi-jadinya. Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak
mau melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk mencekik
leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil. Meskipun demikian
kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan kerasnya membelit perut
lawannya. Perasaan muak dan nyeri pada perut Uling Kuning menjadi
semakin hebat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan perasaan
itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan
dapat bernafas dan dengan demikian ia akan bebas.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia
teringat bahwa pada saat ia menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak
telah disarungkannya. Tepat pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga
yang ada Arya menarik tombak pusaka kebesaran Banyubiru, dan dengan
sepenuh nafsu kemarahannya ditekankan ujung tombak itu ke dalam perut
lawannya. Terdengarlah suara menggelegak sesaat. Setelah itu terasa
tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin kendor. Sadarlah
Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling Kuning dengan tombaknya. Karena
itu dilepaskannya belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya
dipenuhi dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke permukaan
air. Namun tenaganya sudah sedemikian lemahnya. Bagaimanapun juga ia
berusaha, tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan
air terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika Arya mencoba
memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit, maka yang tampak
seolah-olah mendung yang tebal menggantung di udara. Hitam dan kelam.
Yang diingatnya pada saat terakhir adalah menyarungkan tombaknya yang
baginya sama harganya dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya.
Sesudah itu semuanya seperti lenyap dari ingatannya.
Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah
sebuah mimpi yang indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih
terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya beberapa
orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai besar. Sebuah lampu
minyak yang terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah ikut
serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka.
Ketika ia sempat mengamat-amati
wajah-wajah di sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang merenunginya
dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa
dan beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan.
Demikian ia mulai menggerakkan matanya,
tampaklah keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan
kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan tergopoh-gopoh ia
bergerak maju dan dengan hati-hati ditempelkannya kupingnya pada dada
Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu.
“Arya…” bisiknya.
Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa membeku.
“Kakang Wiradapa…” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan. ”Pinjamilah anak ini pakaian kering.”
Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan
sesaat kemudian ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan
kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian
dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian terasa
tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih
belum pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada.
Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih kabur serta dilapisi selaput
yang buram.
Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, “Di manakah aku sekarang…?“
“Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut Mahesa Jenar.
“Uling Kuning…?” bisiknya perlahan.
“Ia tidak akan mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.
“Jadi, aku berhasil…?” sambungnya.
“Ya, kau berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia bergumam, “Tuhan Maha Besar.”
Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi
terharu. Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi
seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin
yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya berjalan
sepanjang jalan Allah. Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah
sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari kesombongan dan nafsu
membalas dendam. Cinta kepada manusia dan kemanusiaan, serta memandang
alam ini dengan penuh cinta kasih pula.
Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata
itu hati Arya menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu,
tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-tulangnya serasa
berderak-derak patah, serta sendi-sendinya seperti terlepas. Luka di
lengan serta lambungnya menjadi pedih sekali. Cambuk Uling itu telah
menyobek kulitnya. Disamping itu, lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas
cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekas-bekas goresan merah.
Meskipun demikian Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit
yang dideritanya.
Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan
sangat berat telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling
Kuning sekaligus. Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenar lah yang telah
menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah ia
berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada saatnya,
yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi. Kalau saja Mahesa
Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin ia pun telah binasa seperti
Uling Kuning.
Ketika orang-orang yang mengerumuninya
mengetahui bahwa keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu
mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa
orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta
dan Wiradapa. Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara
mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta akar-akar yang diperlukan
untuk mengobati luka Arya. Untunglah bahwa dalam beberapa hal Kebo
Kanigara telah belajar pada Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan
ia dapat mengobati luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan
Arya Salaka berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan
demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.
Demikianlah, untuk beberapa hari Arya
perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta
memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa
seolah – olah tenaganya telah terhisap habis.
Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak
lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka
dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut
perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang
kembali. Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan
telah binasa. Sedangkan laskar Pamingit pun menurut dugaan Mahesa Jenar
tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan
yang ada di daerah kecil ini. Mereka pada saat-saat yang lalu pasti
tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo
Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga
datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali
kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa
yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka
yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan
apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa
minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka
duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi
kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi,
sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh
sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan
pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada
sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada
perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya
bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang
karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya
sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya, ”mengakhiri
karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita
bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang
gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati
terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih
berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang
lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang
demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi
hati kita menjelang masa depan yang cerah.”
Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas
pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka
berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun
sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi
sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang
kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis.
Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala
mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa
yang baru saja terjadi. Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di
dalam ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang
Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah
perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang
pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan
diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat
diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada
keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa
Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru.
Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri
terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang
datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai
pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah
diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan
akibat yang sama sekali tidak diharapkan.
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan
menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka
harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian
mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di
atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.
———-oOo———-
HARI YANG CERAH
III
Pada saat rombongan kecil, yang terdiri
dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara
Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis,
mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang
cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera
tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan
Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat
kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya,
maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut.
Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para
cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigara lah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.
Panembahan Ismaya mendengarkan semua
ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata
seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap
saripatinya.
“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram.
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya aku telah mendengar apa
yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara.
Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian
kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di
Gedangan.” Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram
itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian
menundukkan kepalanya. “Dan aku mendengar pula…” sambung Panembahan Ismaya, “Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.
“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri. “Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.” Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik, “Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu.
Setelah mengucapkan kata-kata itu.
Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian
tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat
kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorang pun
yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi
oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata, “Anak-anakku
semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa
angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab, “Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.“
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih, “Angger,
baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti
apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali
terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih
kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri.” Panembahan
Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya
meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan, “Baru saja
aku berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu,
yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca
dari lontar-lontar. Keretakan demi keretakan, perselisihan demi
perselisihan dan pertempuran demi pertempuran telah berulang kali
menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja
keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh ketamakan dan
pemanjaan nafsu.”
“Kisah tentang kebesaran Baginda
Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah
baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh
kerajaannya. Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga
disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda
dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang
kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu
menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan
didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata
telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama
menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah.
Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara
ini pun mengalami peristiwa yang sama. “Baginda Jayabaya terpaksa harus
berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang
mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin
lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya,
dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat
diketahui. “Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi
kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran
timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut
Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari
darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga
mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan
dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika
golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan,
datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh
kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari
luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh.
Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya. Kesatuan dan persatuan
dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena
itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang
terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga
dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan
masih banyak lagi.” Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat.
Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya
itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah
didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih
meresap daripada yang pernah didengarnya.
“Tetapi” Panembahan Ismaya meneruskan, ”Majapahit
pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda Hayam
Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang yang timbul
diantara keluarga sendiri semakin mempercepat kehancurannya. Perang
Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk
lagi. Sebab Adipati Blambangan merasa berhak pula atas tahta Majapahit.
Akibat perang saudara yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit
benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu
Kerajaan Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu
benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan sayapnya kembali.
Raja-raja yang ada kemudian sama sekali tidak berarti. Adipati-adipati
dan Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan diri dan mendirikan
negara-negara kecil yang terpecah belah.”
“Dalam pada itu, bangkitlah kemudian
kerajaan Demak. Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih
banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarang sangat
mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua garis keturunan
yang aku dengar sekarang ini sedang dalam keadaan yang kurang
menyenangkan. Garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”
Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya.
Pandangan matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang
lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan cermatnya
mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang harus
disesali bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi lebih
daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa
datang perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara
keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang.
Ya, sekarang ini.
Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya.
Demikian pula Kebo Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah
seorang yang pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.
Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu
jauh tentang ceritera itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa
di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal yang
serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah Perdikan
Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak perlu bingung.
Sebab nanti akan dapat menanyakan itu kepada gurunya.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya berkata dengan nada yang berbeda, “Nah
anak-anak sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai
aku lupa bahwa kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu,
silahkan kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik
melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu
lama bermain-main dengan para cantrik.”
Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam sanggarnya.
Demikianlah kemudian merekapun segera
menempati tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di
tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka menjadi
bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang Tumaritis.
Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya
sebagai seorang Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan
Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang di padukuhan itu.
Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu
menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya
tentang keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu
menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka Demak yang
hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan
kemudian dimiliki oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan
lalu jadi tenang?
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke
Banyubiru dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa
Jenar teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu pula,
yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal.
Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena hubungannya dengan Rara Wilis
yang pada saat itu diantarkan oleh Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan
Arya Salaka di perjalanan dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada
saat itu dijumpainya orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan
jelasnya orang itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua
keris itu berada. Katanya, ”Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu”. Lalu orang berjubah itu meneruskan, ”Hati-hatilah
kelak kau memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris
itu. Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah
siapa diantara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta
kesejahteraan negara. Kepadanya keris itu kau serahkan.”
Suara itu seolah-olah kini terngiang
kembali dalam telinganya. Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba
ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera
Panembahan Ismaya. Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung
pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar
Seda Lepen.
Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi
berdebar-debar. Apakah hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan
orang yang berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang
berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran yang
terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang dalam keadaan
yang sangat berbahaya?
Persoalan-persoalan itu selalu
melingkar-lingkar di dalam relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian
telah mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam
usahanya untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu
otaknya itu.
Malahan lebih daripada itu, ia sudah
bertekad untuk menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah
abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah ada
tali yang menghubungkan mereka itu.
Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar
tidak ingin berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja
sendiri. Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan
didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini.
Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang menjelaskan
dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila hal itu
bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah sekaligus.
Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara,
seorang yang telah banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya
atas taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar ternyata
tidak dapat berahasia. Kepada Kebo Kanigara diceriterakannya semua yang
pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di dalam dadanya.
Mendengar semuanya itu, Kanigara
mengerutkan keningnya tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang.
Dan dengan hati-hati ia menjawab, “Mahesa Jenar, meskipun aku telah
agak lama tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku
ketahui tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah, Panembahan
Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini. Seterusnya aku tidak
tahu.”
Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata
Kebo Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak
menginginkan seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya.
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar
mendapatkan suatu pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas
persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia
menjadi tersenyum dan menjawab, “Mahesa Jenar, otakmu benar-benar
terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau alami dapat
kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan rencanamu, dan aku
akan membantumu.“
Kemudian bersepakatlah mereka untuk
mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan
menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang
dilewatinya benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.
Demikianlah pada suatu malam, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada
Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan menempuh
suatu perjalanan yang agak panjang, untuk menyelesaikan banyak
persoalan, sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya Salaka,
dipesankan untuk menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung
kepada Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada
Rara Wilis dan Endang Widuri.
Ketika pada pagi harinya Arya Salaka
menyampaikan pesan itu kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu
tiba-tiba mengerutkan keningnya. Wajahnya berubah membayangkan
kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya, “Arya… kapankah mereka berangkat?”
“Semalam Panembahan,” jawab Arya.
“Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu kepadaku?”
“Kedua paman itu takut kalau
Panembahan tidak mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak
memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai
maksudnya, apabila tidak terpaksa sekali.”
Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan
keningnya. Namun karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti
tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
“Arya…” kata Panembahan pula, “Adakah paman-pamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”
“Ya Eyang… kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu ada di sana,” jawab Arya.
“Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya, lalu katanya meneruskan, “Tetapi
semuanya sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua
pamanmu menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”
Demikianlah Panembahan tua itu menyesali
perbuatan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun
menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih
dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut kedua
keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan. Tetapi
Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau kedua pamannya
itu berbuat demikian, pastilah ada hal yang memaksa mereka melakukan
itu.
Sementara itu Kebo Kanigara dan Mahesa
Jenar telah jauh meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi
ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan tujuan
Banyubiru.
Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat
tanah-tanah yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus
mendaki lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka menempuh
perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan untuk mendapatkan dua
ekor kuda yang baik.
Dengan kuda itulah mereka menempuh
perjalanan. Diiringi oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama
menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka
beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di batang-batang
pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya.
Seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua orang itu
adalah dua orang perkasa yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya.
No comments:
Write comments