Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukan
kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati Mahesa Jenar atas beban
yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak seorang pun dari Istana
yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama sekali tidak
peduli. Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau perhatian
orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu
pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa
kalangan Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi
mengharapkan hadiah dan penghormatan.
Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab, “Aku
tahu pasti bahwa kau adalah seorang pejuang yang sepi ing pamrih.
Karena itu tidak saja Wilis yang berjanji akan membantumu. Aku dan
Sarayuda pasti akan ikut serta dalam perjuanganmu. Di sepanjang jalan
pulang aku akan berusaha seperti apa yang kau usahakan.”
“Terimakasih Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Nah, seterusnya terserah kepadamu.
Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi bersamaku ataukah ia akan
bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau Ki Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar, “Biarlah ia dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya sambil tersenyum,
“Kalau yang minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang
menginjak dewasa, serta bermata liar seperti mata burung hantu, aku
pasti tak mengijinkan, cucuku seorang gadis untuk tinggal di sini.
Tetapi kepadamu aku harus mempunyai keputusan lain. Sebab kau bukan
anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng Pandan Alas kemudian meneruskan, “Meskipun demikian aku titip kepadamu, jaga anak itu baik-baik.”
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Akan
aku jaga anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang
bahkan lebih dari diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan
berbeda atas kedua anak itu.”
Ki Pandan Alas tersenyum cerah. Sebagai
seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui
bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala
macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah
satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki
Ageng Pandan Alas.
“Mahesa Jenar….”, lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku
percaya sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan
batin. Sebagaimana kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu.
Dan aku adalah satu-satunya orang yang berkepentingan atas dirinya,
sebelum kau.” Ia berhenti sejenak. Lalu sambungnya, “Aku akan
lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat
seorang cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”
Sekali lagi wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia menjawab, “Mudah-mudahan demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”
Setelah Ki Ageng Pandan Alas memberikan
berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa perpisahan. Ki Ageng
dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari penyakitnya, pergi
meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke Gunung
Kidul.
Sepeninggal mereka, padepokan di atas
bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti sediakala. Mahesa Jenar dan
Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana padepokan
itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi terampil
dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis,
meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam
saat-saat tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu
kanuragan. Dalam waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih
keras di bawah asuhan gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah
berpikir bahwa dalam sejarah perkembangan ilmunya ia pernah mengalami
sisipan seorang guru lain, sebab Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu
yang jauh lebih dahsyat daripada yang diduga semula. Ia sama sekali
tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya menemukan inti dari
segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya.
Demikian pula agaknya Rara Wilis. Ketika
ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan membebaskan
dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak
keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh. Kalau saja waktu
itu dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak
menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia
akan menyangkanya orang lain. Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin
kalau orang itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat
perkembangan ilmunya yang luar biasa.
Tetapi yang sama sekali tak mereka duga
adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama Widuri. Gadis yang
nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau mencubit sakitnya
bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang
luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet.
Hal ini ternyata pada suatu malam yang
cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang melatih diri di bawah
pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama anak gadisnya.
Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata, “Arya, aku bawa
kawan baik bagimu, daripada kau berlatih seorang diri atau terus-menerus
dengan gurumu. Dengan demikian kau akan dapat melakukan berbagai macam
percobaan dan penemuan-penemuan dari macam-macam pengalaman yang kau
miliki, dengan kesegaran baru. Bukankah begitu, Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar mengangguk kaku. Ia sama
sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang cukup
untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak bertanya
apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat
mengukurnya. Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi
sibuk menduga-duga pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia
sudah menjadi keheranan. Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian
jauhnya.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.
“Widuri…” kata Kebo Kanigara lebih lanjut, “Kau
harus merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat
lawan berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau
akan mendapat banyak pelajaran yang berguna.”
Mula-mula Widuri menjadi agak malu. Ia
tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang biasa dilakukan
adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di dalam goa.
Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang.
Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan
untuk menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran
darah Handayaningrat. Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki
kesaktian tinggi, tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan
kesaktiannya, kecuali seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya
seorang gadis, namun dilatihnya sejak kecil, agar kemudian mewarisi
ilmunya.
Demikianlah pada saat itu. Mahesa Jenar,
Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endhang
kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang
tinggi.
Setelah Widuri mempersiapkan dirinya,
maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu saja mula-mula Arya Salaka
menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah berjalan beberapa
saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu kuat namun
Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang selalu
diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian. Kali
ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian
Widuri telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka
latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kalau Arya Salaka
mula-mula hanya berusaha untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja
keras untuk sekali-sekali melakukan tekanan-tekanan pada kawan
berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan itu menjadi semakin sengit,
diluar dugaan.
Kalau saja Endang Widuri
seorang laki-laki yang memiliki kekuatan secara kodrati lebih besar
daripada seorang gadis, maka Widuri pada umurnya yang baru kira-kira 15
tahun itu pasti sudah semakin memiliki keperkasaan yang mengejutkan.
Bahkan mungkin dalam saat yang tidak lama akan dapat menyamai Arya
Salaka.
Demikianlah pada saat itu telah
disaksikan suatu latihan yang mengherankan dari dua macam ilmu yang
berasal dari satu keturunan. Meskipun dalam perkembangannya agak berbeda
namun jelas bahwa unsur-unsur pokoknya tetap dalam garis yang sama.
Gerak-gerak Arya dipengaruhi oleh gerak berbagai jenis binatang,
sedangkan gerak Widuri dilandaskan pada kecepatan dan kelenturan sesuai
sifat-sifat alami seorang gadis.
Akhirnya tampak bahwa Endang Widuri masih
belum dapat menyejajari Arya Salaka, namun hal itu dapat diterima
sebagai suatu kewajaran. Meskipun andaikata keduanya benar-benar
bertempur, Arya Salaka pun akan dapat dengan mudah mengalahkan gadis
kecil itu.
Demikianlah Endang Widuri telah
menimbulkan keheranan diantara para penontonnya. Bahkan ayahnya pun lega
menarik nafas panjang, karena jerih payahnya selama itu ternyata cukup
memberinya kepuasan. Yang paling tertarik dari semuanya adalah Rara
Wilis, yang merasa bahwa pada umur-umurnya sebesar Widuri itu ia baru
dapat dengan manjanya menarik-narik ujung baju ibunya. Merengek dan
berbagai polah yang kekanak-kanakan. Karena itu Wilis menjadi terharu
melihat gadis kecil itu, yang sejak bayi ternyata sudah tidak beribu
lagi. Kemudian atas asuhan ayahnya telah dapat menunjukkan suatu yang
membanggakan, meskipun karena pengaruh keadaan, dimana ia bergaul dengan
rapatnya hanya dengan seorang laki-laki maka seolah-olah tingkah Widuri
pun dalam beberapa hal terpengaruh oleh kelakuan laki-laki.
Tetapi agaknya latihan yang memikat hati
itu, tiba-tiba terhenti ketika mereka melihat seorang cantrik yang
berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Bahkan Kanigara menjadi agak
terkejut, ketika cantrik itu dengan terputus-putus berkata diantara
peredaran nafasnya yang semakin cepat. “Tuan… ada seseorang mencari…”
Kanigara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, “Siapakah yang dicari…?”
“Tuan Mahesa Jenar,” jawab cantrik itu.
“Aku…?” sela Mahesa Jenar.
“Ya… sejak tadi aku berkeliling bukit ini mencari Tuan,” sambung cantrik itu.
“Siapa…?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku tidak tahu. Orang itu tidak menyebut namanya. Tetapi aku kenal dan pernah melihat pengantarnya,” jawab cantrik itu pula.
“Siapakah pengantarnya?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
“Mereka telah agak lama menunggu Tuan.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, kemudian desaknya lagi, “Ya, tetapi siapakah dia…? Katamu kau kenal kepadanya.”
“Ya, aku kenal, Tuan. Yang seorang adalah Ki Wiradapa, Lurah Gedangan, dan seorang pengawalnya.”
“Wiradapa dari Gedangan…?” ulang Mahesa Jenar terkejut.
Cantrik itu menganggukkan kepala.
Maka tanpa disadari, Mahesa Jenar
memandang Kebo Kanigara yang agaknya tertarik juga dengan pembicaraan
itu, untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya Kebo Kanigara tidak
dapat menebak sesuatu. Maka katanya, “Marilah kita temui mereka.”
“Di manakah Panembahan…?” tanya Kanigara kepada cantrik itu.
“Tamu itu tak mencari Panembahan, Tuan,” jawabnya.
“Ya, tetapi aku ingin tahu di mana Panembahan sekarang?” ulang Kanigara.
“Beliau ada di Sanggar,” jawab cantrik itu.
Kanigara mengangguk-angguk, lalu katanya kepada cantrik itu, “Nah, dahululah. Katakan kepada tamu-tamu itu bahwa sebentar lagi kami akan datang.”
Cantrik itu membungkuk hormat, lalu
berjalan meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul pula oleh Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar serta yang lain.
Di salah satu rumah Padepokan itulah Wiradapa menunggu.
Maka ketika dilihatnya kemudian Mahesa
Jenar beserta beberapa orang mendatanginya, cepat-cepat ia bangkit dan
dengan hormatnya menyambut kedatangan mereka. Sedangkan Mahesa Jenar pun
segera membungkuk hormat kepadanya. Tetapi ketika ia melihat seorang
lagi, yang mungkin orang itulah yang diantarkan oleh Wiradapa, dada
Mahesa Jenar menjadi bergetar. Orang itu adalah seorang yang telah
lanjut usia. Rambutnya telah memutih, namun wajahnya masih memancarkan
kebesaran tekad serta keteguhan hati. Ketika orang itu melihat Mahesa
Jenar, untuk beberapa lama ia berdiri mengawasinya. Tetapi kemudian ia
bertanya, “Bukankah Anakmas Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar dengan agak gugup membungkuk sambil menyahut, “Ya, Paman… akulah Mahesa Jenar.”
“Syukurlah… syukur bahwa aku
benar-benar dapat bertemu dengan Anakmas setelah aku menempuh perjalanan
yang sulit. Di manakah cucu Arya Salaka…?” orang tua itu meneruskan.
“Inilah… Paman.” Jawab Mahesa Jenar sambil menarik Arya Salaka, Katanya seterusnya kepada anak itu, “Lupakah kau dengan eyangmu…?”
Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi
matanya memancarkan sinar yang ganjil. Ia merasa seolah-olah berada
dalam mimpi yang sama sekali tak diduganya.
“Inikah dia…” tanya orang itu tak percaya.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar. “Inilah anak itu.”
Tiba-tiba orang itu maju selangkah lagi.
Diraihnya anak yang sudah hampir melampaui dirinya, dan dipeluknya
seperti anak-anak. Dari mata orang tua itu membayanglah suatu perasaan
haru yang sangat, yang bahkan kemudian menjadi basah oleh titik-titik
air mata.
“Akhirnya doaku serta doa seluruh penduduk Banyubiru dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Adil,” gumam orang itu dengan suara yang sesak parau. “Sehingga aku masih berkesempatan bertemu dengan Cucu Arya Salaka sebelum umurku ini berakhir.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya,
seolah-olah ia pun sedang berusaha untuk menyembunyikan perasaan haru
yang dalam. Bahkan terasalah seakan-akan sesuatu menyumbat
tenggorokannya.
Sejenak kemudian orang tua itu
menggoyang-goyangkan tubuh Arya Salaka, seolah-olah ingin melihat
keperkasaaannya. Katanya kemudian, “Kau berkembang dengan suburnya. Tubuhmu menjadi demikian gagahnya, melampaui ayahmu.”
Arya Salaka masih belum dapat menjawab. Ia menjadi bingung karena pertemuan yang tiba-tiba itu.
Kemudian Mahesa Jenar yang mewakili menjawabnya, “Karena pangestu Paman, Arya Salaka dapat tumbuh seperti yang aku harapkan. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan ayahnya.”
Setelah itu maka dipersilakanlah
tamu-tamu itu untuk duduk kembali. Diperkenalkanlah Kebo Kanigara dengan
orang tua itu. Orang pertama di Banyubiru sesudah Ki Ageng Gajah Sora.
Dia adalah Wanamerta. Juga diperkenalkan lurah desa Gedangan, Wiradapa.
“Dari siapakah Paman dapat mengetahui bahwa aku berada di bukit ini?” tanya Mahesa Jenar.
“Dari Adi Wiradapa,” jawab
Wanamerta. Dan seterusnya berceritalah Wanamerta, bagaimana ia dapat
mengikuti jejak Mahesa Jenar dan Arya Salaka, katanya, “Anakmas, aku
berusaha secepatnya pergi ke Gedangan, suatu daerah yang belum pernah
aku datangi. Sebab dari seseorang kepercayaanku, aku mendengar bahwa
Anakmas beserta Arya Salaka pernah dijumpai oleh Cucunda Sawung Sariti
di pedukuhan itu. Menurut orang itu, Cucu Arya Salaka bahkan terlibat
dalam suatu pertempuran yang katanya dibantu oleh seorang yang tak
dikenalnya, dan mengaku ayahnya. Aku menjadi pasti bahwa orang yang
dimaksud adalah Anakmas Mahesa Jenar. Sebab sejak Cucunda Arya Salaka
hilang dari Banyubiru, aku selalu mengharap agar Cucunda Arya Salaka
meninggalkan Banyubiru bersama-sama dengan Mahesa Jenar, meskipun ada
yang menduga bahwa Anakmas menjumpai kesulitan dengan diketemukannya
Kuda Anakmas tanpa penumpang.” Orang tua itu berhenti sejenak sambil membetulkan letak duduknya, lalu setelah menelan ludah ia meneruskan, “Beberapa
saat setelah Sawung Sariti pulang, agaknya Pamingit mengadakan
persiapan-persiapan baru dengan tidak mengikutsertakan Laskar Banyubiru.
Akhirnya yang aku dengar ialah, Sawung Sariti akan mengerahkan pasukan
yang lebih kuat lagi untuk mencari Anakmas Mahesa Jenar dan Cucu Arya
Salaka ke desa Gedangan. Karena itu aku tidak dapat berbuat lain kecuali
berusaha untuk mendahuluinya, memberitahukan hal itu kepada Anakmas.
Tetapi sampai di Gedangan, atas ancar-ancar orang tadi, Anakmas sudah
meninggalkan desa itu, pergi ke Padepokan Karang Tumaritis. Dan atas
kebaikan hati Adi Wiradapa, ia berkenan mengantarkan aku kemari, sebab
katanya Adi Wiradapa telah lama tidak bertemu dengan Anakmas Mahesa
Jenar. Meskipun mula-mula kami agak cemas, jangan-jangan Anakmas Mahesa
Jenar telah meninggalkan padepokan ini.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apa
yang sebenarnya dicemaskan sejak lama, kini ternyata benar-benar akan
terjadi. Karena itu ia menjadi berpikir keras, bagaimanakah sebaiknya
cara yang akan ditempuh untuk menyelamatkan desa Gedangan yang pasti
akan menjadi ajang pertempuran. Dan karena itu pula agaknya Wiradapa
sengaja mengantarkan Wanamerta.
Dalam pada itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan ceritanya,
“Yang lebih mencemaskan lagi, Anakmas… agaknya Sawung Sariti telah
bersepakat dengan Janda Sima Rodra, yang menurut pendengaranku, suaminya
terbunuh pula oleh Anakmas.”
Bagaimanapun dada Mahesa Jenar berdesir.
Ini berarti akan datang kekuatan besar. Ia yakin bahwa dalam pasukan itu
akan ikut serta Sima Rodra tua, bahkan mungkin Bugel Kaliki.
Tetapi agaknya Arya Salaka berpikir lain. Sebab tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Kemudian sahutnya, “Eyang
Wanamerta… aku akan sangat bergembira apabila Adi Sawung Sariti sudi
sekali lagi menemui aku. Sebab setelah sekian lama aku tidak bertemu,
dan sesudah pertemuan kami yang hanya sekejap, aku menjadi rindu
kepadanya.”
“Ah, kau…” potong Wanamerta. “Aku
memang mendengar bahwa atas asuhan Anakmas Mahesa Jenar, kau pada waktu
itu dapat mengimbangi Sawung Sariti. tetapi karena itulah maka Sawung
Sariti telah bekerja mati-matian mesu dhiri. Kakang Sora Dipayana
agaknya percaya pada dongengan yang dibuatnya bersama ayahnya, Lembu
Sora, sehingga dalam waktu yang pendek itu ia telah menggembleng Sawung
Sariti bukan main. Bahkan ayah-beranak itu kini memiliki warisan
kesaktian yang menakutkan dari Perguruan Banyubiru, yaitu Lebur Sakethi,
meskipun dalam tingkatan yang belum sempurna.”
Sekali lagi dada Mahesa
Jenar berdesir. Lebur Sekethi adalah kesaktian yang luar biasa
dahsyatnya. Aji itu dapat disejajarkan dengan aji Cundha Manik dari
Perguruan Pandan Alas, Sasra Birawa dari Perguruan Pengging. Karena itu
Ki Ageng Lembu Sora yang memiliki kekuatan melampaui manusia biasa
dengan pedangnya yang tidak berukuran lumrah pasti akan menjadi seorang
yang luar biasa pula. Juga anaknya yang cerdik itu, pasti akan menjadi
anak yang sangat berbahaya. Mahesa Jenar kemudian menjadi menyesal pada
keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat terseret dalam keadaan
yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian diingatnya bahwa
orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora adalah anak
kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu Sora
dapat memanfaatkannya dengan baik.
“Agaknya…” lanjut Wanamerta, “Kakang
Sora Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas
Gajah Sora telah tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura
mengutus seseorang ke Demak untuk mendapat berita kematiannya. Sebab
dalam perjalanan ke Demak, pada saat Anakmas Gajah Sora ditangkap,
Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan secara tiba-tiba.”
“Suatu cerita atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar, “Sebab
aku menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang
menyerang pasukan Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”
Mendengar bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya, “Kami,
Laskar Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang
dikatakan itu benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar
Banyubiru, atau setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”
“Aku sudah mencobanya,” jawab Wanamerta. “Tetapi
agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki
Ageng Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru.
Beberapa orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah
dibinasakan. Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”
“Paman Pandan Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi semakin berkerut-kerut. “Ya, Pandan Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantaran dan Panjawi,” tegasnya.
“Juga kedua paman itu…?” kembali Arya berteriak.
“Untunglah bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus meninggalkan Banyubiru,” Wanamerta meneruskan.
Mendengar kata-kata terakhir itu,
tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya
yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh gelora yang
terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai tubuhnya
seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar, “Tidakkah
seorang pun dapat mencegah perbuatan itu…? Eyang Wanamerta, aku tidak
akan menunggu sampai mereka datang mencari aku. Aku yang akan datang ke
Banyubiru. Aku yakin bahwa sebagian besar dari penduduk Banyubiru masih
setia kepada ayah Gajah Sora. Aku akan datang atas nama pimpinan tanah
Perdikan Banyubiru yang sebenarnya.”
Semua yang menyaksikan tingkah laku Arya
Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya dalam dada anak itu
benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan penuh rasa
tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang
melonjak-lonjak. Lebih – lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang
oleh perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak
mengaca. Tetapi ia adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit
manisnya kehidupan. Juga dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru
yang sebenarnya. Karena itu dengan sabarnya Wanamerta mencoba
menenangkan hati Arya Salaka. “Duduklah cucuku Arya Salaka. Kau
benar-benar seperti ayahmu pada saat-saat seumur kau ini. Tetapi dalam
segala tindakan haruslah dipikirkan sampai titik-titik yang
sekecil-kecilnya, untung dan ruginya.”
Arya kemudian menjadi tersadar dari
gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia kemudian menjadi
agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi seorang
perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti
gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.
Kemudian bahkan keadaan menjadi hening.
Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang berdesir di dedaunan.
Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh.
Sesaat kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali, “Anakmas Mahesa Jenar… terserahlah atas segala pertimbangan Anakmas. Apakah yang sebaiknya kita lakukan.”
Mahesa Jenar sekali lagi mengerutkan
keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru beberapa tahun lalu
tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun sekarang
tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab.
Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta
kepadanya. Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk
membantu segala kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu
kepada Gajah Sora. Tentang Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga
pastilah ada sebab-sebab lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.
Sementara itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Kelakuan
Anakmas Lembu Sora tidak berhenti sampai sekian. Yang terakhir adalah
usahanya untuk menyingkirkan aku pula. Tetapi agaknya ia menemui
kesulitan sehingga rencana itu tertunda-tunda. Sedang aku sendiri sempat
pula berusaha untuk menjaga diriku. Sampai kemudian aku mendengar
khabar akan usahanya untuk mencari kembali Anakmas Mahesa Jenar dan
cucuku Arya Salaka. Demikianlah, Anakmas, keadaan Banyubiru. Sedemikian
rumitnya sehingga aku tidak sabar menunggu sampai besok.”
Mahesa Jenar kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab
seperti orang bergumam kepada diri sendiri, “Tetapi agaknya mereka
tidak akan ke Gedangan. Sebab Sima Rodra itu tahu pasti bahwa aku dan
Arya Salaka telah meninggalkan pedukuhan itu. Bahkan merekapun telah
pernah mengepung bukit kecil ini.”
“Tetapi mereka tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta. “Aku
telah mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih
menduga bahwa Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan
Karang Tumaritis.”
Masalahnya ternyata akan menjadi luas.
Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan yang damai ini.
Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah tersentuh
tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh kedatangan
gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya
akan mengalami keributan sekali lagi.
Apalagi ketika kemudian terdengar Wiradapa berkata, “Adimas
Mahesa Jenar, agaknya aku tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan
hidup mati rakyatku kepada Adimas. Sebab aku tahu apa yang akan terjadi
seandainya kami, orang-orang Gedangan sendiri yang harus mempertahankan
diri atas dendam Sawung Sariti yang menemui kegagalan di desa kami, dan
sekaligus dendam yang tersimpan di dada Janda Sima Rodra atas kematian
suaminya.”
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara untuk mengatasi keadaan.
Tiba-tiba bertanyalah ia kepada Wanamerta, “Paman…, di manakah Bantaran dan Panjawi sekarang?”
“Aku sudah mencoba untuk menghubungi,” jawabnya. Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik pada keterangan itu, katanya, “Adakah Paman berhasil…?”
Wanamerta menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Sayang…,
tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua
orang itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun
masih terlalu lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang
belum kami kenal, yang datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia
menggabungkan dirinya karena ia sudah mengenal beberapa hal mengenai
keadaan Banyubiru.”
“Siapa orang itu…?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum tahu pasti,” jawab Wanamerta. “Menurut pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”
“Mantingan dan Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.
Wanamerta mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar nama-nama itu. Karena itu ia bertanya, “Adakah Anakmas pernah mengenal mereka?”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya,
aku pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah
Banyubiru. Ia tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan
kepadanya.”
“Syukurlah,” gumam Wanamerta, “Ada juga kawan-kawan yang akan membantu kami.”
Kembali suasana dicekam oleh kesepian.
Masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Kebo Kanigara yang sejak
tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun akhirnya akan
langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba.
Panembahan Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah
ia akan tinggal diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin
merusakkan kedamaian bukit ini.
Sedang Mahesa Jenar ternyata kemudian
tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab dalam anggapannya,
sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya kemudian itu,
dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah umur
gurunya.
Karena itu maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata, “Bagaimana sebaiknya Kakang Kanigara…?”
“Kapankah kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung kepada Wanamerta.
“Segera Anakmas,” jawab Wanamerta, “Pada saat aku berangkat, semua persiapan sudah selesai.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Mereka datang dengan pasukan, Mahesa Jenar. Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri, atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “Aku juga harus melawannya dengan pasukan.”
Tiba-tiba menyelalah Lurah Gedangan, “Adimas
Mahesa Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila
mereka berada dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan
terlalu mengecewakan. Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya
untuk mempertahankan kampung halamannya.”
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sependapat bahwa
kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat dihindari
lagi.
Tetapi diantara mereka tampaklah Arya
Salaka menundukkan kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan
sesal yang dalam. Ia menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia
menyesal pada keadaan keluarganya. Satu-satunya pamannya yang seharusnya
memberi pengayoman kepadanya, justru telah mengkhianatinya.
Dalam pada itu malam menjadi semakin
dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan lelahnya. Embun malam
satu-satu mulai menggantung di dedaunan.
Sesaat kemudian dipersilahkanlah
tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian
tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan
mereka masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan
Pamingit yang bakal datang.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau
adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau
lebih berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan
agar apa yang akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di
atas bukit kecil ini.”
Mahesa Jenar nampak berpikir keras. Akhirnya ia menjawab, “Kakang…,
aku kira pasukan itu akan benar-benar merupakan pasukan yang kuat.
Karena itu, menurut perhitunganku, sebaiknya kami tidak menunggu pasukan
itu sampai datang di daerah bukit ini atau pedukuhan Gedangan. Tetapi
sebaiknya kami harus menyongsong pasukan itu. Kami sergap mereka di
perjalanan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menduga bahwa hal itu akan
terjadi.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya rencana itu baik. Karena itu jawabnya, “Bagus…. Aku sependapat dengan kau. Daerah yang berbukit-bukit ini akan banyak memberikan keuntungan pada kita.”
Demikianlah akhirnya mereka bersepakat,
bahwa mereka tidak akan menanti pasukan Pamingit itu sampai ke daerah
ini, tetapi mereka akan mempergunakan laskar dari Gedangan untuk
menyongsongnya.
Malam itu hampir tak ada seorang pun yang
dapat tidur. Apalagi Arya Salaka. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai
masalah yang menghentak-hentak. Namun ia bersyukurlah kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih, bahwa meskipun pamannya sendiri sampai hati untuk
membinasakan, tetapi diletakkan-Nya orang lain, yang sebenarnya tidak
ada sangkut paut apapun, untuk melindunginya.
Pagi itu, ketika di timur fajar merekah,
Kanigara telah menghadap Panembahan Ismaya. Diuraikan semuanya yang
didengar dari Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar tentang kemungkinan
kemungkinan yang bakal terjadi. Tampaklah betapa pedih hati orang tua
itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak mau melihat atau mendengar tentang
pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.
“Panembahan…” Kanigara mencoba menjelaskan, “Apa
yang akan kami lakukan adalah suatu usaha untuk menghindarkan
pertumpahan darah yang dapat mengganggu ketenteraman bukit kecil ini.
Karena itu dengan terpaksa kami harus menyambut kedatangan mereka sejauh
mungkin dari tempat ini. Sebab kalau tidak, akibatnya akan tidak
menyenangkan sekali. Jauh lebih tidak menyenangkan dari kedatangan
rombongan yang kemarin mengepung bukit ini.”
Panembahan Ismaya tidak dapat mengatasi keterangan Kanigara lagi. Karena itu katanya, “Terserahlah
kepadamu Kanigara. Tetapi janganlah menjadi kebiasaan, bahwa sesuatu
masalah, harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.”
Kanigara menundukkan kepala. Perkataan
Panembahan Ismaya itu merupakan suatu peringatan langsung kepadanya,
bahwa bagaimanapun juga, Panembahan itu lebih senang apabila setiap
persoalan dapat diselesaikan dengan musyawarah.
Tetapi keadaan kali ini adalah sedemikian
sukarnya untuk diatasi dengan jalan itu. Masalahnya adalah pertentangan
kepentingan yang sama sekali berlawanan. Satu pihak ingin menelan suatu
daerah yang sama sekali bukan haknya, sedang satu pihak yang lain ingin
mempertahankan haknya atas daerah itu. Apapun alasannya kemudian,
tetapi hakekatnya adalah perkembangan dari masalah itu juga.
Demikianlah, maka mereka yang merasa
berkepentingan segera mempersiapkan dirinya. Baik jasmaniah maupun
rohaniah. Mereka masing-masing telah membulatkan tekad, untuk melawan
kekuatan yang merupakan pengejawantahan dari keserakahan itu dengan
mati-matian.
———-oOo———-
II
Pagi hari itu juga, Wanamerta, Wiradapa
dan Mahesa Jenar, dibawa menghadap Panembahan Ismaya. Kecuali untuk
memperkenalkan diri, sekaligus mereka mohon pangestu untuk menjalani
kewajiban luhurnya. Setelah mendapat beberapa petunjuk dan nasehat,
segera mereka meninggalkan bukit kecil itu, menuju ke Gedangan.
Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka tidak ketinggalan. Bahkan Widuri pun
tidak mau berpisah dengan ayahnya. Karena itu, iapun ikut serta dalam
rombongan kecil itu.
Ketika mereka sampai di padukuhan
Gedangan, segera terjadilah kesibukan. Mahesa Jenar mulai mengatur
segala persiapan yang diperlukan. Laskar Gedangan dibaginya dalam
beberapa kelompok. Dalam waktu yang singkat ia harus sudah dapat
membentuk laskar itu menjadi laskar yang siap untuk bertempur melawan
laskar yang mempunyai pengalaman luas dalam peperangan.
Yang dapat membantunya dalam pembentukan
dan persiapan itu hanyalah Kanigara dan Wanamerta. Sebab meskipun Wilis
dan Arya mempunyai ilmu yang cukup, namun mereka belum berpengalaman
dalam gelar perang. Mereka hanya memiliki kemampuan dalam hal berkelahi
seorang lawan seorang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar dapat
memanfaatkan pula Arya Salaka. Dilatihnya anak itu untuk menjadi salah
seorang pimpinan kelompok. Sedang kelompok-kelompok yang lain
diserahkannya kepada Wanamerta, Kanigara dan dirinya sendiri.
Pada hari kelima, sejak mereka mulai
mengadakan persiapan-persiapan, datanglah seseorang berkuda ke pedukuhan
itu. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang ditugaskan oleh
Wanamerta untuk mengamati gerak-gerik pasukan Pamingit. Menurut
laporannya, pasukan Pamingit telah mulai bergerak. Mereka mengambil
jalan selatan, lewat Gunung Tidar dan kemudian menyusur hutan-hutan yang
tak begitu lebat diantara gunung Sumbing dan Sindara, untuk kemudian
sampai ke Wanasaba. Dari sana mereka menyusun panjatan langsung dan
menyebarkan orang-orangnya mencari Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Mendengar laporan itu Mahesa Jenar
berpikir keras. Mereka harus mengusahakan agar pasukan dari Pamingit
yang bergabung dengan gerombolan Gunung Tidar itu datang bersama-sama,
supaya rencana penyergapan dapat berlangsung.
Demikianlah sambil mencari jalan
sebaik-baiknya untuk menjebak pasukan dari Pamingit itu, mereka dengan
semangat yang menyala-nyala melatih diri. Siang dan malam tak
henti-hentinya.
Disamping itu, setiap orang berusaha
untuk meningkatkan kemampuan perseorangan pula. Tidak saja laskar
Gedangan, tetapi juga Arya Salaka, Rara Wilis, bahkan Mahesa Jenar
sendiri. Mereka dalam waktu-waktu yang luang, betapapun sempitnya,
selalu dipergunakan sebaik-baiknya.
Pada hari yang
keduabelas, sekali lagi datang seorang berkuda. Orang itu juga salah
seorang petugas Wanamerta. Ia datang dengan membawa laporan bahwa
orang-orang Pamingit bersama-sama rombongan dari Gunung Tidar telah
berada di sekitar Wanasaba. Bahkan mereka sudah bergeser lagi sedikit ke
utara. Dari sana mereka berusaha untuk menyebar orang-orangnya di
seluruh daerah pegunungan ini sampai ke daerah-daerah di sekitarnya.
Sebab menurut mereka, usaha ini harus merupakan usaha yang terakhir.
Arya Salaka haus dapat ditangkap hidup atau mati.
“Siapa yang ikut dalam rombongan itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Sawung Sariti, Janda Sima Rodra, Jaka Soka…” jelas orang itu.
“Juga Jaka Soka?” tanya Mahesa Jenar kembali.
“Ya, agaknya iapun merasa mempunyai kepentingan,” jawab orang itu.
Mendengar keterangan itu, meremanglah
bulu-bulu kuduk Rara Wilis. Sekarang sebenarnya ia sudah tidak perlu
takut lagi apabila ia harus berhadapan dengan orang itu sebagai lawan,
meskipun ia masih kalah pengalaman. Namun setidak-tidaknya ia akan dapat
menjaga dirinya. Meskipun demikian, apabila ia mendengar nama itu,
tubuhnya terasa juga meremang. Sebab ia sudah terlanjur ngeri mendengar
nama itu.
“Orang lain lagi…?” desak Mahesa Jenar.
“Yang mengerikan diantaranya mereka terdapat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki,” jawabnya.
“Sudah kami duga sebelumnya,” sahut Mahesa Jenar.
Oleh keterangan-keterangan itu, maka
Mahesa Jenar harus menyesuaikan rencanya. Tetapi belum lagi ia dapat
menemukan pemecahan yang baik, tiba-tiba pada hari kelimabelas datanglah
seroang dengan keterangan yang mengejutkan. Katanya, “Sebuah
rombongan kecil telah menyusur lambung Gunung Perahu, menuju ke daerah
ini juga. Mereka dipimpin langsung oleh Sepasang Uling dari Rawa Pening.
Wanamerta mengerutkan keningnya. Dari wajahnya yang tua itu, memancarlah api kemarahan tiada terhingga. “Sungguh
merupakan usaha gila-gilaan. Uling itu akan bersyukur juga kalau
Banyubiru jatuh ke tangan Lembu Sora. Sebab dengan demikian ia akan
semakin leluasa bergerak di daerah Rawa Pening,” katanya geram.
“Bukan itu saja Paman…” potong Mahesa Jenar, “Tetapi sebentar lagi daerah-daerah itu akan ditelannya. Pamingit oleh Sima Rodra, dan Banyubiru oleh sepasang Uling itu.”
Kembali terdengar gigi orang tua itu
menggeretak. Lembu Sora baginya tidak kurang dan tidak lebih dari
seorang yang sama sekali mengabdi kepada kepentingan sendiri, yang
bahkan tega mengorbankan saudara tuanya.
Tetapi mereka tidak cukup dengan
mengumpat-umpat saja. Untuk mengatasi bahaya yang akan datang, Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya harus bersiaga. Mereka menempatkan beberapa
orang untuk dapat mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan.
Ketika Mahesa Jenar telah merasa bersiap,
maka ia tidak perlu lagi menunggu lebih lama. Bahkan kalau mungkin ia
melawan rombongan itu satu demi satu. Sebab apabila kekuatan kedua
rombongan itu bergabung, akan merupakan kekuatan yang mungkin sulit
untuk diimbangi. Namun meskipun demikian, pantang ia menyingkirkan diri.
Sebab dengan demikian ia akan membebankan segala dendam kepada penduduk
Gedangan.
Maka yang mula-mula dilakukan adalah
memancing pertempuran dengan rombongan Sawung Sariti secepatnya. Tetapi
cara yang mula-mula dipikirkan, untuk mencegat rombongan itu, terpaksa
dipertimbangkan kembali. Sebab setiap saat rombongan Uling dapat datang
dari jurusan lain.
Demikianlah ketika pada suatu hari
beberapa orang pengawas dapat menangkap seorang yang dicurigai, Mahesa
Jenar berhasrat untuk melakukan maksudnya.
Setelah Mahesa Jenar mempersiapkan
pasukannya dalam kesiagaan penuh, dipanggilnya orang tangkapan itu
menghadap. Maka bertanyalah ia kepadanya, “Siapakah kau?”
“Aku seorang perantau, Tuan…, yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambung hidup,” jawabnya.
Mahesa Jenar tersenyum, lalu katanya, “Dari manakah asalmu?”
Orang itu ragu sebentar, kemudian jawabnya, “Banyubiru, Tuan.”
“Bagus…” desis Mahesa Jenar. “Katakan kepadaku siapakah kepala daerah perdikanmu?” Kembali orang itu ragu. Namun akhirnya ia menjawab pula, “Ki Ageng Lembu Sora.”
“Bagus, kau berkata sebenarnya,” sahut Mahesa Jenar. “Di mana sekarang Lembu Sora itu?”
“Di Banyubiru, Tuan” jawabnya.
“Di mana anaknya?” desak Mahesa Jenar.
Orang itu diam merenung. Tampaklah wajahnya mulai gelisah.
“Di mana?” bentak Mahesa Jenar.
“Di Pamingit, Tuan” jawabnya.
“Kau mulai tidak berkata sebenarya,” sahut Mahesa Jenar. “Aku akan mencoba memaksamu supaya kau tidak berkata demikian.”
Orang itu menjadi semakin gelisah.
Apalagi ketika tiba-tiba Mahesa Jenar minta seseorang memanggil
Wanamerta. Demikian Wanamerta muncul, mengalirlah keringat dingin di
punggung orang itu. Sebagai seorang laskar Pamingit, ia pernah mengenal
Wanamerta sebagai orang kedua di Banyubiru, yang harus selalu
berhubungan dengan Ki Ageng Lembu Sora dalam hal pemerintahan, meskipun
ada usaha-usaha untuk menyingkirkannya.
Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta, “Aku mengucapkan selamat atas kedatanganmu Ki Sanak.”
Keringat dingin di punggungnya menjadi
semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta
berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat menjawab
sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Aku sudah
lama menunggu salah seorang sanak keluarga dari Pamingit yang sudah
menengokku di sini. Sekarang agaknya ada juga yang datang, malahan
agaknya dalam jumlah yang cukup banyak.”
Orang itu masih berdiam diri. Ia tidak
tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya Wanamerta telah mengetahui
gerakan yang dilakukannya.
“Ki Sanak…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Kau tidak usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”
“Tidak Tuan,” jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.
“Jangan bohong. Aku tidak apa-apa.
Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada pimpinanmu, bahwa apa yang
dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia mencari kemana-mana. Juga
tidak usah ke Karang Tumaritis.”
Orang itu menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta menarik belati dari pinggangnya.
“Ampun…, ampun tuan….” teriak orang itu.
Wanamerta tersenyum, katanya, “Ki
Sanak. Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin
menumpahkan kemarahanku kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka
yang telah mengeruhkan suasana Banyubiru…?”
“Tidak Tuan, aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.
Dalam pada itu Mahesa Jenar pun kemudian
menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai orang yang hanya
merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian, maksudnya untuk
memancing pertempuran akan tertunda.
Agaknya Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya, “Jangan
takut Ki Sanak. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin membuat
suatu kenang-kenangan padamu, bahkan suatu bukti bahwa kau telah
melakukan kewajibanmu dengan baik.”
Sehabis berkata demikian, Wanamerta yang
sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan hampir tak dapat diikuti
gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat dua goresan
bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan. Dari
luka itu mengalirlah darah yang merah segar.
Mahesa Jenar sendiri terkejut melihat hal
itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram orang
tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.
“Nah…” kata Wanamerta kemudian,
“Pergilah. Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa
jenar masih berada di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di
sana. Dengan demikian kau akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan
yang kau lakukan.”
Bagaimanapun juga orang itu adalah
seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung sekali atas
perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang mengucur
dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat
gambaran-gambaran merah yang mengerikan.
Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa ia
tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat
dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan, “Tuan-tuan
telah menghina aku. Ini berarti bahwa Tuan-tuan telah menghina
pimpinanku. Jangan Tuan mengira bahwa Tuan akan luput dari hukumannya.
Tunggulah Tuan…. Aku akan kembali sekali lagi dan menggoreskan silang ke
dahi Tuan.”
Sekali lagi Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya, “Pergilah
sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada
pemimpinmu, bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku
akan membuat tanda silang itu.”
Penghinaan itu sudah melampaui batas.
karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi. Cepat ia meloncat
lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.
Sepeninggal orang itu, segera Mahesa
Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang yang dilukai oleh Wanamerta itu
pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau demikian maka keadaan akan
menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak harus melawan dua
rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah pimpinan
masing-masing, orang-orang buas yang sakti.
Demikianlah apa yang diharapkan itu datanglah.
Pada pagi berikutnya, seorang pengawas
melaporkan bahwa dari arah selatan tampaklah barisan berobor, mendekati
Gedangan. Itulah barisan Sawung Sariti.
Mahesa Jenar cepat menyiapkan
orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar yang
langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta
dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari
sayap kiri dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan
dapat lebih dahulu memilih lawan-lawannya. Apabila Bugel Kaliki dan Sima
Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi
kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara. Untunglah bahwa di Karang
Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara,
telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.
Sedang Kebo Kanigara sendiri tak perlu
diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging
Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah
kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara
mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya.
Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing.
Demikianlah ketika matahari telah
menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah
saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin
menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut
pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang
mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu
keyakinan atas kekuatan diri. Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi
bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang
langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak
yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng
Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa
titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya.
Di belakangnya berjalan dua orang
pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing
bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang
yang seorang lagi bertubuh besar kekar. Meskipun ia tidak setinggi orang
yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam
memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang
itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung
yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.
Mahesa Jenar-lah yang kemudian melangkah
ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah
berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan
badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.
“Paman Mahesa Jenar…” Sawung Sariti memulai, “Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”
“Ah, tak apalah,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Sawung Sariti meneruskan, “Kedatanganku
sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang
Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat
memaafkan kesalahan kalian berdua.”
Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah
menyesali kesombongan anak itu.
“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan, “Sekadar
untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang
Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa
mencarinya untuk membawanya menghadap.”
Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang, “Baiklah
Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia
pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”
Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil.
Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun
demikian ia berkata meneruskan, “Kenapa besok? Bukankah sekarang ini
Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih
pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman
sudi ikut serta dengan kami.”
“Sayang…” jawab Mahesa Jenar, “Barangkali
Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang
sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit
sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke
Banyubiru.”
Dada Sawung Sariti berdebar karenannya.
Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi
kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit
itu.
Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula, “Sayang…. Tetapi Eyang berkehendak demikian.”
Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit.
Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang
menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya,
Sawung Sariti pun menjadi kisruh. Semula ia ingin memutarbalikkan
perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya
ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa
Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu.
Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab, “Anakmas
Sawung Sariti tidak perlu tergesa-gesa. Aku ingin mempersilakan Anakmas
untuk beristirahat barang sehari dua hari di pedukuhan ini untuk
menikmati cerahnya matahari di lembah terpencil ini.”
Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya. “Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel. Jawabnya, “Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”
“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.
“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.
Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat
pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian
barulah ia menjawab sekenanya, “Aku tidak peduli apakah Eyang setuju dengan caraku ini atau tidak. Hal itu terserah kepadaku.”
“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.
Sekali lagi Sawung Sariti kebingungan.
Karena itu maka terasalah keringat dingin mengalir di punggungnya.
Dengan tak disengajanya dilayangkanlah pandangan matanya kepada
pasukannya yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat
pasukannya, ia jadi berbesar hati. Diantaranya terdapat orang-orang
pilihan seperti Galunggung, orang yang dipercaya penuh oleh ayahnya
untuk memimpin pasukan Pamingit yang berjumlah besar itu. Janda Sima
Rodra, dan Jaka Soka. Dan yang lebih hebat lagi, di dalam pasukannya itu
pula terdapat dua orang tokoh sakti yang jarang ada bandingnya, yang
dendamnya setinggi gunung tersimpan di dalam dadanya, Sima Rodra dari
Lodaya yang baru saja kehilangan menantunya dan Bugel Kaliki, Si Bongkok
dari Lembah Gunung Cerme. Oleh kebanggaannya itu timbul pulalah
kesombongan Sawung Sariti. Katanya, “Paman, ketahuilah bahwa
orang-orang semacam Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki itu tunduk pada
perintahku. Apakah kira-kira Paman Mahesa Jenar akan bersikap lain.”
“Ah…” desah Mahesa Jenar, “Cerdik juga kau menggertak aku.”
Mendengar perkataan itu wajah Sawung
Sariti menjadi merah. Orang-orang kebanggaannya itu agaknya dipandang
rendah oleh Mahesa Jenar. Maka sambungnya ingin memberi penjelasan lebih
banyak, “Paman… belumkah Paman mendengar nama-nama Sima Rodra dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”
Mahesa Jenar kemudian tertawa. Sengaja ia tertawa panjang. Katanya, “Sawung
Sariti, sudah siapkah pasukanmu…? Jangan berbicara seperti berbicara
dengan orang-orang Pamingit yang bodoh. Aku bukan anak-anak lagi. Kau
sekarang berbicara dengan seorang tua, setua ayahmu Lembu Sora.”
Sekali lagi warna merah menyirat di wajah
Sawung Sariti. Kalau saja ia belum pernah mendengar tentang Mahesa
Jenar, yang pernah mendapat gelar Rangga Tohjaya itu, ingin ia
menghancurkan kepalanya saat itu juga. Tetapi terhadap Mahesa Jenar ia
tidak berani berbuat demikian. Namun di dalam hatinya ia berjanji bahwa
ia ingin membunuh orang ini dengan tangannya. Ia telah minta Sima Rodra
tua dan Bugel Kaliki untuk menangkapnya hidup-hidup disamping saudara
sepupunya Arya Salaka.
Namun demikian, otaknya ternyata masih
dapat bekerja baik. Ketika sekali lagi ia memandang ke arah pasukannya,
maka mulailah ia membanding-bandingkan dengan pasukan Gedangan. Menurut
perhitungannya, Laskar Gedangan mempunyai jumlah orang lebih banyak.
Tetapi ia tidak melihat diantaranya ada orang-orang yang mempunyai nama.
Ia tidak melihat orang tua yang disebut Ki Ageng Pandan Alas menurut
ciri-ciri yang pernah didengarnya.
Meskipun demikian, ia masih
mempertimbangkan untuk tidak segera mulai. Ia akan semakin yakin pada
kemenangan yang bakal datang, apabila ia sudah mendapat suatu kepastian
bahwa sepasang Uling telah datang di tempat itu pula. Sebab, menurut
gagasannya, Mahesa Jenar akan dapat mempergunakan Laskar Gedangan untuk
melindungi dirinya apabila ia ingin melarikan diri. Dengan semakin
lengkapnya pasukan yang dibawanya, berarti kepugannyapun akan menjadi
semakin rapat.
Dengan demikian, maka berkatalah putra Ki Ageng Lembu Sora itu, “Paman
Mahesa Jenar… karena aku bukan termasuk orang-orang yang tidak dapat
berpikir longgar, maka aku bermaksud memberi waktu kepada Paman dan
Kakang Arya Salaka untuk sekali lagi berpikir. Biarlah orang-orang tetap
di tempatnya sampai esok atau lusa.”
Mahesa Jenar yang menyimpan pengalaman
yang luas di dalam perbendaharaan hidupnya, dengan cepat dapat menangkap
maksud itu. Maka jawabnya, “Sawung Sariti. Jangan kau menganggap
bahwa hanya pasukan dari Pamingit yang wenang mengambil prakarsa dalam
arena yang sudah membayang di hadapan kita. Pasukan yang sudah
berhadapan akan kehilangan kesabaran untuk menunggu sampai besok atau
lusa. Bersiaplah, aku akan mulai.”
Dada Sawung Sariti tergoncang mendengar
kata-kata Mahesa Jenar. Meskipun demikian ia tidak menjadi takut. Sebab
ia yakin kepada orang-orang yang dibawanya. Karena itu segera ia mundur
beberapa langkah dengan wajah merah oleh api kemarahan yang
menyala-nyala di dalam dadanya. Tetapi saat itu ia pun sadar bahwa
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pengawal raja. Karena itu apa
yang dikatakan pasti benar-benar akan dilakukan. Maka segera Sawung
Sariti mengangkat tangannya memberi aba-aba untuk segera bersiap.
Mereka berjalan seperti orang yang sudah
kehilangan kesabaran. Dengan langkah-langkah panjang dan cepat mereka
tergesa-gesa mendekati Mahesa Jenar. Yang kemudian dengan suara panjang
melengking terdengarlah tertawa seorang wanita, sambil berkata, “Apakah yang sedang kalian bicarakan?”
Sawung Sariti memandangnya dengan wajah
penuh pertanyaan. Pada saat ia akan memulai dengan suatu tata gelar,
tiba-tiba dua orang dari dalam pasukannya menyusulnya.
“Kenapa kau keluar dari barisan…?” tanya Sawung Sariti.
Orang itu, yang tidak lain adalah janda Sima Rodra, tertawa semakin nyaring. Jawabnya, “Aku
tidak sabar dengan segala macam aturan. Aku biasa bertempur kapan saja
aku kehendaki, dan dalam tata gelar apapun yang aku senangi.”
Telinga Sawung Sariti menjadi merah.
Memang ia sadar sejak semula akan sulitlah mengatur orang-orang dari
gerombolan liar itu dalam tata pertempuran yang teratur. Sebab menurut
kebiasaan mereka, mereka bertempur dengan mengandalkan kekuatan pribadi,
sehingga hampir tidak pernah mereka memikirkan tentang tata gelar yang
dianggap dapat menguntungkan pasukannya.
Tetapi Sawung Sariti tidak berani
menyendunya. Sebab orang-orang itu sangat diperlukan untuk melawan
Mahesa Jenar. Karena itu bagaimanapun kecewanya terhadap orang-orang
itu, namun perasaan itu disimpannya saja di dalam dadanya.
Sawung Sariti menjadi semakin
berdebar-debar ketika Janda dari Gunung Tidar itu langsung datang kepada
Mahesa Jenar dan berkata, “Mahesa Jenar, aku datang untuk memenuhi
kata-kataku pada saat kau membunuh suamiku di pedukuhan ini. Aku tidak
peduli apakah urusanmu dengan Sawung Sariti. Tetapi aku merasa bahwa
akulah yang paling berhak untuk membalas dendam.”
Mahesa Jenar yang sangat muak melihat perempuan itu menjawab dengan keras, “Sekehendakmulah.
Kalau kau merasa perlu membalas dendam, cobalah untuk memenuhi tuntutan
dendam itu. Aku tidak akan menyingkir.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar itu, Janda Sima Rodra sama sekali tidak menjadi marah. Malah dengan tertawa pendek ia menjawab, “Bagus. Aku akan segera melakukannya. Tetapi aku kira bahwa aku dapat berbuat sebaliknya. Memaafkan kesalahanmu itu.”
Mahesa Jenar ketika mendengar kata-kata
Sawung Sariti, dengan nada yang demikian pula, ia menjadi tidak senang.
Apalagi ketika perkataan-perkataan itu keluar dari mulut Janda Sima
Rodra. Terasa seolah-olah darahnya menjadi mendidih. Katanya semakin
keras, “Kalau hidupku kemudian hanya karena kebaikan hatimu, Sima Rodra betina, aku lebih baik membunuh diriku.”
Suara tertawa Harimau Betina itu malah menjadi semakin berkepanjangan. Katanya, “Dengan
terbunuhnya suamiku, aku merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga
dalam hidupku. Karena itu akupun harus mendapatkan ganti sesuatu dengan
yang hilang itu. Kalau kau mampu menggantinya, aku akan melupakan
peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupku itu.”
Sekarang Mahesa Jenar benar-benar tidak
dapat mendengar kata-kata itu lagi. Telinganya menjadi seolah-olah
terbakar. Karena itu tidak ada alasan untuk mendengarkannya lebih lama
ocehan Janda Sima Rodra itu. Dengan tenangnya Mahesa Jenar melangkah ke
samping. Kedua tangannya diangkatnya tinggi. Kemudian dengan gerakan
lurus tangan itu direntangkannya kesamping, seterusnya kembali ke atas.
Ternyata ia sudah mulai menyiapkan pasukannya dalam gelar yang
diperlukan, Sapit Urang.
Melihat aba-aba itu, Sawung Sariti segera
merasa perlu untuk menyiapkan pasukannya pula. Sesuai dengan sifatnya
yang sombong, ia sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan diri
dengan gelar Supit Urang yang sudah dipersiapkan oleh Mahesa Jenar,
tetapi karena kepercayaan pada kekuatan yang dibawanya, serta
kepercayaan pada diri sendiri, segera Sawung Sariti menyobek panji-panji
putihnya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi tunggul yang kemudian sudah
dilepas sarungnya. Tunggul itu digerakkan beberapa kali melingkar dan
kemudian untuk beberapa lama ditegakkan di udara. Ia telah memerintahkan
kepada pasukannya untuk bersiap dalam gelar Dirada Meta.
Tetapi agaknya Janda Sima Rodra tidak peduli pada persiapan-persiapan itu. Sekali lagi ia berkata, “Mahesa
Jenar, aku dapat mencegah pertempuran ini. Bahkan kalau perlu aku dapat
menghancurkan pasukan Pamingit itu apabila kau dapat mencarikan ganti
suamiku yang telah hilang.”
Akhirnya Mahesa Jenar menjadi benar-benar
muak. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum rombongan
Uling datang. Karena itu dijawabnya, “Baiklah Sima Rodra, aku akan
berusaha mencari ganti buatmu. Apabila pekerjaanku ini sudah selesai,
aku ingin menangkap seekor beruk yang buas untuk mengganti Harimau Liar
yang telah mati.”
Bagaimanapun juga Janda Sima Rodra adalah
seorang manusia. Karena ia menjadi tersinggung sekali atas jawaban itu.
Apalagi ketika orang yang berdiri di belakangnya, yang tidak lain
adalah Jaka Soka menyambung sambil tersenyum, senyuman seekor ular yang
berbisa tajam. “Bagus Mahesa Jenar. Usulmu tepat sekali.”
Kebo Kanigara, yang berdiri tidak jauh
dari Mahesa Jenar, dan yang selama itu acuh tak acuh saja, terpaksa
tertawa pula. Bahkan kemudian ia menyahut, “Aku kira seekor beruk
masih terlalu besar buat perempuan yang mengerikan itu. Bukankah lebih
baik seekor lutung saja untuk menggantikan suaminya yang terbunuh itu…?”
Hati Janda Gunung Tidar itu ternyata
terbakar oleh api yang dinyalakannya sendiri. Terbawa oleh
sifat-sifatnya yang liar itu, maka ia sama sekali tidak pedulikan,
apakah ia termasuk dalam pasukan Sawung Sariti atau tidak. Langsung ia
meloncat maju dan dengan garangnya menyerang Mahesa Jenar dengan
kuku-kukunya yang tajam beracun. Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah
seorang yang selalu waspada, sehingga dengan mudahnya ia meloncat ke
samping menghindari serangan itu.
Tetapi Janda Sima Rodra itupun bukan
seorang yang dapat diremehkan. Bertahun-tahun ia hidup dalam dunia
kejahatan dan perkelahian. Karena itu ia tidak bermaksud memberi ruang
untuk bergerak bagi lawannya.
Dalam pada itu salah seorang yang berdiri
di belakang Mahesa Jenar, di dalam barisan orang-orang Gedangan,
terdapatlah seorang yang memiliki dendam sedalam lautan kepada perempuan
liar itu.
Ketika ia melihat perempuan liar dari
Gunung Tidar itu bercakap-cakap dengan Mahesa jenar, darahnya sudah
menggelegak. Namun demikian ia selalu berusaha untuk menahan diri,
supaya tidak merusakkan rencana Mahesa Jenar serta barisannya.
Tetapi kemudian ketika ia melihat,
Harimau Betina itu menyerang Mahesa Jenar, agaknya darahnya benar-benar
menjadi mendidih. Sehingga seolah-olah diluar kemauannya, tiba-tiba ia
pun meloncat berdiri disamping Mahesa Jenar sambil berkata nyaring, “Janda
Sima Rodra yang cantik. Sudah lama aku berusaha untuk memperkenalkan
diriku. Tetapi sayang bahwa pertemuan kita di pedukuhan ini beberapa
waktu yang lalu ternyata terlalu singkat.”
Janda Sima Rodra itu terhenti. Dengan
pandangan penuh kemarahan, ia mengamati orang yang menyapanya itu.
Seorang gadis dengan pakaian laki-laki. Kemudian teringatlah ia, ketika
ia bersama almarhum suaminya bertempur melawan Mahesa Jenar dan
muridnya, tiba-tiba ia telah diserang oleh seorang yang tak dikenalnya.
Agaknya orang inilah yang telah menyerangnya itu, bahkan yang kemudian
oleh ayahnya, gadis itu berhasil ditangkapnya. Dan orang itu sekarang
muncul lagi di hadapannya. Kemarahan Janda Sima Rodra semakin menyala.
Dengan suara yang tajam melengking ia berteriak, “Hai, gadis manis…
siapakah sebenarnya kau? Sebenarnya lebih baik bagimu untuk tinggal di
rumah menghias diri, daripada mengganggu aku di arena ini. Meskipun
menilik pakaianmu agaknya kau lebih senang disebut sebagai seorang
laki-laki daripada seorang perempuan.”
Orang itu, yang tak lain adalah anak tiri Janda Sima Rodra sendiri, menjawab, “Tak
apalah kalau kau tak mengenal aku. Namaku adalah Rara Wilis dari Gunung
Kidul. Anak perempuan dari Ki Panutan, yang kemudian pergi meninggalkan
kampung halamannya karena perempuan cantik yang perkasa.”
“Wilis…!” teriak Janda Sima
Rodra. Ia memang pernah mendengar nama Rara wilis. Bahkan gadis itu
pernah ditangkap oleh ayahnya. Namun baru sekarang ia teringat bahwa
orang yang bernama Rara Wilis itu pernah dikenalnya pada masa
kanak-kanaknya. Pada saat ia sedang memikat almarhum suaminya, ia memang
sering melihat seorang gadis kecil yang bernama Rara Wilis. Karena itu
kemudian janda Sima Rodra berkata sambil tertawa, “Wilis, ya Wilis.
Alangkah pelupanya aku ini. Ketika aku mendengar namamu beberapa saat
yang lalu, aku sama sekali lupa bahwa kau adalah anakku sendiri. Nah,
sekarang aku telah tahu benar bahwa kau adalah anakku. Apakah maksudmu
sekarang…?”
Dengan nada yang tak kalah lantangnya Wilis menjawab, “Ah…
agaknya kau ingat juga apa yang pernah kau lakukan atas ayah beberapa
tahun yang lewat. Ketahuilah bahwa karena itu, keluarga menjadi
terpecah-pecah.”
“Hem…” geram perempuan itu. “Itu bukan hanya salahku. Kau kira kalau ayahmu bukan seorang laki-laki rakus, aku dapat memaksanya pergi?”
Wilis mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kau benar. Namun kejadian itu bukanlah suatu kebetulan. Kaulah sebabnya, dan keluargakulah yang harus menanggung akibatnya.”
Tiba-tiba perempuan itu tertawa lebih keras. Katanya, “Sebenarnya kalau kau menuntut ayahmu itu, tuntutlah kepada laki-laki di sampingmu itu. Dialah yang telah membunuhnya.”
Mendengar seruan itu, dada Mahesa jenar
berdesir. Memang, pada saat Sima Rodra terbunuh, Rara Wilis menjadi
sangat marah kepadanya. Bahkan masih terasa betapa ujung pedang gadis
itu melukai dadanya. Sekarang, peristiwa itu diingatkan lagi.
Tetapi ternyata jawaban Rara Wilis melegakan Mahesa Jenar. “Aku
sudah tahu, Janda Sima Rodra, bahwa laki-laki di sampingku inilah yang
telah membunuh ayahku. Tetapi hal itu bagiku adalah jalan yang
sebaik-baiknya, daripada setiap hari ayahku selalu menimbun dosa.”
Terdengar Harimau Betina itu menggeram marah. Usahanya untuk mengadu kedua orang itu tak berhasil. Karena itu ia berteriak, “Baik… lalu apa maumu?”
“Menurut pikiranku…” jawab Rara Wilis, “Aku
pun akan membuat jasa kepadamu, seperti apa yang telah terjadi pada
ayahku. Kau… ibuku, harus juga aku cegah untuk tidak membuat dosa setiap
hari. Agar kau tidak usah berhenti terlalu lama di dalam api pencucian
kelak.”
Perempuan liar itu sudah menjadi pening
mendengar kata-kata Rara Wilis. Karena itu ia tidak menjawab lagi.
Dengan garangnya ia berteriak sambil meloncat menyerbu. Untunglah bahwa
Rara Wilis pun telah bersiaga. Dengan lincahnya ia meloncat menghindar.
Bahkan dengan kakinya ia menyerang lambung Harimau Betina itu. Namun
Janda Sima Rodra pun memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan siku
tangannya ia menutup lambungnya. Melihat lawannya melindungi diri, Rara
Wilis menarik kakinya, namun kemudian tangannya yang dengan cepat
menyambar tengkuk. Sekali lagi Harimau Betina itu meloncat mundur. Namun
kemudian ia tidak mau diserang lagi. Dengan garangnya kemudian
mengembanglah jari-jari janda Sima Rodra yang berkuku panjang, dengan
logam beracun di ujung-ujungnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran
sengit. Pertempuran yang dilambari oleh tuntutan dendam yang telah lama
tersimpan di dalam dada dan sekaligus merupakan suatu usaha untuk
melenyapkan benih-benih kejahatan yang dapat tumbuh di kemudian hari.
Rara Wilis maupun Janda Sima Rodra memiliki kelincahan yang mengagumkan.
Janda Sima Rodra bertempur dengan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, yang
memiliki unsur-unsur kegarangan yang mengerikan, dengan gerak-gerak
harimau lapar. Sedangkan Rara Wilis adalah cucu sekaligus murid Ki Ageng
Pandan Alas. Seorang sakti yang bertahun-tahun menekuni ilmunya
sehingga sukar untuk mendapat bandingan. Karena itu pertempuran yang
terjadi adalah merupakan pertempuran antara ilmu jahat melawan ilmu yang
dengan gigih berusaha menumpasnya.
Dalam keadaan yang demikian, untuk
beberapa saat semua mata terpaku pada pertempuran itu. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara yang mempunyai wawasan yang dalam, segera melihat keadaan
Rara Wilis sama sekali tidak mengkhawatirkan. Karena itu mereka tidak
perlu tergesa-gesa mengambil tindakan terhadap perempuan liar itu.
Apalagi di hadapan mereka, masih terdapat orang-orang yang cukup
berbahaya. Jaka Soka yang berdiri dekat titik perkelahian, agaknya
sangat tertarik melihatnya. Dengan tersenyum aneh, ia bahkan dengan
enaknya duduk menonton. Meskipun demikian, ia menjadi keheran-heranan
juga melihat gadis cantik yang pernah ditemuinya di hutan Tambakbaya itu
mampu bertempur dengan gigihnya melawan Janda Sima Rodra.
Sedangkan Sawung Sariti menjadi
berdebar-debar melihat seseorang muncul dari dalam barisan. Seorang
gadis lagi. Dan orang itu dapat mengimbangi Janda Sima Rodra dari Gunung
Tidar. Namun meskipun demikian ia tidak bercemas hati. Sebab masih ada
orang yang jauh lebih sakti dari janda itu dalam barisannya.
Yang kemudian dilakukan Sawung Sariti
adalah memberi tanda kepada pasukannya untuk mengadakan persiapan
terakhir. Ia sudah tidak melihat kemungkinan lain kecuali bertempur saat
itu juga, sekaligus untuk mencurahkan dendam kepada orang-orang
Gedangan, karena kegagalannya menjadikan Gedangan sebagai kuburan untuk
orang-orang yang telah dan akan disingkirkannya.
Demikian ketika Sawung Sariti sekali lagi
melambaikan tangannya, bergeraklah seluruh pasukan Pamingit dalam
gelarnya yang dahsyat, Dirada Meta. Pasukan itu seolah-olah merupakan
suatu bentuk seekor gajah yang maha besar, yang sedang berjalan dengan
tangguhnya menyerang lawan. Di ujung gading pasukan Pamingit berdirilah
dua orang yang sangat ditakuti. Yaitu Sima Rodra tua dari Lodaya yang
merasa perlu membalas dendam atas kematian menantunya, sekaligus untuk
melenyapkan salah seorang saingan utama dalam perebutan keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten. Sedang di ujung yang lain, sahabat Harimau
Lodaya, yaitu Bugel Kaliki. Ia ikut serta dalam pertempuran itu atas
permintaan sahabatnya. Namun sebenarnya ia pun sedang mengadakan
penyelidikan kemana keris-keris sakti dari Istana Demak itu berada.
Bugel Kaliki sadar bahwa pertempuran-pertempuran yang berjalan ini
hanyalah merupakan permulaan dari pertempuran-pertempuran dan
perkelahian-perkelahian yang akan terjadi kelak apabila sudah ada
gambaran di mana kedua keris itu tersimpan. Bahkan ia pun sadar seperti
Sima Rodra juga, bahwa mereka masing-masing harus berusaha melenyapkan
saingannya satu demi satu. Kalau sekarang mereka sedang berusaha untuk
menyingkirkan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, yang mungkin terdapat
pula Pandan Alas, maka esok mereka harus menyingkirkan kawan-kawan
mereka yang sekarang sedang bertempur bersama-sama dan saling membantu.
Dalam pada itu, ketika Mahesa Jenar
melihat pasukan gabungan dari Pamingit dan Gunung Tidar mulai bergerak,
segera ia mengangkat tangannya pula. Dan, segera bergerak pula seluruh
laskar Gedangan dalam gelarnya Supit Urang. Untuk menghadapi gelar gajah
yang datang menyerangnya, barisan dalam bentuk udang raksasa dengan
sapit-sapitnya yang garang itupun telah bergerak maju. Dalam pada itu
sekali lagi Sawung Sariti melihat keliling untuk mengetahui keadaan
medan keseluruhan. Dari lambung sebelah kiri dilihatnya pasukan itu
dipimpin oleh Wanamerta, sedang dari lambung kanan dilihatnya bahwa
pasukan itu dipimpin oleh seorang anak muda sebaya dengan dirinya.
Melihat anak muda itu, hati Sawung Sariti berdesir. Itulah Arya Salaka.
Karena itu cepat Sawung Sariti meloncat mundur, dan berbisik kepada
Galunggung, ” Galunggung…, peganglah pimpinan. Berikan aba-aba atas
namaku. Bawalah tunggul ini. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan
Kakang Arya Salaka.”
Sawung Sariti tersenyum, lalu jawabnya, “Jangan
takut. Beberapa bulan yang lalu aku memang belum dapat mengalahkannya.
Tetapi sekarang keadaan telah jauh berubah. Percayalah bahwa aku akan
dapat membawa kepalanya pulang sebagai oleh-oleh buat ayah Lembu Sora.”
Galunggung pun tersenyum. Ia percaya kepada anak muda itu.
Sesaat kemudian kedua pasukan itu menjadi
semakin dekat. Mahesa Jenar yang masih berada disamping Kebo Kanigara
segera menyiapkan diri masing-masing. Mereka telah melihat Sima Rodra
tua dan Bugel Kaliki. Karena itu mereka menempatkan diri untuk melawan
mereka. Dalam pada itu Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja
bertempur dengan sengitnya. Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa
pasukan-pasukan itu sebentar lagi akan berbenturan dan akan segera
terjadi pertempuran yang dahsyat. Saat itu mereka sedang tenggelam dalam
perkelahian yang seolah terpisah dari pertempuran yang bakal datang.
Kedua pasukan menjadi semakin dekat dan
semakin dekat. Setiap wajah yang berbeda dalam barisan menjadi semakin
tegang pula. Tangan-tangan mereka yang memegang senjata masing-masing
telah menjadi bergetar dan basah oleh keringat.
Janda Sima Rodra yang mempunyai
pengalaman lebih banyak, ternyata tidak mau bertempur didaerah lawan.
Perlahan-lahan ia menggeser titik bertempur sejalan dengan langkah
laskar Gedangan, mendekati pasukan-pasukan dari Pamingit. Jaka Soka yang
sangat tertarik pada pertempuran itu terpaksa ikut bergeser. Meskipun
tampaknya acuh tak acuh saja namun sebenarnya otaknya yang licin itu
sedang bekerja keras mencari jalan yang semudah-mudahnya, bagaimanakah
sebaiknya untuk menangkap Rara Wilis tanpa kesulitan. Meskipun untuk
memiliki gadis itu sekarang ia terpaksa mempertimbangkan bahwa ia
mungkin akan mendapat perlawanan yang berat, tidak sebagaimana pernah
terjadi pada saat gadis itu sama sekali belum memiliki ilmu bela diri.
Pada saat itu matahari telah menanjak di
atas bukit-bukit yang hijau di arah timur. Sinarnya yang hangat
menghambur di atas batu-batu karang yang kemerah-merahan serta dedaunan
yang hijau segar oleh titik-titik embun yang belum lenyap seluruhnya.
Angin pegunungan yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah yang tegang.
Namun hampir tak seorang pun yang dapat menikmatinya. Sebab hati mereka
telah terampas oleh ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat karena sinar
matahari.
Dalam pada itu, tidak jauh di belakang
pasukan Gedangan, pedukuhan gedangan menjadi amat sepi, seolah-olah pada
saat matahari sudah demikian tingginya masih saja lelap dalam tidurnya.
Rumah-rumah bambu yang tegak seakan menjadi tak berpenghuni. Sedang
anak-anak kecil erat berpegang ujung-ujung baju ibunya, yang menahan
debar jantung melepas suami pergi berperang. Tetapi ketika terasa mata
mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi,
diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa
tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk
tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia.
Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman
mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya.
Jarak antara kedua pasukan itu menjadi
semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang
berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang
dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak
dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan
dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari
penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka
telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat
dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan
Arya Salaka.
Demikianlah dering senjata di sela-sela
gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari
kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung
pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang
menyembur-nyembur.
Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara
menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar
bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut
balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang
bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi,
seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di
sekitarnya.
Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka
ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut
serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati
Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra
dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan
kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk
Inten. Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula
dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia
tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu
melindunginya. Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan
Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar
dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya.
Maka ketika semua orang yang berada dalam
lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka
Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani
Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan
kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati. Tetapi
kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya
pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat
mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis
tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor
sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang
dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.
Melihat gadis tanggung itu mengganggunya,
Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal
lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat
membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu. Tetapi sekali lagi ia
menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang
ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan
tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat
berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka.
terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut
dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan
demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya.
Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya
Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai
nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu
adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia
masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun
demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar,
sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia
sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun
mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan
diri.
Untunglah bahwa dari sela-sela
gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang
meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar
jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan
Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas.
Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira,
sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera
akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu. Tetapi Kanigara
bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri.
Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu
yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti
seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya.
Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak
usah berkecil hati.
Kanigara tiba-tiba mempunyai pekerjaan
lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri
tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian
terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan
untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak, “Widuri, kenapa kau ikut serta?”
Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba
hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun
terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi, “Bertahanlah. Aku datang.”
Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya, “Orang ini hebat juga, ayah.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa
bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan
sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan.
Kalau saja ia tidak berbuat demikian,
maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya.
Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih
dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum
dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa
di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi
kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini.
Apalagi orang ini dapat melawannya dengan
membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal
bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan
pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui
kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki
harus lebih berhati-hati lagi.
Di titik yang lain, tampaklah Mahesa
Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya
dengan garang. Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu
mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan
pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah
Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat
mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis
Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa.
Tetapi ternyata Harimau Liar itu
menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat
itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya
kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun
menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam
Mahesa Jenar dengan garangnya. Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar
merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat
cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati,
Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki
Ageng Pengging Sepuh. Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan.
Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan
tajamnya.
Demikianlah, pertempuran itu
berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara
seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi
semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis
yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali
bergeser ke selatan. Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun,
puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu
perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan
segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala
macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering.
Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum
tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama
manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi
tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus
berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang
menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi
daripada binatang. Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada
asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang
menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu
pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah
tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya,
serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan
sepanjang garis kebenaran serta kebaktian.
Demikianlah pertempuran yang terjadi di
lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin
dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua
pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari
tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes
keringat dan darah.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi
prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin
gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi
aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan. Sebagaimana
yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih
mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi
seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu
lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri. Laskar
Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat
tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal.
Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika
matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil
mendesak lawan mereka. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa
sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang
sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.
Oleh kenyataan itu, berbesar hatilah
seluruh laskar dari Gedangan. Semakin lama mereka bertempur, semakin
segarlah tubuh mereka oleh kemenangan demi kemenangan yang mereka
peroleh. Sehingga ketika mahatari telah condong ke barat, titik
pertempuran itu telah jauh bergeser. Namun orang-orang Pamingit dan
Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar
mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit
Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian
dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di
medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah
tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah
gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan
demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau. Orang-orang
Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup kedalam barisan
Gedangan. Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab
Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana
seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari
Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup
masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian
mereka dibinasakan. Meskipun demikian, karena secara perseorangan
laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk
sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.
———-oOo———-
III
Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh
laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah
kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak
besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan
itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang
pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling
telah datang.
Mendengar teriakan di ekor barisannya,
dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata
benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru
datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu.
Meskipun demikian, hal yang serupa itu
memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan
gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan
kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang
datang dari samping, maupun dari belakang.
Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang
bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan
pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat
pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa.
Rombongan Uling dari Rawa Pening itu
langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa
saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih
menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun
adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan
pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai
pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan. Ia memang
melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya.
Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat
perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau
membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi. Karena
itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke
dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi
semakin tipis.
Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah
berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu
segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat
setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang
Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat
mengalahkan lawannya.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima
Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat
mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk
seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka
membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.
Di bagian lain, di bagian belakang gelar
Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang
Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan
demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri.
Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha
untuk mencegah sekuat-sekuatnya. Mereka bertempur bersama-sama
menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan
manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar
Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya. Pasukan
Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah
menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke
jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang
terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan
menghimpit hancur laskar itu. Meskipun demikian, laskar Gedangan telah
berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya
Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan
lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan
bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit
serta rombongan-rombongan yang lain.
Namun bagaimanapun juga, kemampuan mereka
terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar
batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun
ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat
mereka atasi.
Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar
dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin.
Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk
mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan
mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan
laskar mereka.
Tetapi keadaan berjalan tidak seperti
yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit
agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah
pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning
benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa
orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan
mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang.
Meskipun demikian laskar Gedangan bukan
laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka
bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung
bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa,
Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan
adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.
Gemerincing senjata masih saja menggema
di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi
semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan.
Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit
kesakitan yang mengerikan.
Ketika pertempuran itu masih berlangsung
dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis
peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat
kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang
bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya.
Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar
biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan
dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti
akan berhenti. Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih
tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih
besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya
sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa
dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.
Sesaat kemudian langit telah dibayangi
dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan
kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah,
kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan
sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu
berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi
ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan
kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua
belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.
Pada saat yang demikian, pada saat
pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu,
muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan
yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya. Namun apa yang
terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran.
Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang
gemuruh, “Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani.
Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di pihakmu. Setelah
itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari
seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.”
Laskar Gedangan yang kelelahan, karena
tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran
jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun
tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa
mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah
cepat berputar menyambar-nyambar.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu, “Mahesa Jenar… lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang Uling yang masih segar di ekor barisanmu.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah
orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan
yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir. Orang itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat. Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya. Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir. Orang itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat. Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya. Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.
Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba
memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat
diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh. Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata, Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh. Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata, Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu.
Uling Kuning terkejut mendengar suara
itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang
telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah
memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya
beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah
pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha
untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak
dikenal.
Karena itu, timbullah gairahnya untuk
menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan
gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong
kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring, Nah, akhirnya aku
ketemukan kau di sini Rangga Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang
dapat memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu pertemuan yang akan
kita selenggarakan kemudian sebagai ganti dari pertemuan yang pernah kau
gagalkan dahulu.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi
langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak
terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut.
Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya
pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia
berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan
kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan
baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang
menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Namun Mahesa Jenar
sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang
hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah
menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah
bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang
datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar
demi selembar akan runtuh berserakan di tanah.
Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi
basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di
seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah
menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat
bantuan dari saudaranya.
Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya
meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah
lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda
itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya.
Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang
semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan
berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk
yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling
Putih. Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang
Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan
demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa
mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang
ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak
pula banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah
benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat
merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya
bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit. Bulan yang masih
muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah
menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di
bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan angin pegunungan yang mengalir
lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk
memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam
lingkaran kebenaran.
Pada saat yang demikian, kembali terasa
betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru
dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta
beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu
itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan
serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba
membantu Harimau Liar itu.
Maka, ketika ternyata, pimpinan pasukan
gabungan dari Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar
melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat tertolong apabila
pertempuran diteruskan. Karena itu, diputuskannya untuk perlahan-lahan
menarik diri, dan apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan
gelar yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan aba-aba,
tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi kacau balau. Ternyata Sima
Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang
berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah
abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka
dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri. Hal inilah yang
kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab
menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu.
Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai
seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak
memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk
mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi
agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya.
Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan.
Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan
arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel
Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu,
disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia
dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang
membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu
untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus.
Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran
itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar
yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula
merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah
menjadi gelar Gelatik Neba.
Karena kekacauan itulah maka satuan
pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa
orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri
mereka masing-masing.
Melihat kekacauan yang timbul di dalam
barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba.
Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya
sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti
diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian
iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri. Dalam kekacauan pertempuran
itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda
itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul
tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali
tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.
Di bagian lain, sepasang Uling yang
bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan
orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun
mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya
yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari
kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang
dibalik kepulan debu yang tebal. Mahesa Jenar bersama-sama pasukannya
tidak lagi dapat mengejar mereka, ”kita menutup jalan mereka dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, nadil dan sebagaimnya.”
Akhirnya, Mahesa Jenar terpaksa
menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun
sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih
melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu,
yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi,
sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu
adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian
laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak
Wangi. Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit
dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan
sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya
usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan
kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata
Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan
keluar, “Ibu yang baik…. Jangan hentikan permainan itu. Bukankah
sewajarnya kalau seorang ibu mengajari anaknya bermain. Jangan takut
orang lain akan turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi,
sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam persoalan ini.”
“Bohong!” jawab janda itu, “Kau akan menjebak aku.”
Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya, “Aku
bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku,
satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan
dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan
memaafkanmu.”
Sebagai seorang yang telah lama terbenam
dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang
kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia
menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan
sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan
mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang
menghinanya itu. Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya,
seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika
kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang
yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar
meninggalkan arena, “Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan
ini, sebab persoalan kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan
sesalkan siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah
memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah kami, masalah
yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang durhaka.”
Berdesirlah setiap dada mereka yang
mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu
menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda
darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk
membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau
Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut
logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap
kesempatan menghindar bagi Rara Wilis. Sebaliknya, Rara Wilis telah
menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada
saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada
ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu
dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam
perangkapnya. Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu,
menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas
menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu
memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya.
Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah
keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir
oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya,
satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk
menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu
kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke
dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang
berasal dari dalam lumpur paling kotor. Karena angan-angan itulah maka
Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya
sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya,
terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan
sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya
daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat
berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun
kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak
dapat timbul kembali.
Terdorong oleh perasaan itulah maka
kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya
seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang
menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar
dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh
laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata
Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya.
Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan
teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya. Demikianlah dalam
beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih
berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata.
Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki
senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah
sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas.
Dengan demikian maka pertempuran itu
menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata,
namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.
Tetapi tak seorangpun berani mencampuri
pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat
menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat
tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat
mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di
bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan
nafas.
Apalagi, ketika mereka telah bertempur
lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan
pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir
belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari
penuh. Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi
bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang
menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya,
bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis.
Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik
kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu.
Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti
yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia
pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra
agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran
kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya.
Oleh penemuannya itu, maka terasalah
olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab
dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia
telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena
itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat,
sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang
tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu
melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran
perguruan Pandan Alas.
Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan
pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat
berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan.
Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis
senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri
dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan
Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia
menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit
dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya
cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang
gemerlapan menusuk dari segenap arah.
Dalam keadaan yang
demikian, Janda Sima Rodra menjadi semakin gelap mata.
Serangan-serangannya menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin
kehilangan pengamatan.
Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra.
Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus
asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada
padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut
melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit
saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa
dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga
pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula.
Maka ketika Janda Rodra menerkamnya,
segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri,
tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur
lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh
sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya
dibarengi teriakan yang mengerikan. Rara Wilis adalah seorang yang telah
menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia
sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di
tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita
untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang
telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika
angan-angannya itu kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke
dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan
perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika
dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka
tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak
sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi
wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah
bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata
kemudian Rara Wilis pingsan.
Beberapa orang segera menjadi ribut.
Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian
digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendorkan. Ternyata
tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.
Maka atas anjuran beberapa orang,
dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh
beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar
diberi tanda-tanda dengan kentongan.
Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat
Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat
karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat,
ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang
mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa
Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang
memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima
Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk
yang bernama manusia.
Pada saat yang demikian, bekas arena
pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang
laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang
bergelim-pangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri
ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka
kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara
orang-orang yang terluka dari pihak manapun.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi
gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka
diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula
perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan
Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di
daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.
“Ada yang kau cari…?” terdengar Kebo Kanigara bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan pandangan berkeliling.
“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.
Serentak mereka yang mendengar jawaban
Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka
lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih
Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.
“Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak itu?” teriak Mahesa Jenar.
Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab, “Aku… Tuan.”
“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.
“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.
Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya, “sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”
“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.
“Ya, sejak saat itulah anak muda itu
hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan
sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak
itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi
pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah.
Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.
“Adakah anak itu terikat dengan lawan?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu, “Aku
lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya,
bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”
“Sawung Sariti…” desis Mahesa
Jenar. Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah
murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat
dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.
“Marilah kita cari,” kata Mahesa
Jenar kemudian, sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena
sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta,
dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil.
Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar
telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya
banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya
merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.
Tetapi ketika baru saja ia melangkah
beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari
mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk
mencari Arya Salaka. Demikianlah, beberapa orang yang lain pun segera
berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam
bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu, “Kenapa kau ikut juga, Widuri…? Lebih baik kau kembali ke Gedangan bersama-sama dengan bibi Wilis.”
Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya, “Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”
“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.
“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.
“Jangan sombong,” potong ayahnya, “Pulanglah.”
“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.
Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak
akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil
berlari mengikuti Mahesa Jenar.
Orang yang berjubah
abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang
menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di
belakangnya.
———-oOo———-
IV
Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis
arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam
keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu
bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa
Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang
bertempur diantara hidup dan mati. Melihat kedua orang yang bertempur
itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat
langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi
semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya,
bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung
Sariti.
Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah
melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis,
sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan
demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik
pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang
berjubah abu-abu itu pergi.
Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa
orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti
meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek, “Kakang
Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang. Tidakkah lebih baik kalau
mereka kau suruh bertempur pula melawan aku bersama-sama dengan
Kakang…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak
senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya
muridnya menjawab. Katanya, “Adakah kau bermaksud demikian?”
“Tentu,” jawab Sawung Sariti. “Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”
“Sayang,” sahut Arya salaka, “Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”
“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.
Arya Salaka tersenyum, katanya, “Kalau
kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu
hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian
banyak orang satu demi satu?”
Aku tidak peduli, jawab Sawung Sariti. Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku.
Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku, sahut Arya Salaka. Sebab kau begitu saja menyerang aku.
Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya, Kenapa
beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah,
ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari
persoalan itu.
Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya, Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?
Wajah Sawung Sariti berubah menjadi
semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian
terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab, Kau benar. Dan
setiap orang yang tidak mau berjanji untuk merahasiakan hal itu kepada
orang-orang Banyubiru akan aku binasakan juga.
Bagus… jawab Arya Salaka, Mulailah.
Sekali lagi Sawung Sariti memandang
orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia
sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka
itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa
Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan
seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti
tergetar. Sawung Sariti merasa perlu untuk meyakinkan bahwa Mahesa
Jenar tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran. Katanya. Paman
Mahesa Jenar, apakah Paman juga tertarik pada permainan ini? Kalau benar
demikian aku persilakan Paman membantu kakang Arya Salaka.
Mahesa Jenar tahu arah bicara anak itu. Jawabnya, Kau
tak perlu berkecil hati Sawung Sariti. Meskipun kami bukan orang-orang
yang memiliki gelar ksatria, namun kami mengenal sifat-sifat kejantanan.
Apalagi terhadap anak-anak seperti kau ini.
Sawung Sariti merasa tersinggung
karenanya. Meskipun demikian ia menjadi berbesar hati bahwa ia telah
mendapat jaminan, bahwa ia dibiarkan bertempur seorang melawan seorang
dengan Arya Salaka. Karena itu ia meneruskan, Nah kalau demikian relakan murid Paman ini binasa karena ketamakannya.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun
terpaksa ia menahan hatinya yang sama sekali tidak senang atas kata-kata
itu. Juga Arya Salaka merasa tidak perlu berkata-kata lagi. Karena itu,
segera ia mempersiapkan diri untuk meneruskan pertempuran yang telah
berjalan demikian panjangnya.
Sawung Sariti pun bersiap pula. Mulutnya
terkatup rapat, tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian dengan
sebuah loncatan yang cepat ia mulai menyerang. Geraknya lincah dan
tangkas sesuai dengan ajaran-ajaran yang pernah diterimanya dari seorang
guru yang mumpuni. Dimodali dengan tubuhnya yang kokoh kuat serta otak
yang cerdas licin. Namun lawannya bukan pula anak larahan. Tetapi ia
adalah murid seorang yang berhati jantan dan bertekad baja, serta telah
mengalami tempaan yang luar biasa beratnya untuk mewarisi ilmu keturunan
Ki Ageng Pengging Sepuh, tidak saja dari Mahesa Jenar, tetapi juga dari
Kebo Kanigara langsung.
Karena itulah maka perkelahian yang
terjadi merupakan perkelahian yang sengit dan seimbang. Kedua-duanya
dapat bergerak dengan lincahnya sambar-menyambar, dan keduanya dapat
bertahan dengan tangguh melawan setiap serangan. Mereka saling
desak-mendesak berganti-gantian silih ungkih singa lena.
Pukulan tangan Sawung Sariti
menyambar-nyambar berdesingan, namun Arya Salaka dengan tangkasnya
selalu dapat menghindari. Namun sekali-sekali tangan itu berhasil pula
mengenai tubuhnya. Demikianlah pada suatu saat sebuah sambaran tangan
Sawung Sariti hinggap di dada Arya Salaka sedemikian kerasnya sehingga
Arya terdorong surut. Tetapi Sawung Sariti tidak mau membiarkan
kesempatan itu. Cepat ia meloncat maju dan sekali lagi menyerang dengan
kakinya ke arah lambung ketika Arya masih belum dapat menjaga
keseimbangannya dengan baik. Ketika Arya melihat serangan itu, ia tidak
dapat berbuat lain daripada melindungi lambungnya dengan tangan, namun
karena desakan yang keras, serta keseimbangannya yang belum pulih benar.
Sekali lagi Arya terdorong, bahkan lebih keras sehingga ia jatuh
berguling. Sekali lagi Sawung Sariti mendesak maju. Dengan sebuah
loncatan ia berusaha untuk menerkam dan menindih Arya. Kedua tangannya
terjulur ke depan ke arah leher lawannya. Pada saat yang demikian Arya
melihat bahaya yang bakal datang apabila lawannya benar-benar dapat
mencekik serta menindih tubuhnya. Maka ketika ia melihat tubuh itu
melayang ke arahnya, segera ia menelentang dan dengan sekuat tenaganya
ia mendorong tubuh itu dengan kedua kakinya tepat pada bagian bawah
perutnya. Demikianlah Sawung Sariti terdorong keras ke depan, melampaui
tubuh Arya Salaka. Namun Sawung Sariti mempunyai ketangkasan yang cukup
pula. Dengan berguling ia dapat menyelamatkan tubuhnya dari benturan
yang keras. Bahkan ia segera dapat loncat berdiri. Tetapi pada saat itu
Arya telah siap pula. Bahkan ia berhasil mendahului menyerang. Dengan
sebuah loncatan yang panjang Arya memukul rahang lawannya. Kali ini
Sawung Sariti tidak berhasil menghindar.
Dengan sebuah sentakan yang keras, kepala
terangkat sambil tergetar mundur. Dengan penuh nafsu Arya sekali lagi
melangkah serta mengayunkan tangannya ke arah perut lawannya.
Terdengarlah suara yang tersekat di kerongkongan, dan tubuh Sawung
Sariti terbungkuk ke depan. Namun ketika Arya mengulangi serangannya,
dengan cepatnya Sawung Sariti demikian saja menjatuhkan dirinya. Kali
ini tangan Arya terayun diatas kepala lawannya tanpa menyinggungnya.
Sehingga malahan tubuhnya terseret oleh kekuatannya sendiri. Pada saat
itulah Sawung Sariti menghantam dadanya dengan kakinya yang kokoh.
Suaranya gumebruk seperti terhantam batu. Sekali lagi Arya terlontar
mundur. Dan sekali lagi Sawung Sariti mendesaknya dengan
pukulan-pukulan. Sehingga akhirnya punggung Arya membentur dinding
karang yang tegak di belakangnya. Pada saat yang demikian Arya tidak
lagi dapat melangkah surut. Karena itu ketika Sawung Sariti
menghantamnya, Arya melawannya dengan sebuah tendangan mendatar.
Mengalami peristiwa itu Arya menjadi
semakin marah. Karena itu ia menjadi bertambah garang. Serangannya yang
datang kemudian menjadi bertambah berbahaya. Dengan melontarkan diri ia
maju menyerang dada. Tetapi Sawung Sariti telah siap. Sehingga dengan
cepat ia meloncat ke samping, dan membalas menyerang dengan sebuah
pukulan ke arah muka lawannya.
Melihat lawannya lepas, Arya menarik
serangannya, dan ketika ia melihat tangan Sawung Sariti melayang ke
wajahnya, secepat kilat tangan itu ditangkapnya. Dengan membalikkan diri
serta menekuk lututnya sedikit, Arya menarik tangan itu keras-keras
diatas pundaknya, dan dengan dorongan pundak itu Arya melemparkan tubuh
lawannya ke depan
Dengan kerasnya Sawung Sariti terlempar.
Meskipun ia memiliki ketangkasan bergerak, namun kemudian ia terbanting
juga di tanah. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang luar biasa, tulang
punggungnya tidak patah. Bahkan dengan suatu hentakan ia berhasil
melepaskan tangannya dan berguling menjauhi Arya. Kemudian dengan
tangkasnya ia melenting berdiri. Namun terasa pula betapa rasa sakit
telah mengganggu pinggangnya.
Demikianlah, perkelahian itu berlangsung
dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap tenaganya untuk
mengalahkan lawannya. Namun sampai sedemikian jauh mereka masih tetap
dalam keadaan seimbang. Sedang mereka yang menyaksikan perkelahian itu,
kadang-kadang harus menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar.
Arya Salaka dan Sawung Sariti berkelahi
dengan penuh nafsu. Dengan segala ilmu yang mereka miliki, mereka ingin
segera menyelesaikan pertempuran itu, namun agaknya pertempuran itu
masih akan berlangsung lama. Untuk itu, ternyata mereka mempunyai
beberapa perbedaan pengalaman. Sawung Sariti adalah seorang yang manja.
Yang hidup dalam lingkungan yang tidak banyak memerlukan tenaganya.
Sedang Arya salaka menjalani hampir seluruh hidupnya dengan bekerja
keras, berjalan dari matahari terbit sampai terbenam, membenamkan
dirinya dalam kancah lumpur sawah bersama para petani. Mengarungi lautan
sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Karena itulah Arya Salaka
mempunyai ketahanan jasmaniah yang lebih daripada Sawung Sariti. Dengan
demikian maka ketika bulan yang masih muda itu menenggelamkan dirinya,
tampaklah bahwa tenaga Sawung sariti yang bagaimanapun kuatnya setelah
demikian lama dengan nafsu penuh berjuang, menjadi surut. Meskipun
tenaga Arya Salaka surut pula, namun hal yang demikian nampak lebih
jelas pada lawannya.
Agaknya Sawung Sariti merasakan hal itu
pula. Karena itu ia menjadi gelisah. Ia tidak mau mengalami kekalahan
dari kakaknya, meskipun bagaimanapun juga. Bahkan ia menjadi heran kalau
kakaknya dapat mengimbangi kekuatannya setelah ia digala mati-matian
oleh kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Karena kegelisahannya itulah
akhirnya ia mengambil suatu keputusan yang menentukan.
Maka ketika Sawung Sariti telah merasa
semakin lelah, segera ia ingin mengakhiri pertempuran. Dipusatkannya
segenap pancainderanya dalam suatu perhatian, disalurkannya nafasnya
dengan teratur untuk menemukan kebulatan kekuatan dalam pancaran ilmu
yang pernah diterimanya, Lebur Sakethi. Direntangkannya tangannya ke
samping dengan kaki setengah langkah yang ditekuk pada lututnya.
Semua yang melihat sikap itu menjadi
terkejut. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah mengenal
kedahsyatan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana itu. Hampir saja mereka bergerak
untuk mencegahnya. Namun dengan berdebar-debar mereka terpaksa
membatalkan niatnya. Sebab mereka telah berjanji untuk menyerahkan
penyelesaian itu kepada Arya Salaka. Disamping itu mereka menjadi
bertambah kecewa terhadap Sawung Sariti yang telah mempergunakan ilmu
dahsyat itu sebagai alat penyelesaian dengan keluarga sendiri, untuk
mempertahankan keserakahan dan ketamakan.
Arya Salaka sendiri terkejut pula melihat
sikap Sawung Sariti. Untunglah bahwa gurunya pernah memperkenalkan
bentuk-bentuk ilmu yang dahsyat itu, sehingga segera ia mengenal bahwa
Sawung Sariti telah mempersiapkan ilmu Lebur Sakethi. Dengan demikian
Arya pun dengan cepatnya berpikir. Ia telah mendapat pesan wanti-wanti
dari gurunya untuk tidak mempergunakan ilmu Sasra Birawa dalam sembarang
keadaan. Tetapi keadaan ini gawat sekali. Kalau ia sampai tersentuh
Lebur sakethi tanpa matek aji Sasra Birawa, ia yakin bahwa dadanya akan
rontok. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah segera bersiaga lahir
batin. Diangkatnya satu tangannya tinggi-tinggi, tangan yang lain
menyilang di dada, sedang satu kakinya diangkat serta ditekuk ke depan.
Tepat pada saat ia selesai dengan pemusatan tenaganya, dilihatnya Sawung
Sariti telah meloncat maju dengan melingkarkan kedua tangannya yang
kemudian bersama-sama mengarah ke kepalanya. Arya tidak mau binasa dalam
keadaan yang mengerikan. Karena itu ia pun segera dengan mengerahkan
segenap kekuatan ilmunya, Sasra Birawa.
Maka segera terjadilah benturan dari dua
macam ilmu yang dahsyat itu. Sasra Birawa berbenturan dengan Lebur
Sakethi. Dua macam ilmu keturunan dari dua orang sahabat yang pernah
berjuang bersama-sama melawan kejahatan. Namun sampai pada keturunannya,
ilmu itu terpaksa berbenturan dalam perjuangan yang benar-benar
diantara hidup dan mati.
Beberapa tahun lampau kedua ilmu itu
pernah pula berbenturan diatas Gunung Tidar. Namun pada saat itu
benturan terjadi karena salah paham. Apalagi waktu itu mereka yang
berkepentingan merasa mempertaruhkan barang yang paling berharga, yaitu
keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mahesa Jenar pada saat iti
sama sekali belum pernah mengenal Gajah Sora, dan sebaliknya, kecuali
setelah mereka siap menghantamkan ilmu-ilmu itu.
Sekarang, hal serupa terjadi. tetapi
latar belakang persoalannya jauh berbeda. Sekarang, benturan itu terjadi
karena persoalan hak. Banyubiru bagi Arya Salaka adalah tanah pusaka,
tanah tercinta.
Demikianlah, akibat benturan itupun
dahsyat sekali. Arya Salaka dan Sawung Sariti sama-sama terlempar jauh
ke belakang, dan seterusnya mereka jatuh terguling-guling. Untunglah
bahwa kedua anak muda itu belum memiliki kedua macam ilmu itu dengan
sempurna. Sehingga karena itulah maka ketahanan tubuh mereka dalam
pemusatan ajian masing-masing masih dapat bertahan sehingga mereka tidak
hancur karenanya. Meskipun demikian untuk beberapa saat mereka terpaksa
membiarkan diri mereka terbaring tak bergerak. Seolah-olah tenaga
mereka terlepas dari sendi-sendinya.Dalam
hal yang demikian, kembali ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih
besar dari Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan tubuhnya
dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah ia berhasil duduk dan
bersandar pada kedua belah tangannya. Baru sesaat kemudian tampak Sawung
Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang
meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat
bangkit berdiri.
Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya, “Anakku
berdua… sudahilah pertempuran itu. Tidakkah ada jalan lain untuk
menyelesaikan masalah kalian dengan tidak usah menumpahkan darah?”
Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak
yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari – hari seolah – olah tak
seorangpun yang berani membantah kemauannya. Karena itu meskipun keadaan
tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,“Paman sudah
menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau Paman tidak rela
murid Paman binasa, suruhlah orang lain membantunya.”
Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut, “Apakah
yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya
tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah
kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian
terpaksa bertempur mati – matian? Kalau ada persoalan biarlah kita
bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”
“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil
mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak
hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula, “Sawung
Sariti… kejantanan seorang laki-laki tidak saja diukur dengan
keprigelannya bertempur, tetapi juga harus dinilai dengan keluhuran
budi. Dengan demikian barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi
itu dapat dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai
tujuan itu.”
“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti, “Sebab
aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar
membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah
ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”
“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar. “Demikian
hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku
yakin, AryaSalaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau
kalian dapat bekerja bersama dalam batas – batas yang ditentukan oleh
kemampuan kalian masing-masing?”
Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata
Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan
selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya
tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya. Tetapi
tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas
tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena
itu segera ia menjawab, “Paman, aku hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang tahu diri serta tahu menempatkan dirinya.”
“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.
Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya
sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang
seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung
Sariti. Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora,
berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir
melanjutkan perkataannya, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya,
bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia
masih mencoba berkata, “Tak ada masalah yang tak dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana.”
Nama itu memang untuk sementara dapat
mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah
menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah
tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar
namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi
karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia
memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya
memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang
berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang
gemintang di langit yang kelam.
Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar.
Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali
perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti.
Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyakb
erarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab
beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup
dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian
Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan
mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang
diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian
adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin
mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula,
setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah
benar-benar suatu pertempuran yang sengit. Ketika Arya Salaka melihat
gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun
mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek. Tombak yang
merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau,
bernama Kyai Bancak.
Demikianlah sekali lagi, Arya Salaka dan
Sawung Sariti menyabung nyawanya. Dua bayangan yang bergerak-gerak
dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan
cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak itu.
Kembali perkelahian itu berkobar dengan
serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang
dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi
keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya
dapat mengimbangi. Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk
berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti.
Tetapi ketika pertempuran itu telah
berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah
jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Demikianlah,
maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk
menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama
sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya
pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan
sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa
lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga
tangannya terasa pedih. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali
lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang
itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.
Mengalami peristiwa itu, dada Sawung
Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri
melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula,
bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa
yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di
dada anak muda yang sombong itu.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu,
menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang
akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.
Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka
mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah
melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat
membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan
terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan
sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Ayo, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu.”
Sebenarnya darah Arya Salakapun telah
cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan
tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan
binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan,
tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya.
Masa kanak-kanaknya. Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain
bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di
Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki
bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian
dimakan bersama.Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan
kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada
saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua,
permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua. Kalau
kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh
kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya
apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha
untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah
dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu
memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.
Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus
berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa.
Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat
dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan
dendam.
Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi
heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum
menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia
melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya.
Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada
saat itu.
Memang pada saat itu Arya Salaka sedang
berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun
ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu
semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil
berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.
Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya, “Kenapa tidak kau lakukan itu sekarang Kakang? Adakah kau takut melihat darah yang akan menyembur dari luka di dadaku?”
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar.
“Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.
Namun Arya masih diam saja. Memang dalam
perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga
watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana
menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak
muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang
berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi. Namun agaknya
Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan
yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan
Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara
sepupunya itu dengan tangannya sendiri.
Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata, “Adi
Sawung Sariti, jangan berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan
berani melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu, karena kau
adalah adikku, yang pernah mengalami keindahan masa kanak-kanak
bersama-sama. Nah, Adi Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah
baik-baik agar masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa
pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah rakyat kita.”
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Kalau kau tidak membunuh aku sekarang, Kakang… kau akan menyesal. Sebab akulah kelak yang akan membunuhmu.”
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam.
Namun tangannya yang memegang tombak itu masih saja gemetar. Katanya
kemudian hampir berdesis, “Aku harap kau akan mengubah pendirianmu. Akan
kau temukan kelak kebenaran kata-kataku. Tak ada persoalan diantara
kita, apabila kita berdiri di tempat kita masing-masing. Sehingga dengan
demikian kita dapat memberikan tenaga dan pikiran kita untuk
kepentingan tanah kelahiran serta kedamaian dan ketenteraman hidup
rakyat kita. Dimana kita dilahirkan, dan untuk siapa kita berbakti.”
Mendengar kata-kata Arya Salaka, Sawung
Sariti menarik keningnya. Sekali terlintas di dalam otaknya, kebenaran
kata-kata itu, seperti apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar.
Tetapi dalam keadaan yang demikian,
muncullah kembali kebengalannya. Sebagai seorang yang mempunyai harga
diri terlalu tinggi, ia tidak mau menyerah dan minta maaf. Malahan
terdengar jawabnya, “Kakang Arya Salaka. Pertimbangkan sekali lagi.
Apakah untungmu membebaskan aku. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku
tetap akan membunuhmu dalam keadaan yang bagaimanapun.”
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam.
Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi pening mendengar kata-kata
Sawung Sariti. Bahkan beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Kenapa
anak yang sedemikian sombongnya tidak dibunuh saja.
Namun Arya berpikir lain. Kelakuannya
banyak dipengaruhi oleh tingkah laku Mahesa Jenar. Apalagi yang berdiri
di hadapannya itu adalah adik sepupunya. Maka dengan tidak berkata-kata
lagi, ditariknya ujung tombaknya dan langsung disarungkannya. Kemudian
ia melangkah mundur.
Gigi Sawung Sariti masih terdengar
gemeretak. Marahnya sama sekali tidak mereda. Apalagi ia merasa mendapat
penghinaan dari kakak sepupunya. Karena itu darahnya justru menjadi
meluap-luap. Dendamnya menjadi semakin bersusun-susun didalam hatinya
yang kelam. Pada saat itu ia masih tetap berdiri dengan gagahnya.
Matanya memandang tetap kepada Arya Salaka. Hanya kadang-kadang saja
mata itu menyambar wajah-wajah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Bahkan
sempat pula ia menangkap pancaran mata yang bulat segar dari seorang
gadis tanggung yang bernama Endang Widuri.
Demikianlah Sawung Sariti telah membakar
perasaan mereka yang menyaksikan peristiwa itu. Beberapa orang
berpendirian bahwa orang yang demikian sombongnya itu lebih baik
dibinasakan saja sebelum menjadi lebih berbahaya lagi. Namun Arya Salaka
sendiri mengharap, mudah – mudahan adiknya itu dapat menemukan kembali
jalan kebenaran. Menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Dengan
demikian ia akan menemukan penyelesaian tanpa menanam dendam yang lebih
dalam dari cabang keturunan Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga kelak
tidak akan mengganggu kedamaian hidup berdampingan sebagai dua orang
bersaudara yang memerintah atas tanah masing-masing. Pamingit dan
Banyubiru. Arya Salaka sendiri telah berusaha keras untuk menyimpan
dendam atas hilangnya ayahnya Gajah Sora, serta berusaha untuk
melupakannya. Sebab apabila dendam dituntut dengan dendam, maka dendam
itu sendiri akan menjalar turun-temurun. Dan habislah manusia di dunia
ini terbenam dalam arus pembalasan demi pembalasan.
Beberapa orang menjadi keheran-heranan
ketika malahan Arya Salaka memutar tubuhnya dan kemudian melangkah pergi
menjauhi adiknya yang masih berdiri tegap tanpa bergerak. Tetapi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak menyesal. Bahkan mereka
merasa berbangga hati atas keluhuran budi yang memancar dari rongga dada
muridnya, meskipun kemudian mereka masih mendengar Sawung Sariti
berkata, “Kakang jangan mengharap hatiku menjadi cair oleh sikapmu
kali ini. Bagaimanapun juga kau tidak akan dapat kembali menjamah daerah
perdikan Banyubiru.”
Arya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau
mendengarkan lagi lagu yang menyakitkan hati itu, supaya ia tidak
mengubah keputusannya. Karena itu ketika ia mendengar Sawung Sariti
meneruskan kata-katanya, ia berteriak, “Pergilah, dan ambil
pedangmu. Bunuhlah aku kelak kalau kau sudah merasa mampu. Aku akan
merasa bahagia kelak, kalau aku binasa ndhepani tanah pusaka serta
rakyat tercinta. Demi mereka, aku bersedia untuk mati.”
Setelah itu ia tidak menoleh lagi.
Langkahnya menjadi semakin cepat. Bahkan ia tidak menghiraukan lagi
orang-orang yang berdiri berjajar mengelilinginya. Ia tidak peduli
apakah orang lain akan membenarkan pendiriannya atau tidak.
Demikianlah Arya Salaka dengan langkah
tetap langsung menuju ke Gedangan. Beberapa orang berjalan mengiringinya
dengan berbagai perasaan menggayut hati. Meskipun ada diantara mereka
yang menjadi kecewa, namun disela-sela perasaan itu, kagumlah mereka
atas kebesaran jiwa anak muda itu. Mereka yang tidak mengetahui latar
belakang dari peristiwa itu hanya menganggap, betapa tinggi jiwa
kejantanannya. Sebagai seorang laki-laki jantan ia tidak akan membunuh
orang yang sudah tidak berdaya lagi.
Sawung Sariti memandang iring-iringan
itu sampai lenyap dibalik tabir kegelapan malam. Beberapa kali ia
menarik nafas. Kemudian ia melangkah maju, dan kemudian membungkuk
memungut pedangnya. Dengan tajam diamat-amatinya pedang kebanggaannya
itu. Seolah-olah ia sedang bertanya pada benda itu, kenapa kali ini ia
tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bahkan dibeberapa
bagian dilihatnya pedangnya mengalami kerusakan. Karena itu ia menjadi
kagum atas ketajaman dan kekerasan baja bahan tombak yang bernama Kyai
Bancak.
Setelah ia menyarungkan pedangnya,
dilayangkan pandangannya berkeliling. Baru kemudian terasa betapa
sepinya. Perlahan-lahan ia melangkah dan berjalan menjauhi tempat dimana
ia hampir saja binasa.
Sesaat kemudian arena itu menjadi sunyi.
Sunyi sekali. Namun didalam kegelapan malam, masih ada seorang yang
berdiri diantara mayat-mayat yang masih bergelimpangan di sana-sini.
Orang itu adalah Mahesa Jenar. Ia tidak turut serta dengan orang-orang
lain kembali ke Gedangan. Tetapi ia berhenti beberapa tonggak dari desa
itu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian, Arya lebih senang duduk
sendiri. Merenung dan menimbang-nimbang apa yang sudah dan akan
dilakukan. Karena itu lebih baik ia tidak mengganggu. Kebo Kanigara
telah lebih dahulu kembali ke Gedangan mengantar anaknya yang kelaparan
bersama dengan Wanamerta dan orang-orang lain.
Namun pada saat itu Mahesa Jenar sama
sekali tidak merasa lapar. Beberapa kali ia membungkuk mengamat-amati
mayat-mayat yang terbujur lintang diarena. Ada diantaranya yang sudah
tua, tetapi ada diantara yang masih sangat muda. Sekali dua kali
terpaksa ia mengusap dadanya. Sekian banyak orang melepaskan nyawanya,
hanya karena ketamakan beberapa orang yang ingin memegang kekuasaan.
Berbahagialah mereka yang mati dalam tugas suci mereka. Tetapi sayanglah
jiwa yang melayang sebagai korban nafsu yang tak terkendali.
Demikianlah malam bertambah kelam. Di
langit masih tampak berterbangan kelelawar mencari mangsa. Sedang di
kejauhan terdengar gonggongan anjing liar mengerikan.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak di
dalam gelapnya malam diantara mayat-mayat yang bergelimpangan. Matanya
memandang jauh, ke arah bintang-bintang di langit. Namun hatinya
dipenuhi oleh pertanyaan-ternyataan tentang esok. Apakah kira-kira yang
akan terjadi? Adakah pasukan dari Pamingit dan rombongan orang-orang
golongan hitam itu akan kembali lagi menyerang? Ataukah mereka sudah
merasa bahwa mereka tak berhasil? Meskipun demikian adalah menjadi
kewajiban Mahesa Jenar untuk tetap waspada dan bersiaga sepenuhnya.
Sekali-sekali dilayangkan pandangan matanya ke arah pedukuhan Gedangan
yang lamat-lamat meremang, seperti bayangan yang kelam menggores di
wajah langit. Mahesa Jenar menarik nafas. Pedukuhan itu tampak betapa
damainya dalam kelelapan tidurnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi
keributan sama sekali. Tetapi disini. Bukti-bukti itu dihadapinya. Mayat
dan bau darah.
Menghadapi kenyataan itu, darah Mahesa
Jenar berdesir. Namun ia sadar sesadar-sadarnya bahwa kehadirannya di
dunia ini bukanlah sekadar untuk menjadi umpan nafsu dan ketamakan.
Tetapi sebagai manusia, ia wajib menegakkan kebenaran dengan usaha-usaha
menurut jalan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika Mahesa Jenar sedang tenggelam
dalam angan-angannya, tiba-tiba di kejauhan tampaklah sebuah bayangan
yang melintas dengan cepatnya. Mahesa Jenar menjadi terkejut karenanya.
Tetapi dalam tangkapannya yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu, merupakan penyelamat yang menentukan.
Tetapi dalam tangkapannya yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu, merupakan penyelamat yang menentukan.
No comments:
Write comments