Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 12 E

Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar, ”Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, ”Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah.”
Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan, ”Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?”
Mahesa Jenar tersentak. ”Melarikan diri…?” desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, ”Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan, ”Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.”
”Wilis…” desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, ”Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu.”
”Wilis…” potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, ”Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.”
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
”Tidak,” katanya tiba-tiba. ”Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.”
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. ”Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.”
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak, “Wilis, kenapa kau menangis lagi?”
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
”Wilis,” katanya kemudian sekenanya saja, ”Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.”
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, “Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?”
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, “Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.”
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya “Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”
Rara Wilis mengangguk.
“Tentu aku tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar, “Kau mau mengulang kata-kata itu…?”
“Tak ada gunanya,” jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, “Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.”
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata, ”Kakang dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.”
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan, ”Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik.”
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan, “Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.” Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan. “Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.” Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, “Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik.
Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian terdengar Rara Wilis meneruskan, “Kemudian Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat. Kenangan yang menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.”
Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya. Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.
“Sarayuda…” terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. “Kenapa kau lakukan itu…?”
Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, “Kau keberatan…?”
Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
“Mahesa Jenar…” bisik Sarayuda, “Akhirnya aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu, akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, “Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.”
Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, “Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji dan Kirana.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi permintaan Sarayuda itu.
”Nah, Mahesa Jenar…” Sarayuda meneruskan, ”Datanglah kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.”
”Terimakasih Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar kaku. Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.
Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau. Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan yang selama ini dicarinya.
Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.
Meskipun kemudian tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.
Di luar terdengar burung-burung berkicau dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.
”Bukan salahku,” teriak suara yang nyaring.
”Jangan nakal Widuri,” jawab suara yang lain.
Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.
Sampai di depan pintu, Widuri tertegun. Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih kemerah-merahan. Widuri jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis perlahan-lahan memanggilnya,  “Widuri… kemarilah.”
Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi, ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.
Dengan matanya yang bulat, bening dan penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.
Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala  tunduk, “Kakang,  aku akan  beristirahat   dulu.”
“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.
Lalu hilanglah Wilis di balik pintu. Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.
Matahari yang bulat di langit masih memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan. Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan. Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.
Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.
Demikianlah, matahari yang beredar di garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat. ”Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”
Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.
Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam kehitaman yang menyeluruh.
Di dalam pondok kecil, di bawah sinar lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.
Mereka berbicara dengan riuhnya, melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak. Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini. Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk mengabdikan diriku.”
Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah. Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”
Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”
Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”
“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal. “Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”
Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu, untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.
Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di dalam maupun di luar padepokan.
Dalam pada itu, Ki Ageng Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”

No comments:
Write comments