Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi
meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat
mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah
yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara
Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia
berkata dengan bibir yang gemetar, ”Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, ”Aku
akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat
mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku
jadi terpecah-pecah.”
Kening Rara Wilis jadi berkerut.
Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar.
Namun demikian ia ingin meyakinkan, ”Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?”
Mahesa Jenar tersentak. ”Melarikan diri…?” desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun
cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan
kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, ”Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan
kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam
bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah
melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau
masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang,
haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam
dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah
bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah
mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan
seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang
Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada
adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di
tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus
tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam
dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian
menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar,
bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru
karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara
Wilis meneruskan, ”Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah
yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang
menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini
telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau
berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada
seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.”
”Wilis…” desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, ”Nah
Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku
sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan
batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa
seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi
kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama
sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang
yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan.
Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh
dirimu.”
”Wilis…” potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, ”Jangan
takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau
melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.”
Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak
ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat
pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang
laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang
yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang
membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan,
melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya.
Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.
”Tidak,” katanya tiba-tiba. ”Aku
tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan
air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.”
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata
yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam
sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. ”Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.”
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu
dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis.
Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan
wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu
cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar
mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia
sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di
atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua
telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.
Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun
sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan
mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa
yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah
beberapa kata yang serak, “Wilis, kenapa kau menangis lagi?”
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak
mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan
karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
”Wilis,” katanya kemudian sekenanya saja, ”Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum
berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.”
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak.
Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama
sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, “Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?”
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, “Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.”
Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam
relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia
tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun
ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua,
membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara
Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya “Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”
Rara Wilis mengangguk.
“Tentu aku tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar, “Kau mau mengulang kata-kata itu…?”
“Tak ada gunanya,” jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, “Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.”
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar
yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin
melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan
perlahan-lahan ia berkata, ”Kakang dengarlah apa yang dikatakan
Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu,
dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis.
Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa
melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.”
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan,
”Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus
memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan
seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat
melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang
baik.”
Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis
itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan
kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam
impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan,
“Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.Sejak
kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya.
Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya
dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang
dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak
di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah
jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.” Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan.
“Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah
ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak
menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, …
Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.” Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, “Aku
menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku
dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk
menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik.
Mahesa jenar masih berdiri seperti
patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya.
Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga
seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian terdengar Rara Wilis meneruskan, “Kemudian
Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas
masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu
aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah
Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi
kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam
diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat. Kenangan yang
menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi
aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali
lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha
melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan
Kakang Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah
menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat
membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau
mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu
sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.”
Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam
tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya.
Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari
ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara
Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan
demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda
membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di
sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman
di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.
“Sarayuda…” terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. “Kenapa kau lakukan itu…?”
Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, “Kau keberatan…?”
Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
“Mahesa Jenar…” bisik Sarayuda, “Akhirnya
aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan
adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu,
akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan
diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di
sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi
petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.”
Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, “Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.”
Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, “Aku
mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan
lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain
kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta
yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan
cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji
dan Kirana.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya
menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah
berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi
permintaan Sarayuda itu.
”Nah, Mahesa Jenar…” Sarayuda meneruskan, ”Datanglah
kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas
sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.”
”Terimakasih Sarayuda,” jawab
Mahesa Jenar kaku. Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan
kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara
Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di
matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang
melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.
Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa
Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah
Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau.
Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang
memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini
seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan
yang selama ini dicarinya.
Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.
Meskipun kemudian tak sepatah kata pun
yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang
menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam
keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua
buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.
Di luar terdengar burung-burung berkicau
dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin
pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah
kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.
”Bukan salahku,” teriak suara yang nyaring.
”Jangan nakal Widuri,” jawab suara yang lain.
Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.
Sampai di depan pintu, Widuri tertegun.
Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing
seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih
kemerah-merahan. Widuri jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum
begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara
Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin
sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis
perlahan-lahan memanggilnya, “Widuri… kemarilah.”
Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan
penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi,
ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan
kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.
Dengan matanya yang bulat, bening dan
penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa
Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani
menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan
menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.
Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala tunduk, “Kakang, aku akan beristirahat dulu.”
“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.
Lalu hilanglah Wilis di balik pintu.
Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang
terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.
Matahari yang bulat di langit masih
memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan.
Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan
itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan
taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan
warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya
diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia
pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan.
Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang
kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.
Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.
Demikianlah, matahari yang beredar di
garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak
berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di
depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat. ”Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”
“Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”
Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah
seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan
yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.
Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat
berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati
cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran
memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam
kehitaman yang menyeluruh.
Di dalam pondok kecil, di bawah sinar
lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah
melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan
Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.
Mereka berbicara dengan riuhnya,
melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita
lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan
mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya
serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di
padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak.
Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini.
Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke
Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk
mengabdikan diriku.”
Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu
telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai
keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk
mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya
aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah.
Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”
Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”
Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau
kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit
menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”
“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal. “Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”
Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi
Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan
Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu,
untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.
Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal,
yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka
Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni
keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari,
sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di
dalam maupun di luar padepokan.
Dalam pada itu, Ki Ageng Pandan
Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang
sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda
menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan
Ismaya.
Sejalan dengan itu, dengan perkembangan
kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi
bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang
tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk
menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila
Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng
Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.
Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu
hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat.
Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama
Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah
benar-benar hampir pulih kembali.
Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar
tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa
menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya,
kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang
lain.
Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan
untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan
kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng
Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.
“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku
sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada
lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula
aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas
Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas
itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga
sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.
“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”
“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku
telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup
bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban
yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta
pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda
tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya
umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk
ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya,
“Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan
terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau
maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar,
Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku
ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab
akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan
Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”
No comments:
Write comments