Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, “Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”
“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.
“Melatihnya dan menurunkan segala
sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan
kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan
api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api
yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan
minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu
harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari
semula.”
Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena ia pun tak akan berbuat lain daripada itu.
“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula, “Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”
“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara, “Aku
selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak
pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu. Di samping itu
aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia
bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kau pun telah
memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka
tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih
kasar daripadamu.”
“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”
“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan, “Sebelumnya
baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan
seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah
menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar,
membawanya keluar.”
Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa
Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya
sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa
bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah
malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah
bahwa fajar telah pecah di timur.
Selama itu ia mengisi waktunya dengan
mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang
peranannya sebagai Mahesa Jenar.
“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau
waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya
ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau
kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan
diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah
mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan.
Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu hal yang
penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah
menerima dasar – dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.
Mahesa Jenar terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya, ”Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”
”Muridmu luar biasa,” jawab Kebo Kanigara. ”Memang
aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum
samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku
merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur
pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin
ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah, sekarang kau telah
menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra
Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan
lahiriah saja.”
”Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah
terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru
berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan
jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada
penyalahgunaan di kemudian hari.”
Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar.
”Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu
perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai
persiapan lahir batin. Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta
tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia
menjadi agak terlampau cepat masak.”
Mahesa Jenar mengangguk membenarkan.
Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan
jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan
menanggapi suatu kejadian, karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah
rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan
sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya.
Ketika itu terasalah bahwa pagi telah
datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian
mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat
Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam
ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang
mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat
Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga
senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah,
berwajah bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang
agaknya menemani Arya Salaka.
”Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.
”Mereka berdua mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut, ”Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama.”
”Berlatih bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut, ”Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”
Kebo Kanigara mengangguk.
”Aku tidak mengira. Ia terlalu halus
dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan
yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tersenyum aneh. ”Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara. ”Nah, tunggu sebentar…” ia melanjutkan, ”Mereka
pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan
Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang
Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka
siapakah aku sebenarnya.”
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia
memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin
mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu
pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia
telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai
oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo
Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal
mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat
yang mereka lakukan hampir setiap hari.
Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke
tengah ruangan itu pun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan
yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui,
gerakan-gerakan yang akan dilakukan.
Kemudian setelah mereka masing-masing
bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang
mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi
terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan
dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat
sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia
dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu
gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya.
Demikian latihan itu semakin lama menjadi
semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik
ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada itu, terjadilah gelora di
dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak
muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang
singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga
dadanya.
Muridnya itu kini benar-benar merupakan
banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu,
suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak besi yang tak
tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan
cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi
lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai
ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan
serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya
masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup
kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar.
Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya
semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya
menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia
meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya
dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata
yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar,
ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya.
Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar
dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada
setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat
berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan
Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang
dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang
dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang
semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang
Tunggal yang cepat lincah itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah
melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi
belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah
menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya
ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia
berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa
pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri.
Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa
kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih
bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan
pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri
Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela
Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik
kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng
Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti
tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang
sedemikian mencengangkan.
Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, ”Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”
Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan, ”Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?”
”Ya,” sambung Mahesa Jenar. ”Aku melihat perguruan Sela ada padanya.”
”Tepat,” jawab Kebo Kanigara. ”Ia adalah murid Ki Ageng Sela.”
Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi, ”Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”
”Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara. ”Kalau
yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun
sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan
oleh ayahnya.”
”Menangkap petir,” potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Bukankah
ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela
Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu
dipelajarinya terlalu lama.”
Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu.
”Tidak hanya itu…” Kebo Kanigara meneruskan, ”Tetapi
berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang
dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka.”
”Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca,” potong Mahesa Jenar.
”Mungkin,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka
dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan
serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun
tidaklah sangat berbahaya.
Ketika matahari telah tegak di langit,
agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena
itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah
mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang
mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya, ”Kakang
Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku
masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya
Salaka.”
Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak
menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa
Jenar mendesak, ”Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang
tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang
seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan.”
”Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.
”Aku sudah mengira,” sahut Mahesa Jenar, ”Tetapi siapakah dia?”
”Putut Karang Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.
”Akh…!” desis Mahesa Jenar. ”Kakang
Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang
pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada
saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis
Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik
seperguruan.”
”Mahesa Jenar…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh, ”Kau
pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga
kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan
memburuk?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara. ”Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia
datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa
aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat
menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain.
Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri.
Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan
diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di
ladang.”
“Seorang Wali?” tanya Mahesa Jenar. “Siapakah dia?”
“Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab Kebo Kanigara.
“Sunan Kali Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.
“Ya,” Kebo Kanigara menegaskan.
“Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke
Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, ‘Hai anak yang
mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik
menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta.’ Demikian
nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia
datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa
depannya.”
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.
“Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?’ tanya Mahesa Jenar pula.
“Ada,” jawab Kanigara. “Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga.”
“He…” Mahesa Jenar terkejut. “Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu.”
Kebo Kanigara mengangguk. “Karebet
yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh
Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak
seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan
untuk menjadi raja.
”Nah, Kakang…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Marilah kita temui mereka.”
Kebo Kanigara menggeleng. ”Tidak mungkin…” jawabnya. ”Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tertegun. ”Lalu bagaimana?” ia bertanya.
”Dan ingat, kau harus membersihkan
janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah
Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian.
Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan
anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa
tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak
muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara.
Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja.
Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan
segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran
cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya
berjalan ke arah yang berlawanan.
Ketika matahari telah condong, Putut
Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri. Anak itu oleh
gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan
ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya
adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga
beberapa pertanyaan mengenai gurunya.
Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu.”
”Sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
”Ya. Ikutlah aku,” jawab Kebo Kanigara. ”Muridmu itu tak akan hilang di situ.”
Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti
Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang
sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula
yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu.
Di dalam ruangan itu pulalah mereka
bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika
ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk
hormat. Katanya, ”Selamat sore paman berdua.”
”Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,” sahut Kanigara.
Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata, ”Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, ”Permainanmu
sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini,
benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang
Tunggal.”
”Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata, ”Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu.” Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan, ”Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak.”
Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya
itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku
akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini.”
“Bagus…” sahut Mahesa Jenar,
“Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan
suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi
kecewa.”
“Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab
Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu
pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi
juga kepada diri sendiri.
“Mahesa Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian, “Bawalah pisauku ini. Sebentar
lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang
muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya
tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
”Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup.” Kanigara menyambung. ”Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan.”
”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
”Aku menunggu kau di sebelah. Dari
ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku
nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar.” Berkata kanigara pula, ”Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku”
Setelah itu Kebo Kanigara segera
melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa
Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam
sebuah mulut lubang goa itu.
Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora.
Sesaat kemudian, udara menjadi semakin
sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya
matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu
lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit
menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.
Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia
mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih
mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi
itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia
mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat
dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia
bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang
menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin
menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu
sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian.
No comments:
Write comments