Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat
mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorang pun
boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia
bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah
sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia
ramai itu.
“Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi, “Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya, “Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan, “Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”
“Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum. “Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.”
“Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan, “Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
“Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara. “Tetapi
menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut
pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka
murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian
berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada guntur menggelegar di
telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia
telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam
latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika
ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan
gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri,
mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.
”Kakang berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, ”Aku
berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu,
ayah Pengging Sepuh pun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa,
dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh
perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat
bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang
telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan
karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang
tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.
Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai
oleh keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya,
melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa
Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan
kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan
kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma
baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan
dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di
dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki
itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan
dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api
cinta sejati di atas bumi.
Mahesa Jenar mengangguk satu kali.
Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan
tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri pula. ”Marilah…” katanya, ”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”
Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu
dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu
itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar
tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan, ”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu, ”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan, ”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”
”Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian, ”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
”Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara, ”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
”Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara. ”Dengan
samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam
perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima
Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia, ”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara. ”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan, ”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”
”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. ”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara tertawa pendek. ”Pernah,” jawabnya. ”Aku
selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak
mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya.
Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan
perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6
wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu
bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya
itu pun bertubuh besar dan kekar.
”Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. ”Aku
sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk
suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara
kakang yang aneh.”
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya, “Aku
tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku
dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi
gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan
Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya
yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku
mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai
seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah
Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi
selangkah kecil. Maka aku pun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…” sahut Mahesa Jenar. “Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara. “Kewajibanmu
dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap
muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti
rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar keterangan Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari
ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih
dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah
dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran
setingkat demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya cipta
muridnya itu sendiri.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Marilah
kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang
untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan. “Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara. “Aku
telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa
pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada
saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya
petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu
dari perguruan lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi.
Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang
telah dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami kesukaran lahir
dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya
kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya.
Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng
Sora Dipayana dari Banyubiru.
Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo
Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada
satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang
yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar
No comments:
Write comments