Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 12 A

Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.
Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.
Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang, ”Ulangi!”
Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.
“Jelek sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri.
Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.
Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia berkata, “Arya, lihat batu hitam itu.”
Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.
“Apa yang kau lihat itu? “ bentak Mahesa Jenar.”
“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.
“Itulah sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula. “Perhatianmu terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu tergantung di langit atau apapun.”
Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”
Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.
Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.
Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru? Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal sendiri didalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…?
Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.
Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.
“Arya…” tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata, “Meskipun tingkat ilmumu masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”
Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah hal yang demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu menangis.
Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk membinasakannya.
Tetapi, sekarang Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.
Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh, ”Arya, ikutilah.”
Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.
Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.
Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
Selamat sore Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.
”Selamat sore Karang Tunggal,” jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.
Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, ”Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya.”
Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan, ”Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman.”
”Siapakah dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.
”Paman Kebo Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.
”Itukah yang penting?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Bukan itu saja,” jawab Putut Karang Tunggal. ”Ada dua tiga soal yang lain.”
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.
Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.
Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.
Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.
Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.
Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.
”Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya kemudian. Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya, ”Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, ”Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?”
”Tidak Panembahan,” tidak, jawab Mahesa Jenar.
”Demikianlah yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula. ”Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik.”
Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula, ”Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?”
”Tidak begitu kasar,” jawab Panembahan Ismaya. ”Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini.”
”Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.
”Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab Panembahan itu pula. ”Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja.”
Mahesa Jenar akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.
Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.
Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.
Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, “Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain.”
“Baiklah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula. “Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara.”
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.
Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, “Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera.”
Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.
“Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kau lihat?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.
”Di mana muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.
”Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.
“Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya.” Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, “Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?”
Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.
“Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu.” Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.
”Kau harus menemuinya,” sambung Kanigara pula.
Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.
”Biarlah anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, ”Siapakah anak Kakang Kanigara itu?”
”Seorang anak perempuan,” jawab Kanigara, ”Namanya Widuri. ”
”Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
”Ya,” jawab Kanigara singkat.
”Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar. ”Adakah anak itu dilahirkan di Demak?”
”Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara. ”Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian.”
Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.
Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, ”Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya.”
Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.
”Bahkan beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula, ”Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak.”
Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, ”He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku.”
Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.
”Nah Mahesa Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba, ”Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri.”
Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.
”Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.”  
Mahesa Jenar  Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.
“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.
Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian, “Ya aku dengar. Jauh sekali.”
“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.
Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. “Dandanggula,” desisnya.
“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara. “Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata, “aku kenal orang itu.”
Kanigara mengangkat alisnya, katanya, “siapakah dia”
“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.
“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut. “Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ia sahabat ayahku.”
Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
“Apakah yang dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu orang tua itu.
“Ia pasti mengira bahwa aku masih di sini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya, “Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”
“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.
“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.
“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya  tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.
Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak.
Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas.
Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.
Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.
“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.
Kanigara tersenyum. “Datanglah. Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.
Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula,  “Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”
“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.
“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.
“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.
“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar. “Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”
Sekali lagi Kanigara tertawa. “Ayolah,” katanya.
Maka pergilah mereka berdua, menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu.
Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas. Sapanya, “Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.
Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan, “Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku.”
“Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. “Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.”
Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula diatas sebuah batu.  “Duduklah,” katanya. “Mungkin percakapan kita tidak segera selesai.”
Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya, ”Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”
Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. ”Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati.”
Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, ”Aku bernama Pandan Alas
Aku sudah emndengar nama tuan. Nama yang mengumandang di sekitar daerah ini. Bukankah tuan yang memiliki keris Kiai Sigar Penjalin?”
Sekali lagi Pandan Alas tertawa. Jawabnya, ”Kau benar. Keris yang sama sekali tak berarti itu
Ki Ageng memang suka merendahkan dirinya” sahut Mahesa Jenar.

No comments:
Write comments