Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya
yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda.
Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng
Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung
muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak.”
Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di
dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka
bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi
muram. Gumamnya, “Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan
oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya
Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang
dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali
tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya
saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling
berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.
Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak
lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang
Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat
pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta, “Ki
Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda,
ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya.”
Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan
Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera
Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda.
Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan
pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia
memijit-mijit dada.
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas
dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang
menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh
tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena
itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut
yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini.
Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja
bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda
keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam
hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.
Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai
dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi
semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat
pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.
Karena itulah maka Kanigara berkata, ”Ki
Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah
aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat
disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini.”
Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan
masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat
disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab, ”Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda.”
Kemudian oleh persetujuan itu, segera
Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi
tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata, ”Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini.”
Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Ayolah.
Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai
besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang
seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap
Panembahan.”
Karang Tunggal sama sekali tak berani
membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk
dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya
mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan
kepala tunduk di sampingnya.
”Beratkah tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.
Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab, ”Cukupanlah.”
”Dapatkah aku membantu?” sambung Arya.
Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. ”Tak usahlah.”
Setelah itu kembali mereka berdiam diri.
Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun
di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja
bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi
benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan
Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang
Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip
dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki
Ageng Pengging Sepuh.
Kedatangan rombongan itu, dengan seorang
yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat
mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera
bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah
yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu.
Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya.
Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh
pertanyaan di wajahnya yang lembut.
Segera rombongan itu dipersilahkan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu.
Panembahan Ismaya melihat keadaan yang
mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi
yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian
tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali
diminumkannya semangkuk kecil obat
Suasana untuk sesaat jadi hening dan
tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring
diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur.
Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu
mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya.
Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan.
Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan
syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut
Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan
penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.
“Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,” gumam Panembahan Ismaya. “Namun
menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir
dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus
benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan
serta kekuatan tubuhnya.”
“Betapa besar terima kasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh
kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya
lalu kemudian ia bertanya, “Siapakah Anakmas yang terluka ini…?”
”Muridku, Panembahan,” jawab Pandan Alas.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah.”
Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.
Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya
bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid
yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala
sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara
Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu
oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima
Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu.
Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya
suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek
Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa meninggalkan
peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan
akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal,
sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang
akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Panembahan Ismaya mendengarkan uraian
Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia
memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.
Katanya kemudian, “Ki Sanak yang
bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak
bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya.
Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera
karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri.”
Tak seorang pun yang berani mengangkat
wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah
persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan, “Dengan
demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara,
bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi.”
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali
bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang
orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia
menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar
Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat
seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan
sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas
putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya
sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena
ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang
orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara.
Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya, “Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”
Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Inilah orangnya.”
Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata, “Maafkan
Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal
sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan
ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah
menjumpai Anakmas lagi.”
Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya, “Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng.”
“Untunglah…” sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah mencegah muridku. “Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat.”
Kanigara mengerutkan keningnya. Juga
Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang
terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas, ”Aku
memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung
suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula.”
Sekali lagi Panembahan Ismaya dan
Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal
sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak
bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka
Tingkir.
”Ki Ageng…” jawab Kebo Kanigara kemudian, ”Kalau
aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal
bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang
aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian.
Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng
ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan.”
Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, ”Bukankah begitu Karang Tunggal?”
Karang Tunggal mengangguk kaku.
”Nah, Ki Ageng…” Kanigara melanjutkan, ”Ia
adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal.
Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya.”
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.
”Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara. ”Dan
selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi
pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama
Putut Karang Tunggal.”
Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya, ”Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya.”
”Aku hanya melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya. ”Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali.”
Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya.
Sementara itu tubuh Sarayuda yang
terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak.
Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu
segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh
yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan
lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja.
Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira pula.
Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata, ”Guru….”
Sarayuda melihat gurunya membungkukkan
kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan
melanjutkan kata-katanya, ”Apakah aku masih hidup…?”
”Tentu Sarayuda, tentu…” jawab Pandan Alas.
”Air…” desis Sarayuda.
Belum lagi Pandan Alas melanjutkan
permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang
kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan
langsung ditelannya.
Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.
”Terimakasih,” desisnya.
”Istirahatlah Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda yang masih redup memandang
Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya.
Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam
hatinya. Maka segera ia berkata, ”Mungkin Anakmas heran melihat
kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya
tubuh Anakmas menjadi baik.”
Sarayuda kembali mencoba tersenyum.
Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan
Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan
perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum
yang ikhlas. Lalu katanya, ”Guru, di manakah aku sekarang ini?”
”Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
”Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.
”Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas. ”Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik.”
”Terimakasih,” jawabnya. ”Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.”
”Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang
perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.
“Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.
“Baiklah,” jawab gurunya, “Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu.”
Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya.
Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata, “Sarayuda.
Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita
lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita.”
Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. ”Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum selesai,” sahutnya.
Mereka yang mendengar kata-kata itu,
jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang sedemikian
Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa Jenar dengan
demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan
tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak
sampai hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut.
Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan
buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati
lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada
melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi
dirinya dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian
halnya, maka tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.
Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata, “Sarayuda…
jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat
segera sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat
kau capai. Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan
menghalangimu lagi.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang Tunggal dan
Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan keningnya pula.
Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga sebelumnya.
Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-kata itu
dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin,
betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya,
sesuatu yang menyumbat pernafasannya.
Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah
perasaan Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia
mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya.
Namun demikian dari matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat
kemudian setelah hatinya agak teratur iapun berkata, ”Kakang Mahesa
Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan
kata-kata yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?.”
Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, ”Ada Sarayuda. Ia berada di bukit ini. ”
Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, ”Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?”
Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, ”Tentu Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?”
”Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk datang kepadanya,” jawabnya kemudian.
Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia
sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi
kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara menolongnya.
”Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya.”
”Terima kasih Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi
hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini. Masalah yang
selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah yang tak akan
habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia masih
ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya.
Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia,
sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta
isinya. Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil
menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara
anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan
landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas
antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.
Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, ”Ki
Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan Karang Tunggal, marilah kita
tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat.”
Pandan Alas yang tua itupun segera
menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka dan Putut
Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.
Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya
berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan hatinya
dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang bergelora didalam
dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah datang.
Sesaat kemudian, apa yang dinantikan
datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah
dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari sumbernya, ”Paman, inilah bibi.”
Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar
tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara Wilis
tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah mengenakan
pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh perasaan
yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan. Demikianlah untuk beberapa
saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian
agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang
memang telah dipersiapkan sejak lama. Katanya, ”Kakang Mahesa Jenar,
yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih
yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak
sempat mengucapkannya.”
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, ”Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong.”
Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang
sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat
terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa
membunuh ayah gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun
selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis
itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada
pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…? Dalam pada
itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri
akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian
sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu
jiwa lain di daerah kekuasaannya.
Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat, ”Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah.”
”Seseorang…?” katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, ”Ya, seseorang.”
”Kau…?” desaknya. Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.
Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, ”Masuklah Wilis.”
Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di
muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk
melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.
Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah
keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang
tenggelam dalam keraguan. ”Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya.”
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu,
namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing
baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar
melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan
Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak
seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan
Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.
Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk
mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu
melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah
berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran
anak pertamanya. Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya
dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa
patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di
tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng
dari berbagai jenis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat
memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat
semuanya itu, namun seolah-olahtidak sadar pada penglihatannya. Bahkan
kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam
tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan
membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya
kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan
memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa
daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan
berguguran di tanah.
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu
langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu
padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh
menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri
dan melangkah ke arah pintu keluar. Di depan pintu ia tertegun heran.
Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia
mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil
itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh
pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba
sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa
udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu,
tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika
ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan
dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya
dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi
bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda
berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih
bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang
kepadanya, dengan tersenyum ia berkata, ”Aku bertambah segar, Mahesa Jenar.”
”Syukurlah Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”Bagiku, semuanya telah selesai,” sambung Sarayuda.
Mahesa Jenar memandang wajah Sarayuda
dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah
menjadi kemerah-merahan.
”Aku mengharap demikian,” jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian Sarayuda berkata, ”Mahesa
Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas
sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum
pulih benar.”
”Aku ikut berdoa, Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa
Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali
ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan
mendekatinya. Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, ”Kenapa kau menangis Wilis…?”
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara
Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya.
Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun
demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah
yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis
tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka
saling berdiam diri.
”Kakang…” akhirnya terdengar Rara Wilis berkata, ”Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri.”
”Memang demikianlah agaknya,” jawab Mahesa Jenar. ”Banyak
hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan
perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi
dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya
yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama
sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga
kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya, ”Apakah maksudmu Kakang?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, ”Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?”
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya
tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang
sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, ”Kakang…
aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai
seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek. Lalu, kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata
ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul
kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda
yang perkasa. Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu
ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia
mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah
telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata
kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri
Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.
Sejak saat itu Sarayuda sekali
datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati
seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi
Demang.”
Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar
menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang
keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki
itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan
tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita
itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri
berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang
bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang
memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang
menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan
ceritanya, ”Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi
sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati. Sebab
masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku
meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari
kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti
pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda.
Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu
dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang
laki-laki terhadap seorang wanita.”
Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa
Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan
suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut, ”Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada.”
”Ya,” potong Rara Wilis. ”Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda.”
Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi
menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya
terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu.
Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang
telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya. Karena itu, tiba-tiba Mahesa
Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara
Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi
kemudian terdengarlah suaranya menggeram, “Wilis, katakan…
katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima
keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi
masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya,
yang disuyuti oleh beribu-ribu orang.” Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah, “Wilis…
aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku
siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu
itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu
ketenteraman hidupmu.”
No comments:
Write comments