Sementara itu pertempuran antara Karang
Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama
Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita,
Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid
tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai
seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta
pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi
semakin dahsyat.Putut Karang
Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh,
tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah,
tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama
menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.
Mahesa Jenar lah yang pada saat itu
menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang
dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan
masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki.
Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan
dari Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang
telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya
Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera
tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa
demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan
kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan
demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu
yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.
Sedangkan yang paling mengherankan
adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai
sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang
menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang
aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang
Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki
ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur
sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak
itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
Kanigara melihat keheranan yang terbayang
di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja,
tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang
nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir
menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi
meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan
menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak
pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja
masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang
yang benar-benar tertempa lahir dan batin.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi
untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga
akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan
beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.
Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di
sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu,
Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya,
Kanigara telah berbisik lirih, ”Apakah kau menjadi heran?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Jangan heran…” Kanigara melanjutkan, ”Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.”
”Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar. ”Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
”Demikian. Karena itu ia seolah-olah
menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai
serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat
menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki
oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan
seperti Gajah Mada.”
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan
kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis
ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun.
Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat
mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.
Tetapi dengan demikian ia semakin cemas.
Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa,
sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun
demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala.
Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua
orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak
berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar
bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia
kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan
marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.
Itulah sebabnya maka mereka yang
menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian
bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.
Tetapi yang beranggapan lain dari
semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia
menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah
disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah
ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi
mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila
gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia
untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal.
Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan
bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan
kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut
pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan
Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan
yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung
lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena
pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya.
Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan
segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun
menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil
mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan
lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas
habis-habisan.
Kemudian terjadilah hal yang sangat
mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan
kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya
merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai
pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu
geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras
dibarengi petir yang menyebar maut.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua
yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah
dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata
dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut
Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan
itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban
dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak
mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar. Seorang anak muda yang
memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui
muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang
akan terjadi dengan Sarayuda.
Meskipun Pandan Alas belum pernah
berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut
Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai
macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang
Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.
Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut
Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu
Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar
mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya.
Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan
serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang
Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan
demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu
masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang
pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah
jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu
ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah
maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda,
namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar
biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur
lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, “Sarayuda… cukuplah.”
Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut
mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada
orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa
apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut.
Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji.
Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo
Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun
nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan
marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat
kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur
yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.
Tetapi tidaklah demikian Sarayuda.
Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi.
Bercampur aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya.
Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian
meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh
perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia
sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian
yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah
tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya,
meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau
serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya.
Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang
mati-matian. Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal
melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan
ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.
Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang
demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan
mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena
itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum
sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia
menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah
bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur.
Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu
Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti.
Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga
beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum
mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.
Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda
itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti
mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku
di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan
Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya
berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar
suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang
Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka
keadaannya menjadi sangat berbahaya. Untunglah otaknya cerdas dan cepat.
Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun
dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun
demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya
sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan
mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan
cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat
disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat
serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan
mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah
Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena
itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak
kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga.
Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia
ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu,
sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang
yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi
terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian
itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat
bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi
Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut
Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah
ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau
diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki
dengan laki-laki.”
Suara Putut Karang Tunggal itu pun
mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar
menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan
suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur
dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar
mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.
Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis
di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok
bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing
dengan berteriak, ”Ini dadaku, mana dadamu…?”
Demikian pula ayam jantan dari Pengging
yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya.
Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian.
Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak
berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah.
Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan
cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat
cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.
Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap
pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat
sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa
serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi
akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu
menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain,
kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat
sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar,
Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.
Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api
kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak.
Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia
menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk
kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan
lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk
melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari
Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar pernah menyaksikan
kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra
Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun
kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena
itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan.
Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu
namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat
bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka
Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena
nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu
Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika
dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya,
Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah
Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan
bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi.
Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda
Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam
pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya,
juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan
agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan
bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah
kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi
kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.
Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula
kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun
segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap
dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan
binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap
menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang
Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan
dahsyatnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan
Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan
untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh
bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda
dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan
kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri
sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi,
dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda, karena akibat benturan itu
terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara
tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak
lagi.
Sementara itu bayangan yang membenturnya,
yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera
berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati
Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya
suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan
dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat
kena lemparan cahaya matahari pagi.
Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, ”Sarayuda…
kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…?
Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku.
Sekarang….”
Wajah orang tua itu menjadi semakin
suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa
Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah
berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan
cahaya matahari.
Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.
Mereka yang berada di
tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid
utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini
terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, “Maafkanlah muridku.”
Yang mendengar perkataan itu menjadi
semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat
masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.
No comments:
Write comments