Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 12 C

Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.
Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.
Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.
Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu, Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih, ”Apakah kau menjadi heran?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Jangan heran…” Kanigara melanjutkan, ”Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.”
”Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar. ”Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah Mada.”
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.
Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.
Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.
Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.
Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut.
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar.  Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda.
Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.
Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, “Sarayuda… cukuplah.”
Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.
Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampur aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang mati-matian. Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.
Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.
Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya. Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga. Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”
Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.
Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing dengan berteriak, ”Ini dadaku, mana dadamu…?
Demikian pula ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah. Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.
Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.
Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.
Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan dahsyatnya.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak lagi.
Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.
Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak diduga pula.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari pagi.
Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, ”Sarayuda… kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….”
Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya matahari.
Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.
Mereka yang berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, “Maafkanlah muridku.”
Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.

No comments:
Write comments