Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 12 B

Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, ” Mahesa Jenar, mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang kemari. Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku ditangkap oleh Sima Rodra. Aku mencoba untuk membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata aku dan Sarayuda bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepadamu
Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terbungkam. Apakah yang akan dikatakannya? Sedang orang yang melakukan semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo Kanigara.
Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga kesulitan Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya. Katanya kepada Mahesa Jenar, ”Memang luar biasa. Adakah tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?
Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku hanya melarikan diri saja”
Kanigara menjadi geli mendengar jawaban itu. Juga Pandan Alas tertawa.Sahutnya, ”Tak seorangpun yang mampu melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima Rodra, Bugel Kaliki, Janda Sima Rodra uda dan Jaka Soka beserta laskarnya. Tetapi kau mampu melakukan itu Mahesa Jenar”
Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, ”Aku memang hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri”
Sekali lagi mereka yang mendengarnya menjadi tertawa. Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.
Karena itu, duduknya menjadi gelisah.
Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas bertanya, ”Mahesa Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu, apakah yang akan kau lakukan?”
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Ki Ageng Pandan Alas akan bertanya demikian. Pertanyaan yang menyulitkan. Sebenarnya, apabila hatinya benar-benar terbuka ia bahkan mendapat suatu jalan untuk mengemukakan isi hatinya. Tetapi, meskipun Mahesa jenar sama sekali tidak gentar menghadapi senjata yang bagaimanapun tajamnya, namun berbicara tenatng seorang gadis, ia menjadi gemetar.
Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak, bahkan Pandan Alas pun tidak.
Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu memerlukan hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih mendengar gemerisik daun kering yang tersentuh kaki. Karena itu, segera perhatian mereka teralih. Meskipun mereka masing-masing tetap pada sikap semula seolah-olah tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang terjadi.
Mereka bertiga bertambah terkejut ketika melihat sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan Mahesa Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera dan berkain lurik. Meskipun di dalam gelap malam, namun tampaklah berkeredipan permata-permata intan berlian yang terpahat pada timang ikat pinggangnya. Orang itu adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.
Kau Sarayuda” sapa Pandan Alas
Ya Ki Ageng” jawabnya singkat
Aku kira kau telah kembali” Pandan Alas meneruskan.
Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum selesai” jawab Sarayuda  pula, ”aku mengira bahwa Pudak Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku emndengar suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu maksudnya. Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun benar-benar datang menemui guru
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun  ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itu pun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya di samping Pudak Wangi sendiri.
Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, ”Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, ”Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, ”Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.”
”Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas. ”Tetapi tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya.”
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
”Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
”Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang asing di sini.”
”Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, ”Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.”
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, ”Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati? ”
“Ya,  ya Tuan,” jawab Kanigara.
”Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
”Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian, ”Marilah kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.”
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, ”Mahesa Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?”
”Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, ”Itu terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorang pun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku.”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin melepaskan Pudak Wangi kali ini.
Dalam pada itu, angin malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin pegunungan.
Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.
Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, ”Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?
”Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.
”Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas, ”Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri.”
”Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba, ”Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.”
Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.
Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.
Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, ”Anakku berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.
Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, ”Anakku berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri.”
Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.
Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian meledaklah kata-katanya, ”Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.”
Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.
Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.
Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, ”Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?
Sarayuda…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.”
Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.
Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, ”Ki Ageng, ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing akan dapat melindungi dirinya.
Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang sedemikian. Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan dengan cara sedemikian.
Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.
Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.
Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?
Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, ”Bukankah usulku adil?”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia tidak akan memalukan?  Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat masing-masing.
Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.
Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, ”Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, ”Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.”
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri. Katanya, ”Jangan berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
”Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar. ”Aku memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.”
”Omong kosong!” potong Sarayuda lantang. ”Sejak kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta.”
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.
Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu rela bertaruh nyawa.
Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan, ”Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.”
Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.
Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, ”Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu.”
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, ”Kenapa kau datang kemari Arya…?”
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut, ”Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara.
Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali.
Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.
Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga,  kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan, katanya, ”Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?”
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, ”Putut Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawa-kan aku? Menertawakan kata-kataku…?” Kemudian kepada Kanigara ia berkata, ”Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”
Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, ”Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.”
Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, ”Lalu apa maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku? Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit kesopanan.”
Kanigara menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya. “Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.”
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata, ”Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa.”
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.
Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang Tunggal.
Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat. Katanya, ”Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan hati.”
Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran.
Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran.
Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin untuk dihindari.
Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.
Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga.
Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi.
Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.
Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
Meskipun demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik.
Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.
Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini.

No comments:
Write comments