Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, ” Mahesa
Jenar, mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang kemari.
Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku ditangkap oleh Sima Rodra. Aku
mencoba untuk membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi
kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata aku dan Sarayuda
bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk
mengucapkan terima kasih kepadamu”
Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah
terbungkam. Apakah yang akan dikatakannya? Sedang orang yang melakukan
semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo Kanigara.
Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga
kesulitan Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya.
Katanya kepada Mahesa Jenar, ”Memang luar biasa. Adakah tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?”
Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku hanya
melarikan diri saja”
Kanigara menjadi geli mendengar jawaban
itu. Juga Pandan Alas tertawa.Sahutnya, ”Tak seorangpun yang mampu
melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima Rodra, Bugel Kaliki, Janda
Sima Rodra uda dan Jaka Soka beserta laskarnya. Tetapi kau mampu
melakukan itu Mahesa Jenar”
Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, ”Aku memang hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri”
Sekali lagi mereka yang mendengarnya
menjadi tertawa. Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi
keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.
Karena itu, duduknya menjadi gelisah.
Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas
bertanya, ”Mahesa Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu,
apakah yang akan kau lakukan?”
Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal
yang sama sekali tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak,
bahkan Pandan Alas pun tidak.
Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu
memerlukan hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih mendengar
gemerisik daun kering yang tersentuh kaki. Karena itu, segera perhatian
mereka teralih. Meskipun mereka masing-masing tetap pada sikap semula
seolah-olah tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah
menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang terjadi.
Mereka bertiga bertambah terkejut ketika
melihat sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan Mahesa
Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera dan berkain lurik.
Meskipun di dalam gelap malam, namun tampaklah berkeredipan
permata-permata intan berlian yang terpahat pada timang ikat
pinggangnya. Orang itu adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.
”Kau Sarayuda” sapa Pandan Alas
”Ya Ki Ageng” jawabnya singkat
”Aku kira kau telah kembali” Pandan Alas meneruskan.
”Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum selesai” jawab Sarayuda pula, ”aku
mengira bahwa Pudak Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku
emndengar suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu maksudnya.
Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun benar-benar datang menemui
guru”
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam.
Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar
hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat
disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang
yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan
cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya.
Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang
perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun ia tidak pernah
benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itu
pun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya di samping Pudak
Wangi sendiri.
Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, ”Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, ”Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”
Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, ”Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam
waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali
ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera
pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.”
”Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas. ”Tetapi
tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi
tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak
begitu besar pengaruhnya.”
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
”Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
”Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang asing di sini.”
”Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, ”Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.”
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, ”Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati? ”
“Ya, ya Tuan,” jawab Kanigara.
”Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.
Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi
ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati.
Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik,
tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi
rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.
”Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian, ”Marilah
kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak
ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan
kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid
perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.”
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, ”Mahesa
Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan,
setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel
Kaliki?”
”Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, ”Itu
terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk
terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi,
tak seorang pun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki
terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda
dan Jaka Soka bertempur melawan aku.”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di
daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan
muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan
Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda,
meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu
terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik
seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar
menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah
tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia
tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang,
maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda
dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki
Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya.
Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri.
Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab
terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin
melepaskan Pudak Wangi kali ini.
Dalam pada itu, angin malam berhembus
lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya.
Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores
langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan.
Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering
yang diterbangkan angin pegunungan.
Keempat orang yang duduk saling
berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka
masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.
Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, ”Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?
”Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.
”Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki
Ageng Pandan Alas, ”Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan
murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng
sendiri.”
”Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba, ”Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.”
Pandan Alas menjadi bertambah bingung.
Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit,
seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang
gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.
Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan
persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak
dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan
Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat
pribadi.
Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, ”Anakku
berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati,
perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang
sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas
matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang
bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak
berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak
Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang
bernama Rara Wilis…?”
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan
Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa
yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka
masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan
itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki
Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit.
Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan
mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki
Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.
Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, ”Anakku
berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir
tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid.
Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis
sendiri.”
Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar
bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi
dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan
Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di
perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu
orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah
bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang,
dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan
keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah
sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun
juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada
di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali.
Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas
menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.
Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya
sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian
meledaklah kata-katanya, ”Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng
dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng
Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah
masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan
keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak
masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun
tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.”
Dada Kanigara berdesir. Apa yang
diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu
sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula
untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha
untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar
segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia
mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya
Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.
Justru karena itulah maka akhirnya ia
merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka
Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.
Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa
Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan
Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi
semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, ”Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?”
Sarayuda…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau
demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain.
Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita,
mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan
hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar
sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup
anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia
akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit
seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa
gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan
itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.”
Untuk beberapa saat kemudian mereka
kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh
pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.
Namun selanjutnya, cinta Sarayuda
ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus
cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun
kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian
tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, ”Ki
Ageng, ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya Adi
Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang
dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus
mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus
menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita
bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing
akan dapat melindungi dirinya.”
Beberapa titik keringat dingin telah
mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan
kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak
seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang sedemikian. Kalau saja
Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya
akan dapat dipecahkan dengan cara sedemikian.
Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara
lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus
selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.
Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah
muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang
dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan
ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.
Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar
dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi
menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?
Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, ”Bukankah usulku adil?”
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas
panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah
ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah
beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya
lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia
tidak akan memalukan? Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang
dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa.
Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia
tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai
tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang
lain sedang terikat di tempat masing-masing.
Setelah Pandan Alas mempertimbangkan
beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul
Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.
Mahesa Jenar sendiri pada saat itu
dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus
mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan
apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, ”Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, ”Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.”
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri. Katanya, ”Jangan
berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran
Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”
”Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar. ”Aku
memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang
dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu
tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi
katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan
hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian?
Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling
bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa
memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya
hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun
kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud
jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.”
”Omong kosong!” potong Sarayuda lantang. ”Sejak
kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang
mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela.
Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam
bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan
Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul.
Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan
pedang aku ingin menemukan cinta.”
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh
yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di
lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad
yang sudah tak dapat ditawar lagi.
Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh
mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan
Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas
peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi
berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan.
Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau
perlu rela bertaruh nyawa.
Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula
mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan,
tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar
bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi
kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan
oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia
sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan
gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung
di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya.
Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan.
Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus
perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah
terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang
bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara
itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya
lantang mengandung penjelasan, ”Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.”
Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa
Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari
balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal
dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati
Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.
Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, ”Apa
yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar
sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku
sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang
keterlaluan itu.”
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, ”Kenapa kau datang kemari Arya…?”
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum
melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah
mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara
Putut Karang Tunggal menyahut, ”Adi Arya Salaka tidak bersalah,
Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak
sengaja mengintip pertemuan ini.”
”Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda
yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang
terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara
yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung.
Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang
membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal ternyata benar-benar
mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya
yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara
sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata
ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu
segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata
Kanigara.
Kanigara yang kecewa atas kelancangan
Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah
kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan
tidak peduli ia duduk kembali.
Mahesa Jenar mengerti perasaan yang
bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah
gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga
menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.
Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula
mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang
menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama
lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya
seperti Mahesa Jenar juga, kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak
acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan,
katanya, ”Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang
berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu
kita lagi?”
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, ”Putut
Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawa-kan aku? Menertawakan kata-kataku…?” Kemudian kepada Kanigara ia berkata, ”Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”
Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, ”Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.”
Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya.
Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi
perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban
Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau
mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, ”Lalu apa
maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku?
Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu
mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk
mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau
aku mengajarnya sedikit kesopanan.”
Kanigara menganggap bahwa kata-kata
Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia
menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian
dijawabnya. “Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.”
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar
jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan
Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang
menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami
cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya,
sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya
berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan
Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi
dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang
Tunggal.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih
jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama
sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia
berkata, ”Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku
tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih
dewa-dewa.”
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi.
Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak
berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan
muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan
berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.
Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal
menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga
dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa
berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu
perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan
Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil
kepada Putut Karang Tunggal.
Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi
gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri.
Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat
terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat
kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat
terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang
itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum
ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah
mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat.
Katanya, ”Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas…
perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud
menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku
tidak berhasil menahan hati.”
Hati Sarayuda yang sedang marah,
mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi
panas, dan bibirnya bergetaran.
Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali
bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja
ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara
menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian
hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat
persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi,
ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian
agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan
pikiran.
Sarayuda yang sudah berada dalam puncak
kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal
dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda,
hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga
tak mungkin untuk dihindari.
Tetapi apa yang disaksikan sangat
mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang
Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian
Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang
cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat
mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas,
seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.
Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar
bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu
kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga
Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut
ternganga.
Sarayuda yang sedang terbakar hatinya,
tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi
semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal.
Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi.
Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap
untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran
saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas
serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.
Maka sesaat kemudian terjadilah
perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang
memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah
disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya
menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak
terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang
kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam
ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri
telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya
menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak
menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah
siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin
mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap
kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan
sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
Meskipun demikian apa yang dilakukan
Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit
kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam
satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan
dapat mengimbanginya dengan sangat baik.
Karena itu Sarayuda menjadi semakin
heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu
benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi.
Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu
dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu
pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi
mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda
kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.
Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran
itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah
masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama
sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya.
Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia
benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang
Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala
sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas
semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu.
Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat
dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus
mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak,
tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada
itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan
orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas
bukit kecil ini.
No comments:
Write comments