Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar
dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng
selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang
cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil.
Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
”Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut. “Kalian bermain-main di dalam goa ini?”
“Ya,” jawab Cantrik itu, “Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.”
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu, “Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.”
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke
dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa
Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa
itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas. Lubang itu
tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang.
Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi
sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti
kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan
lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para
cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya
sebuah bale-bale di dalam.
”Nah, Tuan..” kata cantrik itu kemudian, ”Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut
pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa
tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk
memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering
datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang
mereka dapat melihatnya.”
”Pergilah,” jawab Mahesa Jenar, ”Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.”
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya
Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan
suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
”Arya…” kata Mahesa Jenar, Kita
tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi
aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak.
Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum
kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, ”Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai
memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian,
lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang
bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas
tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak
dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke
bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan
bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
Pada hari yang pertama, mereka
menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di
dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang
jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula,
untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya
Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena
pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun
remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak
hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing,
ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak
mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka
kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan
mereka, telah berada di situ.
”Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
”Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
”Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu. ”Mereka
berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami
mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani
mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka
menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih
mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar
perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir
tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka
anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung
Tidar.”
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut
Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya
berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak
ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas
Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena
itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia
menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam
goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta
diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang
dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin
Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti.
Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia
terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu
daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari
ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi.
Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih
dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka
mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa
Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar
kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar
dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu
terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar,
bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya
Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian
suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun
tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali
mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ.
Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu
tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh
berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia
masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat
dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka,
sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal
beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat
dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
bercuriga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari
terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan
Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula. Karang-karang yang runcing
terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar
setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga
jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar,
maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha
untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata
bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu
yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena
keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia
mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran.
Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga
dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di
dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi
berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar
orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik. Akhirnya ketika ia
merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu
sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh
dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi,
ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar
tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak
itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah.
Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan
terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti.
Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu
muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia
tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah
lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu
saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula. Ketika
kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa
kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang
dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa
Arya Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa
Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar
suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar
dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia
pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu
dengan masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di
sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan
hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut
menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan
muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya
masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil
Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar
pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya
yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu,
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu
perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Mendengar
suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia
meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan
tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.
Oleh peristiwa itu hatinya menjadi
bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja
memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin
sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu
terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya
segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa
Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena
itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara
itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke
arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di
tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu.
Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan
tubuhnya di dinding. Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu
terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu
dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut
pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara
tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali
ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan
muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus
menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk
mencari muridnya.
Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam
goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya
melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat
terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah
untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang
sangat membingungkan.
Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar
ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya
mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya,
ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya
beralih kepada bayangan itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan
apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih
mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya
yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia
berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang
mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki
lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi
alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar
lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang.
Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada
saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya.
Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya,
bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang
warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun
heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini
bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak
bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia
masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak,
kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda
meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali
lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah
yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya
sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.
Karena itu segera ia melangkahkan kakinya
dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah
semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang
ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia
melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah
perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di
dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak
pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka
duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh
saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra, “Syaratmu telah aku penuhi.”
”Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Aku
lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan
lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi
jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.”
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. ”Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, ”Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.”
”Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
”Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka. ”Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku.”
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan. ”Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
”Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat. ”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.”
“Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon…” perintahnya, “Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.”
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya
tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar
sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena
senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah
hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan
sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara
ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap
gadis itu.
Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar
serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan
kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah
kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu
tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai
seorang gadis bernama Rara Wilis.
Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung
Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena
marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada
saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak
Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia,
terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar
tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal
yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun
tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu
hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, ”Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?”
Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan
kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah
memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, ”Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.”
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, “Ular
Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat
bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan
ini dengan utuh kepadamu.”
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa
pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan
memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra, “Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia
berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku
dengan wajah yang merah membara.
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, “Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.”
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam
satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak
sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di
dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.” Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, “Kau
benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian
kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku
kemari adalah atas permintaanmu.”
Sekali lagi keadaan jadi tenang karena
suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding
pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, “Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.”
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan
kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan
nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan. Pada saat itu,
Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.
Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas
Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan,
apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa
benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu
mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis
di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya
ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian
yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama
semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi
perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah
dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka
membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang
hampir tak sadar. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas.
Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa
saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima
Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah
bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip
seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap
mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat
membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan
Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu
menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan
melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang
demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba
Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya
untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka
pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah
ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan
wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun
ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia
memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi.
Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena
itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah
derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang
sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak
mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali.
Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor
kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang
masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari
perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur
kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan
kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda
merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan
untuk sementara kehilangan akal. Namun tidak demikianlah Harimau Betina
Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam
irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai
diri mereka kembali.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda
Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang
demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang
panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina
pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah
meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian
menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera
terdengar suara Pudak Wangi nyaring, ”Kakang Sarayuda….”
No comments:
Write comments