Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 11 A

Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil itu.
Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
”Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut. “Kalian bermain-main di dalam goa ini?
“Ya,” jawab Cantrik itu, “Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.”
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu, “Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas.  Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.
”Nah, Tuan..” kata cantrik itu kemudian, ”Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya.
”Pergilah,” jawab Mahesa Jenar, ”Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.”
Cantrik itu mengangguk hormat. ”Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik,” katanya.  Kemudian pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
”Arya…” kata Mahesa Jenar, Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak. Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, ”Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
Marilah, jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.
Pada hari yang pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.
Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
”Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.
Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu. ”Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar.
Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang dibalik semak-semak di muka mulut goa.
Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya.
Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.
Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.
Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.
Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.
Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.
Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari menjauh.
Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bercuriga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat pula.  Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang goa itu.
Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik.  Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.
Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu saja, tetapi dirinya sendiri pun menjadi kebingungan pula. Ketika kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya Salakapun pasti kehilangan jalan pula.
Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu dengan masgulnya. Di sekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar sama sekali tidak takut menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.
Sekali lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya yang gelisah.
Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu, Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat di sekitarnya. Mendengar suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.
Oleh peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan tubuhnya di dinding.  Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.
Tetapi agaknya orang itu pun terkejut pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari muridnya.
Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang sangat membingungkan.
Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya beralih kepada bayangan itu.  Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang. Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya. Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.
Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia masih berada di bukit Karang Tumaritis.
Ketika Mahesa Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali lagi perhatiannya teralih.  Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.
Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.
Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra, “Syaratmu telah aku penuhi.”
”Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.”
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. ”Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” katanya.
Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, ”Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.”
”Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka. ”Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku.
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan. ”Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
”Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat. ”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.”
“Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon…” perintahnya, “Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.”
Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap gadis itu.
Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai seorang gadis bernama Rara Wilis.
Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia, terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, ”Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?”
Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, ”Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.”
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, “Ular Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan ini dengan utuh kepadamu.”
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra, “Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku dengan wajah yang merah membara.
Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, “Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.” Kata janda Sima Rodra
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Katanya, “Kau benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas permintaanmu.”
Sekali lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, “Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.”
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.  Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar. Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan.
Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.
Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula.  Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.
Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.
Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala. Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal.  Namun tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai diri mereka kembali.
Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.
Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring, ”Kakang Sarayuda….”

No comments:
Write comments