Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.
Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, “Ada
beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena
orang-orang sakti yang mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau
telah berada diantara mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat
sesuatu. Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di dalam goa
ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuk-likunya, sehingga
mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun kalau murid yang
kau katakan itu hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong
kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah,
sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku
bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”
ORANG itu menjadi semakin marah mendengar
kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah. Tetapi
Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya, “Apalagi kau dapat
berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami.
Bahkan sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang
sakti yang mengejarku?”
Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak, “Cukup!”. Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri. Katanya melanjutkan dengan suara gemetar, “Kau
memancing kemarahanku. Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok.
Tetapi ternyata kau ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan
jangan mati berpangku tangan. Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa
tiruan yang hanya mampu memecah batu itu. Itu hanyalah suatu pameran
jasmaniah yang sama sekali tak berharga.”
Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya. Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata, “Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan
kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh gurunya
pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak,
tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang selalu
ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.
Sebelum ia menemukan suatu jawaban,
terdengar orang itu berkata pula, “Berdirilah, dan pergunakan Sasra
Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang tumpul. Dengan
pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi gligen,
dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk
yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau
tidak akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga
jasmanimu. Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang
tidak perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak.
Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan
membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya. Dengan
mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru
sebagai penjelasan atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan
gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua
buah pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda
apapun, dan yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya
dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang
diterbangkan angin.
Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu
ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga untuk
memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang setajam
perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata, “Berdirilah, aku sudah hampir
mulai.”
mulai.”
Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau
berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya obor
yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat
wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut
yang melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun
akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala
gerak, tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan adalah tepat
seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa
secara kebetulan orang itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa
kali.
Karena itulah maka ia sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya.
Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia
melawannya.
Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab, “Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”
“Kau takut menghadapi kematian?” tanya orang itu.
“Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau begitu kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.
“Kau benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.
“Aku tidak,” potong Mahesa Jenar.
“Kau takut?” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, “Aku tidak takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”
Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nah,
kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang
pengecut.”
“Siapa bilang?,” bantah Mahesa Jenar. “Aku
tidak mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti
bahwa di dunia ini tak ada seorang pun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.”
Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak, “aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”
“Ki sanak,” jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan suatu ketegasan. “Aku
mempunyai usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah
perkelahian? Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang
Panembahan sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya
berkata demikian pula kepadamu. Karena itu biarlah Panembahan itu yang
memilih satu diantara kita, siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa
Jenar.”
“Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “aku
makin yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama
sekali tidak bermaksud bertempur untuk mempertahan-kan suatu kebenaran
dan keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu ketamakanmu.
Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu.”
“Omong kosong,” potong orang itu.
“Aku menantangmu karena kau telah
menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan
adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna sehingga
ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan perasaannya
bergolak. Jawabnya, “kau menganggap dirimu Mahesa Jenar ?.“
“Aku tidak menganggap demikian,” bantah orang itu, “sebab aku memang demikian sebenarnya.“
“Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging Sepuh, ” sahut Mahesa Jenar. “Tetapi dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”
Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.
“Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu, ” sambung Mahesa Jenar. “Kau
dapat berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun di sini. Apakah kau
menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan di hadapanku, sesudah kau
berhasil membunuhku, akibatnya akan sama saja.”
“Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata. “bahwa otakmu memang tidak jelek.”
Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang.
Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat heran
dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya. Sehingga dengan
demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang itu pasti
mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau memperpanjang
keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.
Karena itu segera Mahesa Jenar
memperbaiki duduknya menghadap kearah orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya ia
membungkuk hormat sambil berkata, “Tuan, sudah beberapa kali aku
mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh
almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar
tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang tuan
berikan mengenai diri tuan.”
Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan
tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan
sebuah senyuman ia menjawab, “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku
bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku dapat menirukan
beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging
Sepuh?.”
“Maafkanlah,” jawab Mahesa Jenar, “bagaimana
aku dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan
tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng
Pengging Sepuh, aku tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan
memecahkan jawaban itu.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekat Mahesa Jenar.
“Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.
“Kau terlalu membiarkan perasaan
marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih
saksama. Tetapi sekarang agaknya kau telah berhasil mengendapkan diri,
karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah
dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
“Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”
———-oOo———-
IV
Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi
yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah
mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa
lampau. Suatu lingkungan kecil didalam padepokan di Pengging dimana ia
bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian,
sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat,
namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya
dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.
Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang
sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai
hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga
tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa
setahunya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya,
orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat
gurunya menurunkan ilmu kepadanya.
Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya, “Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”
Orang itu mengangguk. Kemudian katanya, “Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
“Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar, “Pertama
adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum
Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda
seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki
Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang
yang keempat itu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, “Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata, “Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu
yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam
perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia
beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Dalam suatu
saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang
tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu
bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya
meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara
itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena
kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan
bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia bertemu dengan orang itu
dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu
maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya, “Kakang Kebo Kanigara, kalau
sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku
tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang
dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, “Mahesa
Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda
pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau
tidak mengenalku.”
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo
Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih
dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya, “Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, “Dengan
demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu
dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau
alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu.
Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam
waktu yang singkat.”
“Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar, “Dari
mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami.
Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku
di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang
pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula, “Mahesa
Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari
penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin
Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk
tentang kau.”
“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Pertanyaanmu
aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut
namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai
padepokan Karang Tumaritis ini?”
No comments:
Write comments