Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah
maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu. Bagaimanapun juga, patung
itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan dapat
dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih
dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah
diluar nalar.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut
sekali lagi. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung
itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih kelam
dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat mengetahui, bahwa di belakang
patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang
dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum itu.
“Siapakah kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.
“Jangan bertanya demikian,” jawab suara itu.
“Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”
Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar
tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan tentang
dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah tenang. Maka
katanya kemudian, “Adakah yang menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”
“Ada,” jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”
“Kau keberatan?” sahut Mahesa Jenar.
“Tidak,” jawabnya, “Aku tidak pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”
Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.
“Dengan pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu, “Bahwa
kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak
berhasil berguru kepada seorang Pandeta yang bernama Kombayana. Orang
itu, yang bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama
Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu
ia berguru. Dan akhirnya benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid
Kombayana yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden Arjuna.”
Mahesa Jenar merenung sebentar. Memang ia
pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang mirip
sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali tidak pernah
berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh
Bambang Palgunadi. Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu
jawabnya, “Kau benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”
Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, “Kau benar-benar pemimpi. Yang
bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu dongeng saja. Dan kau
agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam itu.”
Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba.”
“Bagus,” sahut orang itu melengking dengan nada yang berbeda. “Aku akan melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.
Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju.
Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar
masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya, tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya dan ditekuk
ke depan.
Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia
sama sekali tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu
telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa,
bahkan orang itupun menamainya demikian.
Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa
kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang
lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat. Sekarang tiba-tiba
orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat
berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri. Karena itu, segera
iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap
setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi
tekanan yang dideritanya karena pukulan aji lawannya.
Sesaat kemudian ia melihat orang itu
meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada
saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir
batin yang disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang
terayun ke arah kepalanya itu.
Maka terjadilah suatu benturan yang maha
dahsyat. Dua macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai
Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat
dari benturan kedua kekuatan sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena
Mahesa Jenar telah menemukan inti kekuatan ilmunya.
Meskipun demikian bagaimanapun juga,
keadaan jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah
sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir makananpun, harus
berbenturan melawan seorang yang segar bugar. Namun pancaran kekuatan
yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki
kemampuan yang nggegirisi.
Demikianlah ketika benturan itu terjadi,
ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya,
sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak
kembali. Tetapi dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke
belakang sehingga tubuhnya membentur dinding goa.
Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar
terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan
yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai membentur dinding
goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai seperti orang yang
kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak
lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya seperti
yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening
berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah
suatu pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak
terlalu jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya. Tetapi
disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun
menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk
membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia
masih menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada
Arya Salaka. Dan karena itulah, terdorong oleh kemauannya yang keras dan
tekad yang mantap, terasalah bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul
kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada dinding goa,
namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti apa yang akan terjadi.
Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah
menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa orang itu
tidak lagi akan menyerang segera. Kalau saja orang itu menundanya sampai
esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali.
Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap
bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia
menyaksikan bayangan itu tegak tak bergerak.
Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu pun berkata, “Untunglah
bagimu, ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk
menunda umurmu sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran.
Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan
Sasra Birawa tanpa cidera.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya. Tetapi ia menjawab sindiran itu, “Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian, “Bagus, kau telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata. Dan aku ingin melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Sekali lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya, “Tetapi
aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini
melawan seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku
akan membawa makanan untukmu.”
Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.
Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan
orang itu terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mula-mula
ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang kemudian terbuka kembali
karena tangan Mahesa Jenar.
Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.
Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia berkata, “Kemarilah. Duduklah dan makanlah bersama aku.”
Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi
mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk baru
ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.
“Makanlah,” desak orang itu. “Atau kau takut aku meracunmu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Orang semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan kesaktianmu.”
Sejenak kemudian mereka berdiam diri
sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan
diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi dengan lauk
pauknya. Goreng ikan gurami.
Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh
perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat
kemudian ia mulai berpikir.
Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?
“Kau telah berbuat suatu kesalahan,” desisnya.
Orang itu terkejut. “Kesalahan…?” ia bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata, “Mahesa Jenar yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan gurami dengan demikian mudahnya.”
Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.
Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, “Kau
memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan
gurami? Aku tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.”
“Dari mana kau dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.
Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, “Sekarang
ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku
berada di dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama
Panembahan Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian
muridku itu hilang.”
“Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?” bantah Mahesa Jenar.
Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab, “Kalau kau mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?”
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, “Aku masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar.”
“Tetapi menurut katamu…” sahut orang itu, “Kau
telah berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku
memancingmu, memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”
“Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa Jenar. “Kau agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”
“Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu. “Kau agaknya seorang penghuni gelap?”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.
Suasana kemudian menjadi hening. Namun
dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu keadaan yang
sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa bahwa pasti ada suatu
maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah
sebenarnya yang bernama Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, “Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”
Orang itu pun terkejut. Jawabnya, “Sudah aku katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”
“Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.
“Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.
“Kau takut?” desak Mahesa Jenar pula.
“Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka.”
“Bohong!” bentak Mahesa Jenar.
Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.
“Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa Jenar.
No comments:
Write comments