Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”
“Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”
Mahesa Jenar bukan seorang penakut.
Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu
dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh
Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia
masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang
membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa
disengajanya ia berkata, “Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah
urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku
apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”
Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan
kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan
dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap
aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”
“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar
berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat
demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”
Sekali lagi terdengar suara tertawa.
Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya
kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, “Aku tidak mau
mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam
membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu
tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu
segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu
besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu,
berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam
ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu
penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang
hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di
dalam sebuah goa.
Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya
mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak.
Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu
pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang
meluap-luap.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit
Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat
kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.
Matahari yang telah mencapai titik
tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas
ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab
di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.
Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah
karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan
dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan
segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung
berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia
masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping
pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang
yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh,
yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari
ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh
itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging
yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba
sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu
dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan
mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu
ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari
perguruan Pengging.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu, maka
kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti
setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk
mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan
demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya.
Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka
perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal
seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan
demikian ilmu akan berkembang terus.
Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi
pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah
terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat
menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan
membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia
mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.
Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar
menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia
berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas.
Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.
Tetapi perasaannyalah yang tidak
berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat.
Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada
suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia
akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya
mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan
yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia
terlonjak berdiri. Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat
menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ
hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian
hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat
patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh,
mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Ketika ia telah semakin dekat, makin
jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika
ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian
tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian,
tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan.
Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya
berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya
sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang,
sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah
ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula
bergelar Pangeran Handayaningrat.
Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu
seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah
yang dapat dicapainya sepeninggalnya.
Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka
itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa
sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu.
Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.
Beberapa lama kemudian barulah ia
tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung.
Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan
wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa
patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan
pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam
suatu alam yang gaib. Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa
gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan
seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama
sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan
kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus
merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.
Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan
sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun
telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat
mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, hati
Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai
oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka
tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah
gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling
sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar.
Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar
bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur
dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah
melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah
maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk
menyempurnakan seluruh ilmunya.
Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa
pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada
orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang
apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya,
mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.
Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah
Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama,
kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur
gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar
biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam
pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri. Dalam
pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan
putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda
dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang
justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus
murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru. Ia pernah bertempur dengan
murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki
bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar,
Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang
Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan
berpasangan. Mau tidak mau, semua jenis ilmu gerak itu saling
mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa
Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah,
sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri
dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara
hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut
antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.
Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi
seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah
mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat.
Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya
itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya
dihadapan gurunya sendiri.
Matahari yang mula-mula memancar dengan
teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan pada
saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan
lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung
yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.
Pada saat itulah ruangan yang
dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna
yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk
kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam.
Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi
lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat
benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui
batas. Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan
meraba-raba dinding ia menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu
dibelakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar
segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali kemuka
patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar
merebahkan dirinya untuk beristirahat.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Maka ketika diluar goa itu binatang malam
mulai meraja di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa
Jenar tenggelam kealam mimpi. Ia tertidur karena kelelahan…
Di langit bintang menari-nari dengan
riangnya diiringi dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang
diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena hembusan angin,
menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah sampai
nada tinggi.
Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari
melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang diatas ruangan
itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya langit menerima senyuman
Matahari pagi.
Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan
datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya
terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu,
dengan perantaraannya mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua
ajaran almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar terpusat,
serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mulailah ia dengan pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.
Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa
Jenar. Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain
untuk kemudian mencari intisarinya.
Hari demi hari telah dilampauinya.
Bagaimanapun kuat tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian
keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir makananpun,
akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah. Tetapi tidak demikian dengan
jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya.
Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah membaja. Akhirnya,
ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar karena telah
berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak lagi
dapat berbuat banyak. Jasmaninya adalah wadag yang terbatas.
Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar
sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara tertawa
yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut bukan
main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu.
Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga
Mahesa Jenar tidak segera melihat sesuatu.
“Suatu latihan yang hebat,” tiba-tiba
terdengar suara dari arah patung batu. Mendengar suara itu Mahesa Jenar
seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh
gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah menjadi
gurunya? Sesaat kemudian kembali terdengar suara, “Beristirahatlah, hari masih panjang.” Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.
No comments:
Write comments