Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 11 D

Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.
Mahesa Jenar, setelah melihat akibat pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.
]Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula, sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang itu.
Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena itulah ia dapat mengenal arahnya.    Dengan hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.
Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.
Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya,  “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing. Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa.
Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak  bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Ki sanak…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”

No comments:
Write comments