Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa
Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat
tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam
setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia
mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu
tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah
sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya
menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar
yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat
berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan
pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya
itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar
beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.
Mahesa Jenar, setelah melihat akibat
pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang
dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat
orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan
lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya
masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh
hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan
aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena
itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi
berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan
dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.
]Tetapi kemudian kembali ia terkejut
ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu
karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan
kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya.
Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi
orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun
meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat.
Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang
tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan
Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang.
Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan
oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.
Karena orang yang dikejarnya itu agaknya
telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula,
sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang
itu.
Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika
ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu
tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah
lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri
termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia
berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau
lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia
merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara
terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah
mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa
lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan
demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa
saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia
perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang
didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan
karena itulah ia dapat mengenal arahnya. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena
ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan
melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar
telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia
yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.
Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba
Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan
tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa
lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi
ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan
bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa
Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara
apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah
lenyap.
Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi
marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu
kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang
dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain.
Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di
dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap
relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi
satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.
Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.
Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga.
Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang
besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu tidak menjawab. Ia maju
beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan
cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau
demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam
waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum
yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat
pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu berhenti beberapa langkah di
hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan.
Kemudian jawabnya, “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar
menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan
perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan
sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan
yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing.
Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali.
Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang
luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar
hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang
pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya
satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi,
sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan
ajinya Sasra Birawa.
Sesaat sebelum tangannya menghantam
lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat
lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan
kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah
tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang
dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan
menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra
Birawa yang dahsyat.
Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat
lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang
maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir
meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh
lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah
itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin
gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh
ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun
yang diingatnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.
Yang mula-mula terasa olehnya adalah
tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar
mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih
tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya
matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama
semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian,
ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya
basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk
membangunkannya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha
untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi
semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya
tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia
mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.
Darahnya serasa menguap ketika ia
mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia
mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali
tidak mampu berbuat apa-apa.
“Ki sanak…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan
mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau
kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera
akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula
bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku
lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa.
Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa
hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”
Mendengar ucapan-ucapan itu telinga
Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun
ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan
kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk
dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.
Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”
Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki.
Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah
sebuah desis kemarahan.
“Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu,
“Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena
itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang
yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”
No comments:
Write comments