Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda
Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar,
sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka
Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang
diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi
kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua
dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang
belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti
pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan
Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.
Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka
menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang
sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan
sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam,
merupakan tarian maut yang mengerikan. Sedangkan Janda Sima Rodra yang
bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit
sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan
kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar
dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha
isi mengisi kelemahan masing-masing.
Tetapi orang yang menamakan dirinya
Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah
berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang
menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun
perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu
dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang
dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka,
malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan
terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua
dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu
terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca
perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia
sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan
demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar,
menjadi agak bingung. Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya
adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia
melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun
bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu,
mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran
itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, ”Mahesa
Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang
selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi
pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak
Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.”
Bukan main terkejutnya orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya
dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, ”Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?”
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun
menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa
Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar
sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu
tersenyum-senyum sambil berkata, ”Kita mempunyai kepentingan yang
sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara
kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku.
Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang
tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun
telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah
bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan
Mahesa Jenar.”
Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi,
dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang
masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak
Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. ”Bertempurlah
kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas
melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.”
Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan
kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan
Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek
menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu,
ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak
seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora.
Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa
bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang
dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu,
tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi
meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat
dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu
terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang
berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya
dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan
mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu
menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan
bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam
waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang
seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan
Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri
seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi
tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa
apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan
hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah
menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya
itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai
kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu
daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya
bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh
kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya
mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut.
Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian
pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang
dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti
berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang
disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun
bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang
dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat
seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara
jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai
kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di
hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi.
Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu
hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap
matanya. Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu
kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari
tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa
Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu
segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya.
Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat
seperti yang terkandung di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih
merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin
lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih
dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah
perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu,
untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu. Sewaktu ayah
gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di
hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah
maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah
dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.
———-oOo———-
III
Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak
Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi
bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung
kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?”
Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar
menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan
sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta
keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka.
Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya,
menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak
menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, “Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar dengan jujur. “Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.”
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. ”Adalah
suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja.
Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di
padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?”
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, ”Ki
Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum
keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka,
Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil
melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan
Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.”
”Hem…” Orang itu menarik nafas. ”Kau
terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa
sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara
mereka.”
”He…” sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, ”Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, ”Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar
itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar
dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar
ia berkata, ”Kau bernama Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian…” sambung orang itu, ”Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.”
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, ”Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Jangan
pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau
telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng
Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya.
Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian
jauhnya.”
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya. Kemudian hampir berdesis ia berkata, ”Ki
Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal
sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian
terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku
memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa
yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi
dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku
sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang
aku sedang berusaha mencarinya.”
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar
bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak
cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, ”Kalau
demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa
yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat
mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.”
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, ”Anehlah
yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau
katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku
katakan.”
”Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.” geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
”Jangan mengigau,” bentak orang itu. ”Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.”
Mendengar orang itu membentak-bentak,
darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa
suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun
bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang
berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Namun
bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan
dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, ”Apakah
keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah,
sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga
Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau
sembunyikan?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, ”Tak
kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang
senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah
keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa
boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar,
murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama
perguruannya.”
Dada Mahesa Jenar menjadi semakin
bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat
menahan diri. Dengan meloncat ia berteriak, ”Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Agaknya orang itu telah bersiaga pula.
Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan
dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas
menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit.
Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu
keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar
adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan
gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki
kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar
berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut
menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti
seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu
merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi
kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan.
Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan.
Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus
kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali
ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab
mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak
permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di
sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu
adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak
sama seluruhnya. Lawan Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa
Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh
Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar,
akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa
pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang
dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat
menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian
terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur
beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir
setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya,
seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak
segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya,
sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.
Beberapa saat kemudian, di langit ujung
Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam
yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun
ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur
itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun
ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas
kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.
No comments:
Write comments