Sunday, January 4, 2015

Nogososro Sabuk Inten 11 C

Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar, sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang. Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.  Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam, merupakan tarian maut yang mengerikan.  Sedangkan Janda Sima Rodra yang bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha isi mengisi kelemahan masing-masing.
Tetapi orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu dipangkasnya.
Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka, malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar, menjadi agak bingung.  Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun bersiap pula.
Tetapi belum mereka berbuat sesuatu, mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, ”Mahesa Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.
Bukan main terkejutnya orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, ”Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?
Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu tersenyum-senyum sambil berkata, ”Kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku. Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan Mahesa Jenar.”
Sarayuda merasakan dengan tepat singgungan kata-kata itu. Ia memang merasa bahwa ilmunya berada di bawah tingkat kepandaian Mahesa jenar. Hal yang serupa telah dirasakannya pula pada saat ia bertempur dahulu. Justru karena itulah dadanya serasa terbelah.
Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi, dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. ”Bertempurlah kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.” Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan kehormatannya, bukan nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu, ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora. Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu, tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan hidungnya. Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya bayang-bayang itu.
Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut. Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi. Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap matanya.  Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya. Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat seperti yang terkandung di dalam hatinya.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu, untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu.  Sewaktu ayah gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.
———-oOo———-

III

Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, “Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?
Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka. Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya, menanyakan keperluannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, “Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar dengan jujur. “Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.”
Sekali lagi orang itu tertawa lunak. ”Adalah suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja. Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?
Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, ”Ki Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka, Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.
”Hem…” Orang itu menarik nafas. ”Kau terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara mereka.”
”He…” sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, ”Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sekali lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, ”Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, ”Kau bernama Mahesa Jenar…?
Mahesa Jenar mengangguk.
”Kalau demikian…” sambung orang itu,Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.
Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, ”Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.
Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, “Jangan pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian jauhnya.
Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya.  Kemudian hampir berdesis ia berkata, ”Ki Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya.
Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, ”Kalau demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.”
Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, ”Anehlah yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan.”
Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka.” geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
”Jangan mengigau,” bentak orang itu. ”Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.
Mendengar orang itu membentak-bentak, darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi.  Namun bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, ”Apakah keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah, sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau sembunyikan?
Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, ”Tak kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama perguruannya.”
Dada Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat menahan diri.  Dengan meloncat ia berteriak, ”Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.”
Agaknya orang itu telah bersiaga pula. Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit. Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.
Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.
Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.
Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan. Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di sebelah lain.
Namun bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak sama seluruhnya.  Lawan Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya, sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.
Beberapa saat kemudian, di langit ujung Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri.
Dalam pada itu kedua orang yang bertempur itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.

No comments:
Write comments