Suara Pudak Wangi yang melengking lembut
itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam
saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang
membuatnya berdebar-debar. Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat
melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya,
meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat
inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.
Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar, ”Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?”
Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab, ”Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali.”
Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman
itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu,
bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan.
Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari
serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan
tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik
berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia
melompat dan menghantam punggung Sarayuda. Tetapi Demang Gunung Kidul
itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan
Alas. Ketika Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke
punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan
yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian
melenting bangkit dan bersiaga.
Dalam sekejap kemudian terjadilah
pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah
perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan
ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan
teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari
membingungkan lawannya. Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara
Janda Sima Rodra kepada laskarnya, ”Sakayon, jagalah tawanan ini.
Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku
membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.”
Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah
Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak
Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun,
dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam
pertempuran melawan Sarayuda.
Sarayuda adalah seorang yang tangkas,
tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut
dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang
kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra
itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan
hitam.
Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda
segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar
memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta
pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti
memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu,
kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu
khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan
lawannya. Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih
bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman
melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang
lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan
tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang
menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari
Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan
kekuatan yang mengerikan.
Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona
memandangi pertempuran yang hebat itu. Ia kagum akan ketangkasan
Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan
gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk,
benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Ia baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba
sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak
diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang
hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula
seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh
berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya.
Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah
permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan
pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan
gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya. Sesaat kemudian
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng
Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme. Melihat pertempuran itu Mahesa
Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk
menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua
pula.
Meskipun apa yang terjadi diantara mereka
adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat,
bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua
tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui
kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
muda.
Dalam waktu yang singkat itu terjadilah
suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak
akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri
urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk
sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja.
Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan
hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan
lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih
keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di
dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu. Dengan merapatkan
giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah
dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung
Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun
langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa
dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat
penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi.
Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat
menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan dilakukan itu
mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada
berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan
mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas
meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima
Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu
akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu
segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
Tetapi, kembali dada Mahesa Jenar
digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketika ia
sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik
halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi
apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya. Dalam remang-remang
cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun
ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya
sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya. Dengan
pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan
tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya
meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih
menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang,
terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti
guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata, ”Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya.”
Mendengar suara yang mengguruh itu, isi
dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan
kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah
mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang
mengerikan di alun-alun Banyu BIru. Dan sekarang, suara orang yang
berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam
dadanya.
Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang
merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan
kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan
mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak
rontok. Pudak Wangi pun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan
matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun
berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya.
Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki,
tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun
menjadi terkejut pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka
jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka
memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang
dan kedua tangan bertolak pinggang.
Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu
melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng
Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia
mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas. Rambut yang kasar
tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis
dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu Mahesa Jenar telah
berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh,
bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu
karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak
keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri.
Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di
permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang
mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya
dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai
kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas
melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat
memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku
Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan
janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal.
Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah
gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya,
tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi
teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.
Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar
mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan
Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa
Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang
nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara. Namun
bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai
dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip
sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging
Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana
menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut
orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.
Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip
seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung
ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain
adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis.
Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring, ”Soka,
tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh
mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau
ikat.”
Jaka Soka pun kemudian teringat apa yang
pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa
Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis.
Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang
ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
Karena itu ia merasa bahwa ia tidak perlu
takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih
harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah
menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra. Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari
Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.
Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya,
apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda
Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu
menangkapnya untuk kepentingan anaknya.
Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu
menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin
membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada
itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan.
Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut
lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak
mengurungkan niatnya.
Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena
itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran
Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali
inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba
menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap. Beberapa tahun
yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong
Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh
dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi
meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah
ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak
pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alas pun sangat
membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka
hatinya. Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah
dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar
sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda,
namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang
mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk
kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan
diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda
justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah
ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun
tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri
menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang
memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.
Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak, ”Mahesa
Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu
permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan
persoalan kami sendiri.”
Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka. Katanya, ”Aku datang untuk membantumu,”
”Aku tidak perlu bantuanmu,” potong Sarayuda.
Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, ”Jangan
lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati
untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di
antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama.
Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi.”
Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, ”Pergilah, jangan ikut campur.”
Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu, ”Dengarlah,
aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapa pun yang menghalangi,
tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar.”
Setelah itu kembali ia bergerak maju.
Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan
untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena
itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi
ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan
dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan
mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas
mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi
agak keheran-heranan. Namun karena yakin, bahwa segala gerakannya
adalah khusus peninggalan Ki Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.
Tetapi yang paling heran diantara mereka
adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu
bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya,
sampai ke ujung bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu
dilakukannya atas dasar ilmu gurunya.
No comments:
Write comments