MALAM yang semakin larut itu benar-benar
merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar
salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking
merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun
kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain
berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada
suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah
berjalan maju beberapa puluh langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan
menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih
benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang
kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap
mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia
mengintip ke dalam.
Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan
itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain
pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka
tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga
orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa
orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul,
menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang.
Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya
semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia
masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru
kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan
pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir. “Rombongan Lawa Ijo,”
desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam
itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau
tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya
sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota
gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang
menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah
seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal
melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu
beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama
dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan
orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula
yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru.
Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.
Sekali lagi dada Mantingan berdesir.
Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi
setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam,
namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.
Orang-orang lain dalam rombongan itu
adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar
wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada
penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama
Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang, tiba-tiba orang
itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia
teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat
bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung.
Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain,
Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan,
seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain
yang gagah dan garang. Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih
untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka
itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan
sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa
Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh
Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu
itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius
perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini
pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang,
untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada
seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk
menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan
bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin
pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke
segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di
gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah.
Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan
bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang
ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu
terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul
kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang
masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”
“Bagus…” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira
Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan
orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu.
Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia
berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia
kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.
Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki
Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata
ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang
penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis
kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,”
dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu pendek
dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama
Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di
desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya.
Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin. Mempelai
laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa
orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada
penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang
penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut
laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama
seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi,
pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah
Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan
Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama
Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut
oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut
Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau
demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu.
Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka.
Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh
lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di
Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan
penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela
mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri
orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa
memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka
apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan
demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit.
Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar
memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah – olah
Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten.
Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu,
tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam
dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak
sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para
pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan
kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia
dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang
Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang
acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa
Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita.
Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah,
sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu.
Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis
perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita
masuki Carang Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,”
jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah
hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan
memasuki pondok Rara Wilis.
Gerombolan itu pun segera bergerak lewat
beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali
lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa
disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada
senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit
lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu
Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya
beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika
mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba
bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat
kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk
kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba
semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu,
baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi
ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.
Dalam pada itu, Widuri sudah tidak
berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua
lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu.
Wilis dan Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar.
Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.
Ketika mereka mendengar derap kaki
beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala
untuk mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka
kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata
mereka semakin erat.
Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu, Carang Lampit?”
“Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.”
Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya, “Bagus.
Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan
tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah
gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka
Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk
menundukkan hati Ular Laut yang gila itu.”
Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis
berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya,
sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa. Meskipun
ia sama sekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu, namun ia lebih
ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur
melawannya.
Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak
mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu,
karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah
Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka
hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia
dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu
pula.”
“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.
Bersamaan dengan itu bersiaplah semua
orang yang berada di dalam pondok itu untuk menghadapi segala
kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam,
mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka
yang ada di dalam.
Tetapi sebelum mereka membuka pintu,
tiba-tiba terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara
tertawa itu tidak begitu keras dan sama sekali tidak mengerikan.
Orang-orang yang berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang
berada di luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di
luar pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.
“Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
“Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.
“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu.
“Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?”
“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.”
“Bagus…” jawab Lawa Ijo. “Bahwa
kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan
pertanda bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu
berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau
sudah bosan hidup?”
“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku sama sekali masih belum bosan hidup.”
“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.
“Aku sama sekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.
“Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina aku.”
“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
“Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu, pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.”
Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian, “Sudah
aku katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok
pagi, Eh, apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih
dulu?”
“Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku senangi.”
“Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang
yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu
memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.
Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang kepalanya.”
Mendengar perintah itu, dada Wirasaba
berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri.
Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil
tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”
Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan.
Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar
suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh
sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah
melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya
ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”
Carang Lampit tidak menjawab, tetapi
terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat
maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di
tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang
di tangan kiri.
Tetapi sebelum ia mencapai Dalang
Mantingan, yang berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya,
Jaladri telah berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin
marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri
dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya.
Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian berputarlah canggah bermata
dua di tangannya, untuk kemudian dengan garangnya menyerang Carang
Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang
bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas pula.
Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.
Mantingan melihat pertarungan itu dengan
seksama. Mula-mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi
kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah pertempuran
itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri pun cukup
memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan Alas
Mentaok yang terkenal itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas
Gunung dan kawan-kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa
berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan
Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah orang itu?”.
“Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
“Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.
“Yang lain jangan menunggu seperti
orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan
Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana.
Kalau tidak, cari sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku
ceraikan dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
“Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.
Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah,
setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah
pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia melihat
Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab melawan
pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan.
Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan
Lawa Ijo.
Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada
kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia
seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan, tidak akan
banyak membuang tenaga.
Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah
dari mantingan masih saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau
mencoba melawan maka kau akan menyesal”
Mantingan masih tetap berdiri di
tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap
untuk memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar.
Tetapi Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan
untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa
orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya.
Karena Mantingan tidak segera menjawab
perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan
membentak keras ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar
kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan
demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada
saat akhirmu.”
Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya
masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar
dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu terbuka,
sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala orang
itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat
mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan. Dengan
cepat pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun
mengerikan sekali. Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera
meloncat berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang
lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka sama sekali
tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi Wirasaba yang pernah
mereka kenal beberapa tahun yang lampau di Pliridan. Tetapi mereka
adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi setiap
kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan
senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba. Namun yang sama sekali
diluar perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun
telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka
dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah
berseri-seri bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari.
Untuk beberapa saat mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi
heran pula bahwa mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran.
Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang, sebab
tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya berloncatan, bahkan
mirip dengan api yang memercik ke segenap penjuru. Demikianlah kemudian
mau tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan,
bahwa Rara Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya
dapat menangis dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan
dan ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka
bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor burung rajawali, ia
menyambar nyambar dengan dahsyatnya.
Dan tanpa disengaja pula Mantingan menjawab, “Mereka itulah yang telah kau sebut-sebut namanya.”
Lawa Ijo tidak berkata-kata lagi. Tetapi
ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu. Ternyata Rara Wilis,
Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat melawan
delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan
baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar
dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan
sinar maut yang bergulung-gulung menyerang lawannya. Disamping itu masih
ada lagi cahaya yang berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia
jarang-jarang sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan
ayahnya. Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di
lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya, maka sudah
tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini cukup berbahaya baginya.
Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat mematuk-matuk dengan
ganasnya, yang kadang-kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar
lawannya untuk kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang
Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali
Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu
kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah
permainan anak-anak. Di sebelah lain, Arya Salaka dengan tangkasnya
memainkan tombak pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling,
namun kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian
membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya.
Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya
dari arah yang berlawanan.
Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa
berkewajiban melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah
herannya dari Lawa Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis
adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan
kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi
lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu. Bahkan
akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu
memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Disamping
perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan
mereka adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau
kedua gadis dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka
sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia
sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki
Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia
merasa bahwa pekerjaannya telah bertambah ringan, maka ia pun dapat
bertempur dengan tenang.
Lawa Ijo masih saja berdiri seperti
patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia
menjadi marah sekali ketika ia melihat Wadas Gunung sama sekali tidak
berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus membantunya.
Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba
mencari lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan
Arya Salaka. Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa,
sehingga untuk melawannya bertiga, sama sekali tidak menyulitkan anak
muda itu. Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan
Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu. Ia merasa
bahwa gadis kecil itu sama sekali bukanlah pekerjaan yang sesuai dengan
dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja kelit kepalanya
terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa gadis itu
benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa
ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi
hampir seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan
namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba sendiri masih
harus melayani dua orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang
lampau bersama dengan Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan
anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang
kakinya telah benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk
melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.
Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak, “Hei
Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah
lawanmu itu baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi
gadis kecil yang banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”
Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan
suara kekanak-kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami
tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
Pertanyaan itu sungguh tidak terduga.
Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga
untuk mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”
Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi
matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil
mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami akan
merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami
terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian
tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh
kalian.”
Juga, kata-Kata Endang Widuri itu sama
sekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah
marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan
Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap hidup-hidup
kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati
supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak,
ia berteriak keras-keras, “He, Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan
ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu menurut kehendak kalian.
Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk
kepentingan kalian.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara
Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap
setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang
mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat
dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas
anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu
tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan
sakit hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi
bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.
Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi
sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang
murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi
karena perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa
Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya
itu. Meskipun demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas
Gunung adalah orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian
terdengarlah ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang
lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan sayang
apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh tangannya.
Apalagi kali ini ia bertempur bersama
dengan Tembini, seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa
kelincahan Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga
seolah-olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu
diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan sedikit
bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.
Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid
Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun
terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam
jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya kembali
dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir setiap saat Rara Wilis
yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main
dengan pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak
seperguruannya dari Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak
Wangi itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah
kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh
sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Demikianlah ketekunan
kakeknya itu, sama sekali tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun
berhasil menemukan ayahnya kembali, meskipun beberapa saat sebelum
tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian disusul dengan pertempuran
yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat
perhitungan dengan janda ayahnya itu.
Dengan demikian, meskipun kali ini ia
harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia
sama sekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah
tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk
menekan lawannya.
Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun
Wadas Gunung dan Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan
nasibnya. Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah
bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan pertempuran,
perkelahian dan pembunuhan, mereka sama sekali tidak putus asa.
Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan
Wadas Gunung. Ia tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi
sebagian ilmu kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah
mendekati lingkaran pertempuran.
Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah
terbius melihat Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang
bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di
belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu seperti
melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh gairah.
Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin
marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia
melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan
pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya. Karena itu
segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau lakukan?”
Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan membunuh mereka itu satu demi satu.”
“Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.
Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala
itu menjadi seperti disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu.
Karena itu ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!”
Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur
dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia
memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau belati
panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang lain.”
Tetapi Mantingan sudah bersiaga
sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak
gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya
bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas.
Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian
menyerang kembali dengan ganasnya.
———-oOo———-
II
Maka segera terjadi pula satu lingkaran
pertempuran yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati
panjang, menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak
henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan
baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-putar ke arah badai
bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu dapat membebaskan dirinya
sendiri serangan lawannya. Tetapi yang sewaktu-waktu dengan penuh
kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan Lawa Ijo,
mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan
dari beribu-ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah
daya kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga
sasarannya seolah-olah sama sekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.
Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah
Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan
bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan
berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun
berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya
sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan
kecepatan bergerak yang luar biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh
Ki Dalang Mantingan dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak
berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah
bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi
oleh Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang
sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran bersama-sama
di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan diri dengan
tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi.
Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan
cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai
tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah cara
yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan penuh
kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami
tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk
ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-cara yang kasar dan curang.
Dalam pada itu, semakin lama semakin
jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan
yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah bahwa ia
pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang
selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan
kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan
Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan
pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-gangguan
lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan
menempa dirinya di perguruan Wanakerta.
Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari
kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia
harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak
ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur. Tetapi
karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan
untuk membantu dirinya. Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga.
“Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya. “Tetapi aku harus bertahan
sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh
Wadas Gunung dan Carang Lampit.”
Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke
arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi
berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara
Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan demikian
ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama
yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat. Untuk melawan Lawa
Ijo sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan
mampu. Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat
mendesak musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan
kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk
mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu
bertempur sama sekali seenaknya saja, meskipun ia berhadapan dengan
Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk seperti babi hutan dengan
dua bola besi bertangkai di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak
mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan.
Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan
kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling
untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati
panjang Lawa Ijo.
Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar
pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan
mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa Mantingan
sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum
pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun
ia sadar bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri.
Demikianlah Mantingan bertahan
mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia
mengharap Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti
kedudukannya.
Di bagian lain, Widuri bertempur seperti
seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia
berlari-lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi
menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan
dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan
dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang
seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya.
Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri
keringat dingin. Mati-matian ia harus menyelamatkan dirinya dari hisapan
itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya
pening. Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil
menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga
raksasa melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka
sekali-kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya.
dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap serangan dengan
serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini. Untunglah bahwa ia
bersenjata rantai yang lemas, yang tidak menggoncangkan tangannya dalam
benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus
menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali
dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan memang
ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas
bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya
yang senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan adalah salah seorang dari
gerombolan Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa
seekor katak. Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong
leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam
benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini.
Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang kawannya
memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup
pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis kecil harus
ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai
seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu.
Tetapi ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang
timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian
adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap saat terancam akan
terlepas dari lehernya.
Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan
Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat
meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang
lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan
pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan
Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua
orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba
dalam suatu pertempuran. Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka
tidak akan dapat mengalahkan Wirasaba.
Demikianlah ketika malam bertambah malam,
pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah
dibasahi peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka
pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera
mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan mereka. Demikian
juga Lawa Ijo yang semakin keras menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam
keadaan yang semakin berbahaya.
Mantingan pun kemudian harus bekerja
lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini
benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya
terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang
akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah,
bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi
semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan
menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian
maka setidak-tidaknya ia akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya.
Sebab dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih
cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.
Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah
dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama
usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh kemarahannya
yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya
disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar
api yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih
belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin
bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian
Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan
Wirasaba melayani lawannya. Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha
untuk menyelamatkan mereka itu sampai mereka berhasil membunuh
lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika
Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan
membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir
kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa
Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat
mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada
puncak keganasannya. Waktu yang diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan
tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat
kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun
dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar
wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa
bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas.
Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa
Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber
pada ilmu hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian
dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang
sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan
untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah
membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa
lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya
lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan
dua pisau belati di tangan.
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya
itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh
yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus
dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia
menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini
berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar.
Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya.
Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa
Ijo. Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang
terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada
Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo
yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang
dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan
Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.
Melihat Tembini terbanting dan
berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian.
Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu
dari mulutnya terdengar umpatan, ”Persetan kau Tembini. Matilah kau
kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai
peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan.”
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak
mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat
berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan
pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi
lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil. Tetapi bagaimanapun
Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi
keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di
telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di
mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali
Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan
nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil
itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur
sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.
Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo
yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan
yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api.
Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang
terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati
bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian
membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba
dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan
seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya
yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, ”Paman
Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku
harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang
lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di
tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun
kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku
telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya
seperti ilmu guru lima tahun lalu.”
Melihat kedatangan anak muda dan
mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti
dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali,
sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di
tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka
itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya? Dalam pada itu Mantingan
pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah
orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka.
Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan
malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran
berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan
Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan
Widuri melawan Bagolan.
Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya, ”Di manakah lawan Angger tadi…?”
Arya Salaka masih saja tersenyum.
”Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau
mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh
aku pula.”
”Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
”Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. ”Anak buahmu itu terlalu keras kepala,
Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang.
Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara
Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau
demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan
seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak
percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak, ”Benar kau lakukan pembunuhan itu?”
”Aku tidak bermaksud demikian Lawa
Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada
membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang
dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main.”
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, ”Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”
Terpaksa, gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras.
Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil
membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan,
Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah dendam di
dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan
menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk
memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak
Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang
berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah
perdikan bekas perdikan Pangrantun.
Dan, sekarang anak itu telah datang
kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa
tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan
menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-benar dapat
membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah
kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau
akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama
dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di
tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira
rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar
perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam
Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia
menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala.
Gila! geramnya. Mendengar
ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi
sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani
menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang
sama. Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang
maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha
sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya
dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia
ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah
ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah
keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia
menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak
merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.
Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya
Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas
seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di
sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun
merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan
itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya
Salaka? Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri
melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya
Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau
Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan
yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung
mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan
itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi
dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindarinya.
Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun
mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa
sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan
sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka
tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara
panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari
bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat
membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.
Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula
merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan
kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas.
Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan
khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur
jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik
menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya
Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah
membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka
Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan
simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak
menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu
dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang
ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu. Sebenarnyalah, bahwa
seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran
dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah
setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang
menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud
jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya
sendiri.
Mantingan melihat pertempuran itu seperti
terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan
menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan
sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka
telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang
mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan
menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan
ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang
memancarkan panas, sepanas api.
Mantingan tersadar ketika beberapa kali
udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut
menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya.
Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan
sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum
berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau
terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab
sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu,
Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur
berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut
serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat
memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus
oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo.
Karena itu Mantingan hanya dapat melihat
saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap
tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat
Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung
rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat
bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya
seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur
semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan
yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi
heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu
Alas Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan
jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya
menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang
lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat
menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa
Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun
tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat
sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti
awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung
dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan
Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki
pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang
cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan
yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta
kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari
jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan
Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh. Dan
yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan
Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia
bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama
menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan
terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu
sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu
terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya.
Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi
suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan
yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi
semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap
kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan
anak itu.
Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing
yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah
membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam
umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa.
Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai
Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat
disejajari oleh lawannya yang muda itu.
Dengan demikian Lawa Ijo menjadi
bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan
perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat
lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Tak ada tanda-tanda sama
sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik
seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat
berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama
sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu
mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya
terayun-ayun menakutkan. Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan
rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa
langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri
membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan
sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu.
Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar
berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya.
Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam
perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah
basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya.
Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi
setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil
itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya.
Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati
tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan
mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi
ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa
malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar
berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah
maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa
Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu
bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu
benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun
yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan
ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya
dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui
kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka
sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula
sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya
telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana
dengan Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus
dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki
ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan
sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia
pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya
Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu
dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan
kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya,
disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan
tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar.
Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan
perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin
ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah
teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan
kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling
titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis
dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan
lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo
sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk
meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur
semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak
dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk
menyingkir.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona
melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila
mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam
hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka
bertempur sendiri.
Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata, “Hai
betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama?
Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini
menjadi korban kesombongan kalian.”
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan
pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami
bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan
sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk
sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas.
Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak
ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah
siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa
ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini
pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang namanya
telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia
pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya
menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran
itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia
tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya? Pertanyaan itu
akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi
bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil
kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah
kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula.
Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring
sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian
disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang
lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada
tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih
lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari Mentaok ini.”
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba
segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang
diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti
bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah
ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar
wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu. Tetapi
tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya
berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu
tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi
ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil
itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo
mengangkat kepalanya letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat
di samping mereka berdiri.
Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya
menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti
yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak
Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama
menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih
berbahaya.
———-oOo———-
III
Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi.
Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan
seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan
kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang
berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng
yang kasar dan jelek.
“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di
dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang
sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya.
Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian
terdengar ia bergumam, “Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada menjadi terguncang karenanya.
Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama
Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka
melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka
dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak akan dapat
berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati.
Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu
pengabdian yang tulus. Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab,
“Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain
mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang
disenangi oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu
bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan.
Namun demikian ia menjawab. “Kami sama sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak
berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang
memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab Mantingan pendek.
“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat”
pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam.
Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang
mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan
berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu,
namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan
bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu ujung pedangnya
nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah
cepat. Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?.”
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana,
sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi
juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam.
Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi
ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik,
yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai
maksudnya. Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa
tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah
mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu
tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak seperti orang yang
terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih
dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat bilalang terbang.”
“Diam” bentak Lawa Ijo marah.
Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri.
Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan
tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam
keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan
tertawanya.
“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang
yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba
tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu
suatu tontonan yang lucu.”
Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak
semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis
kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya.
Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh
disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak
olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak
seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi
berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil
yang menghinanya pula. Dengan menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”
“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram
sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya
kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu.
Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas
sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang
seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi
bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang
sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi. Sebagai
seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka
ia sama sekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian
juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang
tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka dengan suara yang
bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu diri. Apakah kau
telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga berani menghina
Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-tama akan menerima
hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak
kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya
berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan
itu terjadi. Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua
orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya
yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang
tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan. Disampingnya berdiri Arya
Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar
menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya
yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung
berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya. Melihat sikap
orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang yang
berilmu tinggi, ia sama sekali tidak takut menghadapi barisan
kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya bergumam di
belakang topengnya. Kemudian terdengar Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh gadis gila itu.” Ternyata
Pasingsingan siap untuk melakukan kata-katanya. Tetapi terjadilah
sesuatu diluar dugaan. Dalam ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah gadis kecil itu.”
Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata
muridnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di
belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut
dan heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah Pasingsingan
bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”
“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.
“Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.
Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan
wajahnya. Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya
yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram.
Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret pandang.
Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.
Pasingsingan menjadi semakin heran.
Selama hidupnya, sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak
pernah menaruh perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa
sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh keheningan.
Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan
terdengar gonggongan anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh
teriakan serigala lapar. Beberapa kali terdengar pula gema raung harimau
memecah malam. Angin pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara
dingin.
Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata
menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri
saja seperti patung. Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu
terdengarlah suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”
Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”
Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.
Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.
Dalam pada itu, keragu-raguan
Pasingsingan itu telah mengubah segala keadaan. Kalau semula semua
penghuni perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk membebaskan
diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah setitik cahaya terang
di dalam dada mereka.
Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir
angin malam, terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap,
mudah-mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan
kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi merupakan
umpan-umpan yang sama sekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah
dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi, mereka
mengharap untuk setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.
Pasingsingan pun mendengar derap kuda
itu. Namun ia tahu pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam
yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh
tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-daerah
ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga ini. Dengan
telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan
seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat membuat perhitungan
yang tepat, kira-kira sejauh berapa tonggak sumber suara telapak kuda
itu. Ketika ia kemudian yakin akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih
jauh. Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah,
bersiaplah untuk menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan,
akan sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”
“Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya menatap wajah Endang Widuri.
“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya Pasingsingan.
Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”
“Pergilah,” dengus Pasingsingan.
Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang
ditelan tabir hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang
berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.
Harapan yang semula timbul di dalam dada
mereka untuk dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun mereka
masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar
kini, namun semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula perlawanan
yang dapat mereka berikan.
Sementara itu suara kuda di kejauhan
masih saja melingkar-lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi
bertambah dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus
ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti
ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada kepercayaan diri. Kepada
senjata-senjata mereka yang tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada
itu, mereka percaya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Demikianlah mereka dengan dada yang
berdebar-debar melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan
Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan
cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk kemudian menyerang dengan
cepatnya ke arah Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun bukanlah
orang-orang yang tak berdaya sama sekali. Segera mereka berloncatan
untuk memencar diri dan menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.
Terhadap mereka itupun ternyata
Pasingsingan tidak dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi
dengan kerasnya. Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari
setiap senjata yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan
cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri untuk
mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-lawannya. Mantingan dan
kawan-kawan berdesir melihat cara Pasingsingan bergerak. Benar-benar
seperti singgat, namun kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali
seperti asap yang dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam
mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa
mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup lama sampai
Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya
telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan memperlambat
perjalanan rombongan berkuda itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan
memberikan perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir.
Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati dengan
tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin pusaran mereka
menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak pernah mengadakan
persiapan untuk melakukan pertempuran bersama, namun karena pengalaman
mereka masing-masing, segera mereka dapat menyesuaikan diri. Ternyata
gerak mereka dapat sedikit menolong memperpanjang waktu. Mula-mula
Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan terhadap
rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-ganti dari segenap
arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat pula menyesuaikan diri. Ia
pun kemudian ikut berputar pula mengikuti putaran lawan-lawannya dan
menyerang pada tempat yang tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa Rara
Wilis yang berdiri di belakang Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya
dapat membantu melawan iblis yang mengerikan itu, disamping
serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka dari arah yang
lain. Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil menyerang
Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya untuk menghindari
sambaran tangan Pasingsingan sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi
dengan demikian pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan
berhasil meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba
menyerangnya ketika Pasingsingan sedang terapung di udara. Tetapi kapak
raksasanya itu terayun menebas angin. Dengan menggeliat Pasingsingan
berhasil menghindari sambaran kapak itu. Namun sayang bahwa demikian
kakinya menjejak tanah, terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi
ia berhasil menghindar, terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia
berusaha memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga sambaran
senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia sudah siap untuk
menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar seperti
baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh jubahnya. Sekali
lagi Pasingsingan berdesis marah. Tetapi demikian ia siap untuk
menyerang dari bawah ke arah tubuh Endang Widuri, teringatlah ia akan
pesan muridnya, sehingga maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi
semakin marah. Terasa sesuatu menyumbat dadanya, sehingga terdengarlah
giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari saluran untuk memuntahkan
kemarahannya itu. Ia merasa tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci
itu berhasil mengenainya, meskipun hanya jubahnya. Dalam kemarahan yang
memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan bergerak
seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah cahaya
kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan iblis itu
tergenggam sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning keemasan.
Itulah pusaka Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu
di tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, “Aku masih berbaik
hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan senjata ini.
Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar jangkrik dengan ilmu
Alas Kobar.”
Mau tidak mau hati mereka tergetar
melihat cahaya gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu.
Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-bintang di
langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi meskipun demikian,
sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir,
sampai tetes darah terakhir pula.
Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang
waktu lagi. Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar
di lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam
pertempuran melawan Lawa Ijo. Pasingsingan mengharap Lawa Ijo dan
kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu yang sempit ini
harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah akhirnya terdengar dari
mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan bersamaan dengan itu
melontarlah tubuhnya seperti bayangan hantu di malam yang kelam
menyerang dengan dahsyatnya.
Tak seorang pun yang mengharap dapat
keluar dari pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang
dan bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa iblis itu
hancur bersama dengan mereka.
Tetapi ketika senjata-senjata mereka
sekali saja bersentuhan dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka
bergetaran keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.
Tetapi ketika saat yang memuncak itu
hampir sampai pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang
berlari. Disusul dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa, “Selamat malam Pasingsingan muda, yang pernah bergelar Umbaran.”
Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu.
Apalagi ketika ia mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena
itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat mundur
beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia memutar tubuhnya ke
arah suara sapa yang telah mengganggunya itu.
Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam,
seseorang tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah
yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut menyebut nama orang itu dengan
penuh harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka.
Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng jeleknya, “Mahesa Jenar.”
“Ya,” jawab orang itu. “Hampir aku terlambat datang.”
Pasingsingan memandang Mahesa Jenar
dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu
jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo
setidak-tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya
membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu.
Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah
anak-anak yang dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya
yang sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah mendapat suatu firasat yang
kurang baik. Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti anak
panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak
bermain di tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam
angan-angan mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.
Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di
hadapan daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai
perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh kulitnya,
berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Alangkah sejuknya malam.”
Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya, karena itu ia menjawab, “Sejuk, bahkan terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar sampai menggigit tulang.”
Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa
Jenar. Dari wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat
mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu
itu tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar
berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan
anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak hanyalah kehitaman melulu.
Namun seolah-olah ia ingin menembus hitamnya malam, dan langsung ingin
mengetahui apa yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.
Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ya, alangkah sejuknya malam.”
Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali
kudanya dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh perut
kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun berbuat serupa,
diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang telah menggigil
kedinginan.
Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, “Alangkah
anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala. Kalau
malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua
di muka itu tidak merasakan betapa tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka
mempercepat lari kuda mereka.”
“Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran. “Dengan
demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian menyalakan api
sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya.
Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan
main.”
Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-sela suara tertawanya. “Kakang
Bantaran. Untunglah bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh
orang-orang Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan
kenyang.”
Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka
sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah
terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi sesuatu.
Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk tidak menggelisahkan pengikutnya. “Apakah yang telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?”
“Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas kudanya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sirep,” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Kanigara singkat.
Kemudian untuk sesaat mereka terdiam.
Tetapi kuda mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin
terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah
menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi
Penjawi menguap sambil menggerutu, “Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”
Mendengar pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi cemas. Maka katanya kepada Mahesa Jenar, “Kita
beritahu mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan kesadaran
mereka. Sedang Paman Wanamerta, aku kira mempunyai kemampuan yang cukup
dalam tubuhnya yang telah tua dan penuh pengalaman itu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Kebo Kanigara melambaikan
tangannya dan sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu
yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah menyusulnya.
“Adakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus,” sahut Kebo Kanigara, “Itu
pertanda bahwa perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang
memperhatikan perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar
atau tidak.”
Mereka menggeleng bersama-sama.
“Nah, kalau demikian kalian berada
dalam keadaan yang khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah
kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu
ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”
“Sirep,” potong mereka hampir bersamaan.
Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, “Ya,
kalian merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian
harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian sedang
mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap
kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu kalian harus
tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran
dan Penjawi bersamaan. Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan
mereka untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka
tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan pengaruh
sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang baik di dalam
usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-masing.
Wanamerta yang tua itupun tampak
merenung. Agaknya iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya.
Kemudian terdengarlah ia bergumam, “Hem…. Untunglah Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan sembarang kantuk.”
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, “Nah, kalau demikian akan selamatlah kalian. Sebab
kalau kalian tidur sambil berkuda di jalan-jalan yang terjal dan
berkelok-kelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau
tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan ini dan melubangi
tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.”
Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa
perlahan. Namun mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar.
Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan mereka
terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam.
Kembali mereka berdiam diri. Udara malam
terasa menjadi semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar
lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti
ratusan kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat
mereka dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka
menjadi semakin tidak tenteram.
Ketika mereka sampai pada tanjakan
terakhir, tiba-tiba di dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak
pinggang di tengah jalan. Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka
pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera mereka
memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara
berbisik, “Mereka benar-benar menghadang perjalanan kita.”
“Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.
“Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara merasakan, apa yang
tersirat di dalam dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang
sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya
Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di
tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya. Yang
bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-saat yang berbahaya,
perasaan itu akan menjadi bertambah nyata. Karena itu tidak ada alasan
baginya untuk menahan maksud Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri
digelisahkan pula oleh satu-satunya putri yang ditinggalkan di
perkemahan itu pula. Namun apabila salah seorang dari mereka berdua
dapat mencapai tempat itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat
dikuasai, siapapun yang sedang berada di sana.
“Kalau begitu…” akhirnya Kebo Kanigara mengambil keputusan, “Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang itu. Kau
cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu. Kita masih belum
tahu siapakah yang menghadang perjalanan kita. Apakah kita memerlukan
waktu sedikit atau banyak.”
“Baik Kakang,” jawab Mahesa
Jenar. Kemudian dengan tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi,
Mahesa Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik
gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan
tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke perkemahan di
Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar
mengambil jalan lurus, meskipun sekali-kali harus mendaki tebing dan
meloncati lubang-lubang yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak
mempunyai angan-angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di
daerah perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat derap
kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia sama sekali tidak
mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara pasti akan dapat mengatasi
keadaan.
Dalam pada itu, Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya
dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika
kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”
Sebelum mereka menjawab, jarak mereka
dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian
dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun
mereka masih tetap berada di atasnya.
———-oOo———-
IV
Sesaat kemudian salah seorang yang
berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju
sambil berkata dengan suara yang menakutkan, “Siapa kalian?”
“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.
“Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo. “Kalian mau ke mana?”
“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.
“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.
“Dari manakah kalian?” Sampai
pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri
menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai
pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. “Aku
datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau
tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan
kepadaku siapa kau ini?”
Lawa Ijo tertawa, jawabnya, “Jarang-jarang
aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal
aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”
“Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin
bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara
orang-orang rombongan berkuda itu. “Berapa orang kalian semuanya?”
“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.
“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.
Kanigara sudah tidak mau melayani
pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat
lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu
Kanigara berkata lantang, “Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”
Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan
yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya
tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia
mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak
lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah.
Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan
berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya.
Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui
tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega
hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia
mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu
ternyata tidak berpenumpang.
Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya, “Karangjati,
kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu
untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata
sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru
aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan
perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa
kembali ke Banyubiru.”
Kanigara semakin tidak senang melihat
sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia
tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh
orang-orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa
benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia
menjawab, “Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa
sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja
menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat
datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin,
bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru.
Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku
sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”
Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata
Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena
itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan
ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi
gelisah dan kecemasan. Katanya, “Kau benar. Ternyata otakmu terang
seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga
mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama
Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang
giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.”
Dengah demikian maka Kanigara menjawab, “Jangan
membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di
tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi
dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang
melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang
bergelar Pasingsingan barangkali…?”
Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat.
Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun
demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari
bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata, “Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang yang ditemuinya.”
Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa
diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut
kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju.
Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun
ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia
memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat
sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara
memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang
dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap
dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh
derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di
padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras
seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat
meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia
melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan
kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah
seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa
Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa
orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan
penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi yang paling
mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang
gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya. Lawa Ijo
benar-benar ngeri melihatnya. “Gila,” gumamnya, “Siapakah orang ini?”
Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan
sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua
benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara.
Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan
mata hampir tak mampu mengikutinya.
Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki
keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran
Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa
Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang
lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari.
Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk
menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya
melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian
pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.
Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar
seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja
kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat
pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula
mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya
menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian
setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya
sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali
lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di
tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak
buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam
yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.
Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu
lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak
kawan-kawannya menuju ke perkemahan. “Ayolah kita tinggalkan tempat
celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan
Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”
Setelah itu, maka kembali mereka berpacu.
Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka
terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh
dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi
lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali
seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah
itu.
Sementara itu, di perkemahan, Mahesa
Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan
Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas
tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa
tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung
ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar
seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas
kehadirannya. Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar,
pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan
juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu. Tetapi
bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk
dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang
mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa
Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah
Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan
kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya
yang berat, “Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
“Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya, “Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”
Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar
tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri
berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya
tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Pasingsingan
itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang-orang di perkemahan
itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arya Salaka,
Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan
Jaladri, hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya
tidak terlambat. Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti
Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.
Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi, “Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama itu?”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, “Tuan,
aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di
alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan
bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan
Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat
lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya
itu?”
“Hem…” Sekali lagi Pasingsingan
menggeram. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari
mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan
muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya
lebih lanjut, “Adakah ceritanya itu menarik?”
“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”
Dengan gelisah Pasingsingan mendesak, “Jawab ptanyaanku. Siapakah yang kau maksudkan dengan Pasingsingan muda itu”
“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar. “Pasingsingan
sahabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan
bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.
“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, “Bukankah
Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda
yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah
aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu,
aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang
yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya.
Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan
orang itu juga bernama Pasingsingan.”
“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
“Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan. “Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.”
Pasingsingan masih berusaha menahan
dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan
Pasingsingan yang satu itu.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah Tuan tidak percaya?- “
“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.
“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.
“Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.
“Tiga…?” ulang Pasingsingan
hampir berteriak. Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di
kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan
dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang
masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera
mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang
dicegat Lawa Ijo di perjalanan. Karena itu dengan marahnya ia menggeram,
“Nah, sekarang aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan
bertempurlah bersama-sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat
bintang waluku mencapai ujung cemara itu.”
Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus, “Dua
orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya
telah lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar
bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang
memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang
memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama
Umbaran.”
Pasingsingan yang sudah siap untuk
meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh
itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi
berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki, “Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu.
“Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.
“Tentu,” Pasingsingan menegaskan, “Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, “Ternyata
Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak
pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan
justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia,
yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan.
Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga
bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian
berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”
Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus, “Sayang
bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya
adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”
Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, “Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”
Ketika Pasingsingan sudah melangkah
setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba,
Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak
pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian
terdengar ia berkata, “Apakah untung kami untuk bertempur
bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita
menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas
mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau
kau menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau
sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari
sikap jantan.”
Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, “Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”
Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang
bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya
seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur
melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak
sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga
menganggap kesombongan Mahesa Jenar. “Mula-mula aku ingin membunuh
kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada saat
terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita
pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku.
Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau
kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”
Semua yang mendengar ancaman itu,
tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh
Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa
Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka,
sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu,
tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.
Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin
membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya.
Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati
Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh
kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang.
Pasingsingan heran juga melihat sikap dan
ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih
dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah
berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari
tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan
diarahkan ke wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak
acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka
yang melihatnya.
Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa
Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa
tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat
berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu.
Bahkan kemudian ia mengharap agar
Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia
mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu,
ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.
Karena itu, ketika Pasingsingan
memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh
pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang
menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun
karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja
menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya
pukulan yang demikian saja dilontarkan.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu,
hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang,
seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran
melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap
acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan
Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.
Yang paling heran dari semuanya adalah
Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan
matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan
menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi.
Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa
direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.
Namun, Pasingsingan tidak segera
mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak
pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa
yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar.
Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan
setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring
bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih
erat lagi pada dahannya.
Semua orang yang mendengar suara tertawa
itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan
udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh tenaga dan
pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap
Ngampar itu. Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang
mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan terasa
darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari
sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh
tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya
ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian
dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya,
seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok. Wirasaba
pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada
tangkai kapaknya. Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin
kehilangan tenaga.
Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu.
Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun
Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang
dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.
Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari
serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan
yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak
demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis
baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah
berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.
Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil
menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah
tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan
kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan
yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam
pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan
itu langsung diterima dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang
tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu
pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh
manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha,
namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama
sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu.
Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut
sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun
dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing
sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung
mempengaruhi urat syaraf mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi
bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas.
Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan
Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap
Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya,
pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran
Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang
tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang
membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan
tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih
mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling
membunuh.
Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu
bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu.
Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan.
Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap
pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya. Dengan demikian
maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya
langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka.
Pasingsingan terkejut melihat serangan
itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat
mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah
memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya
menyerang dadanya.
Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar
itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia
menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri. Karena itu
dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan
menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa
Jenar.
Tetapi ketika kemudian terjadi benturan
antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah
mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam
gerombolan kelinci yang tidak tahu diri.
Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah
menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur
melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang
tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa
mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang
hampir-hampir saja terdorong jatuh.
Tetapi kemudian dengan sigapnya
Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali.
Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya
gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak. Sekali lagi matanya
yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar
dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia
mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang
luar biasa besarnya..? Hanya dalam waktu kira-kira lima tahun saja,
sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah
sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar berlima, melawan
Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah merupakan lima ekor
tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kucing yang garang. Sekarang
tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang
sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.
Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang
telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya.
Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan
benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa
Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat
melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat
mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan
kelincahan hantu bertopeng itu.
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram, “Mahesa
Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening
itu. Dan karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan
seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang
Pasingsingan yang berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin
mengadu tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau
jangan merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur beberapa
langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak seorangpun dapat mencegahnya.”
———-oOo———-
V
Mahesa Jenar kini melihat, bahwa
Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya.
Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar
mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih
sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan
Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun
terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka
yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya,
Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan
kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak
menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung
mereka masih berdegupan. Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba
telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka.
Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang
paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih
gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.
Sementara itu Pasingsinganpun telah
bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar.
Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur
untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah
bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersungguh-sungguh,
namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus
bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian
berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber
yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya,
apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan
diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian.
Demikianlah maka sesaat kemudian
berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah
menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang
mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh
muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke
intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar,
namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil
menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak
kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu.
Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan
yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya,
bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat
dikalahkan.
Pasingsingan semakin lama menjadi semakin
terbakar hatinya. Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa
Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar
tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula
mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang murid
Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat
petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan
Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang
murid dari Pengging itu telah mampu melawannya.
Pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan
lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya
dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar
Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya
bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia
pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite,
Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di
hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai
tanda-tanda kekhususannya…?
Pasingsingan itupun kemudian menjadi
cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan
kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja
mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah
bertemu dengan mereka berdua?
Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi
semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera
tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya
mati.
Dengan demikian, Pasingsingan bertempur
semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti
sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa
yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang
mengerikan. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin
banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah
tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh. Ketika
Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur
benar-benar seperti banteng ketaton.
Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian
itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu
demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu
semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah
Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan
demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang
khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat,
meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar.
Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin
mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam
saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan
gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh
Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan
itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna,
Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan
memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara.
Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah
diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula
di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya.
Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan
serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi
beberapa puluh tahun yang lalu.
Tetapi apapun yang dilakukan,
Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan
membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam
tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan.
Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah
menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan
orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna
kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi
sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki
oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki
kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas
Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak
semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan
kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah
menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari
lawannya.
Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di
dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya
perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan,
hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus
dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan
Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu
apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi
apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten
sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah
bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui
kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula
bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka
puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas
di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya.
Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang
pernah dialaminya di Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa
Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip
dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia
mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu
sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka.
Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau
demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan
berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat
mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari
pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite
dan Anggara.
“Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan
itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama
semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara
yang bergulung-gulung mengerikan.
Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi
membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia
tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak
segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas
Kobar.
Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis,
Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh
kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka
seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat
berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti
pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.
Mantingan yang sama sekali tidak menduga
bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi
dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada penglihatannya,
tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu itu
telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa
Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia
menjadi berbangga hati. Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara
Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa
Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu
kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan
dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas
Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam
dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi
Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah
berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa. Mantingan
bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu.
Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan
dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada
tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui
sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sedang Wirasaba seperti orang yang
terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu,
hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mampu
menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak
raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal.
Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut
penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat
bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat.
Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang
menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau
menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang
diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.
Arya Salaka pun terpaku di tempatnya.
Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar
biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin
kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa
gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya
dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak
sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya. Karena itu Arya Salaka
berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan
orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya
kelak.
Berbangga tentang dirinya sendiri, dan
berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan
kedalam asuhan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai
tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya,
meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti
melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir
setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat
bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang
bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian.
Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat
dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga
ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun
ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya,
dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia
melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar
dalam setiap gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa
Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang
sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna,
meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.
Orang yang sama sekali tidak tahu
bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi
pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada
bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya
itu.
Berbeda dengan perasaan mereka adalah
Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika
pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas.
Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang
cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun
setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya
sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah
kulitnyalah yang terluka. Rara Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih
cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela
kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela
kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar akan perasaannya
itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu
sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorang pun yang memperhatikannya.
Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu
tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di
belakangnya berbisik di telinganya, “Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.” Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena
itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang
topeng kasar Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas
ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan
pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka
berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke
balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang
luar biasa. Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang
tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya,
Pasingsingan.
Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang
paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam
penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah
menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga.
Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan
panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang
luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh
tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa
lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar.
Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan.
Tetapi dalam keadaan yang demikian,
Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang
laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi
pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri,
maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan
apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan
melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya
sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka
Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir
batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun
pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.
Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian
adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia
telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya,
lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa,
maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin
teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di
dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan
seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus,
seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya
Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak
tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan
udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa
kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke
segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun.
Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah
seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam
keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena
perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara
panas itu. Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang
dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa
Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar
serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai
pundak itu.
Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan
Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah
seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan
bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri
dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya.
Dalam saat yang demikian itulah,
sebenarnya Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula.
Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya,
bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan
pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap
bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan
yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu.
Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak
dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan
Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh
terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu,
dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya
orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika
mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak
yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan
baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar
ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu
serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.
Apalagi ketika ia kemudian melihat
Pasingsingan itu tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela
lubang topengnya terdengarlah ia bergumam, “Hem… aku terpaksa
melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi
satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau berteriak
minta ampun.”
Mendengar ancaman itu, teganglah semua
orang yang berdiri agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi
pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka sama sekali
tidak mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak
bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau
perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba
Pasingsingan dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya.
Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia
merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun belum lagi
ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar
yang lain. Sekali lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia
kemudian melihat bahwa kedua sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek
yang melontar dari tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula
dari tangan Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali
lagi terdengar ia bergumam, “Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”
Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa
menjadi pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati
melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan
laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha
untuk meloncat mendekati. Namun langkah Wilis pun terhenti ketika
tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih dahulu
hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa Jenar adalah
tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa depan.
Terdorong oleh perasaan yang tak
disadarinya sendiri, yang jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan,
telah memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun
tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia
mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang
matanya sama sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu
berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan
menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil mencapai laki-laki yang
dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya menjadi luluh.
Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi
kehilangan segenap daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia
terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa sepasang
tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan panjang ia telah
dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya dari aji Alas Kobar itu.
Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati,
siapakah yang telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya.
Ternyata yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah
Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya.
Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan atau mati, dan
bertemu dengan laki-laki itu di alam lain. Tetapi perasaan itu segera
lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan menggeram, “Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara
Wilis dari tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula,
sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di
atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya
segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman.
Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran penglihatan
mereka. Tiba-tiba dari antara mereka Arya Salaka meloncat berlari ke
arah gurunya, kemudian meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih, “Adakah guru selamat…?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimana mereka tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir
tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun
pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya
telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya
telah mengalir dan membendung segenap rangsangan yang menyentuh
tubuhnya.
Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan
betapa udara panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa
terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun sejak ia
mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan atas serangan
panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang diaturnya baik-baik
seperti apabila ia siap untuk melontarkan ilmunya Sasra Birawa, terasa
betapa di dalam tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang cepat.
Terasa betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak.
Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar ke segenap bagian
tubuhnya. Dengan demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung
mengadakan perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah
dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri yang
bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh. Untuk sesaat
memang seolah-olah ia kehilangan daya perlawanannya. Tetapi dalam pada
itu, getaran-getaran di dalam tubuhnya itu menjadi semakin deras
mengalir. Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu
yang menggelinding karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya
perlawanan. Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran,
mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu, sehingga
batu itu sendiri sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.
Akhirnya segenap perasaan sakit, nyeri,
panas dan segala macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya,
perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah sama
sekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas Kobar, namun
ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya
melampaui panasnya bara.
Namun demikian, ia tidak segera bangkit.
Ia masih mencoba meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah
Mahesa Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak
kembali.
Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri,
ketika ia melihat tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh
sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu sama
sekali tidak mengenai sasarannya.
Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di
situ, ketika ia melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan
diri sendiri, mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika
ia melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja
terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara
Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada saatnya, sehingga
dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di tangannya.
Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun
juga, namun Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada
dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang laki-laki
yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang gadis. Mau
rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari tangannya untuk
seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian hancur terurai oleh geram
Pasingsingan. Dan karena itulah maka Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya
masih tetap melekat di hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu
kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi terharu juga,
ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-olah
mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh perasaan
sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil
menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa, Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?”
Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih
banyak. Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan
seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah
herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin panas.
Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang
memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada kegagalannya untuk
mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang akan dipergunakan
sebagai pancatan, nggayuh kemukten, mencapai impiannya yang indah.
Kekuasaan atas gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan
atas tanah ini. Atas kerajaan Demak.
Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang
bergelora di dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus
dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap
jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-laki yang
menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan
bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula niatnya akan
selalu dirintanginya. Karena itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan,
berkilat-kilatlah sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah
abu-abu itu. Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas
Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh, yang
bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar
terkejut. Ia tahu benar betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau
belati ciri khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima
turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang
kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang
cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya ini.
Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus
berjuang mati-matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak
berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya perlawanan
terhadap pisau belati Pasingsingan itu.
Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa
Jenar segera melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan
perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh
kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan mendapat
limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap pengingkaran
pada kebenaran, bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh
kekuatan apapun, namun tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum
kebenaran dan keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.
Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar
melihat sikap Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang
sekejap itu melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan,
bayangan-bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa idamannya,
yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan
yang terdahulu, silih berganti. Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan
yang kotor terhadap Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan
kesalahan, sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi masak
karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit hatinya, sebab
Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang tak akan
dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak
terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar.
Ketika ia sedang menimbang-nimbang,
tiba-tiba bersama dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun
pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama
semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki kuda itu.
Ia percaya bahwa tak seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo
Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia
mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu hidup-hidup. Ia ingin
menyerahkannya kepada Pasingsingan tua, untuk mendapat pengadilan.
No comments:
Write comments