SETELAH berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan, “Karena
itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya Salaka untuk
mengambil haknya kembali. Untuk mengambil kekuasaan yang ada di
Banyubiru dari tangan adik atau pamannya. Sedang kekuasaan itu sendiri
bukanlah hal yang selalu baik atau tidak baik. Hampir semua orang di
dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam
ujud yang lebih kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang
harus dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.
Akhirnya, bahwa manusia yang
mempunyai kekuasaan itulah, yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang
berada di dalam tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk
nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
Mahesa Jenar, aku harap kau dapat
memahaminya. Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat
mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka aku kira
kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan dapat
memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada kembali di
tangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang benar. Seperti tombak
lambang kebesaran Banyubiru yang dibawanya itu. Tombak itu
dapat dipergunakannya untuk melindungi diri serta orang lain. Namun
tombak itu di tangan orang yang tidak bertanggungjawab dapat
dipergunakan untuk membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah.
Ingat, pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada
kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu merupakan unsure
terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas
kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menundukkan wajahnya semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang
sisip dari hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan
pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata yang
diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal keyakinannya. Di
dalam hati ia berjanji untuk menuangkan pengertiannya itu sejauh-jauhnya
kepada Arya Salaka. Sebab di tangan Arya Salaka lah letak kekuasaan
Banyubiru di masa datang.
Rombongan itu mula-mula singgah di
Gedangan untuk mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi
undangan Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang
diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan musim
menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria karena panenan
mereka berhasil. Pada malam itu, ketika rombongan Mahesa Jenar bermalam
di Gedangan, suasana desa itu benar-benar meriah. Mereka
menyelenggarakan peralatan bersama di sebuah tanah lapang kecil di
tengah-tengah desa mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang membawa jodhang
penuh dengan masakan yang enak. Makanan jadah, jenang alot, tasikan,
sagon, lapis dan sebagainya. Maka apabila upacara-upacara adat telah
selesai, maka segera makanan mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan
bersama-sama pula. Demikianlah, peralatan itu benar-benar merupakan
peralatan yang meriah.
Sedangkan hampir seluruh desa mereka
dihiasi dengan janur-janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol
halaman. Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang
termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-daun yang
berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-belang. Demikian pula
dinding yang melingkari desa mereka serta sepanjang dinding halaman
rumah-rumah, terpancang berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus oncor yang
menjadikan desa mereka terang-benderang seolah-olah siang.
Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian
pula. Semalam suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah
berlari-larian kesana kemari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang
beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang dipetik dari
ceritera Mahabarata.
Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar
dapat ikut pula menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu.
Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan dan kemudian
ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan di pendapa Kelurahan
serta menikmati upacara tari-tarian sebagai pernyataan terima kasih pula
atas panenan mereka yang berhasil.
Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka
menjadi semakin trenyuh di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan
upacara di Tanah Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa
ayahnya masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi
semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia berjanji di
dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam pemerintahan
tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus menguntungkan rakyatnya.
Membina kembali Banyubiru dalam segala seginya. Dan ia harus dapat
menjadikan Banyubiru sebagai idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah
ripah lohjinawi kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati
kesuburan tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat menikmati
cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari. Menikmati
ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang hari tuanya. Cukup
sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan batin.
Maka, setelah mereka bermalam dua malam
di Gedangan, rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar
oleh hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa mereka.
Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu yang mengepul dilemparkan
oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari seenaknya. Seolah-olah mereka
melihat rombongan pasukan berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan
pertempuran.
Tak adalah yang penting yang terjadi di
dalam perjalanan itu. Setelah mereka bermalam satu malam, maka pada hari
berikutnya ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di
daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang menurut dongeng
rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu Dasamuka ditimbun dengan tanah
oleh Pahlawan Kera yang berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan
itulah maka di daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak
atau semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang
melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati, akan
menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang menimbuninya, sebab tuak
adalah jenis minuman yang sangat digemarinya. Rakyat yang hidup di
daerah itu, meskipun sangat jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu
Dasamuka itu dapat menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya
adalah bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman
bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk menimbun
tubuh Prabu Dasamuka.
Ketika rombongan kecil itu sampai di
sekitar bukit Sumawana, mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah
ini sudah dekat benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu
mereka harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan
menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu mereka tidak
maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di daerah itu.
Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat
memancing orang-orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu
dibawah pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam
telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan api
sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan sampai
berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti bahwa sebagian
laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah Banyubiru.
Dan apa yang diharapkan terjadilah.
Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa
bekal mereka dari Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba
terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu mengetahuinya, namun
mereka masih berpura-pura tidak mendengarnya.
Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan dengan senjata di tangan. Dengan
lantangnya seorang yang memimpin laskar itu berkata, “Ki Sanak, aku
harap Ki Sanak tidak melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi
kami ingin mengetahui siapakah kalian.”
Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia sama
sekali tidak berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya
menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil membenamkan
dirinya di dalam kainnya.
Ketika orang itu melihat Wanamerta,
tiba-tiba wajahnya jadi tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam
diri seperti patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di
hadapannya sambil berteriak, “Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”
Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali.
Tetapi semua orang yang menyaksikannya
menjadi ikut terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak diantara
pelupuk mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata. Serta
dengan suara parau ia menjawab, “Ya, inilah Wanamerta yang tua. Bukankah kau Jaladri?”
“Ya,” sahut pemimpin laskar itu. “Bagaimanakah Kiai dapat sampai di tempat ini?”
“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya, “Kenalkah kau dengan Anakmas Mahesa Jenar?”
“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri, “Ya tentu aku mengenalnya. Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk beberapa lama.”
“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa Jenar.
Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar.
Memang ia pernah mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak
pangling. Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi
jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya bernama Mahesa
Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk sambil membungkuk
hormat kepada Mahesa Jenar, sambil berkata, “Maafkan kami, Tuan.
Kami hampir tidak dapat mengenal Tuan setelah sekian lama berpisah.
Apalagi sebelumnyapun aku tidak begitu dekat dengan Tuan.”
Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula. “Adalah
hal yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak
mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di Banyubiru.
Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi untunglah bahwa
kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh
tahun aku terpisah, namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan
semua orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar. “Sebab ia adalah tetua Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa kepada kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”
Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya. Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. “Cobalah Jaladri, carilah diantara kami, adakah Arya Salaka serta?”
Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu
persatu kawan-kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri,
lalu seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar,
disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya duduk
bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung duduk
bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di pinggangnya
terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek. Jaladri masih tetap
ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu diantaranya. Meskipun apabila
Arya Salaka ada diantaranya, yang paling mungkin adalah pemuda yang
gagah itu. Setelah beberapa lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia
menjawab, “Aku tidak tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”
Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian
pula Kebo Kanigara. Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri,
Wanamerta, dan bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang
benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera membenarkan dugaan
itu. Dengan tegak berdiri ia berkata, “Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja meloncat dari mulutnya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. “Marilah, kita selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”
Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak jauh lagi.
Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan
dua orangnya untuk mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa
Jenar, agar Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya.
Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka
telah sampai ke daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran.
Oleh Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak terlalu
lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah barak besar
dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan laskar Banyubiru
yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.
Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu,
sibuklah mereka mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut
muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat bergerak maju
lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak, “Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di
dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di sanalah
pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa jenar dan
kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung pertemuan itu. Tetapi
demikian ia mulai memperhatikan satu demi satu dari setiap wajah di
dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat yang duduk
berjajar di samping Penjawi. Karena itu segera Bantaran memperkenalkan
kedua orang itu kepada Mahesa Jenar. “Tuan, barangkali Tuan belum
mengenalnya. Mereka adalah orang baru di sini. Tetapi mereka melihat
kebenaran perjuangan kami. Karena itu mereka di pihak kami.”
Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang akrab, “Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama berada di tempat ini?”
Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya. Terdengarlah Mantingan menjawab, “Sudah…
Adi. Aku sudah beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru,
meskipun kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau
Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”
Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka
baru saja menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan
golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di daerah Rawa
Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat orang teman, yaitu
Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan Paningron, harus bertempur melawan
seluruh kalangan hitam dari angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat
bantuan dari Sima Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu
muncul Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada saat
itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha melihat-lihat
keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar melaksanakan pesan
Radite dan Anggara, bahkan akhirnya mengambil keputusan untuk tinggal
bersama-sama dengan mereka.
Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan
pernyataan keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin
terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada pimpinannya
itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat mendengarkan
percakapan-percakapan yang semakin ramai dan gembira, dan sesekali
menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.
Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah Bantaran bertanya, “Tuan. bukankah Tuan telah menyanggupkan kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”
Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti
pertanyaan itu, sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan
seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk
memperkenalkan mereka. “Saudara-saudaraku dari Banyubiru… Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu persatu.” Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan, “Ini,
yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis yang lebih
senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang sakti bernama Pandan
Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri, putri Kakang Kebo Kanigara
yang duduk di sebelahnya. Dan yang seorang lagi adalah Bagus Handaka.”
Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar.
Namun ketika sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya
Salaka, anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati. Bahkan
kemudian terdengar suara Penjawi, “Lalu bagaimanakah dengan Arya Salaka…?” Tetapi
seperti juga Jaladri, Penjawi memandang Arya Salaka yang disebut
bernama Bagus Handaka itu tanpa berkedip. Sebab pada masa
kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah Arya Salaka paling banyak bergaul.
Karena itu sedikit banyak ia masih dapat mengenal wajah itu, meskipun
sudah jauh berbeda.
Mahesa Jenar tidak menjawab, ia hanya
tertawa kecil. Dan karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama
lagi. Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan dengan
suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-mukul lengan
Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu. “Arya, alangkah
mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi seekor banteng muda yang
luar biasa kuatnya. Ah, alangkah malunya aku, yang semakin lama menjadi
semakin kering.”
Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara membahana, “Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah datang.”
Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu
berdesak-desakan di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan
mereka tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin melihat
kehadiran Arya Salaka diantara mereka.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu
menjadi sangat terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena
tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang Widuri
tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa perasaan itu
begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah dirinyalah yang
mendapat sambutan sedemikian hangatnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
meskipun tidak kalah terharu, namun mereka berdua telah dapat
mengendalikan perasaan mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan
tenang. Yang paling tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah
Wanamerta. Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah
sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta terlontar
kata-kata dari mulutnya, “Aku tidak keberatan seandainya sekarang
juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan angger Arya Salaka kembali
kepada anak-anak Banyubiru yang setia kepada kebenaran atas hak pada
tanah mereka.”
Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi
bingung. Ia biasa hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara,
yang seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa
menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri. Dan
sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di dalam
maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-mujinya dan bahkan
ada diantaranya yang mengaguminya, seolah-olah dirinya menjadi seorang
pahlawan yang baru memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya
menjadi gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan keringat
dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar yang bijaksana
dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia berkata keras-keras,
untuk mengatasi segenap keriuhan itu. “Saudara-saudara rakyat
Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya Salaka, aku ucapkan terima kasih
atas sambutan kalian. Tetapi aku minta janganlah kalian menyambut
kedatangannya dengan berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan
besar pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya Salaka,
namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala sesuatu akan
berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-lebihan, tanpa pengaburan
atas nilai yang sebenarnya. Dengan demikian saudara-saudara tidak akan
mudah menjadi kecewa apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara
harapkan.”
Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat
menenangkan suasana di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih
saja terjadi keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas
sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka yang telah
mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih saja berusaha untuk
dapat berdiri di pintu. Dengan demikian akhirnya Mahesa Jenar merasa
perlu untuk menenangkan mereka dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka
berkatalah ia kepada Bantaran dan Penjawi, “Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu sebentar, agar mereka menjadi puas.”
Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat.
Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka, “Marilah kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”
Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia
lebih tenang pada saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih
daripada waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab, “Paman sajalah yang berbicara kepada mereka, atau Kakang Penjawi.”
Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Mereka tidak akan mau mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”
Keringat Arya Salaka semakin banyak
mengalir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar
kemudian berdiri dan menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan
Arya Salaka digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti
oleh Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.
Ketika Arya muncul di muka pintu,
meledaklah tepuk tangan riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang
menyebut-nyebut nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang
Arya Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak. Terdengarlah
kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya, “Berbicaralah, Arya….”
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula, “Apakah yang harus aku bicarakan?”
“Ucapkanlah pernyataan terima kasih
kepada mereka dan katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu
segera beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau tunda
sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.
Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian
Arya Salaka yang masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian
kata-kata itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih juga
terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk berbicara lebih
banyak lagi. Kemudian tampillah Bantaran, yang meminta kepada rakyat
Banyubiru yang tetap teguh pada pendiriannya itu, untuk memberi
kesempatan kepada Arya Salaka beristirahat.
“Nah saudara-saudaraku…” katanya,
“Sekarang berilah kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian
dapat beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di
hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan taufan
yang harus kalian renangi. Siapa tahu, besok atau bahkan nanti, kalian
harus sudah menerjuninya.”
Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru
itu kemudian perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka
masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya. Namun kemudian
Bantaran tidak mempersilakannya masuk kembali, tetapi mereka
dipersilakan untuk pergi ke pondok yang lebih kecil, yang telah
dipersiapkan untuk mereka. Meskipun demikian, karena mereka sama sekali
tidak menduga bahwa di dalam rombongan itu akan terdapat dua orang
gadis, maka dengan tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain
untuk keperluan itu.
Demikianlah mereka kemudian dipersilakan
beristirahat di tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan
mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk berkenalan
lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Setelah itu maka
ditinggalkannya mereka bertiga, setelah dipersilakan mereka makan
sekadarnya.
Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam
lingkungan anak-anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan
kemudian tidur bersama mereka.
Malam itu rasanya berjalan demikian
cepat. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke
dalam mimpi. Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan
Endang Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula. Di
luar pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan cermatnya.
Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-gadis itu sangat
tergantung kepada penjagaan yang mereka lakukan.
Ketika mereka terbangun pada pagi
harinya, dan kemudian keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa
cerahnya matahari pagi. Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun
pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-gambaran yang
menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak yang dengan lincahnya
berloncat-loncatan dengan penuh kegembiraan menyambut hari yang bakal
datang. Sedang angin pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.
Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Arya Salaka diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan
Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu. Melihat
persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka itulah Mahesa Jenar
mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Banyubiru tetap menanti
kedatangan kepala daerah perdikan mereka. ternyata dengan bantuan yang
mengalir tak henti-hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka
dapat mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak
Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka hutan. Karena
itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-orang yang
menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-perintis pula dalam
perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab disamping mempersiapkan diri
mereka untuk datang kembali ke Banyubiru, mereka ternyata telah membuka
hutan dan membuat tanah pertanian.
Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar,
Arya Salaka dan kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak
Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-anak
Banyubiru itu berlatih. Mula-mula Mahesa Jenar menjadi heran melihat
kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa Banyubiru beberapa tahun yang
lalu. Justru setelah mereka didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi
keheranan itu kemudian lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba
berada diantara mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan
Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-anak
Banyubiru itu.
Melihat tingkat pengetahuan laskar
Banyubiru itu, Arya Salaka pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka
lebih maju daripada laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga
Bantaran sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya
Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang tiada
taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya. Kembali ke
Banyubiru.
Tetapi meskipun demikian Bantaran,
Penjawi dan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap
bimbang. Bukan karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut
penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai tetes
darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka berkewajiban
menilai kekuatan mereka sendiri untuk diperbandingkan dengan kekuatan
lawan mereka. Mereka harus tidak menutup mata terhadap kenyataan yang
ada. Mereka harus memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung
dengan sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah
nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Disamping
itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan apakah kira-kira yang
akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana apabila benar-benar terjadi
bentrokan antara dua kekuatan itu. Di pihaknya, ia yakin bahwa Kebo
Kanigara dapat diketengahkan. Bantaran pernah melihat sendiri, paman
guru Mahesa Jenar itu berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur
melawan sepuluh orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora
Dipayana melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara
dapat mengimbanginya? Kemudian Bantaran harus menilai Mahesa Jenar pula.
Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar memiliki ilmu setingkat dengan
Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora sendiri pernah mengatakan. Tetapi
sekarang Ki Ageng lembu Sora pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan
yang tiada henti-hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu
Sora sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa Jenar,
apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di lingkungan
paman gurunya? Apalagi kemudian pimpinan laskar Banyubiru harus
memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau tidak mau akan berhadapan
kepentingan dengan Sawung Sariti. Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung
Sariti benar-benar telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia
dengan beraninya menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di
arena pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya
seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah mendapat
tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-benar memiliki ilmu
yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta, Bantaran telah mendengar apa
yang pernah terjadi antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, namun ia
menganggap bahwa Sawung Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan
pesatnya, disamping dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga
terhadap Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak
mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-hati.
Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Mahesa
Jenar yang kemudian diharap akan dapat memimpin laskar Banyubiru itu.
Yang dapat mereka lakukan kemudian
hanyalah sebuah pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar
Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa Mahesa Jenar
kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada setiap orang yang ada,
mereka juga mengetahui bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang perwira
prajurit Demak.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak.
Bahkan ia merasa mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru
berbuat. Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik
dalam tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik dalam
bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran.
Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar
mengambil pimpinan dari tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula
Mahesa Jenar menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
II
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai
pada suatu saat dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk
berbuat sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah
maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.
Dalam pada itu adalah diluar dugaan sama
sekali, ketika tiba-tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal
di Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-desus yang
tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.
Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar
itu. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan
Panembahan Ismaya. Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa
keris itu berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa
khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah sumber berita
itu. Tetapi orang itu pun sama sekali tidak mengetahui. Namun ia dapat
mengatakan bahwa karena itulah maka di Banyubiru timbul kegelisahan.
Sebab adanya desas-desus itu akan banyak akibat yang dapat terjadi.
Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa
ia telah didesak oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih
teringat jelas bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris
itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu
dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa tak
seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam ilmu yang
dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga orang sakti sekalipun
yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti orang-orang itu tidak akan
berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai sabuk Inten, apalagi
orang-orang Banyubiru. Biarpun mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora
Dipayana, Ki Ageng lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh
laskarnya. Karena itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di
belakang desas-desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.
Maka, setelah Mahesa Jenar berunding
dengan Kebo Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke
Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya,
yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera membawa
pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan
mempergunakan gelar perang, tetapi ia mengharap bahwa segala sesuatu
dapat diselesaikan menurut cara yang baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi,
bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan
mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan
laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain.
Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir
Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang
dapat dipergunakan selain cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan
yang bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru,
yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka
telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus
mereka telan, telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi mereka
merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan
hak atas tanah mereka. Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan
segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka melepaskan
kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih baik bagi
mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap
mempertahankan pendirian mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka
terhadap tanah pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap
hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka
untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan
dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan
mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru, “Saudara-saudaraku…
kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka
kembali ke Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan menyatakan
penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan
menerjunkan diri, mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan
kalian. Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora atas
putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas dirinya.
Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan Banyubiru. Karena itu
percayalah bahwa aku akan bekerja keras untuk melaksanakan pekerjaan
itu. Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan
aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan
yang sebaik-baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin
melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang
sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama. Apabila cara
ini tidak berhasil, barulah aku akan mempergunakan cara lain. Membawa
kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah
pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian
kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena
itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu.
Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk
kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang
yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian
mengambil kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.
Aku percaya bahwa kalian akan dapat
menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan
pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil,
yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama.”
Dengan demikian pekerjaan kalian
hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya
kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan
menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali
kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang termasuk
di dalam barisan golongan hitam.
Tidak mustahil kalau mereka akan
mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian
terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya
mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas
bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para
pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti
sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati mereka
terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-tiba mereka
menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru
itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang
berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang
Pamingit.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Saudara-saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali
lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri.
Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih
tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah
mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas
segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri
pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru,
ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut
serta untuk menyaksikan apa yang akan mereka bicarakan. Diantaranya
adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa
Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini
tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka selaku
orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan pembicaraan
pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru. Mahesa Jenar masih
menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia
dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum
dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng
Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.
Demikianlah rombongan utusan itu dilepas
dengan debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke
daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan
keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang
terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh. Arya Salaka
sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di
Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat
melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih
sayang ayah bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik
batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya
seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan
bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal
pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah
yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini. Selama ia tidak pernah
mencium pipinya seperti pada masa kanak-kanaknya. Karena itulah
tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan
itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan
halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis
berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang
terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati Rara
Wilis seperti ia menghormati gurunya.
Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam pondoknya.
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis
mulai tersentuh. Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya
Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya.
Hatinya menjadi iba.
“Jangan berduka, Arya…” nasihat Rara Wilis, “Besok
atau lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak
membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar
alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara
Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.
Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang, “Bibi, aku
dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi
tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat aku
kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada Bunda, yang
sejak lima tahun lalu tak pernah aku dengar khabar beritanya.” Dalam
pada itu, betapa Arya Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua
belah matanya mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara
Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya
yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka
pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati Arya,
katanya, “Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya
akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian
dengan aku, Arya. Kau masih harus mengucapkan terimakasih, bahwa kau
masih menyimpan harapan di dalam dadamu. Sedang aku, sama sekali harapan
itu telah padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang,
besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing
hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang
menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian
menjadi hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba
dikejutkan oleh suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk. Katanya
berderai dengan penuh kegembiraan. “Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan ini.”
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab, “Adakah kau mendapatkannya, Widuri…?”
“Inilah, Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di
sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang
anak yang benar-benar nakal. Katanya kemudian, “Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya. “Tidak ada ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang mencoba menangkap aku.”
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala. Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, “Ada orang yang akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri. “Mungkin orang itulah yang menanam anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka. “Anggrek yang tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, “Lalu kenapa ia akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis. “Apakah katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, “Ia bertanya, kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.
Endang Widuri menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula, “Aku katakan kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya
masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara
Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa
kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir.
Katanya, “Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang bersama siapa dan untuk apa.”
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului, “Aku
jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang
Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra
kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya
kembali dari tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku
katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst…” potong Rara Wilis. “Jangan nakal,”
bisiknya. Mau tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya
Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia
ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar cara
Widuri berkisah. “Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya Arya Salaka.
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.
Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya, “Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya, “Maksudku
adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai
kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh
kekuatan anak-anak Banyubiru.”
Endang Widuri mengerutkan keningnya.
Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu
adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang
kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh
minat. “Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh. Ketika ia marah
kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik bunganya sebelum aku minta
izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama sekali tidak memperhatikan.” Endang Widuri berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia meneruskan, “Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku terpaksa melawannya.” Kemudian
tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak
yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya
seorang gadis yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari
sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri,
Widuri telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai
nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah meninggalkan padepokan,
maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan
sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan
demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah
hanya permainan yang tidak menyenangkan. Maka, katanya mengakhiri
ceriteranya, “Tetapi ternyata orang itu hanya besar kepala saja.
Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun demikian, karena aku
tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku mengenakan kain panjang ini.
Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek
karenanya,” kata Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan
bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari
dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di
samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa
menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka, “Kau apakan kemudian orang itu…?”
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.
Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya
Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk
menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar
bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang diserahi
pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang Endang Widuri. “Bagaimana
mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh
orang yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang
Widuri dapat mengalahkannya.”
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas
pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya
sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantaslah
kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri
berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger,
gadis itu merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab, “Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”
Mantingan tertawa lirih. Umurnya yang
telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang
yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan
pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan
gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga
segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?”
Mantingan mencoba untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya
Salaka dan Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba, “Satu
hal yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui
bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya
Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang
itu pasti akan mengatakan bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang
sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi
orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di
perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian…” sambung Jaladri, “Tempat
kita ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di
perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan kesempatan itu.
Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan. “Apakah
jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah
penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita
harapkan bisa terjadi.”
Jaladri segera melaksanakan tugas itu.
Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya
mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga
tempur. Setiap saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu
dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan
perlengkapan-perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata
mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh suasana yang
tegang.
Ketika kemudian malam turun
perlahan-lahan, seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan
itu, anak-anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi
semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri.
Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat memerlukan penjagaan.
Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar
berita perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung rahasia itu,
sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa
mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah
dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda.
Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap dan kuat.
Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di
atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di
sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal
berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap.
Dengan wajah tengadah mereka memegangi
kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota.
Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka
seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya
terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun
yang lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak
penuh keheranan. “Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga
kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang lalu, dan
bernama Mahesa Jenar…?” Tetapi segera mereka menjadi semakin
heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang
sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam mereka, “Dan bukankah mereka itu Ki Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya
saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang diantara mereka
tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras, terdengarlah
mereka menjawab bersahutan, “Ya, orang itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang lain.
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan
mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi
penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta
tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri,
merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk
Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang
mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa
bencana. Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang
disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini,
merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan
datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk
mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat
Bantaran dan Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang
yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora.
Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki
Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang kembali ke kampung
halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya
dapat saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara
mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang
berputar-putar didalam benaknya.
Rombongan Mahesa Jenar itu pun merasakan,
bahwa setiap orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan
bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap berdiam
diri seperti sama sekali tak ada orang yang melihat mereka.
Demikianlah rombongan itu dengan
tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit diantara
daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi
jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang
jernih.
“Kakang Kanigara…” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berbisik. “Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara. “Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, “Kalau demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian kembali mereka berdiam diri.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang
dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru. Seorang
berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari
punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki
daerah Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya,
diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah
tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi
semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar
beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang berkuda itu
tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari
melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jenar, tetapi beberapa
orang yang lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera
menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang
berhambur-hamburan di belakang rombongan itu.
Tetapi ketika rombongan itu telah
melampauinya, tiba-tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka.
Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-sama, sehingga
kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar. Kemudian beberapa orang
diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke arah
rombongan Mahesa Jenar.
Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara,
Kanigara pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi
isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab
bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan dapat terjadi karena
orang-orang itu masih belum mereka kenal sama sekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera
mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian
yang baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip
sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika
mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka memutar keris
mereka di lambung kiri.
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat,
dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat
mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Seorang yang bertubuh besar berkulit
hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai
kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara. Melihat
orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula
orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara,
kemudian memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia
bertanya, “Ki Sanak, siapakah kalian ini, dan apakah keperluan kalian?”
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi
dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit
banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar menggeleng
kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang
Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab, “Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia
tidak senang pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu
dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, “Aku bertanya kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab, “Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan
penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. “Benarkah kalian penduduk Banyubiru…?” desaknya.
Wanamerta mendesak maju. Kemudian ia menyahut, “Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, “Tidak
kakek tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian
mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah
keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya, “Sesudah
kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kami pun
ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar. “Orang itu memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia
mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan
perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya, “Ki Sanak, aku lihat
kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu
bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru. Nah
katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris itu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta
ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa
mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu
membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan penegasan dari
berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus,
yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat
itu.
Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin
mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya
Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah
kemudian Kebo Kanigara, “Dari manakah kalian mendengar berita tentang kedua keris itu?”
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa. “Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut, “Sayang, kau mimpi
di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali
kerisku sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu. “Kalau kau mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.
Pandangan orang bermata serigala itu
menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya
yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui
kesiapsiagaan mereka.
“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang itu. “Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Yang paling mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng
Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau
tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan
dijawabnya kedua keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu
pastilah benar.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia
masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan. “Kalian
tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima
hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
Kanigara masih tetap berkata dengan
sabarnya, “Ki Sanak. Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris
itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata, “Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas. “Ki
sanak, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian,
sekaligus memberi peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan
tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali
lagi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami
di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan keadaan
kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru ini. Tetapi kalau
kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi orang pertama
yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang
mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada
kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami
tumpahkan keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami
lakukan hal yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau
mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena ia ingin
hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
Semua yang mendengar kata-kata itu
terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang
Banyubiru yang sebenarnya.
Penjawi, yang paling muda diantara
mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak
maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru.
Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka
sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri.
Tetapi sebagai seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi
rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan. Terbayanglah di
dalam otak Penjawi, masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru.
Masa duka yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha
penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang yang setia
kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara. Bahkan kalau perlu
dengan mengadakan pembunuhan. Akan ditambah lagi dengan pameran
pembunuhan oleh pihak lain. Yang dapat dipastikan, orang-orang itu
datang dari golongan hitam.
Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, “Ki
Sanak. Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami, kami
dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang kelam. Dari dunia
yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa. Kalian adalah orang-orang
yang kami namakan golongan hitam. Sebab hati kalian adalah hati yang
berwarna hitam. Sekarang kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat
kami. Tetapi kami sama sekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas
kebenaran. Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali
lagi, bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak ada
di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora tak akan dapat
mengatakan di mana keris itu disimpan.”
Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara
tertawa yang mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba
menjadi buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah.
Dengan marahnya ia berteriak, “Jangan mengigau. Aku tidak peduli
apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah, hijau atau apa saja.
Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami akan melakukan rencana
kami, dan mayat kalian akan kami sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”
Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya
menjadi tegang dan berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian
segera mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih terdengar
suara Kanigara tenang, “Ki Sanak. Apa yang akan kalian lakukan
kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban kami untuk
melindungi diri. Tetapi agaknya kalian sama sekali belum mengenal kami.
Orang-orang Banyubiru yang berjiwa jantan. Nyawa kami telah lama kami
letakkan di ujung pengabdian kami. Karena itu sebaiknya kalian
mempertimbangkannya sekali lagi.”
Kembali terdengar orang yang berkulit
hitam dan bermata serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila.
Dengan buasnya ia menjawab, “Apakah arti kejantanan orang Banyubiru
bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih belum
dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka kalian adalah
korban-korban kami yang menyenangkan. Ketahuilah, bahwa kami datang dari
Nusa Kambangan mengemban tugas dengan kekuasaan penuh.”
Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah
menduga sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam, namun
hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar
menyahut, “Apakah kalian anak buah Ular Laut?”
“Nah…” sahut orang itu. “Kau
pasti pernah mendengar kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat
menyapu bersih segenap isi Banyubiru.
“Hem,” gumam Mahesa Jenar. “Agaknya
pengetahuanmu terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan
Ki Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali kau
juga belum mendengar tentang putranya yang bernama Sawung Sariti.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab dengan kasarnya, “Omong kosong semuanya. Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”
“Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hampir bersamaan.
Orang itu tertawa kembali. Katanya, “Kau menjadi pucat seperti mayat mendengar nama itu.”
“Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab Mahesa Jenar.
“Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu menjelaskan dengan bangga. “Kyai
Nagapasa adalah nama ilmu pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan
nama itu pula kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia
adalah guru Jaka Soka.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya benar-benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan.
Kini yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan hitam,
namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah yang mengambil alih
persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di dalam angan-angan Mahesa
Jenar akan nama-nama Pasingsingan, Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya,
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah
kehilangan kedua muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi
sebuah nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena
pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu.
Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu
mengangkat dadanya. Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi
ketakutan. Karena itu sekali lagi ia menggertak, “Nah, adakah kalian mau berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-nama yang berdiri di belakang kami?”
Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab, “Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat pulang kembali.”
Dengan mata terbelalak orang itu
memandang Mahesa Jenar seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya
yang seolah-olah menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya,
menyebabkan orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia
menganggap Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan
membentak-bentak ia berkata, “Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”
“Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat menakutkan,”
jawab Mahesa Jenar. Jawaban itu kembali sangat mengagetkan anak buah
Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia sudah tidak merasa perlu untuk
berbicara lebih banyak. Dengan lantangnya ia berkata kepada anak
buahnya, “Kepung kelinci-kelinci yang tak tahu diri ini.”
Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu
telah benar-benar terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka
mendengar aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan
cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa Jenar beserta ke
tempat kawan-kawannya.
Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta,
Bantaran dan Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan
kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka saling
berpandangan seolah-olah mereka sedang mempertimbangan bersama apakah
yang akan mereka lakukan. Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum.
Dengan sangat tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu
ia berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu. “Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”
Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, orang itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa
besarnya perbawa kedua orang itu. Namun demikian, untuk menutupi
kekerdilan diri, ia berteriak lantang, :Aku akan melaksanakan
kata-kataku. Mencincang kalian dan melemparkan ke segenap sudut Banyu
Biru.”
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, ”Kau salah hitung. Kau akan melakukan pekerjaan itu di atas kampung halamanku. Di sekitar sanak kadangku. Betapa
tangguhnya kalian semuanya ini. Namun apabila seorang diantara para
petani di sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian
ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan segenap
penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk mengepung kalian,
dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh mereka. Meskipun demikian
kalian tak usah cemas, bahwa kalian akan mengalami siksaan, apalagi
dicincang. Sebab kami, penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada
ketaatan. Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami
ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”
Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata
berkesan di hati orang bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang
buas itu menjadi tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di
atas hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh ke
sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap sudut dan
persimpangan jalan.
Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar
batu yang mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi
jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang yang
dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya. Apalagi ketika
jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang yang sebenarnya sedang
menggarap sawahnya. Hati orang itu tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi
kemudian Mahesa Jenar berkata, “Ki Sanak… jangan ganggu kami di
tanah sendiri. Kalian hanya dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu
dan dalam jumlah tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala
waktu, dan jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”
Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu
merupakan sebuah pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh
orang bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya
menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka tiba-tiba
terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu, ia menarik
kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-cepatnya meninggalkan Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara beserta Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang
menjadi terheran-heran melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah
serigala itu dengan pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh
anak buahnya. Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka,
orang-orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman, “Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada waktunya dengan seluruh orang-orang kami.”
Gema ancaman itu memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak
berserakan di sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa
kali. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta bergumam, “Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja pergi?”.
Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab, “Kami
berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa apabila
kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora akan membenarkan
sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya akan dapat membahayakan
ketenteraman Banyubiru, maka ia dapat mempergunakan persoalan ini
sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena
itu sebaiknya kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat
merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak memulainya.”
Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala
penuh pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan
mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.
Kemudian rombongan itu meneruskan
perjalanannya perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi
tertunda untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting telah
mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan desas-desus
tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah Perdikan Banyubiru.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin
rapatlah penduduk tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak
pulalah orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi
oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka berdua,
tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan itu, Wanamerta.
Beberapa orang menjadi terharu karenanya.
Dengan dada sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun diantara
mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang kemudian
membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil menggerutu, “Kalau
setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah kami ini. Kenapa
perampok-perampok itu tidak mati disambar petir atau tertangkap pada
saat mereka merampok…?”
Tetapi ia tidak berani mengatakannya
kepada seorangpun. Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu
benar, bahwa pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi
terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak tanah itu
kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun wanita.
Demikianlah ketika mereka muncul di
alun-alun Banyubiru, tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu,
beberapa orang berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar
tersenyum melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan
kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan diri,
menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu sendiri masih
belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-wajah mereka mengulum
senyum segar, namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan
sepenuh-penuhnya.
———-oOo———-
III
Semakin dekat mereka dengan rumah kepala
daerah itu, senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi
semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol
halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar rapat. Dan
ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke sudut-sudut pagar
halaman di ujung alun-alun sebelah-menyebelah, tahulah ia bahwa halaman
rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa
orang siap dengan senjata di tangan mereka.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo
Kanigara. Agaknya orang itupun sedang memperhatikan keadaan dengan
seksama. Lebih seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia
melihat ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari, juga
karena ia sama sekali belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya.
Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan garam, maka untuk
menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu mengetahui keadaan di mana ia
sedang berada.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun
melihat suasana itu. Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah
orang-orang yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan.
Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam pada itu,
mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu tidak hanya sekadar
mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah mereka sudah mengusulkan kepada
Mahesa Jenar, bahwa cara yang demikian itu sangatlah berbahaya.
Tetapi mereka sudah berada di depan
hidung Lembu Sora. Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai
seorang jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka menjadi
bersungguh-sungguh pula.
Rombongan itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah
mulai bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari
mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.
Ketika mereka sudah lebih dekat lagi,
segera Mahesa Jenar menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun
diikuti oleh kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera
berlari-larian menerima kuda-kuda mereka.
Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar
berjumpa untuk pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah
perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa, meskipun
sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari wajahnya yang
tengadah.
“Marilah, Adi Mahesa Jenar…” sambutnya. “Aku merasa bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”
“Bagus-bagus…” sahut Lembu Sora. “Marilah
kami persilahkan kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah
kami persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka berjalanlah mereka beriring-iring
naik ke pendapa yang sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih.
Pendapa yang lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar
sebagai tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir di
sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai tempat untuk
bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan ayahnya, Ki Ageng Gajah
Sora. Juga sebagai tempat untuk memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata
berkelahi dan dasar-dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra
tunggalnya, Arya Salaka.
Sekarang ia kembali berada di pendapa itu
sebagai tamu. Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah
Sora untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu haknya
kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-tamunya itu. “Adi
Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan Pamingit mengucapkan selamat
datang kepada Adi bersama-sama dengan rombongan, kepada kawan Adi yang
belum aku kenal, dan kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, “Terimakasih
Kakang. Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga Banyubiru
selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku memperkenalkan
kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang Tumaritis, bernama
Karang Jati.”
Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.
Sebelum Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar Sawung Sariti menyela, “Aku
sudah pernah datang ke tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal
Panembahan Ismaya. Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatu
pun yang diketahuinya.”
“Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela Kebo Kanigara.
Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara
dengan sikapnya yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap
sombong. Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo
Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan ketika ia
pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan Sima Rodra, Bugel
Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi untuk
sementara ia tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk menghilangkan
kesan perasaannya itu dari wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun
ia tidak sempat menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu,
karena ia sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka,
namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat diusir dan
malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau tidak mau kekuatan
orang itu harus diperhitungkan, disamping kesaktian Mahesa Jenar yang
mengagumkan. Disusul kemudian berita kematian sepasang Uling dari Rawa
Pening.
Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, “Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah
kalian? Kemanakah kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian?
Sebenarnya tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku
selama ini.”
Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab, “Anakmas
Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua. Dan apakah arti
hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat berbuat sesuatu untuknya.
Karena itu aku mencoba untuk menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya
Salaka.”
Warna merah membersit di wajah Ki Ageng
Lembu Sora. Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan
kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran anak
itu. “Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
“Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.
Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Kemudian ia berkata pula, “Aku tidak dapat mengerti, bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
“Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta, “Aku pergi ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”
Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia
adalah anak yang cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura
terkejut ia menjawab, “Adakah Eyang Wanamerta pernah pergi ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi?”
“Benar Cucu Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.
“Dan menemukan Kakang Arya Salaka…?”
Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab, “Benar Cucu.”
Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai tawanya, “Sayang,
Eyang…. Seperti aku juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang
hampir sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku
bernama Arya Salaka.”
Darah Wanamerta tersirat mendengar
jawaban itu. Juga Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Wajah mereka segera berubah merah dan jantung mereka berdentam
seperti guruh yang menggelegak di dalam dada mereka. Bagaimanapun
mereka mencoba menahan diri, namun terasa juga tangan-tangan mereka
menjadi gemetar karenanya.
Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan mereka, terdengarlah suara Lembu Sora, “Adi
Mahesa Jenar, aku memang pernah mendengar tentang seorang anak muda
menamakan dirinya Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya.
Sebagai seorang paman, aku pasti akan mengenalnya kembali meskipun sudah
sejak kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku sejak
kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi ketahui bahwa
seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu pernah diketemukan mati
terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai Bancak dan sebuah peniti yang
barangkali dari emas, serta timangnya bertetes intan.”
Sekali lagi sebuah petir seolah-olah
meledak di dalam pendapa itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita
Sawung Sariti. Penjawi yang paling tidak dapat menahan diri, dengan
tergagap berteriak, “Bohong, semuanya bohong…!” Lalu suara
Penjawi hilang tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal
berebut dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang
muncul seterusnya.
Mendengar kata-kata Penjawi yang
terbata-bata itu, Lembu Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan
hati. Tetapi kemudian ia berkata dengan ramahnya, “Jangan
berprasangka yang bukan-bukan, Penjawi. Aku sama sekali tak bermaksud
membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat mempertimbangkan
kejadian-kejadian yang pernah berlaku. Kalian jangan membabi buta atas
kesetiaan kalian kepada Arya Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas
tanah yang sama-sama kita cintai.”
Penjawi bukanlah orang yang dapat banyak
bicara. Karena itu semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit
kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya
dapat mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia
akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara, meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran
yang penuh. Karena itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan, “Kakang Lembu Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang Lembu Sora?”
Lembu Sora mengernyitkan keningnya.
Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia
mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir
sejenak ia menjawab. “Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku
wajib mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan
keputusan yang salah”.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan, “Baik. Kalau demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu salah…?”
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab, “Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?”
“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora tersenyum. Katanya, “Bagaimanakah aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar. “Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti. “Aku
pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama
dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak
yang dinamainya Kyai Bancak.”
“Diam!” Tiba-tiba terdengar
Bantaran membentak. Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan
Bantaran sendiri terkejut. Sawung Sariti sama sekali tidak senang
mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam, “Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek mulutmu.”
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah
terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia
tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan
kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya selama ini.
Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata, “Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku.”
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau
ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin.
Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati. “Sawung Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam,
seolah-olah ia ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam
dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak
terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang
ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan
Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali tidak
menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung
Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang
tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora. Mahesa Jenar
pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah
Sora sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora
sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam
berbagai soal, dan banyak mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya,
kemanjaan Lembu Sora itu menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora
sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya,
adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak
berbuat kesalahan-kesalahan.
Mahesa Jenar berusaha untuk tetap
memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun
dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan
setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di
dalam pertemuan itu. “Kakang Lembu Sora, baiklah kita berbicara
mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita singkirkan
masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”
Lembu Sora menelan ludahnya serta
menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat
menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk
menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini.
Karena itu Lembu Sora menjawab, “Baiklah
Adi, aku tidak pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama
pembicaraan itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan
berguna bagi kita semua.”
“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar. “Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”
Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab, “Nah, katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang
pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun
demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan
yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru, aku harus
bersikap baik, namun tegas dalam garis kepemimpinan. Karena itu aku
minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang
yang telah tidak ada lagi.”
Mahesa Jenar mengangkat dadanya
seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya
ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi
merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata, “Bukankah
Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut
bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas lagi?”
“Kalau benar Kakang berbuat demikian,
maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan. Persoalan
Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak berarti. Arya
Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak untuk
menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan
tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm…” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah. “Sebenarnya
aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat
mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya
pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti
dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia
menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan susah payah ia
masih menahan diri, dan berkata, “Kakang, aku tidak keberatan
terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi bagaimanakah seandainya anak muda yang
aku namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk
daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang
sebenarnya?”
Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan
Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan
pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian
menyela, “Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani?
Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri.
Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa mereka dengan
cara kita.”
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti
dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu.
Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat
kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa
Kambangan.
“Angger…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Biarlah kami berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”
Bara yang mula-mula berkobar di dada
Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar
yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi sebelum ia
menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya, “Adi Mahesa Jenar, aku
tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menganggap
Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di
Demak, sebagai akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha
untuk mencegahnya.”
“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar, “Aku datang untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di Banyubiru sekarang.”
“Cukup…!” potong Lembu Sora, “Tidak ada yang aku bicarakan.”
Mahesa Jenar benar-benar tersinggung
karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang
itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang, “Kalau
kau tidak mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan
membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di
tengah-tengah mereka.”
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan menjawab, “Adi
Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang
atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar
wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak.”
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan
dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka
katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan bahaya yang
dapat saja merenggut jiwanya, “Anakmas Lembu Sora, akulah yang
mula-mula minta kepada Anakmas untuk mengawasi daerah perdikan ini
sepeninggal Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora
tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya
Salaka, yang untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita
tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang
ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan menyerang pasukan dari
Demak. Seterusnya cerita tentang hilangnya Pandan Kuning dan Sawung
Rana.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora. “Ternyata
rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu
yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan
demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang
pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”
“Tak seorang pun yang dapat
melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha
menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan
lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.
“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora. “Aku
tahu, kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai
daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di
Banyubiru.”
Dalam pada itu, Mahesa Jenar sekali lagi
mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya
bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya, “Ki Ageng Lembu Sora, mumpung
segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati kita. Berilah
aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa
tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari
jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”
“Hemm..,” dengus Lembu Sora, namun matanya benar-benar telah memancar merah bara. “Agaknya
kaulah sumber dari keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda
menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu. Kau cari
seorang anak muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari dia menyebut aku
paman dan menyebut nama ayahnya Gajah Sora. Kau ajari dia menuntut hak
atas Banyubiru.”
“Ki Ageng Lembu Sora…” potong Mahesa Jenar, “Demi kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-bukan.”
“Nah…” jawab Lembu Sora berapi-api, “Bukankah kau takut melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah aku ketahui.”
“Kau telah benar-benar tersesat.
Kalau tanggapanmu itu jujur, maka kau benar-benar telah berdiri di atas
alas yang gelap, yang sama sekali tak dipancari oleh kebijaksanaan.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora dengan gemetar. “Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.”
Mahesa Jenar adalah seorang jantan.
Seorang perwira yang tak mengenal surut. Ketika ia mendengar
teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia
menjadi marah pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang, “Kakang
Lembu Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang memegang hak
sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima wewenang langsung dari
Kakang Gajah Sora sejak Kakang Gajah Sora meninggalkan daerah ini.
Akulah yang mendapat tugas darinya untuk mengamankan Banyubiru dan
putranya, Arya Salaka. Akulah sekarang yang mempunyai kewajiban untuk
mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang yang diberikan
oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan mencoba membatasi usahaku
memulihkan pemerintahan di Banyubiru.”
Lembu Sora telah benar-benar kehilangan
pengamatan diri. Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa
Jenar. Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata, “Kau adalah
orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber bencana
sejak hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Aku telah
menasihatkan kepada kakang Gajah Sora untuk menangkapmu. Tetapi ia tidak
mau. Dan sekarang ketika kau hadir kembali ke daerah ini, tersebarlah
desas-desus bahwa keris itu berada di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang telah mencuri kedua pusaka itu.”
Juga Mahesa Jenar tiba-tiba juga
kehilangan pengamatan diri. Ketika tangan Lembu Sora masih berada di
depan wajahnya, tiba-tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping. Dan
kemudian dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari
pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya, “Lembu Sora… aku adalah laki-laki seperti kau.”
Lembu Sora pun kemudian meloncat tak
kalah cepatnya. Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan
Mahesa Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun segera
berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk bertempur.
Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru
dan Pamingit yang berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan dalam
waktu yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu. Apalagi ketika
kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka, “Hai laskar
Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin merampas
milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan, beberapa tahun yang lalu,
mereka hampir mencincang kau ketika mereka menyadari bahwa kau telah
mencuri pusaka-pusaka yang dengan susah payah diusahakan oleh kakang
Gajah Sora. Tetapi Kakang Gajah Sora terlalu baik hati kepadamu.”
Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar diantara mereka suatu teriakan, “Bunuh…!”
Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat
lingkaran. Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan. Ketika
dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak maju, ia pun berteriak
kepada Lembu Sora, “Aku adalah orang terakhir yang mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”
Lembu Sora menyahut keras, “Omong kosong!”
Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya sama sekali. Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya, “Kalau
ada diantara kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru,
dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah sama saja
kalian menyerang Gajah Sora yang memberikan kepercayaan kepadaku untuk
mengasuh dan mengamankan putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian
telah melupakan diri kalian sendiri sebagai pengawal-pengawal setia
Banyubiru. Siapakah yang telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru…?
Siapakah yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang tersebar di
empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah menggali parit-parit untuk
sawah-sawah kalian…? Dan siapakah yang paling bersedih hati pada saat
Banyubiru dilanda oleh arus kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan
banyak korban, beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah
mempertaruhkan dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru ketika pasukan
dari demak datang ke tempat ini karena desas-desus dan fitnah atas
kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping kesetiaannya kepada
panji-panji Gula Kelapa yang pernah dibelanya mati-matian. Siapa…? Dan
siapakah diantara kalian yang pada saat itu ikut serta dengan Gajah
Sora, dan hampir saja terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa? Dan
apakah yang kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri
kalian dan kesetiaan kalian atas tanah ini.”
Lembu Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak, “Jangan
dengarkan orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan dibiarkan ia
mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah, karena orang itu tidak mau
menutup mulutnya, adalah tugas kalian untuk menyumbatnya.”
Beberapa orang Pamingit semakin
merapatkan kepungan mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru menjadi
ragu-ragu. Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin saja
terjadi, Ki Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan gelar perang Gajah
Meta menyongsong kedatangan pasukan Demak dalam gelar Cakra Byuha. Jelas
tergambar kembali dalam ingatan laskar Banyubiru, ketika pasukan Demak
mengubah gelarnya menjadi gelar Garuda Nglayang. Diingat pula oleh
mereka, bagaimana Gajah Sora menjadi gemetar ketika dilihatnya
panji-panji yang berwarna gula kelapa melambai-lambai di atas ujung
pasukan Demak. Pada saat itulah mereka melihat Gajah Sora menyerahkan
putranya, Arya Salaka, kepada orang itu. Orang yang bernama Mahesa
Jenar, yang sekarang berdiri di hadapan mereka.
Karena itulah, ketika orang-orang
Pamingit bergerak maju, mereka tetap berdiri di tempat, seolah-olah
terpaku di atasnya. Dengan demikian, tanpa dibuat terjadilah dua
lingkaran pasukan di halaman itu. Pasukan Pamingit yang semakin mendesak
maju, dan di luar lingkaran itu berdirilah dengan bimbang pasukan lembu
Sora yang semula berasal dari laskar Banyubiru, yang tidak banyak
mengerti tentang mereka sendiri, dan tentang tanah mereka.
Sedangkan orang-orang Pamingit yang
menjadi semakin rapat itu pun kemudian ragu, ketika mereka melihat
Mahesa Jenar siap dalam siaga tempur. Di sampingnya, berseberangan di
tiga penjuru, terlihat Wanamerta yang tua, Bantaran yang kokoh kuat, dan
Penjawi dengan wajah yang tegang namun penuh keikhlasan. Mereka
memegang keris masing-masing, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi kemudian mereka menjadi sadar akan tugas mereka, ketika mereka
melihat Lembu Sora dengan wajah berapi-api berdiri bertolak pinggang di
dalam lingkaran itu. Apalagi ketika kemudian Lembu Sora tidak sabar
lagi, tiba-tiba dengan suara berdesing menakutkan mencabut pedangnya.
Pedang yang tidak berukuran lumrah.
Dan, apa yang ditunggunya benar-benar
terjadi. Dengan suara berdesing panjang, pedang itu terayun deras sekali
menyambar lehernya. Tetapi Mahesa Jenar telah benar-benar siap. Siap
menghadapi segala kemungkinan. Karena itu dengan lincahnya ia
merendahkan diri dan meloncat ke samping. Dalam pada itu Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi segera berloncatan merenggang untuk menghadapi
segala kemungkinan yang terjadi. Sedang ujung-ujung tombak yang rapat
berjajar di sekitar mereka telah menunduk mengarah ke dada mereka.
Mahesa Jenar pada saat itu telah
benar-benar kehilangan pengamatan diri. Ia merasa bahwa tidaklah mungkin
baginya bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya berjumlah lima
orang itu bertempur melawan segenap laskar yang berada di halaman itu,
yang diantaranya ada orang-orang seperti Lembu Sora, Sawung Sariti,
bahkan mungkin akan ikut campur pula Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu
ketika pedang Lembu Sora dengan derasnya menyambar di atas kepala Mahesa
Jenar, segera ia tegak di atas satu kakinya, dan hampir saja ia
menyalurkan segenap kekuatannya pada sisi telapak tangan kanannya dalam
ujud ilmunya yang luar biasa, Sasra Birawa. Beberapa orang berloncatan
mundur, sedangkan Lembu Sora sendiri menjadi cemas. Ia tidak bisa
berbuat lain daripada segera mempersiapkan dirinya atas lambaran ilmu
saktinya, Lebur Sakethi.
Tetapi tiba-tiba melontarlah sesosok
tubuh memasuki lingkaran itu. Dan dengan tenang berdiri di depan Mahesa
Jenar, menepuk kedua pundaknya dan berkata lirih, “Tenangkan hatimu, Mahesa Jenar. Ilmumu sekarang adalah jauh lebih dahsyat daripada lima tahun yang lalu.”
Kata-kata itu bagi Mahesa Jenar
seolah-olah setetes embun di atas relung-relung hatinya yang membara.
Apalagi ketika ia melihat wajah orang itu, yang dengan senyum kecil
memandangnya seperti seorang kakak dengan penuh kasih sayang. Maka
tiba-tiba pandangan Mahesa Jenar jatuh di tanah di depannya. Mahesa
Jenar menjadi malu kepada diri sendiri, dan kepada Kebo Kanigara. Orang
yang telah membawanya kembali ke alam kesadaran. Apalagi ketika Kebo
Kanigara berbisik, “Bukan demikian maksud kedatanganmu kali ini, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar yang masih tertunduk itu berdesis perlahan-lahan, “Maaf Kakang. Aku kehilangan kesadaranku ketika Lembu Sora menyerangku.”
“Angkatlah wajahmu…” Kebo Kanigara meneruskan, “Dan lihatlah siapa yang berdiri di depan Lembu Sora itu.”
Ketika Mahesa Jenar mengangkat wajahnya,
dan memandang ke arah Lembu Sora, ia menjadi terkejut. Di depan orang
itu telah berdiri seorang tua, yang sudah berambut putih dan berjenggot
putih, memandangnya dengan mata sayu suram.
Tanpa disengaja Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, sambil berkata dengan takzimnya. “Baktiku untuk Paman Sora Dipayana.”
Orang tua itu mengangguk pula. Jawabnya, “Salamku untukmu, Mahesa Jenar, dan untuk kalian yang datang bersamanya.”
Kebo Kanigara masih belum memutar tubuhnya. Ia masih menghadap kepada Mahesa Jenar. Dengan berbisik ia bertanya, “Nah, bukankah kau sudah mengenalnya? Apakah orang itu ayah Lembu Sora?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar perlahan.
“Aku mengaguminya. Ia pasti seorang yang sakti, menilik geraknya yang luar biasa,” gumam Kebo Kanigara sambil membalikkan diri, dan kemudian membungkuk hormat pula.
Dengan wajah yang masih sesuram semula, Sora Dipayana berkata, “Aku menyesal bahwa sesuatu yang sama-sama tak kita kehendaki telah terjadi.”
Dengan suara yang dalam, Kebo Kanigara menjawab, “Demikian pula kami. Mudah-mudahan hal-hal yang tak dikehendaki itu tidak terulang kembali.”
Sora Dipayana mengangguk-anggukkan
kepala. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada Penjawi, Bantaran,
dan kemudian Wanamerta. “Adi Wanamerta… apakah kau sehat-sehat saja selama ini…?”
Wanamerta menjadi terharu mendengar
sapaan Sora Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin
yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi kebanggaannya. Kebanggaan
seluruh daerah perdikan yang dulu disebut Pangrantunan. Karena itu
dengan hormat ia menjawab, “Kakang, sebagaimana Kakang, agaknya aku pun selamat. Demikian juga anak-anak Banyubiru yang pergi bersamaku.”
Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia melihat berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia
melihat dua lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran
pertama, dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih
erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir seluruh
hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat peristiwa itu
dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu adalah lambang
perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan antara Pamingit dan
Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya dapat saling mengisi dan saling
memperkuat ketahanan diri dalam segala bidang.
Kemudian kepada lembu Sora ia berkata, “Lembu
Sora, bukankah lebih baik kalau kau persilahkan tamumu ini duduk
kembali? Dan bukankah lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu ini dengan
sekadar pelepas haus, daripada kau suguhkan kepada mereka pameran
kekuatan yang tak berarti?”
Lembu Sora tidak begitu senang mendengar
kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya
dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata, “Lembu Sora, persilakan tamumu duduk kembali.”
“Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada sesuatu yang dicarinya. “Sariti… Sariti….” panggilnya.
“Ya, ayah…” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga pendapa.
“Kemarilah.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi
bibirnya masih menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora
melihatnya, ia menjadi terkejut. “Kenapa kau?”
Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya
matanya saja yang membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian
tergopoh-gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya, “Kenapa kau…?”
“Kakek…” jawab Sariti singkat.
Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya, “Kenapa dengan Sariti, ayah…?”
“Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. “Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”
Semua mata segera tertuju kepada Sawung
Sariti. Ia menjadi tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi
tontonan. Tetapi ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya.
Kakinya terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat
digerakkan sama sekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan gemetar.
“Ayah…” kata lembu Sora dengan nada menyesal, “Apakah Ayah akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya. dengan sareh ia berkata, “Sariti, lain kali janganlah kau berbuat hal-hal yang berbahaya.”
Sawung Sariti hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepala, meskipun hatinya mengumpat tidak
habis-habisnya. Ia hanya dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika
kemudian Ki Ageng Sora Dipayana mengurut punggungnya.
“Nah, masuklah,” perintahnya kemudian. “Jangan campuri perkara orang tua-tua.”
Sawung Sariti kemudian berdiri dan
terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu,
sekali lagi ia menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.
Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora Dipayana berkata, “Lembu Sora, apakah kau masih memerlukan laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”
“Ayah…” jawab Lembu Sora, “Aku
tidak menyiapkan laskar ini untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa
Jenar. Tetapi semula aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja
didatangi oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua
pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”
Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya, “Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Lembu
Sora singkat, dan kemudian dengan tangannya ia memberi isyarat kepada
pemimpin laskar yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan
laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu menjadi
kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas sebagai
pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.
Sekali lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi
kali ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu ia
berkata, “Ayah, biarlah untuk sementara ayah menemani tamu-tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan kecil dibelakang sebentar.”
Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”
Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah
gontai ia berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama dengan
Ki Ageng Sora Dipayana.
Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger
berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat mengejutkan kami dan
rakyat Banyubiru. Sudah sejak bertahun-tahun mereka melupakan nama
Mahesa Jenar bersama dengan lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia menyahut, “Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya
yang suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang matanya
yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit. Dengan tertahan-tahan
ia menjawab, “Gajah Sora adalah harapan bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan. Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”
“Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.
Sora Dipayana memandangi mata Mahesa
Jenar dengan cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya.
Karena itu ia berkata, “Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah
menolak kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku. Aku
tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah membiarkan
keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini. Tetapi aku ingin juga
mengatakan, alasan-alasan apakah yang telah menyudutkan aku ke dalam
keadaan ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak.
Dengan seksama ia mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar
dari mulutnya, “Siapakah Angger ini?”
“Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang
menghambakan diri pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang
Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,” lanjut Kanigara.
Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya pula, “Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai seorang Putut?”
Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia
menoleh kepada Mahesa Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati.
Akhirnya kepada orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk
menyembunyikan diri. Karena itu ia menjawab, “Tuan, aku memang
memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah bunda pada saat aku
dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”
Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana
menegakkan kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun
bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat
menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo Kanigara itu
menepuk pundak Mahesa Jenar untuk menenangkannya. Ia melihat betapa
Mahesa Jenar tidak berani memandang wajah orang itu. Karena itu, orang
yang bernama Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas
Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh kepercayaan
kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia memiliki ilmu yang kuat
dan meyakinkan pula. Kalau Kebo Kanigara itu seorang Putut yang bernama
Karang Jati, dan memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah
agaknya Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya
dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi Sora Dipayana
merasa kurang pada tempatnya untuk menanyakannya.
Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang
memperhatikan Ki Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar
nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah mendengar
pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat ayahnya dan
memiliki ilmu yang setingkat. Agaknya apa yang dikatakan oleh ayahnya
itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat dengan mata kepala sendiri apa
yang baru saja terjadi. Ketika Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap
untuk melontarkan tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah
bersiap untuk mencegahnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu
seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu sentuhan di
punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan jatuh terduduk di
tangga tanpa dapat berdiri lagi.
Kemudian seperti berjanji, mereka
masing-masing meloncat masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk
mencegah terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk
menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah Lembu Sora untuk
berbuat lebih banyak lagi.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana melanjutkan kata-katanya, “Angger
berdua, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng
yang akan saya utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan
perasaanku dari himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat aku
laksanakan. Atau barangkali dapat kalian artikan sebagai suatu usaha
untuk meringankan kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.” Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan, “Pada
saat itu, aku baru saja datang kembali dari perjalananku mencari jejak
kedua pusaka Demak yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah
Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru
tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali, jejaknya pun
tak dapat aku ketahui. Yang aku ketemukan di Banyubiru pada saat itu,
adalah pemerintahan tanah perdikan ini telah beralih ke tangan Lembu
Sora. Dari dia aku mendengar cerita tentang apa saja yang telah terjadi
di tanah perdikan ini.
Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”
Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”
“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,”Aku
tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah yang aku
hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu Sora adalah
anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang kepada ibunya aku tidak
dapat melupakan duka derita yang disandangnya pada saat itu. Duka derita
sebagai ungkapan kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku
sedang bekerja mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula
bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora dilahirkan. Dengan
Lembu Sora didalam embanan, ibunya membanting tulang untuk mencukupi
kebutuhan kami. Kadang-kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi
diterik panas matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang
Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya kemana ia
pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di jalan-jalan yang sama
sekali belum berujud jalan seperti sekarang ini.”
Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan
matanya terlempar jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa
silam. Masa-masa pahit yang pernah dialami. Setelah orang tua itu
menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya, “Rupa-rupanya
Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga beberapa tahun kemudian
terwujudlah padepokan yang kemudian berkembang menjadi semakin ramai dan
subur. Aku menjadi bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan
suatu piagam menjadi tanah perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama
menjadi semakin berkembang. Bersamaan dengan itu semakin berkembang
pulalah perasaan iba dan kasih istriku kepada Lembu Sora. Ia
selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami masa-masa pahit. Namun
akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak itu. Bahkan kemudian sifat
itu semakin menjadi-jadi.. Dan kesalahan itu barangkali yang telah
menjerumuskannya kedalam keadaannya sekarang ini. Keadaan yang sama
sekali tidak dapat dibenarkan.” Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana
berhenti, seolah-olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik
napas dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang dilambari
tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin mencari kekuatan untuk
menahan berat badannya yang tidakseberapa besar itu. Beberapa saat
kemudian ia mulai lagi dengan ceritanya, “Meskipun kemudian aku
sadar bahwa akuharus berdiri diatas kebenaran dan keadilan, namun aku
bermaksud untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya
tanpa mengorbankan salah satu diantaranya. Karena itulah maka diam-diam
aku pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak benaran cerita Lembu Sora.
Tetapi aku terbentur pada suatu kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata
terlibat dalam suatu keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila
kesalahannya nyata-nyata tidak terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten telah dapat diketemukan, dan ternyata benar-benar tidak
disembunyikannya.” Kemudian dengan nada yang rendah dan sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam, “Lalu berapa tahunkah kedua keris itu dapat ditemukan ?” Mata orang tua itu menjadi sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah. “Apalagi
umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih diperkenankan
oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati segarnya angin pegunungan
Telamaya ini ? Apakah yang terjadi seandainya aku harus meninggalkan
tanah ini menghadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum
kembali ? Sedang Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia
telah benar-benar mati terbunuh ?
Itulah sebabnya kenapa aku tidak
mempunyai pilihan lain daripada untuk sementara mempergunakan tenaga
yang ada untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai
penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang liar dari
Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan ternyata dari Nusa
Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap saat.” Ki Ageng Sora
Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan napas kecewa. Ia
melihat masa depan yang suram bagi tanah perdikannya yang dibangunnya
dengan cucuran keringat.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua
itu. Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak
dikenalnya. Jalan manakah yang harus dipilihnya. Ki Ageng Sora Dipayana
tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh kekuatan hitam
yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya pada saat itu tidak ada
lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Maka orang tua itu
tidak dapat berbuat lain daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru
dengan menempa Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu
menjadi sepi. Masing-masing berdiam diri dan membiarkan angan angan
mereka merayapi daerah yang tak mereka kenal. Ki Ageng Sora Dipayana
masih saja memandangi titik-titik di kejauhan. Menembus alam kasat mata
dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat dicitakan. Banyubiru yang
gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat cecengilan dan fitnah. Jauh dari
keirihatian dan ketamakan.
“Adakah kita akan sampai ke sana…?” Tiba-tiba terdengar Sora Dipayana bergumam.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan
orang-orang lain yang mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora
Dipayana sendiri seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.
“Sampai ke mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas
panjang. Lalu ia melipat tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab
pertanyaan Wanamerta itu. Maka katanya, “Wanamerta… kau adalah orang
tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah ini.
Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti aku, agaknya
kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang subur. Wadah dari
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Tetapi kau agaknya lebih
beruntung daripadaku. Pada saat saat seperti sekarang ini kau berhasil
menarik garis tegas.”
Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng
Sora Dipayana sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang
menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu, mundur
ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan beban orang tua itu.
Katanya. “Ki Ageng, kalau dalam wawasan Ki Ageng aku dapat menarik
garis tegas pada keadaan seperti sekarang ini, adalah karena aku
mempunyai kesempatan yang lebih banyak. Aku dapat menilai Anakmas Gajah
Sora dan Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang wajar, karena aku tidak
tersangkut pada persoalan-persoalan yang ali-temali seperti Kakang Sora
Dipayana.”
“Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. “Kau lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya Salaka.”
“Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut Wanamerta.
Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa Jenar dan berkata
kepadanya, “Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”
kepadanya, “Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”
Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik Ki Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Hem…” Sora Dipayana bergumam. “Ia pasti segagah ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”
“Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar menyambung.
Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas.
Tetapi hanya sesaat, sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan
yang dihadapi kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi
sifat-sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan keadaan
berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki. Karena itu ia
harus berbuat sesuatu. Menempatkan kembali segala sesuatunya pada tempat
masing-masing. Karena itu ia berkata, “Mahesa Jenar, bawalah Arya Salaka kemari.”
Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora
Dipayana itu, Mahesa Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi
bergembira. Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi
ketika mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-olah
berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi ragu. Dan tanpa
mereka sadari mereka segera memandang kearah pintu dimana Lembu Sora
tadi masuk.
Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan
mereka. Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga
dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus segera
mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan seperti saat itu
maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang tanpa pegangan. Mereka
menjadi ragu-ragu untuk berbuat banyak, sebab mereka selalu dibebani
oleh perasaan takut dan was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan
yang tidak tetap, ang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.
Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berkata, “Mahesa Jenar, aku kira kau sedang mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya Salaka kau bawa kemari?”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, “Benar Paman. Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”
“Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi
aku menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini segera berakhir.
Karena itu aku akan mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam
waktu yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang cukup
atas anakku sendiri.” Jelas terasa dalam nada kata-katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit.
Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa
pertemuan itu sudah cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup
jelas tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula
dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-langkah
seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali ke daerah
Candi Gedong Sanga. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menahannya untuk
beberapa saat karena ia masih ingin menjamu tamu-tamunya dengan sekadar
minuman dan makanan.
“Sebentar lagi hari akan malam, Paman, sebaiknya kami berangkat sekarang.” Mahesa Jenar mencoba untuk memaksa kembali. Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab, “Apakah
bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi kau
berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih ada
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghalangi perjalananmu.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Sambil mengangguk ia menjawab, “Itu terlalu berlebihan, Paman. Kecuali apabila Paman Sora Dipayana mengantarkan kami.”
“Tetapi kemudian kau harus mengantar aku kembali Mahesa Jenar,” sahut Sora Dipayana, “Dengan demikian semalam suntuk kita akan saling mengantar”. Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum mendengar kelakar itu,
bahkan juga orang-orang lain yang mendengarnya, meskipun di dalam dada
mereka masih tersimpan beberapa soal yang sukar dipecahkan.
Demikianlah, akhirnya mereka terpaksa
menunggu sampai hidangan disajikan. Minum dan makan. Meskipun mereka
duduk bersama menikmati hidangan itu dengan Lembu Sora dan Sawung
Sariti, namun tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka menjadi kaku
dan tegang, sehingga tidak banyak makanan yang dapat mereka makan, serta
minuman yang dapat mereka minum.
Setelah selesai mereka menikmati jamuan
itu, serta setelah mereka beristirahat sejenak, maka sekali lagi Mahesa
Jenar memohon diri untuk kembali ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Kali
ini Ki Ageng Sora Dipayana tidak menahannya lagi. Dilepaskannya Mahesa
Jenar beserta rombongannya sampai ke halaman untuk seterusnya
meninggalkan rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu.
Ketika rombongan kecil itu telah lenyap
dibalik regol, serta derap langkah kudanya tidak terdengar lagi,
berkatalah Lembu Sora menyesali ayahnya, “Ayah, kenapa ayah menyuruh orang itu membawa anak yang menamakan diri Arya Salaka itu kemari?”
“Apakah keberatanmu Lembu Sora?” tanya ayahnya pula.
“Apakah ayah dapat menerimanya
sebagai Arya Salaka yang sebenarnya? Dan apakah ayah masih mau memberi
kepercayaan kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu?” desak Lembu Sora beruntun.
“Lembu Sora,” jawab ayahnya. “Biarlah
kita buktikan bersama. Dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan
membuktikan bahwa orang yang bernama Mahesa Jenar ini memiliki
sifat-sifat pengecut dan jahat, apabila anak muda yang dinamakan Arya
Salaka itu benar-benar bukan cucuku. Tetapi sebaliknya, apabila anak
muda itu benar-benar Arya Salaka, maka orang yang mengabarkan kepadamu
bahwa Arya Salaka telah terbunuh, ternyata ia keliru, atau orang itu
memang belum mengenal cucuku dengan baik.”
Mendengar kata-kata ayahnya, yang
kedengarannya tegak di tengah-tengah itu, Lembu Sora mengatupkan
giginya. Ia sama sekali tidak senang mendengar keputusan ayahnya
mengundang Arya Salaka datang ke Banyubiru. Karena itu, ia harus
berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak berani mengemukakan
keberatannya itu kepada ayahnya.
Ketika Lembu Sora kemudian pergi
meninggalkan ayahnya, dan menengok ke alun-alun di hadapan rumah itu, ia
masih melihat debu berserakan yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda
Mahesa Jenar beserta rombongannya. Tetapi kuda-kuda itu sendiri sudah
tidak begitu jelas kelihatan. Dari kejauhan, bayangan yang kelam
seolah-olah datang menerkam daerah perdikan itu dengan perlahan-lahan.
Sedang di ufuk barat, matahari yang kelelahan telah membenamkan dirinya
dibalik punggung-punggung bukit. Sinarnya yang lamat-lamat untuk sesaat
masih tersangkut di awan-awan yang mengalir lambat-lambat menyapu wajah
langit yang berwarna biru tua. Tiba-tiba sesaat kemudian bermunculanlah
bintang-bintang yang gemerlapan menggantung di awang-awang.
Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke
arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat sangat mengagumkannya.
Ia kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang bertebaran di
angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Tetapi kekagumannya kepada
alam, kepada benda-benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya
terdampar pada sumbernya. Yaitu kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna,
yang telah menjadikan semuanya ini. Tuhan Yang Maha Esa.
Demikianlah setiap kali hatinya tergetar
oleh kekagumannya itu, setiap kali pula ia merasa semakin dekat
pada-Nya. Dan setiap kali ia merasa bahwa ia harus meningkatkan
kebaktian kepada-Nya, serta pengabdian kepada titah terkasihnya, yaitu
manusia. Pengabdian yang bukan sekadar damba kasih dalam kidung-kidung
atau kakawin-kakawin, tetapi pengabdian yang benar-benar diamalkan,
dicerminkan dalam tindak-tanduk dan cara hidup sehari-hari.
———-oOo———-
IV
Demikianlah di dalam perjalanan itu
hampir tak terdengar mereka bercakap-cakap. Masing-masing berdiam diri,
kecuali memperhatikan jalan-jalan di hadapan mereka, agaknya mereka
masih juga sibuk menilai peristiwa yang baru saja terjadi dan yang
kira-kira akan terjadi.
Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang berjalan di depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang di belakangnya Wanamerta dan seterusnya Bantaran dan Penjawi.
Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang berjalan di depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang di belakangnya Wanamerta dan seterusnya Bantaran dan Penjawi.
Dalam keheningan malam yang menjadi
semakin dalam, hanya derak-derak batu-batu padas yang tersentuh
kaki-kaki kuda itu sajalah yang terdengar disamping suara-suara belalang
di kejauhan.
Di langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak ada mahluk lain yang berani mengganggunya, sebab malam hari itu adalah milik mereka.
Di langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak ada mahluk lain yang berani mengganggunya, sebab malam hari itu adalah milik mereka.
Ketika Mahesa Jenar beserta rombongannya
sedang menempuh perjalanan itu di perkemahan anak-anak Banyubiru, di
sekitar Candi Gedong Sanga tampaklah persiapan-persiapan dan
penjagaan-penjagaan yang lebih ketat daripada biasanya. Apa yang
diceriterakan Endang Widuri merupakan pertanda bahaya yang mengancam.
Meskipun mereka belum yakin dari manakah bahaya itu datang.
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri sama
sekali tidak berani meninggalkan gardu pimpinan. Sebab mereka menduga
bahwa setiap saat mereka akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak mereka
kehendaki. Ketika itu Arya Salaka pun merasa tidak tenang berbaring di
dalam pondoknya. Perasaannya selalu saja mengganggu. Karena itu kemudian
ia bangkit berdiri dan berjalan keluar. Di luar, ia berpapasan dengan
beberapa orang penjaga yang menyapanya dengan hormat. “Angger, kemanakah
Angger akan pergi?”
“Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, Paman. Udara terlalu panas, dan aku masih belum berhasrat untuk tidur,” jawab Arya.
“Tetapi hati-hatilah Angger.” Orang itu melanjutkan, “Jangan meninggalkan lingkaran perkemahan ini.”
“Baik Paman,” jawab Arya Salaka.
Setelah orang itu menjauhinya, terdengar ia bergumam, “Agaknya orang itupun mendapat firasat yang kurang baik.”
Sejalan dengan itu, tiba-tiba ia teringat
kepada Widuri yang tinggal bersama Rara Wilis dan Nyi Penjawi.
Mula-mula ia menjadi cemas bahwa orang yang dikalahkan oleh gadis itu
mendendamnya dan berusaha untuk membalasnya. Namun kemudian hatinya
menjadi tenteram ketika ia sadar bahwa Widuri bukan anak-anak yang masih
perlu mendapat perlindungan khusus. Tingkat ilmunya adalah jauh lebih
tinggi dari setiap orang yang berada di luar pondok yang mencoba
melindunginya. Apalagi dalam pondok itu berada pula Rara Wilis. Meskipun
demikian Arya Salaka berhenti sejenak untuk mengawasi pondok itu.
Pondok dimana tinggal di dalamnya Endang Widuri. Tetapi pondok itu
nampaknya sepi saja, seolah-olah ikut tertidur dengan para penghuninya.
Sedang di sekitar pondok itu ia melihat tiga orang berjaga-jaga. Ia
menjadi lega. Kemudian Arya melangkah kembali menikmati udara malam yang
sejuk. Sekali dua kali ia memandang ke arah langit. Bintang-bintang
yang semakin padat sangat mengagumkannya. Ia, seperti juga gurunya, pada
saat yang bersamaan itu, kagum kepada kebesaran alam, kepada
benda-benda yang bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna.
Juga seperti gurunya yang sedang menuju ke perkemahan itu, kekagumannya
kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-kilat di angkasa itu
akhirnya terdampar kepada sumbernya, yaitu kekagumannya kepada Yang Maha
Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini.
Dalam keadaan yang demikian, seolah-olah
terngiang kembali segala nasehat dan petuah-petuah dari gurunya.
Seakan-akan mendengung di dalam rongga telinganya kata-kata Mahesa
Jenar. “Arya, yang penting dari setiap usahamu, adalah usaha-usaha dan
perbuatan-perbuatan yang dapat banyak berarti bagi rakyatmu kelak, untuk
mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi yang lebih penting
lagi adalah pertanggungjawabanmu sebagai seorang pemimpin yang akan
dituntut kelak, apabila kau menghadap kembali kepada Yang Maha Esa.
Karena itulah maka perbuatan-perbuatanmu sekarang harus dapat dinilai
dari dua segi. Pengabdianmu pada sesama dan kebaktianmu kepada Tuhan.”
Sambil berangan-angan, tanpa disadari
Arya Salaka telah berjalan sampai ke batas perkemahan. Ia masih melihat
seorang penjaga berdiri tegak di tengah jalan, sedang di pinggir jalan
itu duduk tiga orang yang lain. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
ikut serta duduk bersama mereka. Karenaitu perlahan-lahan ia
mendatanginya.
“Arya,” jawab Arya Salaka.
“O…” terdengar salah seorang dari mereka itu. “Akan kemanakah Angger?”
“Aku ingin duduk bersama-sama dengan Paman di sini,” jawab Arya.
“Ah,” sahut orang itu. “Di sini banyak nyamuk. Tidakkah Angger perlu beristirahat?”
“Aku belum ingin tidur, Paman,” jawab Arya pula, dan yang kemudian duduk di samping ketiga orang itu.
Ketika orang itu mengingsar duduknya, sedang orang yang tegak di tengah jalan itu menoleh pula kepadanya.
“Tidakkah Angger lebih enak duduk di gardu pimpinan bersama-sama Adi Mantingan?” tanya yang berdiri itu.
“Nanti aku akan ke sana juga,” jawab Arya.
Orang-orang itu tidak bertanya lagi.
Tetapi mereka merasa bertambah beban. Karena mereka belum kenal kepada
anak itu setelah beberapa tahun terpisah. Mereka merasa bahwa Arya
Salaka itu masih saja seperti dahulu. Masih harus mendapat perlindungan
dan perawatan. Karena itu maka seorang dari ketiga orang yang duduk itu
kemudian tegak pula dan berjalan-jalan hilir-mudik. Sedang kedua orang
yang lain, meskipun tidak berkata apa-apa, tetapi mereka mengingsar
duduknya, sehingga seorang di sebelah kiri dan seorang lagi di sebelah
kanan Arya. Arya tersenyum di dalam hati, tetapi ia juga bangga atas
anak buahnya yang sangat hati-hati itu. Disamping itu, ia merasa bahwa
agaknya Mantingan menganggap bahwa keadaan perkemahan itu benar-benar
dalam bahaya.
Ketika Arya telah duduk diantara kedua
orang itu, mulailah ia bertanya-tanya tentang beberapa hal. Tentang
Banyubiru sepeninggalnya. Tentang pamannya Lembu Sora. Bahkan tentang
pohon jambu di halaman yang dahulu ditanamnya.
“Pohon jambu itu luar biasa lebatnya,” jawab orang yang duduk di sebelah kirinya.
Arya Salaka kemudian mencoba membayangkan
pohon itu. Alangkah rindangnya duduk di bawahnya apabila matahari yang
terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi yang terakhir
terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling dikasihinya. Orang
yang telah melahirkannya dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih. Orang
itu adalah ibunya. Nyai Ageng Gajah Sora. Terbayanglah wajah ibunya
yang sayu pucat berdiri di regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan
ia menanti kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh
harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang
dimilikinya. Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan menjadi
putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak kunjung tiba. Maka
yang dapat dilakukannya hanyalah menangis di ruang tidurnya dengan
membenamkan wajahnya di bawah bantalnya yang telah basah oleh air mata.
Arya menarik nafas dalam-dalam.
Sekali-kali ia memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk
mengusir bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-bayangan
itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu melambai-lambai
kepadanya dengan wajah sedih dan berkata, “Arya, aku sudah sedemikian
rindunya kepadamu.”
Arya terkejut ketika terasa tetesan
cairan yang hangat di pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan
bajunya. Tetapi mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang
seakan-akan menyumbat kerongkongannya.
“Hem….” Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan dadanya.
Semula ia ingin menanyakan kepada
orang-orang Banyubiru itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia
menjadi ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya.
Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat menambah
sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya tentang ibunya
dibatalkan.
Sementara itu malam menjadi semakin jauh.
Bintang-bintang telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di
ujung selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak lurus.
Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu
yang aneh. Angin yang silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya
sehingga tiba-tiba pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat
perasaannya. Dua orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa
kali menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun merasakan
pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula orang yang tegak
berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa mereka sadari, mereka jatuh
terduduk.
Arya Salaka pun merasakan juga serangan
kantuk itu. Tetapi karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam
nalurinya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Tiba-tiba ia teringat ceritera gurunya tentang semacam ilmu yang dapat
mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep. Dengan ilmu itu
orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang tampaknya menjadi
kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat itupun Arya segera memperkuat
ketahanan diri. Dikerahkannya segala kekuatan batinnya untuk melawan
pengaruh sirep yang dalam itu.
Arya Salaka, meskipun masih sangat muda,
tetapi karena masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka
iapun telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.
Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Beberapa kali ia mencoba membangunkan
orang-orang jaga yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka
terbangun, menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi
heran. Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang.
Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang mengejut dan
cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-orang yang kena pengaruh
sirep itupun akan dapat terlepas dengan sendirinya. Sebab apabila ia
memukul paha salah seorang dari penjaga yang tertidur, orang itupun
menjadi terkejut pula dan terbangun untuk kemudian jatuh tertidur
kembali.
Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu
merupakan tanda bahaya. Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya.
Tetapi ia menjadi cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam
menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur seluruhnya. Ia
tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib seperti kelima penjaga
itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di sekitar pondok Endang Widuri pun
menjadi tertidur. Dan apakah Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri
tidak dapat membebaskan diri dari pengaruhnya. Arya Salaka menjadi
kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga yang
tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka dengan mudahnya
mereka membunuh penjaga-penjaga itu.
Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan,
telinganya yang tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya
Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi
suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat dari tempat
duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik lirih, “Siapa yang
bertugas di sini?”
Arya sudah mengenal suara itu. Suara
Wirasaba. Karena itu ia menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia
sendiri dan Wirasaba dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.
Maka dengan perlahan-lahan pula ia menjawab, “Aku, Paman, Arya.”
“Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.
“Ya,” jawab Arya pula.
Wirasaba beringsut mendekati Arya Salaka. “Kenapa Angger berada di sini?” tanya Wirasaba.
“Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
“Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba. “Untunglah Angger terbebas dari pengaruhnya.”
“Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
“Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.
Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar
ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan
kemudian ia bertanya, “Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”
“Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.
Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula, “Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
“Demikianlah,” jawab Wirasaba. “Tetapi tidak kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
“Syukurlah,” gumam Arya.
“Ia adalah seorang dalang. Sebagai
seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu. Sebab
kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para
penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
Tetapi kemudian Arya Salaka kembali
membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan
ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur.
Karena itu ia bertanya kembali, “Paman Wirasaba, bagaimanakah seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan laskar?”
Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan
lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah
seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu. “Tidak Angger,
pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula. Sebab daya
kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada seorang atau
serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah memenuhi udara di sekitar
penyebarnya. Sehingga apabila pada malam ini ada orang yang ingin
memasuki perkembahan ini, pasti merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas
pada mereka yang atas kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain
membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir. Di dalam
perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup
tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan
Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa
nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian
setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak keberatan lagi
meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba ia berkata, “Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini, aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”
“Jangan Angger,” cegah Wirasaba. “Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke sana.”
“Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.
“Biarlah mereka kita sisihkan. Aku
kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan
mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung
menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”
Arya Salaka dapat mengerti keterangan
Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya, mengangkat para
penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai
basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.
Dingin malam musim bediding rasa-rasanya
sampai menggigit tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk
dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha
menyelamatkan perkemahan itu.
Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan,
Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang
besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri
beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.
Meskipun sebenarnya Arya Salaka sama
sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan
hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat
gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya
Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang
gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya
untuk dapat mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih
seksama. Di tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.
Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan
gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas
dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah
melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri. Ternyata
para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka
menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.
“Marilah, kita lihat apakah mereka tidak mengalami sesuatu paman” ajak Arya Salaka berbisik perlahan sekali
“Marilah,” jawab Wirasaba.
Dengan sangat hati-hati mereka mendekati
pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya
menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit
perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka,
terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya
Salaka.
Arya Salaka terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut, namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari. Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar hampir saja lengan Wirasaba tergores. Karena itu Wirasaba terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah Arya Salaka berdesis. “Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”
Arya Salaka terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut, namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari. Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar hampir saja lengan Wirasaba tergores. Karena itu Wirasaba terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah Arya Salaka berdesis. “Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”
Wirasaba terhenti. Dan bersamaan dengan
itu, tampaklah sebuah bayangan meloncat keluar dengan lincahnya, bahkan
seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak tanah, demikian ia
telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi juga bayangan itu
terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya Salaka berdiri di dalam
gelap. Karena itu terlontarlah dari mulutnya. “Kau, Arya…?”
“Ya, Bibi…” jawab Arya. “Kami minta maaf kalau kami mengejutkan Bibi.”
Rara Wilis menarik nafas. Katanya, “Suasana malam ini memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”
“Aku sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa mengganggu,” sambung Arya.
“Tak apalah,” jawab Rara Wilis. “Dan syukurlah kalau kalian juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini.”
Wirasaba berdiri tegak dan bersandar pada
tangkai kapaknya. Meskipun ia telah menduga bahwa Rara Wilis tidaklah
sama dengan kebanyakan wanita, namun ia sama sekali tidak menduga bahwa
sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya. Sementara itu tiba-tiba
terdengar suara dari tlundak pintu. “Untunglah dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”
Arya menoleh. Dilihatnya Endang Widuri
duduk dengan enaknya di atas tlundak pintu itu. Arya Salaka dan Wirasaba
lebih terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada mendengar
suaranya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa gadis itupun berhasil
membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu terdengar Arya bertanya
perlahan, “Kau tidak tertidur…?”
“Aku belum ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.
“Aneh,” tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.
Rara Wilis mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia menjawab, “Anak itu memang luar biasa.
Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan sama sekali tidak disentuh oleh kekuatan sirep ini.”
Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan sama sekali tidak disentuh oleh kekuatan sirep ini.”
Widuri merasa bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan itu. Maka iapun segera menyahut, “Apakah kalian heran karena aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau malam?”.
Tak seorangpun menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal dan kadang-kadang suka menuruti perasaan sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara siulan nyaring. Suara itu menggetar di seluruh
perkemahan anak-anak Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar
menyusup ke setiap pondok. Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut
mendengar suara itu. Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi
kemudian suara itu disusul dengan bunyi yang sama di arah yang
berlawanan.
Tidak itu saja, suara siulan itu masih
terdengar berturut-turut dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian
maka dapat diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka
pulalah yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata angin.
Karena itulah, Rara Wilis dan kawan-kawannya itu mengetahui bahwa
orang-orang itu telah berusaha mengepung perkembahan ini. Dengan
demikian mereka harus enjadi lebih berhati-hati lagi.
Sementara itu mereka melihat Ki Dalang
Mantingan dan Jaladri datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang
terengah-engah ia berkata perlahan, “Aku cari Angger Arya Salaka
setengah mati. Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku menjadi gugup,
karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling, tetapi
juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar bahwa Angger
pergi kemari bersama-sama dengan Kakakng Wirasaba”
“Angger Arya Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,” jawab Wirasaba.
“Syukurlah kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini juga tidak terjadi sesuatu?” tanya Mantingan pula.
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.
“Kakang Wirasaba, menilik suara yang
mereka perdengarkan, mereka berada di empat arah mata angin di
sekeliling perkemahan ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang mereka
berikan, mereka pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam
seluruhnya dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan
memasuki perkemahan ini dengan seenaknya.” Mantingan mulai memberi penjelasan. “Karena
itu, maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan perkemahan
ini. Waktu kita agaknya tinggal sedikit. Sebab apabila mereka merasa
bahwa jarak waktu yang mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah
mereka anggap cukup, mereka pasti akan segera bertindak”
Wirasaba sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia pun membenarkannya, “Lalu apakah yang harus kita lakukan Adi?” tanya Wirasaba.
Mantingan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab, “Kita
yang telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini, harus
memberikan perlindungan-perlindungan terhadap anak-anak Banyubiru yang
lain. Aku kira mereka akan mencari orang-orang yang mereka anggap
penting. Aku tidak tahu apakah mereka telah mengetahui keadaan
perkemahan ini dengan baik. Tetapi disamping itu…” Mantingan berhenti sejenak. Matanya berkisar kepada Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka.
Rara Wilis Segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan. Karena itu ia menjawab, “Kakang,
biarlah kami coba untuk melindungi diri kami masing-masing. Adalah
sudah menjadi kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri
untuk mencoba melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan
tenaga-tenaga inti dari laskar ini.”
Mantingan menjadi agak malu karena
perasaannya dapat ditebak dengan tepat. Tetapi ia tidak akan sampai hati
untuk membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya Salaka untuk
menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang
bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang cukup tajam ini.
Sedangkan Arya Salaka bagi laskar Banyubiru ternyata telah menjadi
penguat tekad perjuangan mereka. Sehingga daripada yang lain-lain, Arya
Salaka-lah yang pertama-tama wajib diselamatkan.
“Maaf Adi Wilis…” kata Mantingan pula, “Aku
wajib untuk berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang
Wirasaba tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok sebelah
untuk mencoba melindungi anak-anak yang tertidur dengan nyenyaknya.”
“Baiklah Adi,” jawab Wirasaba.
“Kau ikut dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan. “Kita kosongkan gardu pimpinan.” Seterusnya kepada Rara Wilis ia berkata, “Keadaan
menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian masuk. Sebaiknya Kakang
Wirasaba pun berada di dalam pula. Kami masing-masing akan memberi tanda
apabila keadaan kami sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah
memanggil. Jarak kami tidak terlalu jauh.”
Selesai dengan kata-katanya, Mantingan
pun segera bergerak meninggalkan tempat itu. Ia terpaksa membagi
kekuatan mereka. Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis, sedang ia
sendiri dan Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok
laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya diganggu juga
oleh teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan Rara Wilis dapat
membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini. Apalagi ia sama
sekali tidak tidak tampak kantuk. Sedangkan orang seperti Jaladri itupun
masih memerlukan bantuannya untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep
ini. Meskipun ia telah menduga bahwa kedua gadis itu pasti memiliki
kelebihan dari gadis-gadis lain, tetapi ia sama sekali belum dapat
membayangkan sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu. Dalam pada itu
Rara Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang
Mantingan. Karena itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi pelindung
pondok itu, meskipun ia sadar bahwa sebenarnya tenaganya sangat
diperlukan.
Sesaat kemudian, setelah mereka masuk
kembali ke dalam pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi
oleh kesunyian yang tegang.
Wirasaba duduk dengan gelisah di dalam
pondok Rara Wilis. Sedang Rara Wilis sendiri selalu siap untuk setiap
saat bertindak. Pedangnya yang tipis tersandang di pinggangnya. Ia duduk
di bale-bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk Arya Salaka.
Kyai Banyak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati. Tetapi
ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan Widuri dengan
enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah tidak menghiraukan sama
sekali kegelisahan orang-orang di sekitarnya. Namun demikian ternyata
gadis tanggung itupun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata bahwa ia tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia
berpakaian seperti seorang laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya
apabila ia sedang berlatih tata bela diri maupun latihan-latihan untuk
ketahanan diri. Pertanda yang lain dari kesiap-siagaannya adalah sebuah
karset perak berbentuk rantai sebesar itu jari yang melingkar di leher
Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat pinggangnya. Rantai
perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya, tetapi di leher
gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang menambah kecerahan
wajahnya. Di pondok sebelah, Jaladri menunggu setiap kemungkinan dengan
cemas pula. Ia tidak duduk atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura
tidur dalam jajaran para laskar Banyubiru yang benar-benar sedang
tertidur dengan nyenyaknya. Seperti Arya Salaka, ia mencoba-coba untuk
membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia menggeliat, demikian ia
kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat kemudian terdengarlah
dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi meskipun ia berbaring,
disampignya terletak senjata andalannya. Sebuah canggah bermata dua,
yang tidak terlepas dari tangannya.
Mantingan, yang merasa bertanggungjawab
atas keseluruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu.
Ketika semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan Jaladri
telah lenyap di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera meloncat ke
sebuah batang pohon yang daunnya cukup memberinya perlindungan. Di
lambungnya terselip sebilah keris, sedang tangannya menggenggam
senjatanya erat-erat. Trisula yang bertangkai kayu berlian, sebagai
lambang kekuatannya yang dilambari ilmu gerak yang luar biasa lincahnya,
Pacar Wutah.
No comments:
Write comments