Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa
Pasingsingan terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor
serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci. Maka
ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya mendekati
perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram keras sekali. Mahesa
Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Matanya tidak
bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan yang berwarna kuning
kemilau.
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa
tiba-tiba hantu berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur,
dan dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur seperti
dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat tertegun heran. Karena
itulah ia kehilangan waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa
Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan
meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-semak,
berselimut kehitaman malam.
Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah
semakin dekat. Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa
orang penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang masih
melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung kudanya. Demikian kuda
itu masuk ke halaman perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya
segera menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri
pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki
mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah terlambat.”
Melihat putrinya berlari-lari
menyongsong, dada Kebo Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi
sedikit ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah
pertanyaannya, “Apa yang terlambat?”
Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan yang luar biasa.”
“Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.
“Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.
Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”
Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di perkemahan.
“Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.
“Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.
Sementara itu yang lainpun telah berdiri mengitarinya. Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.
“Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada mereka.
“Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.
Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan
yang mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis
yang hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itupun
masih kelihatan pucat.
“Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.
Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan
itu bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara
tertawa ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak
melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali
tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya menggigil,
bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh sekali? Untunglah
bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya sebelum jantung kami
patah karenanya.”
Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara
mau tidak mau harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa
ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
“Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu sekali?” bantah ayahnya.
“Tetapi ayah jangan tersenyum.
Sebaiknya ayah mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika
bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting
karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara
panas yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.
Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat
menahan senyumnya. Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang
menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera gadis kecil
itu. “Aku berkata benar, Ayah…”
Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun kembali.”
“Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.
“Sebab bibi Rara Wilis hampir
terjatuh pula. Kalau tidak, barangkali Paman Mahesa Jenar masih
enak-enak berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh
Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.
“Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.
“Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata sebenarnya.”
Kebo Kanigara masih saja tersenyum.
Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam
benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun dapat dijatuhkannya.”
Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa Jenar selamat?”
“Bagi kami” jawab Mantingan, ”agak
sulit untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu
berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia
masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang dikejarnya,”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia
terkejut ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak.
Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang
berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
“Mahesa Jenar…” sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya, Kakang.”
“Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.
Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil menangkapnya.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan bencana?”
“Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Baiklah…” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin
pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah pergi pula.”
Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak
menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk
membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya
dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
Sementara itu malam telah sampai di
ujungnya. Di kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan.
Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak pagi.
Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar.
Satu-satu mulailah mereka menghilang dari wajah langit yang biru
bersih. Angin pagi yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun
pepohonan rimba.
“Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah kaliah lelah?”
“Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan tidur sehari penuh.”
“Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.
“Kenapa?” tanya Widuri.
“Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.
Widuri tidak menjawab. Ia hanya
mencibirkan bibirnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke
pondok yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke
tempat masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai, sedang
Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya dengan lemah.
Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah tenaganya, namun peristiwa
yang baru saja dilihatnya merupakan suatu peristiwa yang membekas dalam
sekali di dalam hatinya. Rara Wilis yang masih sangat pucat pun
berjalan menyusul Endang Widuri untuk beristirahat.
Ternyata para anggota laskar Banyu Biru
yang tertidur, sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo.
Meskipun masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang
diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika tubuh
mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang
malahan menjadi bingung, sedang beberapa orang lain menjadi cemas dan
malu. Lebih-lebih para petugas yang pada malam itu sedang mendapat
giliran jaga. Ketika mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat
pesan untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk pada
siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar Banyubiru itupun
telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-tiba pemimpin mereka itu
terpaksa membangunkan mereka di saat fajar hampir pecah. Meskipun
demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka sebuah pertanyaan yang
tak dapat mereka jawab sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu
perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah
terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi
tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-saat penjagaan.”
Tetapi, mMereka menjadi agak terhibur
ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa
meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah
kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu
sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu
kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap
perlu untuk mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada
para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka
diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang
mencurigakan, apalagi membahayakan.
Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam
gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan
asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan
Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang
baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun
hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus
bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah
lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu
bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah.
Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas
gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata
di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat
digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian
adalah Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri,
ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka
melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu
mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah
berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak
sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh
Arya Salaka.
Bantaran dan Penjawi mendengarkan
ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri
tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat
ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat
sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah
Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari
ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu.
Ia pun ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat
ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.
“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana
terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas
yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku
getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa
mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas
dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran
itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku
terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya
dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga
getaran-getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,
meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan
ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke
segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan. Kemudian ia
bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa
itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan
mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya
hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang,
semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa
getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut
kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali
untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian
aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya, “Itulah
keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan
Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena
itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur
yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau
capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang
pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat
menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-kekuatan yang tersimpan
di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada
kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa
kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran
diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung
yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap
penjuru.”
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu,
alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar
karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra
Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak
akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat
mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan. Sebagai
manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat
tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat
membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari
luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa?
Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan
yang mirip dengan ilmu kekebalan.
Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang
demikian itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat
ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh
kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki
bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas
usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya,
pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan
bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung
hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas
karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya
dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan
penuh rasa cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa
Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat
dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam
pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling
berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang
tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya
sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan
perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang
yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu
sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas
ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan
mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan
ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun
kekuatannya untuk menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa
Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya.
Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan
keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku
bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang
Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih
luas dalam pengabdian diri. Mudah-mudahan aku dapat mrantasi, dapat
memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.”
Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun
demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh
almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah
kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran
kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada
saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggung-jawabkan akibatnya.
Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan
tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan
mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala
pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.”
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo
Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya,
namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang
yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo
Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannya pun
sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada
kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut
ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan
gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya
kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat
dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan
lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas,
Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lain yang setingkat
dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula
nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya
Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun
akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri
bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan
oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa
badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan
datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih harus diatasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa
Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat,
dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap
berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya
kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya
sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas
pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada
keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya
dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun
terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang
ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar
betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang
pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang
hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi
sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya dengan gurunya, dan
karena umurnya yang semakin dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan
kata pahlawan.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah
bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi
masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba
melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin
jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu.
Ketika ia membuka matanya kembali,
dilihatnya sinar matahari yang masih sangat condong menembus
dinding-dinding pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai.
Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan.
Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian terhadap
Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah.
Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar
orang berjalan hilir-mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh
suara gerit timba serta debur air orang mandi.
Tetapi bayangan di dalam rongga matanya
masih saja mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula
dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal, namun
cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula
ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya. Bentuk
tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah tingkahnya yang
penuh kejujuran.
“Ah…” desah Arya Salaka. Sekali
lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil
menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam
angan-angannya.
Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat
pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia
berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang
Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu
dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk sambil
tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak Banyubiru yang gigih itu.
Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau
gelar-gelar yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka
melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan kewajibannya
terhadap kampung halaman, sadar akan kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar
nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu
telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap.
Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia
berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri.
Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula.
Apa yang terjadi di perkemahan itu,
ternyata telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa
Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah
meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang dapat bekerja
bersama, diantara mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk
menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan
mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka
membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah
di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan
Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian,
siapakah yang mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta
berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam
seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki
keris sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari
segenap gerombolan hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut
Demak. Dalam himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian
wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah pancatan
untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan Mahesa Jenar, rencana
itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo
untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana, yang
sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha darinya untuk membuktikan
apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan
merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya,
namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir
lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila
keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan
hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila
pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena
itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi rencana
yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab
tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak termasuk di dalam
golongan hitam, bahkan yang sebenarnya mempunyai pertentangan
kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya
persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat
yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk
diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka
itu untuk diri mereka sendiri.
Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi
Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama
yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam
sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk
memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian Mahesa
Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan
tandingan, namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka,
berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan, perkosaan
terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-hal yang akan
terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin
terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh
mendahului perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama
Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang menentukan
kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali
membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah rencana
Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap
kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan
orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar
Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya
Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa
dendam yang tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya.
Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang
ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan
ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar cukup
mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta
yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat
itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah
lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika
ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan
makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan
sayur-sayuran.
“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun
segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama
dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan
lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta
sisa-sisa makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba
terdengarlah Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara.
Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa
berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia
tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan itu,
ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-sungguh.
Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang menyenangkan.
Di luar terik matahari seperti membakar
daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh
dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya
beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah
lain terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa
orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki
alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai tugas kita kepada Arya Salaka.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.”
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia
menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui
kesulitan-kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta
Kebo Kanigara.
“Arya…” kata Mahesa Jenar, “Aku
akan menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku
akan mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar
terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada di sana.”
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa
Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan
apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata diperhatikannya
dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta
mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu.
Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa
yang telah terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan,
apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan
sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa
halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak belasan
tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang ayah bundanya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia
tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia
tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali
ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak
bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu
Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan
oleh anak muda itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia
akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti yang
dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan lain,
sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng
Gajah Sora. Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu.
Arya Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa
ketika ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru
ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah
artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya,
aku minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama
sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga
dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi
karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira
ibumu itu pun tidak mengalami sesuatu.”
Mendengar jawaban itu Arya Salaka
menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada
ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat
itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat
menyelami perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa
Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat
kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih
sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu, “Arya,
tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan
kepentingan pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan
menjunjung tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan
terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu menegakkan kebenaran
dan keadilan.”
Arya Salaka masih saja menundukkan
wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya.
Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang
laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun
ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya
jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian
tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang
akan dapat disumbangkan kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah
pusakanya? Karena itu maka kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh
tekad ia berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga. Katanya, “Demikianlah
putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu.
Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku,
bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap
laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri.
Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan
sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya dengan
darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya
Salaka meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-mula
dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana
pamannya itu kepadanya.
“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,” sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.” Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem…” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku
bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah
kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada
alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat
alun-alun. Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di
Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan
tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri.
Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya
pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar
di dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah, “Kakang
Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia tidak mau
mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin melihat kehidupan bukit
Telamaya dan kecerahan wajah Rawa Pening di pagi yang bening.”
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut
bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada masa
yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus
mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban kewajiban.
Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak
menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu
terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar
Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang
Widuri pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran,
Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang
lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar
membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut
diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke Banyubiru.
Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan
berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar
Banyubiru yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora,
disertai dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar,
terdengar Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian
harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali
ke Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke Banyubiru untuk
kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan kemanusiaan.
Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Bertentangan dengan perasaan keadilan dan bertentangan dengan
sendi-sendi kemanusiaan.”
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu
pertanda bahwa kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam
dada setiap orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia
melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan.
Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik kalian
sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk setiap saat
berangkat ke Banyubiru.”
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut
pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan
yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka mendapat
kesempatan untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka.
Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap
untuk kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar
mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada
sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora
Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan
kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk
dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan, cinta kasih
kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia
dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung halaman serta
lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan
pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan
melaksanakan pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.
Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian
diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi
sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya
sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia
tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang
kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang
menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah artinya pernyataan,
pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun
dalam tindak tanduk dan tingkah lakunya bertentangan dengan
kata-katanya…? Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah
artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya
kata dan perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan
lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah
dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan dan adu
jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang tempat ibadah yang semakin
hari semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang
tak dapat dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun
alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan
adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-an.
Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu.
Dengan demikian, ketika matahari mulai
menjengukkan wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka,
mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-senjata itu
bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap orang yang bernama Lembu
Sora dan Sawung Sariti, hal yang demikian itu tak dapat dikesampingkan.
Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sendiri memerlukan menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan
tanpa mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung
memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan beberapa
orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-latihan khusus dari
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping usaha-usaha yang terus-menerus
yang dilakukan oleh Mantingan, Wirasaba dan pimpinan laskar mereka
sendiri.
———-oOo———-
II
Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar
menganggap bahwa waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru
itu. Dan pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari
setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-anakBanyubiru itu,
menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular menelusuri jalan-jalan
perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah Mahesa Jenar di samping
Arya Salaka. Kemudian di belakangnya berjalan seenaknya Endang Widuri di
samping ayahnya. Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada
perjalanan yang penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah
yang berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang
merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan itu. Sinar
matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu menari dengan
lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang masih tersangkut di
ujung-ujung daun.
Ketika Arya Salaka muncul dari balik
sebuah bukit kecil, tiba-tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia
berhenti. Mahesa Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang
bergolak di dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi
dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika
Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia menoleh
kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sebab kemudian
kembali ia tertarik pada dataran yang berkilat-kilat memantulkan cahaya
matahari yang sudah cukup tinggi.
“Ai…” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?”
Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat matahari terbit.”
Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”
“Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.
“Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya Widuri pula.
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo
Kanigara. Tetapi sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang
menjelang mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar
jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan
berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun demikian kau
sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah Bukit Telamaya.”
Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah
yang menjalar di hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi
berdebar-debar.
Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri,
merupakan daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba
angan-angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah
melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi sedemikian
besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai daerah yang
menyenangkan.
Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh
ke arah Arya Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di
samping Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya yang
membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan nyenyaknya. Di
balik bukit itu membayanglah warna biru kehijauan disaput oleh awan
yang tipis, Gunung Merbabu. Kemudian Endang Widuri meneruskan
perjalanannya dengan penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang
gadis ia senang pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di
hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-dinding
padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur putih, jalan
setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang yang mencari kayu di
hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu hilang terputus ditelah oleh
hutan-hutan yang berserakan di lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa
Pening, terbentanglah sawah yang luas. Setingkat demi setingkat
pematang-pematang sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi
daerah itu masih jauh.
Arya Salaka yang berdiri di samping
Mahesa Jenar merasa betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya
itu. Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-tahun
tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya dengan pohon jambu
yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti hilir mudik di depan matanya.
Dan dibalik kehijauan lambung Bukit Telamaya itulah tinggal seorang yang
paling dicintai, serta dirindukannya, yaitu ibunya.
Mahesa Jenar ikut merasakan betapa
perasaan rindu itu mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun
keluar dari mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat
menambah gelora perasaan rindu itu.
Untuk beberapa lama mereka saling berdiam
diri. Di samping mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak
merekalah terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah
bukit itu menggantungkan nasibnya.
Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin
terharu ketika ia melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di
hadapannya terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit
Telamaya, sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa
kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan seekor
naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali sebutir telur
raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya menarik nafas. Bukit
Telamaya itu seolah-olah sebuah permata yang berkilauan ditimpa cahaya
matahari. Sinarnya memancarkan ke segenap penjuru, memerangi seluruh
langit dan bumi.
Kemudian teringatlah anak muda itu akan
sebuah kisah terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada
ayahnya. Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu
sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa panjang tubuhnya
tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang sejengkal. Karena itu ular
raksasa itu tidak menyenangkan ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular
raksasa itu segera dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular
itu kemudian berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di
lembah bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat menarik
lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah yang
menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air yang semakin
lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah di lembah itu sebuah
Rawa. Rawa Pening.
Sekarang, Arya Salaka pun sedang
melakukan tugas yang seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari
bukit Telamaya. Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu
melilit bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak
memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan lidahnya. Tidak
dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan menyambung kekurangan itu
dengan darahnya. Dengan nyawanya.
Arya Salaka terkejut ketika terasa
setetes air menyentuh tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang
mengaca. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku
juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang demikianlah
tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan kebesaran alam, setiap kali
ia menyebut nama Yang Maha Besar. Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian
agungnya, betapa Agung Yang Menciptakannya.
Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya,
Arya Salaka mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora
hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna merah yang
menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan malah
ia bertanya kepada anak muda itu dengan pertanyaan yang sama sekali
tidak bersangkut paut dengan Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya,
udara cerah. Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita.
Mudah-mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”
Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab, “Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
“Kita perlu istirahat sebentar, Arya.
Kemudian kita meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam
sebelum esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”
“Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya Arya Salaka sekenanya.
“Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab
menurut pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua
tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila terpaksa
terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui siapakah yang berada di
pihak kita, dan siapakah yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan
demikian kita akan mendapat gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita
lakukan.”
Arya Salaka yang telah dapat menguasai
perasaanya, sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
pertimbangan gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan
yang berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab, “Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”
Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan
pandangannya ke Bukit Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah,
ngarai serta jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya
matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening.
Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu telah berjalan agak jauh mendahului kita.”
Arya tersadar dari perasaan rindu, haru
serta gambaran-gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang,
dilihatnya laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu
telah hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya
Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan Penjawi.
Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang
seolah-olah sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan
tersenyum. Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata, “Adakah yang kurang dalam barisan ini?”
Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak,
Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita menjadi semakin
lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki Banyubiru, aku harap bahwa di
samping Sang Saka Gula Kelapa, berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti,
sebagai lambang kebesaran tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan
persatuan dan kesatuan Demak.”
Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya, apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi menjawab, “Hebat.
Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-tanda kebesaran lainnya.
Bukankah dengan demikian pasukan kita akan bertambah megah?”
“Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita bertambah megah dan besar.”
Mahesa Jenar kagum akan kecepatan
berpikir Arya. Dengan demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya
berjalan dahulu untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan
keharuan dari wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu
pada orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala daerah
perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.
Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu
berjalan dalam keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata,
namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai macam persoalan
yang hilir-mudik, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi silih
berganti. Wajah-wajah mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya
matahari, kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka
hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk kembali
kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa, seolah-olah mereka
adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan terasing karena mereka adalah
perampok-perampok dan penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan
dengan orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang diluar
perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia kepada Banyubiru.”
Apakah salah mereka dengan kesetiaannya itu? Kesetiaan yang dilandasi
oleh kesadaran, bahwa dalam keadaan yang sedemikian ini, hanya
pemerintahan yang berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat
menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan yang wajar
antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala sesuatu dapat
dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya. Sebab menurut keyakinan
mereka, hanya dengan cara-cara yang demikian, Banyubiru akan dapat
berkembang atas perkenaan Yang Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan
batin. Akan bergemalah kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan
pembali di pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha
pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari
benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat tumbuh
bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi apabila pada
bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk yang baik, bahkan
kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah pohon-pohon yang akan
menjadi tempat bernaung di masa depan, serta akan muncul pulalah buah
yang dihasilkan.
Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena
tekad yang memang sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala.
Sesaat kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak begitu
lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan rimba,
terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa pasukan itu harus
berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar, Arya Salaka,
Kebo Kanigara, Mantingan serta beberapa orang penting lainnya mengadakan
pembicaraan-pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului
laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah diletakkan
kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar mereka kepada rakyat
Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan mereka ke dalam wadah yang
sewajarnya. Serta kepada mereka diletakkan tanggungjawab untuk
memberikan warna kepada rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran
laskar mereka. Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan
berarti bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh
berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Golongan hitam yang takut berhadapan
dengan rakyat Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha
untuk memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit,
antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan
kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah laskar
Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk mengadakan pengacauan
dan bahkan kadang-kadang perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun
kadang-kadang mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang
Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan Lembu Sora
untuk mengadakan penganiayaan atas orang Banyubiru yang dianggapnya
setia kepada kampung halaman. Dengan demikian mereka telah menggali
lubang yang semakin dalam antara dua keluarga sedarah itu.
Disamping itu, mereka yang telah
disilaukan oleh kedudukan serta harta benda pun menjadi mata gelap.
Mereka pun melakukan perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja
telah membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari mulut
mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap laskar
Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan penjahat yang
sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-penjahat yang lain.
Tugas itu bukanlah tugas yang ringan.
Karena itu dipilihlah diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang
dianggap akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh
kepada kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh
beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak kurang tenang
dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia minta kepada tetua
tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk mengawasi pelaksanaan tugas
itu.
Dengan senang hati mereka menerima
kehormatan itu. Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan
sebaik-baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
“Sendang Papat dan Sendang Parapat…” pesan Mahesa Jenar, “Kalian
datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan, bukan untuk
menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian datang ke Banyubiru
untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang sewajarnya. Karena itu jangan
menuruti darah muda kalian. Kita memilih kalian, karena kalian dalam
wawasan kami dapat mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah,
seterusnya Paman Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.
Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami dengan
kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”
Maka setelah beristirahat beberapa saat,
rombongan kecil itu pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa
menjelang malam, mereka sudah akan memasuki kota.
Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar
menyusun rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora
Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat dibebankan
kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama Kebo Kanigara.
Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir
segenap pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa
Jenar masih saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka
tidak akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka masih
harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi Gedong Sang ke
Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka menjadi gelisah karena
dengan rombongan-rombongan itu mereka masih harus bersabar. Mereka harus
menanti rombongan pertama itu kembali, seterusnya mereka pun harus
menunggu Mahesa Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal
itu tidak akan banyak berarti?
Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata dengan sareh, “Para
pemimpin laskar Banyubiru… aku masih mengharap kalian bersabar. Sekali
lagi aku ingatkan, bahwa yang penting bagi kita bukanlah menghantam
Banyubiru dengan kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan
kembali segala sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin
melihat Ki Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan
mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah yang rapat
antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Arya Salaka,
mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa setetes darah pun yang mengalir
dari tubuh kita. Kita mengharap bahwa apabila Arya Salaka telah
benar-benar berada di hadapan Lembu Sora, akan berubahlah pendirian
pamannya itu. Sebab bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”
Tiba-tiba dari antara para pimpinan
laskar Banyubiru itu terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan
betapa kesal hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita
berarak-arak kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke
anak cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap
pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut dibuatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia
dapat mengerti sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah
bersiap untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan
golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh, “Kedatangan
kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian terhadap Banyubiru.
Sebagai suatu kenyataan yang harus diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu
Sora dalam keputusannya. Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku
berjanji untuk yang terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku
kali ini gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan yang
paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya Salaka-lah yang
berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru, mengemban kewajiban memegang
pimpinan. Kecuali ia adalah putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan
yang tak dapat disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak
Kyai Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”
Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu
belum memuaskan mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba
untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa saat mereka
akan melampaui masa-masa yang menjemukan. Menunggu dan menunggu.
Sedangkan menunggu bagi seorang prajurit yang sudah bersiap untuk
bertempur, adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka
adalah laskar yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah
akan dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk menunggu
itupun akan mereka laksanakan pula.
Ketika mereka sudah cukup beristirahat,
kembali laskar Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai
perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka akan berkemah, dan
menghabiskan waktu-waktu mereka dengan sebal dan gelisah.
Di langit, matahari yang menyala-nyala
berputar demikian cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di
langit sebelah barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru
itu telah sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri
sebaik-baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun mereka
harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora mendahului
menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itupun segera beristirahat,
sebab besok mereka harus membangun perkemahan untuk beberapa hari
lamanya.
Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat
dan Sendang Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga
keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi. Satu-dua
mereka bertemu juga dengan penduduk yang memandang mereka dengan curiga.
Namun karena malam telah gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.
Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat mencapai pusat kota dengan selamat.
Di sepanjang jalan mereka sempat
membicarakan apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak
akan mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang, memasuki
rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka mencoba untuk
bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam jumlah yang besar sekaligus.
Dari Bantaran mereka pernah mendengar
bahwa orang-orang Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang
menyedihkan. Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota.
Maka ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata, “Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang itu?”
Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat, “Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”
Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku
kira tidak, Sendang Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang
banyak daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita
dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya menjadi
lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang besar
sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”
“Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.
Tiga orang yang pergi bersama mereka,
berjalan agak jauh di belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil
keputusan, maka segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi
mereka pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka ketika mereka mendengar
suara gamelan tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan,
berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai dengan acara gila-gilaan itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya kedatangan kita tidak menarik perhatian.”
Maka Wanamerta pun kemudian berjalan
sendiri, Sendang Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang
lainpun kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang
yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu.
Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat
jalan-jalan berbeda dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap,
segera mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat
beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-gerak
yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah penari yang
baik pula. Tetapi mereka belum pernah mempelajari bentuk-bentuk tarian
seperti yang ditarikan oleh tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka
kemudian mengenal siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri
mereka sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang
Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat
masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis-gadis itu
ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis yang baik, bahkan
mereka adalah penari-penari yang baik pula. Tetapi tiba-tiba mereka
sekarang menari dengan gaya yang tak pernah mereka kenal sebelumnya.
Bahkan menurut penilaian mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak
menari, tetapi mereka benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu
jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula. Diantara
nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara pesinden yang tidak
kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri. Pesinden yang telah
kehilangan patokan-patokan seni suara.
Maka di lapangan itu terdapatlah suatu
perpaduan antara tari-tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat
membakar hangus dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu
sayang, bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah
yang kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak. Sendang Papat,
Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa pemuda-pemuda sebaya
dengan kakak-beradik Sendang itu, bahkan diantaranya masih sangat muda.
Mereka telah benar-benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali
telah kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya
memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus dipanaskan
dengan suasana yang benar-benar telah berubah seperti panasnya api
neraka, telah menelan seluruh tanah lapang itu ke dalam suasana yang
mengerikan.
Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya
masih saja berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam
waktu yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian
diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk tuak, dibelai
oleh suara tertawa beberapa orang perempuan dengan gembira sekali
menyaksikan perkelahian itu. Namun di samping itu, Wanamerta dan
kawan-kawannya, masih juga melhat beberapa orang laki-laki yang hanya
berjongkok-jongkok saja menonton suasana itu dari kejauhan. Dari
wajah-wajah mereka, Wanamerta menangkap beberapa kesan yang
berbeda-beda. Ada diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada
yang kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-olah
kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-akhir ini
mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk kesenian seperti yang
pernah mereka nikmati dahulu.
Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi
bertambah ribut dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang
Banyubiru itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang
yang gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang
yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya bergolaklah
berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya berdebar-debar.
Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang bekel Bayangkari pada masa
pemerintahan Baginda Jayanegara yang bernama Gajah Mada. Setelah ia
berhasil menyingkirkan Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang
dipimpin oleh Kuti, kemudian ia kembali ke Majapahit mengabarkan kepada
rakyatnya bahwa Baginda telah wafat. Ketika ia mengetahui bahwa rakyat
Majapahit dan para pembesar berduka cita atas berita itu, tahulah ia
bahwa rakyat masih cinta kepada Baginda Jayanegara. Demikianlah kali
ini, ia harus berhadapan dengan rakyat Banyubiru, membawa kabar tentang
laskar mereka.
Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak
merasakan perhatian orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin
maju, melihat pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi
semakin gila dan panas.
Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik
di antara para penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan
yang berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”
Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab, “Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”
Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena
keinginan mereka untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka
berjalan perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang
itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai
Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itupun
berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang semakin membuat
tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka ingin memandang wajah orang
yang mereka sangka Kiai Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa
sedikit demi sedikit ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian
apakah ia dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik
nafas untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa
hatinya tidak akan bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke
samping pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.
Orang-orang yang mengikutinya, masih saja
berjalan beriring-iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin
banyak. Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang
sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan
gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai Wanamerta
adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang demikian itu.
Para tledek, merasakan suatu keadaan yang
berbeda dengan hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini
merasa seolah-oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya.
Malahan satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para
tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya. Mula-mula
mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak yang semakin gairah.
Tetapi ketika para penonton masih saja satu demi satu melangkah pergi,
tledek-tledek itu benar-benar kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan
menari semakin liar, dan bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka
adalah manusia yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak
lama dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka
menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa tak menentu,
meskipun hatinya menangis, sebab apabila para penggemarnya sudah
meninggalkannya, berarti tak ada makan di esok hari.
———-oOo———-
III
Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di
tengah-tengah lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap
kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua yang sejuk
itu memandang mereka yang berderet-deret di hadapannya, maka tiba-tiba
terasalah suatu tusukan yang tajam ke dalam setiap dada orang-orang
Banyubiru itu. Meskipun Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun,
namun cahaya matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di
dalam dada penduduk Banyubiru itupun ikut serta berkata-kata. Ikut serta
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, “Kenapa hal-hal
semacam ini bisa terjadi…?”
Teringatlah mereka peristiwa beberapa
bulan berselang. Ketika di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan
perkelahian yang sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu,
mereka seolah-oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi
kelakuan-kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,
sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan ini
menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya bukan
sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi kepercayaan Ki Ageng
Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama. Tetua tanah perdikan Banyubiru,
Kiai Wanamerta.
Karena itulah maka beberapa orang
diantara mereka menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha
bersembunyi di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat
oleh Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping perasaan
yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada pula yang merasa
betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh kehadiran Wanamerta itu.
Seperti pada saat Bantaran mengacau di tanah lapang itu, maka Wanamerta
pun akan melakukan hal yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang
berpendirian demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang
Wanamerta dengan perasaan benci.
Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran
Wanamerta itu berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan
kata-kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya
mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan arena.
Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan pekerjaan mereka,
dan ikut pula berderet-deret melihat tetua tanah perdikan mereka, yang
dengan tiba-tiba ada diantara mereka.
Karena itu, maka untuk beberapa lama
tanah lapang itu tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan
irama yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera
lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti bersuka ria?”
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorang pun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan
tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam
bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering
kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai padi
musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih
sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu
dalam batas-batas yang diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang itu menjadi bertambah
hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin,
terdengarlah betapa kerasnya.
Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah, teruskanlah.”
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya.
Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran
Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu.
Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak mengenal aku lagi?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta.
Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?”
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah
suara itu. Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung,
berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan
bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh burung.
“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,” sahut orang
jangkung itu. Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas
kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat
dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya.
“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta, “Kau sekarang nampak begitu gagah.”
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang
merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain.
Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan
mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin
menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai, aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah
pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua
yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan
keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia
kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana
tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama,
memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang demikian
hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada kampung halaman. Aku
telah memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti
sediakala.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung
halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan
sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu
Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Ketahuilah
Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku
yang berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga
orang-orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang
Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya,
Cucunda Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah
gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah
sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun
yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri,
kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu benar…?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?”
Sebagian besar dari mereka yang berdiri
di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap
kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah-mudahan berita itu benar.”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak
setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru
mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini.
Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit
melawannya bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah
tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih
menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia
masih merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku
yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa
peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada
anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!”
Kata-kata Sontani itu agaknya
mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang
kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang
berteriak, “Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar teriakan-teriakan itu,
Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri
untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-puasnya.
Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka semakin
bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar
orang. Agaknya kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh
orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah
bersautan, “He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang yang semula mengharap
kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu
pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan
menambah keributan. Satu demi satu merekapun terpengaruh oleh
teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak,
“Pergilah kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh, “Pergi….
Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa
gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta
tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.
Sendang Papat dan Sendang Parapat yang
berdiri di bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat
menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya.
Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun ketika mereka
masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun menahan
diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat itu Wanamerta masih
berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah
orang-orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu.
Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan.
Teriakan-teriakan itupun semakin lama
menjadi semakin keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada
berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja
seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-teriakan
itupun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika mereka melihat
ketenangan yang membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh
teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir,
menyegarkan tubuhnya.
Wanamerta mengamati keadaan
secermat-cermatnya. Ia berusaha untuk memperhitungkan waktu
sebaik-baiknya. Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut,
berkatalah ia dengan lantangnya, “He, Nyi Gadung Sari kenapa kau
belum juga menari? Marilah kita menari bersama-sama. Bukankah Wanamerta
juga seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang berada di
tanah lapang ini?”
Suara Wanamerta itu benar-benar
mengejutkan. Apalagi Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut
adalah mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan
demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi ternyata orang
tua itu sama sekali tidak marah.
“Saudara-saudaraku serta anak-anakku,
bukankah aku sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung halaman?
Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup
kalian?”
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang
berdiri di tanah lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya
yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau.
Tetapi ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta yang
sama sekali tak mereka duga sebelumnya.
“Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?” tanya Wanamerta.
Sementara suasana menjadi hening. Namun sesaat kemudian terdengar beberapa orang menjawab, “Ia benar, jangan ganggu kami.”
“Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian.” Wanamerta meneruskan, “Bahkan
aku ingin menyesuaikan diri dengan kalian. Bukankah apa yang kalian
lakukan itu sangat menarik? Menari-nari menyanyi dan bergembira
sepanjang hari. Bukankah dengan demikian kalian akan awet muda?” Wanamerta
diam sesaat. Maka kembali tanah lapang itu ditelan kesepian. Yang
terdengar hanyalah tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorang
pun yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan, “Inilah
kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman nenek moyang nenek
moyang kita. Apa yang kalian lakukan sekarang belum pernah terjadi di
tanah perdikan ini sejak masa tanah ini masih bernama Pangrantunan. Kita
sekarang tidak perlu bekerja keras, tidak perlu membanting tulang untuk
tanah kita yang sudah melimpah ruah ini. Sawah ladang, parit-parit dan
jalan-jalan. Begitu?”
Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi.
Namun dada orang-orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah mereka
sekarang tidak perlu lagi bekerja keras? Benarkah sawah ladang mereka
telah melimpah ruah? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelora di setiap dada.
Dan perlahan-lahan mereka menggelengkan kepala mereka.
“Nah…” sambung Wanamerta, “Sekarang
kita tidak usah bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita
sekarang tidak usah bersusah payah berpikir tentang kesejahteraan
kampung halaman lahir maupun batin. Begitu?”
Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga Wanamerta berkata terus, “Jadi
bagaimana? Atau kita memang menghendaki hal-hal seperti ini berlangsung
terus? Kita biarkan masjid-masjid, banjar-banjar desa dan balai-balai
kita menjadi sarang labah-labah dan runtuh sedikit demi sedikit seperti
keruntuhan akal kita…? Bagus-bagus. Demikian agaknya yang kalian
kehendaki. Mari, mari anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri
kita sendiri. Tidak perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta.
Karena itulah maka aku sependapat dengan kalian. Menyabung ayam di siang
hari, judi, tuak dan tayub di malam hari seperti sekarang ini. Hem….”
Wanamerta berhenti untuk menelan
ludahnya. Wajahnya telah basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya.
Kata-katanya seakan-akan menghunjam ke dalam dada orang-orang Banyu Biru
yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di sekitarnya. Ketika tak seorang
pun menjawab ia meneruskan lagi, “Dan sekarang semua itu ada pada kita. Menyabung ayam, judi, perempuan, dan apalagi…?”
Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu.
Mereka yang semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu,
sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada
diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata, “Nah, sekarang kalian
boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali
lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi hancur
dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari kalangan hitam akan
menari-nari di atas bangkai kita bersama. Sadar atau tidak
sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat menguntungkan dan
mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita dapat
tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati dengan bau
tuak menghambur dari mulut kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali kepada Tuhan kita.”
Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah Wanamerta kembali, “Sekarang kalian tinggal memilih. Aku
berada di pihak kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah
kalian pernah mendengar ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa menuntut
haknya kembali dari para Kurawa…?”
Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan, “Dalam
ceritera pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan
bahwa akhir dari Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua.
Kenapa akhir dari Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa?
Tidak Kurawa?” Wanamerta melihat kegelisahan rakyat Banyubiru yang
berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka tampak ketegangan yang
mencekam. Tetapi masih belum seorang yang berkata sepatah katapun. Yang
terdengar kemudian adalah suara Wanamerta kembali, “Nah, baiklah
lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam.
Sejak Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah,
Arjuna lah yang mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya
berturut-turut habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu.
Juga Parikesit kita bunuh.”
Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun
perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan tenang dan
gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi Baratayuda
dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat
Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan ceritera itu.
Sehingga tiba-tiba terdengarlah seseorang berkata, meskipun
perlahan-lahan, “Tidak bisa Kiai, Baratayuda tidak bisa diubah demikian.”
Wanamerta pura-pura terkejut mendengar perkataan itu. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, “Kenapa
tidak bisa? Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada
rakyatnya keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam, judi,
tayub, tuak dan sebagainya, sedang orang-orang Pendawa sepanjang
hidupnya hanya prihatin saja?”
“Tidak, Kiai,” terdengar suara yang lain, “Kita tidak menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-orang Astina di Banyubiru.”
“He…?” kembali Wanamerta pura-pura terkejut. “Apakah yang kau katakan?”
“Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang suara itu.
“Yang mana tidak kau kehendaki? Bukankah
raja Astina Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah adinda baginda
yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan tuak? Bukankah
di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu, agal alus, yang
kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama Dorna?”
“Tidak… tidak…” terdengar beberapa orang memotong kata-kata Wanamerta, “Kami tidak menghendaki itu.”
“Itu yang mana…?” Wanamerta memancing ketegasan mereka.
“Judi. Kami tidak mau judi,” jawab yang lain.
“O, hanya itu saja?” desak Wanamerta.
“Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa suara berbareng.
“Judi dan tuak itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir mencapai maksudnya.
Dan ada yang didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian berteriak, “Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah orang-orang Banyubiru.”
“Tunggu dulu,” potong Wanamerta,
“Bukankah putra-putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang
bijaksana, yang dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah,
rohaniah dalam kekuasaan mereka atas Astina?”
“Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam Dorna.” Terdengar mereka berteriak-teriak, “Pendeta degleng, pendeta bermulut ular.”
“Jadi bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari Baratayuda itu?” tanya Wanamerta.
“Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil memancung lehernya,” sahut mereka bersama.
“Tetapi dengan demikian masyarakat
yang kita cita-citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan
keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti kemenangan
dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha
Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan masyarakat
seperti masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja keras
menuju tata kehidupan yang tenteram damai tata tentrem karta raharja,
gemah ripah lohjinawi”.
Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya
sepotong lidi jatuh di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat
mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah yang
terbanting-banting.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis, “Hei
rakyat Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian masih tetap
pada pendirian kalian? Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus
kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu pada nafsu yang tak
terkendali seperti sekarang ini?” Tak ada suara yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan, “Jawablah
pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan cara hidup kalian
sekarang ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi sesama kita karena kita
sudah mabuk…?”
Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara mereka saur manuk, “Tidak…tidak… tidak….” Wanamerta kemudian meneruskan, “Nah, dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara hirup kita ini akan kita akhiri?”
“Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka berebut keras.
“Bagus. Itulah yang aku harapkan.
Rakyat Banyubiru yang sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan
perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga
kalian lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada
kampung halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik.
Arya Salaka itu akan datang. Benar-benar akan datang.”
Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. “Kita
sambut anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera
Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan kita.”
Teriakan-teriakan yang gemuruh itu
mengumandang sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu
terdengar sebuah teriakan, “Belum. Kita belum sampai ke sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”
“Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung halaman sendiri,” teriak yang lain.
Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu, “Omong
kosong! Omong kosong semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak
seorangpun merasa kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”
Tiba-tiba suara riuh itu mereda. Karena itu Sontani meneruskan, “Apakah
yang hilang dari milik kalian. Tanah, sawah, halaman dan rumah kalian.
Bukankah barang-barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada
seorangpun yang merampasnya?”
Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang
mereka yang berdiri di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka,
sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian terdengarlah suara
Wanamerta tenang, “Kau benar Sontani, tetapi aku dan kalian harus
membayar upeti lebih dari dua kali lipat dari upeti yang harus kalian
bayar dulu.”
“Benar, benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.
Muka Sontani menjadi merah padam. Ia
merasa terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu terjadi.
Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia akan
tetap menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan
demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala
pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus berusaha keras untuk
melawan Wanamerta. “Upeti adalah kewajiban setiap tanah perdikan
untuk membiayai tanahnya. Kalau upeti tanah ini terpaksa berlipat dua,
itu adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat pula,” katanya.
Wanamerta tersenyum, jawabnya, “Apakah
yang pernah dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun
rumah-rumah pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak
satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru? Yang sudah adapun tak
terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”
“Benar, benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak dapat mengendalikan diri
lagi. Ia melompat menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling
Wanamerta, sambil berteriak, “Persetan dengan sesorahmu. Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap kau.”
Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan masih setenang tadi ia menjawab, “Jangan
marah Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula
akupun telah mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah
mengatakan bahwa aku berada di pihak kalian, apapun yang kalian
kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki meletakkan segala sesuatunya
pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang seharusnya. Tidak lebih dan
tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan kekuasaan. Inilah suatu usaha
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya.”
“Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu dengan tanganku.” Sontani sudah tidak dapat menyabarkan diri lagi.
“Jangan Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi, “Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik.”
Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya.
Ia melangkah semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang hitam
kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya.
Sementara itu Sendang Papat dan Sendang
Parapat telah meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik
perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang
berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah
menghampiri Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang diri, maka
Sendang Papat dan Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan
melihat saja apa yang akan terjadi.
“Wanamerta…” kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh kemarahannya. “Jangan menjawab pertanyaanku. Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat ini.”
Sontani telah benar-benar marah. Ketika
ia mendengar Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan
dirinya. Dengan satu loncatan ia telah berhasil menangkap baju Wanamerta
dan mengguncangnya sambil membentak, “Jangan menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”
Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah
menggerakkan semua orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua.
Tiba-tiba mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap orang
yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi
mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan, “Lepaskan dia Sontani, lepaskan.”
Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar pula suara, “Sontani, jangan main kekerasan.”
“Diam kalian!” bentak Sontani, “Aku dapat berbuat apa yang aku kehandaki. Jangan turut campur.”
“Jangan keras kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain, “Supaya kami tidak berkeras kepala pula.”
Sontani menjadi gemetar. Tetapi suara-suara itu terus saling menyusul. “Lepaskan dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus melepaskannya?” Disusul pula dengan suara-suara yang mulai bernada kemarahan. “Pergi kau Sontani. Pergi kau. Atau kami harus memaksa?”
Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit pengikut-pengikut Sontani, “Hantam dia. Hantam kambing tua itu.”
Sontani melihat pengikut-pengikutnya.
Dengan demikian ia menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia
menggoncang-goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, “Babi tua, jangan banyak tingkah.”
Pada saat itulah maka keadaan hampir tak
dapat dikuasai lagi. Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan
apabila demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan pertempuran
kecil-kecilan. Tetapi, tiba-tiba Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan
Sontani, “He, orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”
Teriakan Wanamerta itu ternyata
berpengaruh juga. Beberapa orang mengurungkan niatnya dan memandangnya
dengan heran. Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi oleh
pengalaman dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang
Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata yang
memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang tak habis-habisnya.
Ketika Sontani melihat mata orang tua itu, ia terkejut. Seolah-olah dari
dalam mata itu memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba
Sontani membuang matanya ke arah orang-orang Banyubiru yang berdiri,
dengan tenang, namun masing-masing telah bersiap untuk memukul dan
berkelahi.
“Lepaskan Sontani,” kata
Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi bagi Sontani terdengar seperti guruh
yang meledak di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh
kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik
Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang
tegak dan tak tergerakkan. Bahkan sekali lagi ia berkata lirih, “Lepaskan Sontani, lepaskan.”
Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya
tiba-tiba ia melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat
melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya itu.
Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah
Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan
datang. Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya, serta untuk
menutupi kelemahannya, ia berteriak, “Aku lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”
Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia berkata kepada orang-orang Banyubiru, “Apa yang kalian lakukan? Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”. Mereka yang membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan mereka yang berpihak kepada Sontani. Kenapa
kalian…? Bukankah kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih
kepada kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan
aku berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang berani,
meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain. Tetapi aku sedih
melihat pertentangan kalian. Aku sedih melihat kalian akan bertempur
satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”
Keadaan menjadi hening. Tetapi
orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama
sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah seharusnya mereka
berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini? Tetapi mereka
tidak boleh berbuat apa-apa.
Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia menjelaskan, “Anak-anakku,
jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal itu sama sekali tidak akan
menguntungkan. Tidak bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian
lakukan hanyalah menempa tekad untuk melebarluaskan berita itu. Kalian
hanya akan menyambut kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini
dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah
dilakukan oleh yang berhak membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang
mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu perintahnya.”
Wanamerta masih melihat keheranan
terbayang di wajah mereka. Keheranan seperti yang terbayang di
wajah-wajah laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar keputusan
Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu
Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan
mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang harus mereka
tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang sudah dicapainya itu tidak
boleh terlepas lagi.
Tetapi sementara itu Sontani menjadi
bermata gelap. Ia tidak dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya.
Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata, “Wanamerta,
baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan
berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau kesempatan,
aku sekarang terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu.”
Wanamerta melihat mata Sontani telah
menyala-nyala. Ia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya.
Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke dalam bentrokan
itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan penyelesaian
masalah hanya karena berkelahi sesamanya. Karena itu ia menjawab, “Baiklah
Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara terus. Kita
berlawanan kehendak. Karena itu terserah apa yang akan kau lakukan dan
biarlah aku mencoba untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal
yang akan aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk
pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat diperlukan buat masa
depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu kalau ada perbedaan
pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut mereka.”
Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar
bahwa kata-kata itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan
seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa pengikutnya tidak
sedemikian banyak berada di tanah lapang itu. Maka ia menjawab lantang,
“Suatu kehormatan bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku
mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor anak ayam yang kagum
melihat ayam jantan berkokok di atas pagar. Tetapi sekarang tidak.
Akulah ayam jantan itu.”
Wanamerta menarik nafas. Ia adalah
seorang yang mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala daerah
perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana, ia telah
menjabatnya. Karena itu iapun cukup tajam untuk menilai seseorang.
Terhadap Sontani, iapun dapat menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih
dari seorang yang besar kepala, sombong dan keras hati.
“Kau benar,” jawab Wanamerta, “Kau adalah ayam jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah matahari hampir terbenam.”
Sontani menggeram. Sekali dua kali ia
melihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang
Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya.
Dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat Banyubiru, “Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah Abang.”
Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, “Wanamerta, bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata, “Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya.
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali. Maka jawab Wanamerta, “Gemintang
yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang
terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu
sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak, “Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.”
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan
suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang
berdiri disekitarnya berdesakan mundur. Dada mereka tergoncang. Sontani
adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu serangannya pun
kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga
dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk
mempertahankan kedudukannya itu.
Wanamerta heran melihat serangan Sontani
yang dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu,
sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu
berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya.
Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri
dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani.
Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua
itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa
dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia
bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar,
seolah-olah roda yang berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua
yang memuakkan itu. Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu,
Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf
mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan berbahaya itu.
Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak memberinya kesempatan.
Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam, menghantam,
bertubi-tubi. Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa
lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah
jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun
demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih.
Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak
berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin
membara. Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani
mengerahkan segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua
yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah berada di
tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di pinggiran kota
Banyubiru itu. Menghadapi serigala yang marah itu, Wanamerta harus
berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh
segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga.
Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan
seperti terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila
serangannya itu dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga.
Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani,
maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang berdiri di
sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat demikian pula,
meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak pernah
mengenai sasarannya.
Diantara para penonton itu tampak Sendang
Papat dan Sendang Parapat tersenyum-senyum. Lima tahun yang lampau,
memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih dari
Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki
Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat
petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa
lemahnya serangan-serangan Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat
betapa Wanamerta dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang
menjemukan dan sama sekali tidak bermutu. Wanamerta tidak ingin melihat
keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk mengalahkan
Sontani tanpa melukainya.
Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang
yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu
ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia
berteriak-teriak, “Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus
karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi janganlah kau
ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu yang seolah-olah membelah
langit.”
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindar terus ia menjawab, ”Sontani,
seingatku, seumur hidupku aku tidak pernah sesumbar. Karena itu, aku
tidak malu seandainya aku kalah dalam pertempuran. Kekalahan bukan
berarti kehilangan kejantanan. Seorang jantan pun dapat kalah pula.
Kalah dalam kejantanannya sebagai suatu kenyataan.”
Sontani tertawa. Karena tertawa, ia memperlemah serangannya. Katanya, “Ha,
kau sudah semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi.
Berjongkoklah dan minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau
kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan
ini dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”
“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta.
Sontani membelalakkan matanya. Ia
mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun
seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi
tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu
sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu, “Aku beri
kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada kesempatan lagi
bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur gundul dan aku arak
berkeliling kota besok pagi.”
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan
saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani
sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai dengan
melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak
sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang
bersiaga, sehingga beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut
mengenai tubuhnya. Tidak hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia
terdorong beberapa langkah surut. Mengalami perisitwa itu tiba-tiba
mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah
dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak, bukan
karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang
bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada
itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam
tanggapannya, serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya.
Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan
Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan. Namun dengan
perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia
tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh
tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani,
menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.
Tetapi kemarahan Sontani telah
benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat
menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi
semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh nafsu.
Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya
terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram.
Wanamerta membiarkan Sontani bertempur
dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga
dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak mengalahkannya
dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya.
Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena
pikirannya yang gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan
dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan
menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah
mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya seperti
orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera
menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum. Sedangkan Wanamerta
benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa
orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya
yang mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan
Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai
yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari
gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan.
Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri, sehingga tidak
mampu lagi untuk melihat kenyataan. Perasaan yang demikian itulah yang
mendorong seseorang ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan
sikap menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri.
Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya
berlebihan. Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut
mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan
yang tak dapat dikalahkan.
Oleh karena itu, oleh perasaan yang
bercampur baur itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh
kemarahan ia berteriak nyaring, “He Wanamerta, bertempurlah dengan
laku seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar.
Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”
“Hem…” gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia menyabarkan diri.
Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, “Hai,
kelinci betina. Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari
berputar-putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam
pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”
Wanamerta menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu perlahan-lahan ia menjawab, “Kau belum sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”
Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia
sendiri sudah lupa pada hitungan itu karena serangan Wanamerta yang
tiba-tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan akan
kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba
terjadilah apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula
dihindari, sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani itu
terus menerus tanpa menjatuhkannya. Dengan penuh kemarahan, Sontani
berteriak, “Hei orang-orang Lemah Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”
Perintah itu benar-benar menggetarkan
hati Wanamerta. Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan
seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati karenanya.
Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus menghadapi akibat
yang barangkali tak pernah dipikirkan. Karena itu Wanamerta mencoba
mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak, “Tunggulah Sontani.”
Tetapi, Sontani benar-benar telah
kesurupan setan. Ia tidak mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang
pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah menjadi
ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan berloncatan maju,
mendesak orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa orang
mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun.
Gelang raksasa yang terdiri dari manusia
yang berjejal-jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih
belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang
berloncatan memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama
dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.
———-oOo———-
IV
Itulah permulaan dari bencana yang
menimpa diri Sontani. Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya,
melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi makanan pesta
dari orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari kepentingan
mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa perintah
dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani. Sehingga di
lapangan terbuka itu terjadilah semacam perang kecil-kecilan antara para
pengikut Sontani melawan orang-orang Banyubiru yang lain.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan
beberapa orang kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus
menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi emban
kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Apa yang akan kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat.
Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya
komat-kumit, namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya telah
terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran antara
rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti masa depan yang
lebih menyenangkan.
Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh
hiruk-pikuk menjauhi Wanamerta. Dengan penuh kemarahan ia berkelahi.
Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa mundur dan mundur.
Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka ternyata korban lawan.
Lawan yang dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun kuatnya
Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta, namun
akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali tak
mereka harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi
mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil melepaskan diri dari tangan
orang-orang yang semula dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya.
Beberapa orang menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya. Beberapa
orang mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya sekenanya. Sontani
meronta-ronta sejadi-jadinya. Tetapi tangan orang-orang itu terlalu
keras, dan ia tak mampu melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali
lagi itu.
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah
orang muda yang selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan yang
telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-orang semacam
Sontani itu. Di hadapan hidungnya ia melihat Sontani telah berusaha
untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika
ia mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran dan ragu,
sehingga Wanamerta terpaksa mengulangi, “Sendang…” suaranya perlahan-lahan, “Selamatkan Sontani.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat sadar
dari keragu-raguannya. Bagaimanapun perasaannya bergolak di dalam
dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh. Karena itu mereka
tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat diantara
orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke
arah Sontani.
Dengan mempergunakan
pengalaman-pengalaman serta kelebihan-kelebihan mereka, mereka pun
segera berhasil berdiri di samping Sontani yang sedang meronta-ronta
itu. Dengan penuh tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan
suara orang-orang Banyubiru yang marah itu, “Hai, kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini kepadaku.”
Beberapa orang yang dekat berdiri dengan
Sendang Papat itu terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam
samar-samar sinar obor yang jauh. “Bukankah yang berteriak itu Sendang Papat...?”
Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, “He, adakah kau Adi Sendang Papat?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Dari arah lain terdengar suara, “Dan inilah adiknya, Sendang Parapat.”
“Bagus, bagus,” teriak yang lain, “Bukankah kau datang untuk membunuhnya?”
“Lepaskan dia,” kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat mendesakkan kata-katanya pula, “Lepaskan dia. Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”
Suara itu disahut oleh Sendang Parapat
dan oleh beberapa kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena suara-suara
itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula. Semakin lama menjadi
mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun masing-masing wajah masih
diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.
“Serahkan orang itu kepadaku,”
kata Sendang Papat dengan kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang
berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka ragu,
seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri
dengan kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.
“Apakah kalian keberatan?” desak
Sendang Papat. Matanya beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang
penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang berdiri di
hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar bahwa
Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini
seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.
Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu terdengar sebuah pertanyaan, “Akan kau apakan dia, Sendang Papat?”
Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, “Serahkanlah kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”
“Apa yang akan dilakukan?” bertanya yang lain.
“Ia tahu apa yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.
Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh
keraguan. Masing-masing mencoba mengangan-angankan apakah kira-kira yang
akan dilakukan oleh Wanamerta.
Tetapi kesepian itu tiba-tiba dipecahkan
oleh suatu peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana yang
hampir baik kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni
yang pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta
menyerang Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung
kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.
Tetapi Sendang Parapat adalah seorang
yang terlatih. Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan
mengenai dirinya, selain tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun
dengan cepatnya ia bergerak dengan tenaganya yang terakhir, menangkap
tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan
melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret beberapa
langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat segera melenyapkan
dirinya ke dalam gerombolan orang-orang yang masih berdiri di sana
sini. Ia terpaksa berhenti mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan
pegangannya yang seolah-oleh terkunci. Dalam saat itulah Sendang Papat,
memandangi kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai
adiknya, pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah
serasa tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini
seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung berapi yang tak
menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah kemarahan Sendang Papat. Ia sempat
melihat adiknya berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan
orang yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu
terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti thathit
meloncat beberapa langkah ke arah orang yang mendorong adiknya, untuk
melepaskan pegangannya. Demikian Sendang Parapat terlepas, dan tubuhnya
terbanting di tanah, demikian Sendang Papat sampai kepada orang itu.
Wajah Sendang Papat tiba-tiba berubah. Seolah-olah di dalamnya
tersembunyi malaikat pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah
katapun, ia menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itupun
agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan itu.
Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi seakan-akan
belipat-lipat. Seperti badai yang tak tertahan lagi ia menerkam orang
yang menusuk lambung adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya,
tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah lawannya. Karena itu ia terdorong
surut beberapa langkah, yang kemudian disusul sebuah pukulan dengan
tenaga tergenggam pada dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga
orang itu seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke
belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke tanah.
Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata Wanamerta, ia
tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-pemimpin yang lain.
Yang teringat hanyalah, seorang dengan licik dan curang telah menusuk
adiknya. Seperti seekor harimau ia meloncat ke atas tubuh orang itu, dan
dengan sekuat tenaga seperti hujan yang tercurah dari langit, ia
menghantam bertubi-tubi wajah orang itu. Terdengarlah orang itu
berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar oleh
Sendang Papat yang sedang marah.
Orang-orang yang berdiri di sekitar
tempat itu, justru menjadi terdiam seperti patung. Dengan mata
terbelalak pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang
berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui
kemudian adalah Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh
lawannya yang terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk
mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.
Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata
tidak tinggal diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk
bergerak, mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata
mereka adalah pengikut-pengikut Sontani.
Beberapa orang bersama-sama dengan
mempergunakan senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau
runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya,
namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan bahaya yang
mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri,
menarik bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu sehingga berdiri
dan dengan segenap tenaga yang ada, Sendang Papat memukul orang itu
dengan tangan kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti
tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan terhuyung-huyung akan
jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang Papat melepaskan pegangannya,
dengan tangan kirinya, ia mengangkat muka orang itu menengadah, dan
sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah itu. Ternyata
orang itu sudah tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja
terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada saat
itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat dengan
pisau-pisau di tangan. Tetapi Sendang Papat adalah seorang yang terlatih
menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri tidak mempergunakan senjata,
namun ia sama sekali tidak takut melawan orang-orang itu. Karena itulah
maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat melawan lebih
dari empat lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru. Meskipun
demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk
mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya.
Demikian ia melompat kesana-kemari,
seperti seekor kijang yang keriangan di padang rumput yang hijau.
Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang
bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-latihan yang
ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang
menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang bernama Sendang Papat itu
benar-benar mengamuk tanpa terkendali.
Perkelahian itu ternyata telah memancing
berkobarnya kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu. Ketika para
pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang yang
memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-orang Sontani
itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu melawan kemarahan
orang-orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena itu
sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke dalam kegelapan
malam. Yang tinggal kemudian hanyalah kelima orang yang bersama-sama
bertempur melawan Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka
merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka.
Wanamerta, yang tak jauh dari mereka,
melihat keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui
apakah yang terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang
Parapat terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia
melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk
menahan darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut serta
berkelahi melawan orang Sontani. Wanamerta kemudian menekan dadanya,
ketika ia melihat Sendang Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan
dirinya sama sekali.
Beberapa saat Wanamerta berdiam diri
dengan cemas. Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti
yang dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia dapat mengambil
keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat menempatkan
beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada kesadarannya kembali.
Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat yang buruk.
Meskipun hanya sementara.
Pada saat itu Wanamerta sudah tidak
melihat Sontani lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka
kesempatan, tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih
berkelahi terus, dan apakah ada diantara mereka yang menjadi korban.
Yang penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.
Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta
adalah menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang
keluar dari lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.
Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya, “Bagaimana luka itu?”
“Berat Kiai,” jawab salah seorang diantaranya.
“Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar tempat ini?” tanya Wanamerta pula.
Kedua orang itu berpikir. Kemudian salah seorang menjawab, “Bagaimana dengan Kakang Prana?”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia mengangguk-angguk, katanya, “Aku
kira ia baik. Bawalah Sendang Parapat kepadanya. Kami akan
menyelesaikan beberapa persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti
ke sana. Aku sendiri masih harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan
keseimbangan.”
“Tak dapat disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
“Ya,” jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata, “Nah pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-labah.”
“Baik Kiai,” sahut orang itu
sambil berdiri dan mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana
yang tak jauh dari lapangan itu. Mereka mengharap akan dapat
beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat yang terluka itu.
Sepeninggal kedua orang itu, kembali
Wanamerta mendekati Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa orang
telah berdiri di sekitar tempat itu dan beberapa orang lagi
berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian itu pula. Mereka
itu datang kembali setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani.
Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas tersengal-sengal berteriak, “Bunuh saja mereka semua, bunuh saja.”
“Bunuh… bunuh….” sahut yang lain.
Wanamerta menjadi semakin cemas. Dengan
demikian permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan bertambah
menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia mengharapkan
pertanggungan-jawab sepenuhnya terletak di bahunya, setidak-tidaknya
pada Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil berteriak, “Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka bertempur dengan jujur.”
Beberapa orang menjadi heran mendengar
kata-kata Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya. Mereka
mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan mereka. Bahkan
seorang yang berdiri di deretan paling depan bertanya, “Bagaimanakah
perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi Sendang Papat hanya seorang
diri tanpa senjata, harus melawan lima orang bersenjata.”
Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia menjawab, “Jangan
takut. Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur melawan
lima orang sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”
Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali
tidak mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat akan mengalami
bencana seperti adiknya.
Kemudian tak seorang pun berbicara lagi.
Mereka dengan seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun
juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan tidak
tahu bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia
ketahui adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang
meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil
keduanya tidak pernah berpisah. Seolah-olah mereka mampunyai ikatan
batin yang sedemikian eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit pula
bagi yang lain. Tiba-tiba sekarang di hadapan hidungnya ia melihat
adiknya jatuh berlumurah darah. Karena itu otaknya menjadi terguncang
dan karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-tiba
menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu mengitarinya. Tetapi
mereka merasa bahwa seolah-olah mereka telah terjebak di dalam
kepungan. Karena itu mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri.
Dengan demikian maka merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur
mati-matian, sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka mengharap
Sontani datang membantu, atau Sontani akan datang dengan kawan-kawan
yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani dapat menghubungi pasukan
Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Wanamerta, mereka
merasa bahwa orang-orang Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap
mereka. Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi mereka
itu.
Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu
tidak bertindak apa-apa terhadap mereka, namun akan sama sajalah
akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu, tendangannya jauh
lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu menyerang
mereka beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk mencari
jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar tempat
itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu tidak ada pilihan lain,
bertempur mati-matian.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung
beberapa lama. Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh
kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap karena putus asa. Sebab
setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu, mereka
tidak dapat mengharapkannya lagi.
Orang-orang yang ada di sekitar
perkelahian itu, semakin lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan
kagum atas tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima
orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat
Sendang Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya
bertambah-tambah.
Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas
kehendak dirinya. Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap. Tanpa
sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah seperti hujan
yang melimpah.
Apa yang terjadi kemudian adalah sangat
mengejutkan. Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati
dari salah seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya,
terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah seorang dari
lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari
dadanya.
“Sendang Papat…!” teriak
Wanamerta cemas. Tetapi Sendang Papat sama sekali tidak mendengarnya.
Bahkan sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar tak
berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada
mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun
berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling mereka,
dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke arah orang-orang yang
sedang menyaksikan perkelahian itu. Beberapa orang terkejut dan bergerak
mundur. Dengan serta-merta, mereka mendesak menyusup ke dalam kepepatan
orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka
mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan
tanpa ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang
iganya. Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian terdiam untuk
selama-lamanya. Tiga orang telah menggeletak berlumuran darah yang
mengalir dari mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali belum
puas. Dengan marahnya ia berteriak nyaring, “Tangkap iblis-iblis itu.”
Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba
menjadi cemas pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu. Mereka
hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat mengejar dua orang
lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri memagar
lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan membiarkan kedua
orang lawan Sendang Papat itu menyusup diantara mereka, dan membuat
keributan bagian belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup
gelap. Sinar obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali
tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di
sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat mendapat banyak
kesulitan untuk menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup
diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung lapangan mereka
meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.
Ketika Sendang Papat tidak berhasil
menemukan kedua orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang
yang hilang ingatan ia berteriak, “Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.
Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut
pada seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa
dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang
dikentalkan, badhek dan sebagainya. Hatinya yang marah itupun menjadi
semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama.
Gamelan yang seperangkat itupun merupakan
salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu
sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya. Sendang
Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi
pakaian-pakaiannya. Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di
tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan
yang mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan
yang tak terkendali. Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
“He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan
menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang pernah kau
lalui dengan gila-gilaan?”
Tak seorangpun yang menjawab.
“Dengar…!” teriak Sendang Papat, “Aku
akan membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang
cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian
sependapat, ikutlah aku.”
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena
itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang
dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar sebuah obor
di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan. Dilemparkannya kedua
obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor,
tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu
disepak-sepaknya. Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya
itu menjadi terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil
berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu
dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan itu.
“Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itupun kemudian menyala
berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah
ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat
kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak
menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan,
bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya
di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya.
Tanah lapang itu kemudian menjadi terang
benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan
mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran
mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik,
warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam pelukan
penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya
gamelan dan bambu-bambu yang terbakar. Orang-orang Banyubiru itu seperti
kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka
menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu.
Kembali Wanamerta menekan dadanya.
Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan
Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan
lawannya.
Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah
tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak
dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri
peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.
Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit.
Melihat api serta asap itu, Wanamerta
dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai
kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu
Sora. Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian
keadaan akan bertambah buruk. Karena itu, selagi masih ada kesempatan
Wanamerta ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari
bentrokan bentrokan yang lebih besar. Dengan demikian ia menyusup
diantara orang banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati
Sendang Papat.
Ketika ia sudah berdiri di belakang anak
muda itu ia menggamitnya, Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya masih
merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu sejenak,
tetapi akhirnya ia berkata; “Sendang, hentikan permainan ini.”
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan kecewa, bantahnya, “Aku harus membunuh semua orang yang telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta lunak.
“Kapan aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah
lama. Dan selama ini kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan
masalah kita dengan orang orang yang telah keblinger itu,” Wanamerta mencoba memberikan penjelasan.
“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut Sendang Papat.
“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak
bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya merupakan salah
seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini.
Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah lapang
ini?,” bertanya Wanamerta. “Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu Sora?.”
“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.
Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun
apabila Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari
tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya.
Sebelum Wanamerta dapat menguasai
perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari
kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamerta pun berdesir. Itulah pertanda
bencana akan datang.
“Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,” berbisik Wanamerta.
Tetapi Sendang papat ridak mendengarnya. Yang didengar adalah derap kuda yang mendatangi tanah lapang itu.
Tiba-tiba wajahnya menjadi terang.
Tampaknya ia menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat
mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian menghambur
menyongsong derap kuda yang semakin lama semakin dekat. Beberapa orang
yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun tiba
tiba menjadi gembira pula.
Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan,
muncullah beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari
Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang
kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan berkuda itu.
Pemimpin rombongan itu segera melihat api
yang menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah
olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar di dada mereka. Apalagi ketika
mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan mereka dengan
senjata pemukul, bambu dan kayu dan apa saja yang mereka ketemukan.
Pemimpin laskar itu segera memberikan
perintah, dan bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru.
Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak orang dilapangan
itu. Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang
terlanggar dan terbanting di tanah. Beberapa orang berteriak teriak
mengancam dan mengumpat umpat.
Sendang Papat menjadi kecewa ketika
rombongan itu terpencar pencar seperti orang kesurupan ia berlari-lari
mengejar kuda-kuda itu. Tetapi, kuda-kuda itu berputar-putar dan
menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat sikap itu Sendang Papat
menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi marah pula. Ia tidak
pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang
Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan
pecut dan tongkat pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap
dingin. Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang
berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan perlawanan.
Orang banyak itupun mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat
mereka lakukan tidak banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu
banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan
merekapun tidak banyak berarti. Hanya Sendang Papat lah yang mampu
menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan
kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia mendesak
orang di sekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat
disampingnya demikian ia meloncat ke atas punggungnya. Sekali gerak,
tangannya telah membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian
terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan orang
Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itu pun tak banyak yang
dapat dilakukan.
Wanamerta kemudian tidak mengingkari
tanggung jawabnya. ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang Pamingit
itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah korban.
Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin menjadi jadi pula.
Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa
bentrokan itu harus segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil
menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta berteriak, “Hindarkan diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian.”
Sekali dua kali suara Wanamerta itu
tenggelam saja dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta
teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa.
Diulanginya lagi kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia
berteriak keras; “Hei orang Banyu Biru yang setia. Jangan terlalu
bodoh melawan orang berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri
kalian dari injakan kuda-kuda itu.”
Beberapa orang mendengar teriakan
Wanamerta, mereka mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang
berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh bertambah lagi.
Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus pedang
mereka. Meskipun demikian Sendang Papat bertempur seperti burung
Sikatan. Ia menyambar dengan lincahnya diatas kudanya. Namun tidaklah
banyak yang dapat dikerjakan.
Demikianlah, kemudian orang Banyubiru itu
sadar akan keadaan yang tidak berimbang. Karena itulah mereka mengikuti
nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang. Beberapa orang meloncat
dan berlari meninggalkan lapangan itu.
Kuda orang Pamingit itupun mejadi liar
pula. Mereka berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar.
Diatas punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar seperti beruang
alasan.
Orang berada dilapangan semakin berkurang
jua. Satu satu mereka mencoba menghindarkan diri mereka dengan janji di
dalam dada apabila datang saatnya maka akan mereka serahkan jiwa raga
mereka sebagai tebusan atas kekhilafan mereka selama ini. Tetapi kali
ini, mereka tidak akan mati tanpa arti.
Beberapa orangberkuda mencoba mengejar
mereka namun mereka itupun segera meloncati pagar batu dan menyusup
pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang gelap.
Sendang Papat masih saja bertempur terus.
Ia sama sekali tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia
tidak mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia harus bertempur seorang
diri.
Demikianlah kemudian tiga orang berkuda
bersama-sama menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak
dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk memutar
kudanya, menghindar kesamping. tetapi kuda lawannya itu akan
melanggarnya. Disusul dengan yang seekor lagi dari arah lain. Sendang
Papat segera menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu terhenti. Seekor
kuda lawannya, berlari terus kedepan, tetapi seekor lagi benar benar
membenturnya.
Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi
Sendang Papat sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya
bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya. Keduanya jatuh
bergulingan dan berusaha bangkit kembali. Demikian mereka berdiri,
demikian mereka bertempur kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan
kawannyapun telah siap pula untuk membantu. Wanamerta yang masih berdiri
di tanah lapang melihat kesulitan yang bakal terjadi atas Sendang
Papat. Ia tidak mau mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat
sehingga ia harus berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi
lawan terlalu banyak. Untuk sesaat Wanamerta berbimbang hati. Ia
menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan kejernihan pikirnya
sehingga seolah olah ia akan membunuh diri.
Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu.
Bagaimanapun yang terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah
dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah Sendang
Papat, untuk membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang Papat
masih sempat mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat menyerang
lawannya, yang berdiri diatas tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih
dapat menyapanya sebelum ia digilas oleh kaki kuda orang Pamingit itu.
Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah “Sendang,” suaranya perlahan sekali. “Adikmu mencarimu”
“He,” Sendang Papat terkejut “Prapat?”
“Ya,” jawab Wanamerta. Sementara
itu ia harus turut melawan lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor
kuda sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang diuraikan,
Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta dan
melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh sendang Papat.
Dengan sigapnya ia meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh
orang itu. “Naiklah kiyai,” teriaknya. Tetapi Wanamerta tidak
sempat naik. Orang yang semula berkelahi melawan Sendang papat
menyerangnya. Ketika sebuah pedang menyambar lehernya, Wanamerta
berjongkok merendahkan dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam
lambung orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar.
Malanglah baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari
mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk menusuk
tubuh Wanamerta dari dua arah. Tiba-Tiba seseorang terlempar ke depan
mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itupun dengan dahsyatnya
terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang. Wanamerta
hanya melihat peristiwa itu sebentar saja. Iapun segera berlari,
meloncat ke atas punggung kuda, yang semula dipakai oleh Sendang Papat.
Kuda itu, yang masih berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan
berlari melingkar-lingkar. Untunglah Wanamerta segera dapat
menguasainya.
Dalam pada itu Sendang Papat sudah
bimbang. Kalau semula ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan
membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir kembali.
“Adakah Parapat masih hidup?” pikirnya.
Dan tiba-tiba Sendang Papat ingin
mendapat penjelasan tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera
mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya, “Adakah Kiai tadi berkata tentang Parapat?”
Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang kuda yang telah siap menerjang mereka. Meskipun demikian ia menjawab, “Ya.”
“Bagaimana dengan anak itu?” Sendang Papat minta penjelasan.
“Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih tertolong,” Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu, ia melihat beberapa orang
lain, yang semula mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki tanah
lapang kembali. Bahkan mereka pun segera bersiap pula untuk menyerang.
Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah, sementara itu harapannya
mulai timbul kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia meninggalkan
tanah lapang ini untuk melihat adiknya.
“Tak cukup banyak waktu Sendang,” kata Wanamerta pula, “Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan.”
“Di mana dia sekarang?” tanya Sendang Papat.
“Ia disembunyikan di rumah Ki Prana,” jawab Wanamerta.
Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya orang-orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka berdua.
“Mereka datang, Kiai,” kata Sendang Papat.
Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping. “Pikirkan adikmu itu,” katanya sebelum kudanya berlari.
Sendang Papat tidak sempat menjawab.
Seekor kuda lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang
menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada punggung
kudanya. Hatinya berdesir ketika Sendang Papat merasakan angin sambaran
pedang menghembus tengkuknya. “Hampir saja,” desisnya. Karena
itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan orang-orang Pamingit
itu, dengan pedang pula. Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun
memungut pedang dari seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit
kembali. Dengan pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya
dengan kekuatan yang berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun
bertambah-tambah pula. Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun
dapat bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba saja telah tergenggam
sebuah telempak, tombak bertangkai pendek. Agaknya ia pun merasa perlu
untuk memegang sebuah senjata yang tidak terlalu pendek dalam
pertempuran berkuda.
Namun, meskipun demikian di dalam hati
Sendang Papat mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh
kata-kata Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia
mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan dengan suara yang parau dan
perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kita lebih baik meninggalkan lapangan ini, Kiai?”
“Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan,” jawab Wanamerta.
“Baiklah,” jawab Sendang Papat.
No comments:
Write comments