Wednesday, February 26, 2014

Nogososro Sabuk Inten 15 F

Orang tua itu, yang pernah mengenakan gelar Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru akan menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia berkata, ”Mahesa Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan, meskipun kau harus selalu berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora… serahkan saja kepadaku.”
Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di dalam hati Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai hubungan sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata, ”Tuan, telah bertahun-tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan Tuan dalam kedudukan Tuan sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun kemudian ternyata aku sama sekali masih belum mengenal Tuan. Sebab ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga ternyata karena keterangan-keterangan Tuan, aku malahan menjadi semakin banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia lagi, khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan apabila Tuan menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari manakah Tuan sebenarnya.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara yang dalam dan perlahan, ”Kebo Kanigara dan kalian yang lain… apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku? Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya bagi masa yang akan datang.”
Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan itu, ia pun mendesaknya, ”Bahwa masa lampau selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa yang terjadi sekarang karena telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena itu kami tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau. Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa kami akan selalu menggantungkan diri padanya. Namun pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang sangat baik. Hasil-hasil yang pernah dicapai serta cara-cara untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”
Kembali orang itu mengangguk-angguk. Matanya yang sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang biru bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya yang cerah.
———-oOo———-

II

Orang tua yang menamakan diri Panembahan ismaya itu masih berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua muridnya itu tentang dirinya. ”Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada orang lain dari apa yang akan kau dengar.” Ia berhenti sejenak untuk mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan ceritanya benar-benar tidak akan mengatakan kepada orang lain. Sejenak kemudian ia meneruskan, ”Yang mula-mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh ayah dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”
Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua itu tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Agaknya orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada namanya. Karena itu ia bertanya, ”Adakah sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara…?”
Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, ”Ya… nama itu sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, ”Apakah yang menarik?
Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat sesuatu, hampir berteriak ia berkata, ”Raden Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang garwa ampeyan…?”
Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, ”Kau pernah mendengar nama itu?
Ya,” jawab Kanigara, ”Aku pasti pernah mendengarnya. Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”
Tentu,” sahut orang tua itu. ”Ayahmu pasti pernah menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan ayahmu itu.”
Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat. Hormat sekali.
Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, ”Kanigara, kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang Buntara. Panggilah aku Panembahan Ismaya.”
Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan kepala dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka segani. Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik Baginda Brawijaya pamungkas.
Untuk sesaat suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai perasaan muncul di dalam kepala masing-masing. Sehingga kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya. ”Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia ramai.” Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, ”Ketika itu terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan. Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat dibendung. Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan istana. Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak mau memperkosa kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu, meskipun ia sudah berada di perjalanan.
Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak, sehingga dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang berpusat di Majapahit.
Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa orang pergi berkelana dari satu tempat ke lain tempat. Beliau berjalan menyusur pantai selatan menuju arah matahari terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga terkenal dengan nama Gunungkidul.
Meskipun aku adalah adik Brawijaya, namun umurku agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden Patah memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat menerima kunjungan ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan perantauannya dan menetap di suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan susah payah aku menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan. Tentang alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi pengetahuannya menjelang masa langgeng.
Tetapi terjadilah hal yang sama sekali tak terduga-duga. Seorang tumenggung yang ikut serta dalam rombongan Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak dapat aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap bahwa aku sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda untuk dapat mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa sebagai bekal perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku ingin memiliki harta kekayaan itu. Dan yang lebih parah lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam perjalanan itu untuk memancing persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba untuk menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul. Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang bermaksud jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak dapat membiarkannya.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya yang jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu bergerak di batang-batang kayu.
Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali meneruskan, ”Kemudian akulah yang sengaja membuat persoalan. Atau tegasnya aku sengaja menanggapi persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada saat itu sangat mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku telah membuat suatu kesalahan.
Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-saat sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi menghindar jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui maksud kedatangannya. Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya. Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku, meskipun aku sudah dapat menduganya lebih dahulu. Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang pemuda yang gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya, dan yang terakhir, yang tidak aku duga-duga bahwa sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya, adalah perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku membunuh suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya aku akan menggantikan suami itu.
Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang ”Aku sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan demikian setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap aku akan menyerangnya. Siang atau malam, apabila laki-laki itu tampaknya sedang lengah. Namun sebenarnya ia telah siap membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku dalam suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah dihadapanku. Hidup atau mati.
Nah, kalau demikian katakanlah kepadanya. Kalau ia menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah, dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat kemudian telah cerah kembali. Sambil tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya ”Kau laki-laki jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi persoalan. Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-sungguh.”
Mula-mula aku menjadi gemetar ketika tiba-tiba perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik sekali aku berlari jauh-jauh meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak yang bergolak di dalam dadaku, perempuan itu aku dorong keras-keras dan jatuh terbanting di lantai. Karena itulah maka tiba-tiba terdengar ia berteriak-teriak. Mula-mula aku menyangka bahwa ia berteriak karena kesakitan. Tetapi dugaanku itu ternyata keliru. Perempuan itu sama sekali tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata beberapa saat kemudian terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa diantaranya langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah kepalaku pada saat itu ketika aku mendengar perempuan itu berteriak ”Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.” Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang mata laki-laki tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil menggeram mengerikan ia bertanya kepada isterinya dengan suara mengguntur. ”Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”
Dengan suara tergagap perempuan itu menjawab ”aku tidak sengaja datang kemari. Aku berjalan dihalaman untuk memetik sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu dengan laku seekor binatang kelaparan.”
Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. ”Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia, marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”
Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah aku memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung itu? Namun sayang, sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti keadaan sebenarnya. Tak seorangpun yang mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali seorang jajar tua yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia pulalah yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana Tumenggung itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para Menteri yang sependapat dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak berarti. Karena itu, apa yang didengar dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati itu yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya ”Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”
Akulah orang yang pertama-tama menaruh perhatian sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda dapat terjamin.
Akhirnya terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang ditunggui oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian rencananya tidak akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku sebelumnya, dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan pengawal raja.
Namun perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun kemudian kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa aku sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan, bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga oleh banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”
Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya berhenti berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. ”Ketika pertempuran itu berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat mayatnya pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata kepadaku. ”Nah, Raden. Tuan sekarang berhak memiliki perempuan itu.”
Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab ”Aku tidak perlukan perempuan itu.”
Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang diantaranya . “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”
HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh orang itu pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang ke suatu arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya. Agaknya Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah sebenarnya maksud kedatangan baginda. Tetapi aku sudah menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah benar. Baginda yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku dengan sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata Baginda terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku. Kata Baginda, ”Adikku… apakah yang terjadi adalah sama sekali diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa salah seorang keluarga terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku. Kepada orang yang sudah hampir dilupakan. Namun tiba-tiba kau membuat hatiku semakin parah karena kelakuanmu.”
Hampir menangis aku berjongkok di kaki Baginda. Dengan terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali. Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku yakin bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan kemudian Baginda dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu, menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau gerakan mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka agaknya takut pula kalau aku juga akan mengadakan gerakan untuk melawannya. Akhirnya terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang prajurit kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh gerombolan orang-orang tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang demikian, sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya, beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin merebut harta kekayaan Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak berkenan pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain pun menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda akan berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Adikku Raden Buntara… aku tidak akan menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu memang memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan beberapa kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini pesanggrahanku yang terpencil ini, selalu diliputi oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di sini, keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu terhadap kenyataan itu.”
Aku menjadi semakin berduka atas pernyataan Baginda itu. Beberapa orang segera memencilkan aku seolah-olah akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan yang senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku terluka. Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu terguling di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka menggores di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku kendalikan lagi. Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang segala tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk memberitahukan kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh perhatian kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak berarti itu. Bahkan karena ia benci kepadaku. Karena itu aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan mayat itu sendiri. Sendiri.
Dengan segala peristiwa yang sangat menyakitkan hati itulah kemudian aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana. Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda Brawijaya beserta orang-orang di sekitarnya.
Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih jauh lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak, beliau berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Paman, aku sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu telah mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal bahwa segala sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi. Apalagi persoalan itu bersumber pada persoalan seorang istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang aku harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh daripadaku.”
Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru memancar dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan.”
Yang mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi nama itu. ”Pasingsingan.”
”Ya,” sahut Panembahan Ismaya. ”Jajar tua itulah yang sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada dinding-dinding hatiku.”
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Ketika aku sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi sangat malu. Aku merasa bahwa wajahku tak patut lagi berada ditengah-tengah para satria Demak. Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari padanya. Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”
Akhirnya aku menemukan suatu lembah yang pantas bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat kesibukan manusia, aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya setiap orang muak memandang wajahku, sehingga akhirnya aku terpaksa mengenakan sebuah kedok. Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi. Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu bertopeng dan berjubah abu-abu.
Namun demikian aku tetap percaya pada keadilan. Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku seolah-olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa pada suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup. Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya cita-citaku, berlanjut dari hidupku akan berada di tengah-tengah manusia dalam keadaan yang baik.
Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku melihat seorang pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku lakukan, beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah, tiba-tiba aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan. Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk kembali berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu membayanginya. Kalau bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara untuk mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang muda itu memiliki keturunan ilmu yang sama dengan Kanigara. Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.
Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku untuk mempercepat membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku sudah terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka diri, tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana yang sudah aku siapkan.
Yang mendengar ceritera itu seolah-olah terpaksa menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah abu-abu itu untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai Tegal Arang, seseorang telah mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan orang itu agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara, dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.
Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Dalam jarak yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri dari istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang aku jumpai. Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang yang berhati baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah menambah hidupku menjadi semakin buruk. Kemudian datanglah Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh harapan. Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka. Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini. Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai Kanigara dengan gadis kecilnya. Aku bawa ia ke Karang Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada anak gadisnya daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah, seluruh hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian anaknya. Dan karena sifat kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat menjamin masa depan anak itu. Karena itu, tugas yang aku bebankan padanyapun bukanlah tugas yang panjang-panjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis kecil yang sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai Mahesa Jenar beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan keluarga, ia tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana pula, maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang sangat berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan kepalanya, bertanya kepadanya, ”Panembahan, apakah agaknya yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan itu?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, ”Hampir setiap orang telah melupakan nama Buntara. Mereka yang sekali dua kali teringat nama itu, terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan mencibirkan bibir mereka. Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku sejak masa mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah suatu kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu membina kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya kepada orang yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua keturunan yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat yang perlu, kau harus ikut pula.”
Dengan demikian segala sesuatu kini menjadi jelas, kenapa Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.
Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata, ”Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini, sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah hakekat dari kemenangan itu.”
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan, ”Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai. Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku.
Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula. Katanya, ”Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang berilah aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab, ”Baik, baiklah Guru.”
”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya. ”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya, ”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, ”Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, ”Ah, seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. ”Tetapi Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, ”Baiklah, aku tidak keberatan.”
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali. Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian dimintanya meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
”Bagimu Mahesa Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta, ”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite. ”Radite, seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas. Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.
———-oOo———-

III

Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, ”Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya, ”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. ”Ya, kenapa…?”
”Tidak apa-apa,” jawab anak itu. ”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”
Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, ”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya, ”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. ”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
”Tidak apa-apa,” anak itu menjawab, “Tetapi Paman mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut Paman, keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan sendiri tidak mampu untuk melawan mereka, meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Memang letak Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat sesuatu…? Namun kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap di lapangan itu. Katanya, ”Nak, ada apakah dengan keramaian itu?”
”Itu bukan keramaian,” jawabnya. ”Dahulu Paman Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari berada di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan tayub di lapangan itu.”
”Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.
”Ya,” jawab anak itu. ”Setiap orang boleh ikut. Kalau siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”
O....” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.
Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan yang berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.
Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah anak itu, ”Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”
Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar. Demikian ia selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.
”Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.
Demikianlah, ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang niyaga pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun, menggoncang kesepian malam, yang kemudian disusul dengan suara waranggana memanjat tinggi. Namun terasalah bahwa suasananya bukanlah suasana yang sopan.
Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di gelanggang. Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-tengah arena itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk tidak seberapa jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang gelap, dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang beberapa orang yang berdiri menonton.
Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang telah menjadi pening karena mabok. Bahkan beberapa orang telah kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di arena itu. Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani mereka dengan baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul menjadi suasana gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak mustahil kalau sampai terjadi bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara mereka, karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.
Di tepi arena, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa saja yang dapat mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian pada suasana yang berlangsung di sekitarnya. Yang penting bagi mereka adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka mendapat uang sebanyak-banyaknya. Para penjual yang terdiri laki-laki dan perempuan, menghanyutkan diri saja dengan keadaan. Bersenda-gurau, berteriak-teriak melayani orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang itu tak sempat menghitung lagi berapa uang yang harus mereka bayarkan. Asal mereka menggenggam uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada penjualnya, perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.
Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sempat melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak di kejauhan. Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati tempat itu. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju. Ketika ia menjadi semakin dekat, dan seleret sinar lampu para penjual menyambar wajahnya, tampaklah bahwa perempuan itu memiliki ciri-ciri yang lain dari setiap perempuan yang berada di tanah lapang itu. Wajahnya yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan, seolah-olah mencerminkan perasaannya yang sedih.
Ketika beberapa orang melihatnya, segera mereka melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang yang dengan nada mengejek berteriak, ”Marilah Nyai. Apakah yang kau cari…?”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi segera matanya memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang diantara wajah-wajah itu.
”Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang kemudian disusul dengan gelak tawa. ”Carilah anak itu di tengah rimba,” sambung suara yang lain. ”Mungkin ia berada bersama bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.
Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri seperti patung. Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat menduga bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya menjadi agak terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu berat.
Ketika kemudian dilihatnya dari mata perempuan itu menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit perasaannya. Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki ketika terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, ”Suamimu tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi laki-laki semacam suamimu itu.”
Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras. Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di tempat itu.
Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, ”Siapakah dia?
Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.
O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang pertama. ”Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”
”Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa orang banyak.
Diantara suara yang riuh, di sela-sela suara gamelan yang semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara yang berat mengatasi yang lain. Katanya, ”Aku tidak percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”
Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan semua mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir arena. Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, ”Ternyata ledek Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya.”
Orang yang berwajah kasar itu maju beberapa langkah ke arah perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan kata-katanya. ”Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat pemeliharaan.”
Ketika orang yang tinggi besar dan berwajah kasar itu melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang. Tetapi beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali dan menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu tontonan yang menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai pening-pening, segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah setengah mabuk berteriak, ”Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya mungkin sudah mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan aku ambil sebagai istriku yang muda.”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab, ”Jangan terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau mati, jangan ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau serahkan.”
Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, ”Jangan banyak mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”
Pertunjukan itu segera terhenti karena ribut-ribut yang terjadi. Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara para niyaga. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemas atau takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang Pamingit dan Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik juga.
Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya, berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya, ”Siapakah yang bertengkar?
Terdengarlah seorang niyaga menjawab, ”Jiwala dengan orang Pamingit.”
Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya. ”Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya…?”
Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung pesek. ”Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya.”
Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata, ”Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. ”He, kau agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”
Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam jurang yang mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak pinggang ia memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah. Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke arah perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan gemetar di pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan, sampai istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, ”Pergi. Jangan halang-halangi aku.
Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun bukan orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke arah perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang bertubuh tinggi besar itu mendorong tubuhnya kuat-kuat. Demikianlah ia terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup keras, karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah Jiwala dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang Pamingit yang bernama Saraban itu.
Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala. Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan laskar Pamingit.
Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sebab ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya, tak seorang pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba terdengar seseorang berbisik. ”Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”
Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula, ”Kalau Jiwala tidak sedang mabok, tentu ia tidak berani berbuat demikian.”
Demikianlah ternyata Saraban kemudian akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia benar-benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia sama sekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa ada orang yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala, harapannya menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling. Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu lagi, barulah setapak demi setapak ia mendekat.
Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan. Setapak ia mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, beberapa orang yang semula tertawa-tawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam sudut hati mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir, karena Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba seorang laki-laki berwajah kasar, dengan rakusnya ingin merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah orang Pamingit.
Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban. Sedang untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab dengan demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai menyerang mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun orang Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan semua peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi ketika ia sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya sambil berbisik, ”Duduklah Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada di antara mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh beberapa orang di sini.”
Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama dikejutkan oleh sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di belakang perempuan yang kekurus-kurusan itu. Katanya, ”Saraban, jangan berlagak jantan sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju selangkah lagi, namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal Lembu Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan caci.”
Saraban ternyata terkejut juga mendengar suara itu. Dengan tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya. Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam pada itu, dari dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di bawah cahaya lampu yang samar, seorang laki-laki dengan mata yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang kekurus-kurusan, yang sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu tidak setinggi dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti baja.
Ketika Saraban mengenal wajah orang itu, ia menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis sambil berdiri karena terkejut, ”Bantaran….”
Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa menghentikan langkahnya. ”Siapakah dia?
Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari Banyibiru.”
”Kalau begitu…” sahut Kanigara, ”Aku tak perlu mengganggunya.”
”Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.
Dengan demikian Kanigara mengurungkan langkahnya, tetapi mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa yang mendebarkan hati itu.
Dalam pada itu,  Bantaran masih tetap berdiri di muka Nyi Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka. Sesaat kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap arah. Memandang setiap wajah orang Banyu Biru yang berdiri di sekitarnya. Dan tiba-tiba saja orang-orang Banyu Biru yang kena sambaran matanya, dengan cepat menundukkan mukanya. Mereka seolah-olah merasa menda­pat teguran dari salah seorang pemimpin mereka. Meskipun beber:apa orang lebih senang menjelenggarakan sabungan ayam dan tari tayub daripada berjuang membebaskann tanah perdikan mereka, namun beberapa orang yang lain masih juga merasa malu atas kelakuan mereka itu.
Dan dari mulut Bantaran itu kemudian terdengar suaranya menggeram, ”Aku melihat kelakuan kalian. Hampir setiap malam aku berada di tempat ini. Dan hampir setiap malam aku melihat apa yang terjadi. Mabuk, judi, berkelahi di antara sesama karena hal-hal yang memalukan, dan menyabung ayam di siang hari. Dan puncak dari kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini mengganggu isteri orang. Isteri kawan setiamu, yang sekarang sedang berjuang untuk kalian.”
Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang pun yang berani menatap wajah Bantaran yang merah menyala-nyala. Bahkan seandainya ada selembar daun kuning jang gugur, suaranya akan jelas terdengar seperti gemuruhnja guntur di langit.
Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi marah pula. Ia pernah berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu benar bahwa Ban­taran termasuk salah seorang yang sedanq dikejar-kejar oleh laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah Sara­ban berteriak dengan suara yang gemuruh, ”Hai Bantaran. Ternyata kau benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja sangat mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan serupa benar dengan serangga menjelang api. Nah agaknja malam ini aku akan mendapat dua hadiah yang berharga. Membunuh Bantaran dan mendapat isteri baru.”
Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun perlahan­lahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil berkata, ”Menying­kirlah Nyai, biarlah monyet ini aku selesaikan.
Njai Penjawi tak menjawab sepatah katapun. Namun, air matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara itu Bantaran meneruskan. ” Suamimu selamat sampai sekarang. Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja. Nah kalau demikian barulah orang tahu, siapakah Penjawi itu.
Jangan mengigau” bentak Saraban,
Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la tidak merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa bahwa tak ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada bertempur dengan orang itu. Meskipun ia sadar, bahwa seandainya kehadirannya itu didengar oleh Lembu Sora dan laskar Pamingit yang lain, maka akibatnja akan sangat berbahaya.
Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu sudah hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun kali ini suasananya
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau mereka
melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi Penjawi,
tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan orang
Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin menguasai dae­rah orang lain melawan orang yang mempertahankan daerah itu.
Maka, ketika selangkah lagi Bantaran maju, berpencaranlah orang-orang yang berada di tanah lapang itu ke tepi. Mereka semuanya mengetahui siapakah Bantaran, dan sebagian besar dari mereka pun mengetahui pula, siapakah Saraban. Karena itu tak seorang pun yang berani mendekati mereka berdua jang sudah bersiap untuk bertempur.
Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa berkata sepatah pun lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang Bantaran, Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga tidak usah menunggu terlalu lama, pertempuran itu segera berlangsung dengan serunya. Saraban yang bertubuh tinggi besar itu ternyata mempunjai tenaga yang luar biasa besarnya, sedang Bantaran meskipun lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan cepatnya ia meloncat dari satu arah ke arah jang lain. Karena itulah maka serangannya seolah-olah datang dari segala penjuru.
Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti arah gerak Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang berbahaya dapat memaksa Bantaran melontar selangkah dua langkah mundur. Tetapi lama kelamaan kaki Bantaran semakin lincah melontar-lontarkan tubuh­nja kesana kemari, sehingga akhirnya Saraban menjadi bingung. Beberapa kali Bantaran berhasil memancing lawannya menghadap ke arah yang salah, sehingga dalam keadaan yang demikian, melon­catlah serangan-serangan Bantaran yanq dahsyat. Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-benar keras seperti kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat bertahan. Namun karena serangan Bantaran itu datang bertubi-tubi bahkan kemudian seperti aliran air terjun, maka, akhirnyja terasalah bahwa Saraban mulai terpaksa bekerja mati-matian. Dan beberapa saat kemudian terpaksalah orang Pamingit yang bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi meskipun demikian, ia masih juga berusaha sekuat tenaganya untuk dapat mengimbanyi lawannya. Sekali dua kali tangannya yang besar dan berat itu terayun dengan kerasnja disusul dengan lontaran kakinya dibarenqi teriakan yang memekakkan telinga. Namun Bantaran selalu berhasil menghindar dan kemudian meloncat maju membalas menyerang. Meskipun tenaganja tidak sebesar orang Pamingilt itu, namun pukulannya yang selalu mengarah ke tempat-tempat yang ringkih, men­jakan Saraban terdesak terus.
Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk di an­tara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai rahangnya.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya. Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau, ”Saudara-saudaraku, rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata lantang, ”Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Bantaran masih dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira sepuluh-duabelas orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka. Wajah para penunggang kuda itu tampak garang-garang, sedang di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau macam-macam senjata yang lain.
Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring, ”Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran.”
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat jawaban. Karena itu ia mengulangi, ”Ayo… katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu bertanya, ”Siapa namamu…?”
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab, ”Gonjang, Tuan.
”Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, ”Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”
Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu. ”Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya, ”Ayo katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”
”Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
”Bohong!” bentak orang Pamingit itu. ”Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
”Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya. Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi. Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring, ”Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi dalam pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang garang-garang itu…?
Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum pernah dilihatnya.
Nyai…” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, ”Adakah ia orang baru…?
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. ”Aku belum pernah melihatnya, Kakang.
Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menebak, siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah orang yang dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan Talang Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan tangannya daripada mulutnya. Apalagi pengakuan orang itu hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka masih akan mencari orang yang dikehendakinya. Karena itu Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah pengorbanan yang dianggapnya akan sia-sia saja.

No comments:
Write comments