Orang tua itu, yang pernah mengenakan
gelar Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi
Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru
akan menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak
seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki
yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia berkata, ”Mahesa
Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya
Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan,
meskipun kau harus selalu berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah
Sora… serahkan saja kepadaku.”
Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di
dalam hati Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan
kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang
mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai hubungan
sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi
menahan keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih banyak
lagi, sehingga kemudian ia berkata, ”Tuan, telah bertahun-tahun aku
tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan Tuan dalam
kedudukan Tuan sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun
kemudian ternyata aku sama sekali masih belum mengenal Tuan. Sebab
ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan
sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga ternyata karena
keterangan-keterangan Tuan, aku malahan menjadi semakin banyak menyimpan
pertanyaan-pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak
keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia lagi,
khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan apabila Tuan
menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari manakah Tuan
sebenarnya.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara yang
dalam dan perlahan, ”Kebo Kanigara dan kalian yang lain… apakah ada
perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku? Sebab apa yang sudah
terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya bagi masa yang akan datang.”
Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan itu, ia pun mendesaknya, ”Bahwa
masa lampau selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa yang
terjadi sekarang karena telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena
itu kami tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau.
Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti
angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa kami akan
selalu menggantungkan diri padanya. Namun pengalaman-pengalaman adalah
mahaguru yang sangat baik. Hasil-hasil yang pernah dicapai serta
cara-cara untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”
Kembali orang itu mengangguk-angguk.
Matanya yang sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di
halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang
biru bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat
memantulkan cahayanya yang cerah.
———-oOo———-
II
Orang tua yang menamakan diri Panembahan
ismaya itu masih berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun
akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua
muridnya itu tentang dirinya. ”Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku
menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada orang lain
dari apa yang akan kau dengar.” Ia berhenti sejenak untuk mendapat
kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan ceritanya benar-benar tidak
akan mengatakan kepada orang lain. Sejenak kemudian ia meneruskan, ”Yang
mula-mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh
ayah dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”
Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan kedua muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan
tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua
itu tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di
dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Agaknya
orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada namanya. Karena
itu ia bertanya, ”Adakah sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara…?”
Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya
bekerja keras untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya.
Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, ”Ya… nama itu sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, ”Apakah yang menarik?”
Kanigara kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat sesuatu, hampir berteriak ia berkata, ”Raden Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang garwa ampeyan…?”
Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, ”Kau pernah mendengar nama itu?”
”Ya,” jawab Kanigara, ”Aku pasti pernah mendengarnya. Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”
”Tentu,” sahut orang tua itu. ”Ayahmu pasti pernah menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan ayahmu itu.”
”Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat. Hormat sekali.
Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, ”Kanigara,
kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud itu. Tetapi jangan panggil
aku Eyang Buntara. Panggilah aku Panembahan Ismaya.”
Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan
kepala dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan
Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka segani.
Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik Baginda
Brawijaya pamungkas.
Untuk sesaat suasana ditelan oleh
kesepian. Berbagai perasaan muncul di dalam kepala masing-masing.
Sehingga kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya.
”Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia ramai.” Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, ”Ketika
itu terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan.
Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa kepercayaan
bukanlah sumber yang tak dapat dibendung. Namun agaknya Sultan merasa
bahwa ia lebih baik mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan
istana. Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak mau memperkosa
kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan
kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu, meskipun
ia sudah berada di perjalanan.
Ketika Raden Patah kemudian memegang
pimpinan kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke
Demak, sehingga dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan
yang berpusat di Majapahit.
Pada saat itu Prabu Brawijaya,
diiringi oleh beberapa orang pergi berkelana dari satu tempat ke lain
tempat. Beliau berjalan menyusur pantai selatan menuju arah matahari
terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga
terkenal dengan nama Gunungkidul.
Meskipun aku adalah adik Brawijaya,
namun umurku agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah
pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden Patah
memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat menerima kunjungan
ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan
perantauannya dan menetap di suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan
susah payah aku menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu
tempat ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan
banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan. Tentang
alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi pengetahuannya menjelang masa
langgeng.
Tetapi terjadilah hal yang sama
sekali tak terduga-duga. Seorang tumenggung yang ikut serta dalam
rombongan Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu
menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang
harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak dapat
aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam
persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap bahwa aku sengaja
mendekatkan diriku kepada Baginda untuk dapat mengetahui di mana
kekayaan Baginda yang dibawa sebagai bekal perjalanan, disimpan. Ia
menuduh bahwa aku ingin memiliki harta kekayaan itu. Dan yang lebih
parah lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam perjalanan
itu untuk memancing persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba
untuk menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul.
Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang bermaksud
jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak dapat membiarkannya.”
Panembahan Ismaya berhenti sejenak.
Pandangannya yang jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di
daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari
lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu
bergerak di batang-batang kayu.
Kemudian, setelah menarik nafas panjang, ia kembali meneruskan, ”Kemudian
akulah yang sengaja membuat persoalan. Atau tegasnya aku sengaja
menanggapi persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada
saat itu sangat mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku
telah membuat suatu kesalahan.
Seperti yang sekali dua kali pernah
dilakukan, istri Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang
rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-saat
sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi menghindar
jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui maksud kedatangannya. Tetapi
kali ini aku sengaja menemuinya. Aku ingin mendengar apa yang
akan dikatakannya kepadaku, meskipun aku sudah dapat menduganya lebih
dahulu. Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula
mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang pemuda yang
gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia
mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya, dan yang
terakhir, yang tidak aku duga-duga bahwa sedemikian jauh pertentangan
yang ingin dibuatnya, adalah perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya
aku membunuh suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya
aku akan menggantikan suami itu.
”Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang ”Aku
sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan demikian
setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap
aku akan menyerangnya. Siang atau malam, apabila laki-laki itu tampaknya
sedang lengah. Namun sebenarnya ia telah siap membunuhku, sebab kau
sudah memberitahukan kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil
melawan aku dalam suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah
dihadapanku. Hidup atau mati.
Nah, kalau demikian katakanlah
kepadanya. Kalau ia menghendaki suatu perkelahian, suruhlah ia menantang
aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”
Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi
agaknya ia memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah,
dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi ia tidak
berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat kemudian telah cerah
kembali. Sambil tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya ”Kau
laki-laki jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi
persoalan. Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-sungguh.”
Mula-mula aku menjadi gemetar ketika
tiba-tiba perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi
muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik
sekali aku berlari jauh-jauh meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak
berbuat demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak yang
bergolak di dalam dadaku, perempuan itu aku dorong keras-keras dan jatuh
terbanting di lantai. Karena itulah maka tiba-tiba terdengar ia
berteriak-teriak. Mula-mula aku menyangka bahwa ia berteriak karena
kesakitan. Tetapi dugaanku itu ternyata keliru. Perempuan itu sama
sekali tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata beberapa saat kemudian
terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa diantaranya
langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah kepalaku pada saat itu
ketika aku mendengar perempuan itu berteriak ”Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.”
Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang mata laki-laki
tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil menggeram mengerikan ia
bertanya kepada isterinya dengan suara mengguntur. ”Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”
Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. ”Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia, marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”
Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan
persoalan yang sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada gunanya. Karena
itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah aku
memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung itu? Namun sayang,
sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti keadaan sebenarnya.
Tak seorangpun yang mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali
seorang jajar tua yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu
pulalah yang mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia
pulalah yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana Tumenggung
itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para Menteri yang sependapat
dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak berarti.
Karena itu, apa yang didengar dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya
oleh siapapun meskipun ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda
lewat seorang bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati
itu yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya ”Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”
Akulah orang yang pertama-tama
menaruh perhatian sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata
kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda dapat
terjamin.
Akhirnya terjadilah perkelahian itu.
Perkelahian yang ditunggui oleh beberapa orang saksi. Tumenggung itu
agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian
rencananya tidak akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku
sebelumnya, dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung
dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan pengawal
raja.
Namun perkelahian itu berakhir
sebaliknya. Akupun kemudian kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa
aku sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa
bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan,
bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga oleh
banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”
Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya
berhenti berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak
sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu
menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. ”Ketika pertempuran itu
berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat mayatnya
pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata
kepadaku. ”Nah, Raden. Tuan sekarang berhak memiliki perempuan itu.”
Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab ”Aku tidak perlukan perempuan itu.”
Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang diantaranya . “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”
HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh
orang itu pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang
ke suatu arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya. Agaknya
Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah
mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah sebenarnya maksud
kedatangan baginda. Tetapi aku sudah menduga bahwa pasti ada hubungannya
dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah
benar. Baginda yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku
dengan sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata
dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata Baginda
terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku. Kata Baginda,
”Adikku… apakah yang terjadi adalah sama sekali diluar dugaanku. Aku
bergembira bahwa salah seorang keluarga terdekatku sudi datang
berkunjung kepadaku. Kepada orang yang sudah hampir dilupakan. Namun
tiba-tiba kau membuat hatiku semakin parah karena kelakuanmu.”
Hampir menangis aku berjongkok di
kaki Baginda. Dengan terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang
sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya
terdengar aneh sekali. Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku
yakin bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan kemudian
Baginda dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku
menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam
hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang
curang itu, menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian
tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau gerakan
mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka agaknya takut pula
kalau aku juga akan mengadakan gerakan untuk melawannya. Akhirnya
terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang prajurit
kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh
gerombolan orang-orang tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan
yang demikian, sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku
berbuat kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah
Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku menyerbu,
melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya, beberapa orang
terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin merebut harta kekayaan
Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan
itu tidak berkenan pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari
pihak lain pun menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda
akan berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan
sabar dan perlahan-lahan. ”Adikku Raden Buntara… aku tidak akan
menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu memang
memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan beberapa kenyataan
kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini pesanggrahanku yang terpencil
ini, selalu diliputi oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di
sini, keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu terhadap
kenyataan itu.”
Aku menjadi semakin berduka atas
pernyataan Baginda itu. Beberapa orang segera memencilkan aku
seolah-olah akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya
sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan
yang senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar
tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan
Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku terluka. Lebih
parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada suatu pagi aku ketemukan jajar
tua, sahabatku itu terguling di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa.
Sebuah luka menggores di lehernya. Pada saat itu darahku tiba-tiba
mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku kendalikan lagi.
Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang
segala tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk memberitahukan
kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh
perhatian kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak berarti itu.
Bahkan karena ia benci kepadaku. Karena itu aku tak dapat berbuat lain
daripada menguburkan mayat itu sendiri. Sendiri.
Dengan segala peristiwa yang sangat
menyakitkan hati itulah kemudian aku memutuskan untuk segera
meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah
terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana.
Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda Brawijaya
beserta orang-orang di sekitarnya.
Tetapi apa yang terjadi kali ini tak
dapat aku pikul lebih jauh lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan
Demak, beliau berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Paman, aku
sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu telah
mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal
bahwa segala sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi. Apalagi
persoalan itu bersumber pada persoalan seorang istri, yang karena
keadaan menjadi sedemikian buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya,
tetapi karena Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat
laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada Paman.
Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang aku harapkan.
Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh
daripadaku.”
Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan
itu. Tetapi aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang
mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang
bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru memancar
dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan.”
Yang mendengarkan ceritera Panembahan
Ismaya itu tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi
nama itu. ”Pasingsingan.”
”Ya,” sahut Panembahan Ismaya. ”Jajar tua itulah yang sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada dinding-dinding hatiku.”
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid
orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan
Ismaya meneruskan, ”Ketika aku sudah tidak mendapat kesempatan lagi
untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi sangat malu. Aku merasa
bahwa wajahku tak patut lagi berada ditengah-tengah para satria Demak.
Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari
padanya. Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”
Akhirnya aku menemukan suatu lembah
yang pantas bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku
bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang
menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat kesibukan manusia,
aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya
setiap orang muak memandang wajahku, sehingga akhirnya aku terpaksa
mengenakan sebuah kedok. Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak
sebagai manusia yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor
kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi.
Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu bertopeng dan
berjubah abu-abu.
Namun demikian aku tetap percaya pada
keadilan. Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku
seolah-olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa pada
suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup.
Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya cita-citaku, berlanjut
dari hidupku akan berada di tengah-tengah manusia dalam keadaan yang
baik.
Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku
melihat seorang pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku
lakukan, beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah,
tiba-tiba aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan.
Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk kembali
berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu membayanginya. Kalau
bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara untuk mengikutinya. Apalagi
ketika aku melihat, bahwa orang muda itu memiliki keturunan ilmu yang
sama dengan Kanigara. Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa
Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya
Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang
hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk Inten,
tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.
Tetapi agaknya otaknya terlalu
jernih. Sehingga bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku
untuk mempercepat membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku
sudah terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka diri,
tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana yang sudah aku
siapkan.
Yang mendengar ceritera itu seolah-olah
terpaksa menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama
membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat ia hampir
kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah abu-abu itu
untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai Tegal Arang, seseorang
telah mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai
Sabuk Inten. Dan orang itu agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo
Kanigara, dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari
untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata Kebo Kanigara
sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.
Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Dalam
jarak yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri dari
istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang aku jumpai.
Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti
Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang yang berhati baik, namun
akhirnya, ternyata bahwa ia telah menambah hidupku menjadi semakin
buruk. Kemudian datanglah Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula
menaruh harapan. Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka.
Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti
yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini.
Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong kepahitan
masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai Kanigara dengan gadis kecilnya.
Aku bawa ia ke Karang Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada
anak gadisnya daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah,
seluruh hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian anaknya. Dan karena
sifat kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati
untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat menjamin masa depan
anak itu. Karena itu, tugas yang aku bebankan padanyapun bukanlah tugas
yang panjang-panjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis
kecil yang sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai
Mahesa Jenar beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan
keluarga, ia tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana
pula, maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan Mahesa
Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu
beban yang sangat berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih
samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan
Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan kepalanya,
bertanya kepadanya, ”Panembahan, apakah agaknya yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan itu?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, ”Hampir
setiap orang telah melupakan nama Buntara. Mereka yang sekali dua kali
teringat nama itu, terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan
mencibirkan bibir mereka. Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku
sejak masa mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas
segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah suatu
kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka yang hilang itu, yang
justru akan dapat membantu membina kesejahteraan negara, dengan
menyerahkannya kepada orang yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan
yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua
keturunan yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak
berarti bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat
yang perlu, kau harus ikut pula.”
Dengan demikian segala sesuatu kini
menjadi jelas, kenapa Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa
ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.
Setelah orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata,
”Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan
apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat
kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa seperti jiwa
lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang
akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini,
sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan
sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan
yang kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan
kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di
batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah
hakekat dari kemenangan itu.”
Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba
bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama
sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya
digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang
diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini.
Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.
Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan, ”Karena
itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai.
Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku.
Sementara itu, kau dapat
menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu
Ki Ageng Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu
baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh
kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha
mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang
terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil
mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan
oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula.
Katanya, ”Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah
selesai berceritera. Sekarang berilah aku kesempatan untuk mengenal
desamu yang sepi ini.”
Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab, ”Baik, baiklah Guru.”
”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya. ”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya, ”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, ”Among Raga.”
Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, ”Ah,
seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka.
Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai
nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan
bagiku.”
Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. ”Tetapi
Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan
Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan
diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, ”Baiklah, aku tidak keberatan.”
Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan
Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan
tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah
mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.
Meskipun demikian, apabila malam datang,
serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu
terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap
pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di
belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada
keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan
pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia
memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu
berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam kekisruhan
yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa
dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali. Karena
itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia
terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin
diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala
bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui,
bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan
dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan
memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu
ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu selalu baik
dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat
kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan
akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak
ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan
akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk
mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di
situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian
dimintanya meninggalkan tempat itu. Beberapa tahun kemudian datanglah
Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang
pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila
tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya
dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan,
mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara
dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari
kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang
cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
”Bagimu Mahesa Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta, ”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”
Demikianlah yang mereka lakukan dari hari
ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal
hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya
memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri
kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran
mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada
Radite. ”Radite, seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung
tanpa berusaha untuk menghalang-halangi maka orang yang demikian itu
dapat dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula Radite tidak mengerti maksud
pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia
sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang
terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran.
Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala
kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala
kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan.
Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini
menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas.
Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh
tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis.
Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang
ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera
menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang
berat, kembali ke Banyubiru.
———-oOo———-
III
Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan
kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika
malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka
berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan
kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu
rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya
berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang
masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk
sambil bercakap-cakap.
Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar
tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar
dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak
bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat
ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika
mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat
gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai
mengerumuninya.
Dengan penuh keinginan untuk mengetahui,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang
anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, ”Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?”
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya, ”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. ”Ya, kenapa…?”
”Tidak apa-apa,” jawab anak itu.
”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang
kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu,
Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra
tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah
betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”
”Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, ”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya, ”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. ”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
”Tidak apa-apa,” anak itu menjawab,
“Tetapi Paman mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan
mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut Paman,
keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan sendiri tidak mampu
untuk melawan mereka, meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang.
Memang letak Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung
Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal sedemikian
tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat sesuatu…? Namun
kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena
itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap di lapangan
itu. Katanya, ”Nak, ada apakah dengan keramaian itu?”
”Itu bukan keramaian,” jawabnya. ”Dahulu
Paman Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari
berada di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena
panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan
tayub di lapangan itu.”
”Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.
”Ya,” jawab anak itu. ”Setiap orang boleh ikut. Kalau siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”
”O....” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.
Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh
persoalan yang berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit
banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari
adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.
Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah anak itu, ”Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”
Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa
Jenar. Demikian ia selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam
gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat
anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.
”Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.
”Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.
Demikianlah, ketika hari menjadi semakin
gelap, di tanah lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang
niyaga pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga
sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun, menggoncang kesepian
malam, yang kemudian disusul dengan suara waranggana memanjat tinggi.
Namun terasalah bahwa suasananya bukanlah suasana yang sopan.
Sebentar kemudian ternyata bahwa memang
demikianlah yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di
gelanggang. Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau
tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-tengah
arena itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk
tidak seberapa jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang
gelap, dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang
beberapa orang yang berdiri menonton.
Ketika malam menjadi semakin dalam,
suasana di tengah tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa
orang telah menjadi pening karena mabok. Bahkan beberapa orang telah
kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di arena itu.
Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani mereka dengan
baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul menjadi suasana
gila-gilaan. Dalam keadaan yang demikian tidak mustahil kalau sampai
terjadi bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara mereka,
karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.
Di tepi arena, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara melihat beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa saja yang
dapat mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka sama sekali
tidak menaruh perhatian pada suasana yang berlangsung di sekitarnya.
Yang penting bagi mereka adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka
mendapat uang sebanyak-banyaknya. Para penjual yang terdiri laki-laki
dan perempuan, menghanyutkan diri saja dengan keadaan. Bersenda-gurau,
berteriak-teriak melayani orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang
itu tak sempat menghitung lagi berapa uang yang harus mereka bayarkan.
Asal mereka menggenggam uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada
penjualnya, perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.
Ketika beberapa orang melihatnya, segera
mereka melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang yang
dengan nada mengejek berteriak, ”Marilah Nyai. Apakah yang kau cari…?”
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi
segera matanya memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang
berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang
diantara wajah-wajah itu.
”Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang kemudian disusul dengan gelak tawa. ”Carilah anak itu di tengah rimba,” sambung suara yang lain. ”Mungkin ia berada bersama bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.
Perempuan itu masih berdiam diri, berdiri
seperti patung. Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat menduga
bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya menjadi agak
terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu berat.
Ketika kemudian dilihatnya dari mata
perempuan itu menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit
perasaannya. Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki
ketika terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, ”Suamimu
tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan
bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut
bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi laki-laki
semacam suamimu itu.”
Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras. Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di tempat itu.
Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, ”Siapakah dia?”
”Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.
”O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang pertama. ”Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”
”Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa orang banyak.
Diantara suara yang riuh, di sela-sela
suara gamelan yang semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara
yang berat mengatasi yang lain. Katanya, ”Aku tidak percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”
Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba
semua terdiam. Dan semua mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang
tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir
arena. Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu
seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, ”Ternyata ledek
Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan
itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya.”
Orang yang berwajah kasar itu maju
beberapa langkah ke arah perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang
kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan
kata-katanya. ”Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat pemeliharaan.”
Ketika orang yang tinggi besar dan
berwajah kasar itu melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang.
Tetapi beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali dan
menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu tontonan yang
menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai
pening-pening, segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah
setengah mabuk berteriak, ”Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu
orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi
aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya mungkin sudah
mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan aku ambil sebagai
istriku yang muda.”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu
menoleh. Dilihatnya seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat
seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit
itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab, ”Jangan
terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati
orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah
pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau mati, jangan ganggu aku.
Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka hatinya. Bahkan istrimu pun kalau
aku kehendaki harus kau serahkan.”
Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, ”Jangan banyak mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”
Pertunjukan itu segera terhenti karena
ribut-ribut yang terjadi. Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan
tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara
para niyaga. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemas atau
takut. Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka
mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang Pamingit dan
Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik juga.
Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya, berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya, ”Siapakah yang bertengkar?”
Terdengarlah seorang niyaga menjawab, ”Jiwala dengan orang Pamingit.”
Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya. ”Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya…?”
”Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung pesek. ”Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya.”
Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata, ”Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. ”He, kau agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”
Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.
Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai
sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam jurang yang
mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang
bernama Jiwala itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak
pinggang ia memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke
ujung kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah.
Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke arah
perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan gemetar di pinggir
tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan, sampai istri Penjawi
itu tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, ”Pergi. Jangan halang-halangi aku.”
Jiwala tidak menjawab, tetapi dengan
tangkasnya ia menyerang perut Saraban. Namun agaknya Saraban pun bukan
orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke arah
perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya
menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat
menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang bertubuh tinggi
besar itu mendorong tubuhnya kuat-kuat. Demikianlah ia terlempar
beberapa langkah dan jatuh berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit
itu cukup keras, karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah
Jiwala dapat bangun. Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang
Pamingit yang bernama Saraban itu.
Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala.
Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik
kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan laskar
Pamingit.
Perkelahian itu hanya berlangsung
beberapa saat saja. Sebab ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati
lawannya, tak seorang pun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba
terdengar seseorang berbisik. ”Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”
Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan
dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula, ”Kalau Jiwala tidak sedang mabok, tentu ia tidak berani berbuat demikian.”
Demikianlah ternyata Saraban kemudian
akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang
menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia
benar-benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia sama
sekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa
ada orang yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala, harapannya
menjadi lenyap.
Mula-mula Saraban itu masih memandang
berkeliling. Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan
kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu lagi, barulah
setapak demi setapak ia mendekat.
Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan.
Setapak ia mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga
jarak mereka menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, beberapa orang yang
semula tertawa-tawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam
sudut hati mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan
kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir, karena
Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia
kehilangan bayinya. Sekarang tiba-tiba seorang laki-laki berwajah kasar,
dengan rakusnya ingin merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah
orang Pamingit.
Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat
sesuatu. Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban.
Sedang untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab dengan
demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai menyerang
mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi
seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun orang Pamingit dapat saja
membuat alasan-alasan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
menyaksikan semua peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban
tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar
tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung. Tetapi ketika ia
sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya sambil berbisik, ”Duduklah
Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada di
antara mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh
beberapa orang di sini.”
Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-lahan
berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama dikejutkan oleh
sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di belakang perempuan yang
kekurus-kurusan itu. Katanya, ”Saraban, jangan berlagak jantan
sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju
selangkah lagi, namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal
Lembu Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan
caci.”
Saraban ternyata terkejut juga mendengar
suara itu. Dengan tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya.
Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang
dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam pada itu, dari
dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan tetap
melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di bawah cahaya lampu yang
samar, seorang laki-laki dengan mata yang menyala-nyala karena marah,
berdiri diantara laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang
kekurus-kurusan, yang sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu
tidak setinggi dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti
baja.
Ketika Saraban mengenal wajah orang itu,
ia menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis
sambil berdiri karena terkejut, ”Bantaran….”
”Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa menghentikan langkahnya. ”Siapakah dia?”
”Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari Banyibiru.”
”Kalau begitu…” sahut Kanigara, ”Aku tak perlu mengganggunya.”
”Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.
Dengan demikian Kanigara mengurungkan
langkahnya, tetapi mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa
yang mendebarkan hati itu.
Dalam pada itu, Bantaran masih tetap
berdiri di muka Nyi Panjawai, dengan kaki renggang dan dada terbuka.
Sesaat kemudian, tampaklah matanya beredar kesegenap arah. Memandang
setiap wajah orang Banyu Biru yang berdiri di sekitarnya. Dan tiba-tiba
saja orang-orang Banyu Biru yang kena sambaran matanya, dengan cepat
menundukkan mukanya. Mereka seolah-olah merasa mendapat teguran dari
salah seorang pemimpin mereka. Meskipun beber:apa orang lebih senang
menjelenggarakan sabungan ayam dan tari tayub daripada berjuang
membebaskann tanah perdikan mereka, namun beberapa orang yang lain masih
juga merasa malu atas kelakuan mereka itu.
Dan dari mulut Bantaran itu kemudian
terdengar suaranya menggeram, ”Aku melihat kelakuan kalian. Hampir
setiap malam aku berada di tempat ini. Dan hampir setiap malam aku
melihat apa yang terjadi. Mabuk, judi, berkelahi di antara sesama karena
hal-hal yang memalukan, dan menyabung ayam di siang hari. Dan puncak
dari kebodohan kalian adalah membiarkan setan ini mengganggu isteri
orang. Isteri kawan setiamu, yang sekarang sedang berjuang untuk
kalian.”
Suasana menjadi sunyi diam. Tak seorang
pun yang berani menatap wajah Bantaran yang merah menyala-nyala. Bahkan
seandainya ada selembar daun kuning jang gugur, suaranya akan jelas
terdengar seperti gemuruhnja guntur di langit.
Dalam pada itu, Saraban pun mendjadi
marah pula. Ia pernah berkenalan dengan Bantaran. Karena itu ia tahu
benar bahwa Bantaran termasuk salah seorang yang sedanq dikejar-kejar
oleh laskar Pamiingit, untuk disingkirkan. Karena itu, terdengarlah
Saraban berteriak dengan suara yang gemuruh, ”Hai Bantaran.
Ternyata kau benar-benar sombong. Kedatanganmu tidak saja sangat
mengganggu kesenangan kami malam ini, tetapi akan serupa benar dengan
serangga menjelang api. Nah agaknja malam ini aku akan mendapat dua
hadiah yang berharga. Membunuh Bantaran dan mendapat isteri baru.”
Terdengar Bantaran menggeretakkain giginya. Namun perlahanlahan ia menoleh kepada Nji Penjawi sambil berkata, ”Menyingkirlah Nyai, biarlah monyet ini aku selesaikan.”
Njai Penjawi tak menjawab sepatah
katapun. Namun, air matanya mendjadi semakin deras mengalir. Sementara
itu Bantaran meneruskan. ” Suamimu selamat sampai sekarang.
Mudah-mudahan ia kelak akan datang dengan pasukannja. Nah kalau demikian
barulah orang tahu, siapakah Penjawi itu.”
”Jangan mengigau” bentak Saraban,
Mendengar bentakan itu, selanqkah Bantaran maju. la
tidak merasa perlu untuk berdebat lebih lama. Tetapi terasa bahwa tak
ada cara penyelesaian yanq lebih baik daripada bertempur dengan orang
itu. Meskipun ia sadar, bahwa seandainya kehadirannya itu didengar oleh
Lembu Sora dan laskar Pamingit yang lain, maka akibatnja akan sangat
berbahaya.
Meskipun orang-orang yang berada di tanah lapang itu sudah hampir setiap hari menyaksikan perkelahian, namun kali ini suasananya
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau mereka
melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi Penjawi,
tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan orang
Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin menguasai daerah orang lain melawan orang yang mempertahankan daerah itu.
agak berbeda. Yang mereka lihat setiap hari adalah perkelahian
di antara orang-orang mabuk. Sedang sekarang mau tidak mau mereka
melihat pertengkaran langsung tidak saja karena Nyi Penjawi,
tetapi lebih daripada itu. Yaitu di antara orang Pamingit dan orang
Banyu Biru. Orang yang dengan penuh nafsu ingin menguasai daerah orang lain melawan orang yang mempertahankan daerah itu.
Maka, ketika selangkah lagi Bantaran
maju, berpencaranlah orang-orang yang berada di tanah lapang itu ke
tepi. Mereka semuanya mengetahui siapakah Bantaran, dan sebagian besar
dari mereka pun mengetahui pula, siapakah Saraban. Karena itu tak
seorang pun yang berani mendekati mereka berdua jang sudah bersiap untuk
bertempur.
Demikianlah, sesaat kemudian, tanpa
berkata sepatah pun lagi, Saraban meloncat dengan garangnya rnenjerang
Bantaran, Namun Bantaran pun telah siap pula menyambutnya, sehingga
tidak usah menunggu terlalu lama, pertempuran itu segera berlangsung
dengan serunya. Saraban yang bertubuh tinggi besar itu ternyata
mempunjai tenaga yang luar biasa besarnya, sedang Bantaran meskipun
lebih kecil dan pendek, tetapi ia dapat bergerak dengan lincahnya.
Dengan cepatnya ia meloncat dari satu arah ke arah jang lain. Karena
itulah maka serangannya seolah-olah datang dari segala penjuru.
Mula-mula Saraban dapat selalu mengikuti
arah gerak Bantaran. Bahkan sekali dua kali serangannya yang berbahaya
dapat memaksa Bantaran melontar selangkah dua langkah mundur. Tetapi
lama kelamaan kaki Bantaran semakin lincah melontar-lontarkan tubuhnja
kesana kemari, sehingga akhirnya Saraban menjadi bingung. Beberapa kali
Bantaran berhasil memancing lawannya menghadap ke arah yang salah,
sehingga dalam keadaan yang demikian, meloncatlah serangan-serangan
Bantaran yanq dahsyat. Untunglah bahwa tubuh Saraban benar-benar keras
seperti kayu. Sehingga untuk beberapa lama ia dapat bertahan. Namun
karena serangan Bantaran itu datang bertubi-tubi bahkan kemudian seperti
aliran air terjun, maka, akhirnyja terasalah bahwa Saraban mulai
terpaksa bekerja mati-matian. Dan beberapa saat kemudian terpaksalah
orang Pamingit yang bertiubuh tinggi besar itu mengeluh. Tetapi meskipun
demikian, ia masih juga berusaha sekuat tenaganya untuk dapat
mengimbanyi lawannya. Sekali dua kali tangannya yang besar dan berat itu
terayun dengan kerasnja disusul dengan lontaran kakinya dibarenqi
teriakan yang memekakkan telinga. Namun Bantaran selalu berhasil
menghindar dan kemudian meloncat maju membalas menyerang. Meskipun
tenaganja tidak sebesar orang Pamingilt itu, namun pukulannya yang
selalu mengarah ke tempat-tempat yang ringkih, menjakan Saraban
terdesak terus.
Ketika Saraban lengah, tangan Bantaran berhasil masuk di antara kedua tangan lawannya yang bersilang, mengenai rahangnya.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Dengan kerasnya muka Saraban teranqkat disusul dengan sebuah
pukulan ke arah perut. Terdengarlah Saraban mengaduh pendek
sambil membungkukkan badannya. Pada saat itu, sekali lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran. Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.
Semua orang yang menyaksikan kesudahan
dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru
menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga
juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.
Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan
lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak
berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke
arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat
perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu
terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya. Dalam pada
itu terdengarlah suara Bantaran parau, ”Saudara-saudaraku, rakyat
Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan
ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak
terkendali. Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk
seterusnya berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak
akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk
seterusnya kalian hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan
kepada Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari
pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas tanah
kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki Ageng Gajah Sora atau
putranya Arya Salaka.”
Tak seorangpun yang menyatakan
pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar
kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan
mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya
mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan
terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit
pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang
yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan
dendam mereka.
Belum lagi gema suara Bantaran itu
lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan
kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan
Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan
terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia
berkata lantang, ”Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan kehadiranku.”
Orang-orang yang berdiri di tanah lapang
itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan
diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam
waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan
langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.
Dua orang diantara mereka, mendorong kuda
mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin
rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara
yang nyaring, ”Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran.”
Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi
karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin
melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang
dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat
melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang
bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat
jawaban. Karena itu ia mengulangi, ”Ayo… katakanlah kepada kami,
siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara
kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang berada di
tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian mengharap
untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik
nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak
menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun
demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang
berdiri tidak jauh di belakangnya.
AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang
memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan
tega melihat nama perempuan itu dinodai.
Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap,
tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan
menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya
menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu
bertanya, ”Siapa namamu…?”
Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab, ”Gonjang, Tuan.”
”Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.
Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri.
Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka
mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki
kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa
berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, ”Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”
”Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.
Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu. ”Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”
Tiba-tiba mata orang Pamingit itu
seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu
sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika
tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun
ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil
membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya, ”Ayo katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”
”Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.
”Bohong!” bentak orang Pamingit itu. ”Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”
”Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi.
Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan
kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan
kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian
ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama
Bantaran.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang
adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu
untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya
tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji
untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya
serta.
Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu,
hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia
sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat
ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi
itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang
berkuda itu agaknya di luar kemampuannya. Bantaran hampir mengenal satu
demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng,
Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak
seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau
orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di
tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan
diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya
seperti ia mengenal mereka.
Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara
yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi.
Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya
terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan,
tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu
membentaknya, ia menjadi pingsan.
Akhirnya Bantaran mengambil suatu
ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu
sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan
menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat
melarikan diri. Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi
tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang
berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang,
tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia
berkata nyaring, ”Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”
Semua yang berada di tanah lapang
terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu
menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan. Tetapi dalam pada itu
semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun
pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua
orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu. Ketika
mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih
terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi
bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya
menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang
garang-garang itu…?
Tetapi, sesaat kemudian Bantaran menjadi
sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu
belum pernah dilihatnya.
”Nyai…” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, ”Adakah ia orang baru…?”
Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. ”Aku belum pernah melihatnya, Kakang.”
Bantaran menarik nafas dalam-dalam. Ia
mencoba menebak, siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya
itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua
orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah orang yang
dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan Talang Semut. Dua
orang yang lebih suka mempergunakan tangannya daripada mulutnya. Apalagi
pengakuan orang itu hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab
orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal
siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga pengorbanannya akan
menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka masih akan mencari orang yang
dikehendakinya. Karena itu Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah
pengorbanan yang dianggapnya akan sia-sia saja.
No comments:
Write comments