Wednesday, February 26, 2014

Nogososro Sabuk Inten 15 G

Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan berteriak, tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia menoleh, ia terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya berkurang, terdengarlah ia berdesis, ”Tuan… Bukankah Tuan….”
”Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang menggamitnya.
Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun ia masih agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama sekali tak disangka-sangka itu.
”Tuan…” sambungnya sambil tergagap, ”Kenapa Tuan tiba-tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar. ”Bantaran… ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya tetap tenang. Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi kebingungan.”
Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil menjawab, ”Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, ”Apalagi orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau.”
Bantaran tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di sampingnya sekarang ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya. ”Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”
Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama mengangkat wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng dan Talang Semut.
Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, ”Agaknya orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah dengan delapan orang lainnya.”
”Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.
Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. ”Kenalkah Tuan dengan orang itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih tetap memandang kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
”Siapakah dia…?” desak Bantaran.
”Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan, ”Alangkah bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama sekali tidak akan berarti.”
Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan kata-kata Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, ”Kaukah yang bernama
Bantaran…?”
Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, ”Ya, akulah Bantaran.”
Sekali lagi temu Ireng memandang orang yang berdiri di hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-tiba terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada kawannya yang masih berada di atas kudanya. ”Hai… Adi Talang Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang ini Bantaran…?”
Orang-orang yang berada di tanah lapang itu hatinya menjadi tegang. Mereka sama sekali belum pernah mengenal orang aneh yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu, orang-orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati, menjadi malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang Banyubiru sendiri untuk berbuat lebih banyak lagi?
Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah marahnya. Ia mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah Bantaran. Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri.
Talang Semut ternyata tidak menjawab pertanyaan Temu Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah dekat benar dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram keras.
Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.
Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa itu seakan-akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun tangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat lagi melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka bahwa orang yang mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi korban kemarahan Talang Semut.
Tetapi sekejap kemudian, dada mereka terguncang menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa yang mereka saksikan sama sekali diluar dugaan mereka.
Ketika cambuk itu melayang ke arah tubuhnya, Kebo Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang Semut memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu tak terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih keras lagi, tubuh Talang Semut-lah yang ikut terseret dari kudanya. Karena Talang Semut tidak menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal. Ketika ia sadar, tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah pelipisnya. Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya sehingga Talang Semut tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi kemudian adalah pelipisnya seolah-olah membentur dinding baja. Begitu kerasnya sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat kemudian ia sama sekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.
Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi di depan hidungnya. tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian mudahnya mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu adalah seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-hati. Dengan demikian ia kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah kemudian dengan menggeram Temu Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara. Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya telah menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau membiarkan Temu Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang hampir sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu perguruan Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia sama sekali tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap serangan yang datang.
Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran yang ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi bingung, karena kuda-kuda mereka saling melanggar. Sesekali kalau Kebo Kanigara sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya, sehingga dengan terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa penunggang kuda yang lain masih berusaha untuk dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam pertempuran itu, orang-orang yang berada di tanah lapang menjadi kacau balau. Mereka berlarian kesana kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.
Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik kepada Bantaran, ”Bantaran… masih adakah keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari kemarahan orang Pamingit kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”
”Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua telah mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada, kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
”Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung Mahesa Jenar, ”Supaya ia tidak memikul tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok atau lusa, Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orang-orang yang menjadi malu atas kekalahannya dari Paman Guru itu.”
Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, ”Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”
”Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar. ”Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami tinggalkan di sana.”
Sekali lagi Bantaran mengangguk.
”Disamping itu…” lanjut Mahesa Jenar, ”Aku ingin mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi kita memerlukannya.”
”Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.
”Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. ”Aku harap kita dapat bertemu sebelum fajar.”
Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti segala petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk itu. Usaha Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah, sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa menghiraukan apapun juga.
Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.
Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur melawan delapan orang, tetapi kini dengan pedang ditangan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo Kanigara selalu dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang kendali kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayun-ayunkan pedangnya berputar-putar dahsyat. Ia dapat mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi lawan-lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan. Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan delapan ekor serigala. Sekali-sekali garuda itu terbang tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu. Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.
Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka.
Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya. Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mereka dapat.
———-oOo———-

No comments:
Write comments