Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk
meloncat dan berteriak, tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia
menoleh, ia terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari
tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak
dapat berkata-kata. Baru setelah debar jantungnya berkurang,
terdengarlah ia berdesis, ”Tuan… Bukankah Tuan….”
”Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang menggamitnya.
Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun
ia masih agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama sekali tak
disangka-sangka itu.
”Tuan…” sambungnya sambil tergagap, ”Kenapa Tuan tiba-tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar. ”Bantaran…
ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya tetap tenang.
Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi kebingungan.”
Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil menjawab, ”Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, ”Apalagi orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau.”
Bantaran tersadar akan bahaya yang
mengancam. Tetapi bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang
aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu. Karena di sampingnya sekarang
ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya. ”Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”
Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama
mengangkat wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya
Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng dan Talang
Semut.
Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, ”Agaknya orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah dengan delapan orang lainnya.”
”Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.
Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. ”Kenalkah Tuan dengan orang itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih
tetap memandang kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang
sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.
”Siapakah dia…?” desak Bantaran.
”Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan, ”Alangkah bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama sekali tidak akan berarti.”
Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan
kata-kata Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah
maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, ”Kaukah yang bernama
Bantaran…?”
Bantaran…?”
Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, ”Ya, akulah Bantaran.”
Sekali lagi temu Ireng memandang orang
yang berdiri di hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia
tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang
hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-tiba
terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada kawannya yang
masih berada di atas kudanya. ”Hai… Adi Talang Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang ini Bantaran…?”
Orang-orang yang berada di tanah lapang
itu hatinya menjadi tegang. Mereka sama sekali belum pernah mengenal
orang aneh yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu,
orang-orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati, menjadi
malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi
pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang Banyubiru sendiri untuk
berbuat lebih banyak lagi?
Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah
marahnya. Ia mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin
dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang
menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah Bantaran.
Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri.
Talang Semut ternyata tidak menjawab
pertanyaan Temu Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena
ia merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang
disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi pemimpinnya,
sehingga Talang Semut merasa tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka
ketika kudanya telah dekat benar dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya
cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram keras.
Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara.
Hampir semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu seakan-akan berhenti bernafas. Talang Semut bagi orang
Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun
tangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat lagi
melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka bahwa orang yang
mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi korban kemarahan Talang Semut.
Tetapi sekejap kemudian, dada mereka
terguncang menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa
orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa yang
mereka saksikan sama sekali diluar dugaan mereka.
Ketika cambuk itu melayang ke arah
tubuhnya, Kebo Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai
cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang
Semut memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu tak
terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah
tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih keras
lagi, tubuh Talang Semut-lah yang ikut terseret dari kudanya. Karena
Talang Semut tidak menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal. Ketika
ia sadar, tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya
sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah pelipisnya.
Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya sehingga Talang Semut tidak
mempunyai kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi
kemudian adalah pelipisnya seolah-olah membentur dinding baja. Begitu
kerasnya sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang.
Sesaat kemudian ia sama sekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang
sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah. Pingsan.
Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi
di depan hidungnya. tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan
gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian
mudahnya mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng
adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu adalah
seorang yang masih terhitung muda. Tiba-tiba Temu Ireng sampai pada
suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas kesalahan Talang Semut
sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-hati. Dengan demikian ia
kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah kemudian dengan menggeram Temu
Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak keras ia langsung
menyerang Kebo Kanigara. Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya
telah menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang
mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau membiarkan Temu
Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian mereka beramai-ramai
menyerang Kebo Kanigara.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang
hampir sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu
perguruan Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang
menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia sama sekali
tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap
serangan yang datang.
Dengan demikian, terjadilah suatu
pertempuran yang ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang
yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan
kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi bingung,
karena kuda-kuda mereka saling melanggar. Sesekali kalau Kebo Kanigara
sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu
kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya, sehingga dengan terkejut kuda
itu meringkik dan melonjak-lonjak.
Beberapa penunggang kuda yang lain masih
berusaha untuk dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang
sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam pertempuran itu,
orang-orang yang berada di tanah lapang menjadi kacau balau. Mereka
berlarian kesana kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari
kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.
Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik kepada Bantaran, ”Bantaran…
masih adakah keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari
kemarahan orang Pamingit kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”
”Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua
telah mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada,
kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
”Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung Mahesa Jenar, ”Supaya
ia tidak memikul tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok
atau lusa, Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orang-orang yang
menjadi malu atas kekalahannya dari Paman Guru itu.”
Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, ”Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”
”Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar. ”Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami tinggalkan di sana.”
Sekali lagi Bantaran mengangguk.
”Disamping itu…” lanjut Mahesa Jenar, ”Aku
ingin mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau
persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi kita
memerlukannya.”
”Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.
”Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. ”Aku harap kita dapat bertemu sebelum fajar.”
Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi,
untuk mengikuti segala petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut
serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula
Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha mencari
kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk
itu. Usaha Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak
kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di
tanah lapang itu ternyata tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan
usaha Kebo Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah,
sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa orang
berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa
menghiraukan apapun juga.
Meskipun kelima orang Pamingit itu
berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha
mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan
orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah
menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang
ketakutan.
Sesaat kemudian, lapangan itu telah
menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan
orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang
lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan,
ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya
Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka
menangkap Bantaran.
Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa
bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar
telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera
mengakhiri pertempuran.
Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur
dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan
orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika
seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang
yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari
serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu.
Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan
menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu
sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang
dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya
terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang
pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.
Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka.
Kalau semula mereka, delapan orang, tidak
mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun
juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat
suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan
pertempuran itu.
Karena itu selagi nyawa mereka masih
tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah,
maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri
dari tanah lapang itu secepat-cepatnya. Untunglah kalau mereka sempat
datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti
atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang
berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.
Maka setelah mereka masing-masing
berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama,
maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang
itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik
menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera
menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan
Kebo Kanigara secepat mereka dapat.
———-oOo———-
No comments:
Write comments