Wednesday, February 26, 2014

Nogososro Sabuk Inten 15 A

Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung, terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan. Ya, pada saat Radite berhak mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar suatu harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama Umbaran. Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu anggapan, bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.

Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam. Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang bernama Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian seramnya.
Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya ”Bahwa tak ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”

Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala mereka dengan takzimnya.
Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, sama sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam, wajah itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak, ”Guru… ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama sekali tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru karena dosa-dosa kami.”
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di dalam perutnya, ”Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai naluri.”

Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau, ”Guru, telah sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga.”
Radite…” jawab orang yang berjubah itu, ”Pengakuan atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”

No comments:
Write comments