Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat
orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung,
terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar
dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang
tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu
kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari
seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan. Ya, pada saat Radite berhak
mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak mengenakan
topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar suatu
harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang
kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa
pamrih. Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi
lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama
Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena
pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama Umbaran. Tiba-tiba
kembali Radite terlempar pada suatu anggapan, bahwa dirinyalah sumber
dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan mengotori jubah
abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai
serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.”
Dan sekarang di hadapannya berdiri
seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam.
Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran.
Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang
bernama Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana
sedemikian seramnya.
Dalam pada itu, tiba-Tiba Radite teringat
akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian
menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima
warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja
berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang
mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian
datang kembali ketika nama Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata
kepadanya ”Bahwa tak ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”
Radite adalah seorang tua yang mempunyai
mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu
tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui
dari mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan
satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya
Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan
Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala
mereka dengan takzimnya.
Orang yang berjubah abu-abu itu mundur
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, sama
sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam, wajah
itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak, ”Guru…
ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama
sekali tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru
karena dosa-dosa kami.”
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar
menggeram. Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di
dalam perutnya, ”Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau
kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak menjumpaimu lagi.
Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati
ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang
berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian.
Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan
menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya
yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak
berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat
berkembang dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang
sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur.
Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka
kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk
lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai naluri.”
Radite dan Anggara menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah orang yang
berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata
orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu
pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa
tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata
kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka
sekali lagi Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau, ”Guru,
telah sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat
membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru
jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu.
Karena itulah aku mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai
suatu pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga.”
”Radite…” jawab orang yang berjubah itu, ”Pengakuan
atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan
ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman
bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain.
Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah mencegah
terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur
telah mengakui kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak
berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak adalah
hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”
No comments:
Write comments