Demikianlah, ketika beberapa orang lewat
di muka pondok di ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda
tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin
mereka melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di
jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang
sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun merasa berkepentingan
pula dengan penunggang-penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka
terheran-heran pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang
terinjak-injak di halaman.
Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam
rumah itu, dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar
bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan
ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan tergopoh-gopoh pula
Paniling dan Darba mempersilakan mereka masuk dan memperkenalkan mereka
yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang
itu. ”He, kakang Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari?”
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, ”Otakmu agaknya baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari.”
Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu, orang itu bertanya seterusnya, ”Dan siapakah yang dua lagi?”
”Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling, ”Dan yang satu lagi…” Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut, ”Aku adalah kakaknya. Ayah anak-anak ini.”
”O…” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata salah seorang diantaranya, ”Selamatlah
Kakang berkunjung ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula,
dan sudi singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”
”Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu. ”Aku akan tinggal beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila waktuku memungkinkan.”
Demikianlah terjadi percakapan yang akrab
dan semanak di antara mereka. percakapan yang sama sekali tidak
dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan.
Penduduk pedukuhan itu sama sekali tidak mengenal cara-cara yang
dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah
kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan
langsung dapat membacanya kata demi kata. Demikianlah huruf itu
membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat. Demikianlah maksud serta isi
dari kitab itu sebenarnya.
Tetapi mereka tidak lama berada di tempat
itu. Karena sawah serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran
tangan para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa
banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya. Karena itu
mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun akan
kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir lain daripada
kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung atas kesanggupan serta
kemauan mereka bekerja.
Dan seandainya ada orang lain, yang
berbelas kasihan memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang
melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah
dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya orang-orang
dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan berhutang budi. Dan
dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya sebagian kecil,
kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas diri sendiri.
Karena itulah maka mereka bekerja keras
dengan penuh kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan
yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.
Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada juga yang sempat bertanya, ”Bapak Paniling, kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”
Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi akhirnya diketemukan juga jawabnya. ”Akh, semalam kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai menangkapnya.”
Mereka percaya saja pada keterangan itu.
Bahkan beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu
apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan yang
akan sangat jauh berbeda.
Demikianlah ketika para petani
meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada
orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu.
Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat
kepala yang kehijau-hijauan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
mengenal wajah orang itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan.
Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa
dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin
segar. Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti biasa,
yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata. Tetapi
mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa yang
akan datang. Ke masa yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah
terjadilah suatu paduan antara masa depan yang dekat dengan masa yang
tak teraba oleh pancaindera.
Ketika suara sendau dan tawa para petani
sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk
melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata, ”Anak-anakku
sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari itu.
Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh
dalam dirinya.
Pertandanya bahwa keris itu sudah
luluh ke dalam diri pemiliknya, adalah bahwa keris itu kehilangan
kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak
ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur
saja. Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang,
maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam
dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai
dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akania akan memiliki unsur
sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat yang demikian memang seharusnya
dimiliki oleh seorang pemimpin. Pancaran dari cinta kasih Tuhan,
perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan
kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian
kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan
jalan.
Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai
watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus
sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang
bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan
dan kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang
demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum
pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat
dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak dengan manisnya,
namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu
sedang mendidih.”
Orang tua itu berhenti sejenak. Ia
memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang damai itu
lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman.
Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu
yang kurang pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, ”Sayang,
bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu lagi.
Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah lenyap dari perbendaharaan
istana.”
”Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.
Orang tua itu mengangguk, jawabnya, ”Ya,
Kyai Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri
seseorang, tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat
penyimpanannya. Padahal Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia
memiliki watak yang lengkap dari watak seorang prajurit. Prajurit yang
setia dan patuh akan kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk
kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang untuk tanah
tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan tanpa pamrih,
dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang Maha Agung.”
Suasana kemudian menjadi hening sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang
dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk menemukan Kyai Sabuk
Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya,
tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari
simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang keturunan Brawijaya,
menjadi sedih pula. Bagaimanapun juga, ia masih selalu merindukan
kebesaran yang pernah dicapai oleh Majapahit dahulu.
Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, ”Tuan, tidak adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan keris-keris itu?”
Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, ”Tidak
kurang banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru.
Bukankah Mahesa Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit dan
Panigron? Juga bukankah Arya Palindih pernah diutus ke Banyubiru untuk
menemukan keris-keris itu? Bahkan sampai sekarangpun masih banyak dari
para perwira Demak yang berkeliaran mencari pusaka-pusaka itu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para prajurit
Demak itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan dapat
menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai Sengkelat
pun masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya.
Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang
yang mengetahui hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu
dirahasiakan. Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja.
Tetapi ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-pejabat
rahasia Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-pusaka itu. Sebab
mereka mempunyai pengertian yang salah, seolah-olah siapa saja yang
memiliki pusaka itu, dengan sendirinya akan dapat menduduki tahta. Orang
tua itu kembali membetulkan letak duduknya. Dan sekali-kali menarik
napas dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan, ”Padahal, segala sesuatu sangat tergantung kepada orang itu sendiri. Dan
tergantung padanya pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau
tidak ke dalam dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan
wahyu itu bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan
keberuntungan, tetapi untuk dapat menerima wahyu maka seseorang harus
mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak dan sifat-sifat wahyu
itu. Karena itulah maka untuk menerima wahyu seseorang harus bekerja
keras, mesu raga dengan penuh keprihatinan.”
Segala sesuatunya menjadi jelas bagi
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi
justru karena itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah atas
pusaka-pusaka keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di
tangan seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah ia
akan selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.
Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah Mahesa Jenar, ”Tuan,
aku sudah dapat memahami semua keterangan itu. Namun meskipun demikian,
untuk menenteramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan
yang pasti, apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada
pada Tuan.”
Sekali lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, ”Benar…
Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada padaku. Jangan takut. Bagiku kau
adalah lantaran yang sebaik-baiknya untuk menyerahkan kembali kedua
pusaka itu ke Demak kelak apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah
yang paling sesuai untuk menjadi wadah dari wahyu itu. Meskipun
demikian segala sesuatu masih tergantung atas kebenaran yang tertinggi.
Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah Maha Penentu
dari segala kejadian.”
Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam
otak Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah
Sora. Ia akan dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah dapat
diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan apakah ia
bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu, penyerahan kembai
keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu bagaimanakah yang akan
terjadi dengan Gajah Sora itu…? Karena persoalan itu bertubi-tubi
menghantam dinding kepalanya, akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri
bertanya, ”Tuan… Masih ada sesuatu yang sangat mengganggu
perasaanku, yaitu masalah Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia
tidak akan segera mendapatkan penyelesaian.”
No comments:
Write comments