Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu,
Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara
Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?
Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah
abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah
rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit
kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya.
“Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan
jelas. Dan bagiku, sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki
bermacam-macam nama dan kedudukan.”
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit
yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang
dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng
itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh
sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak
memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu
jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama
Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah
orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun
berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah
yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan Anggara tiba-tiba merasa
terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya.
Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa
seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal
yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu
tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak
dengan umur mereka sendiri.
Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa
Guru… aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa
Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih
mengenal Bapa.”
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah
bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia
ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya itu
tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak
bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di
hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah mencapai segala
cita-cita serta idamanku, sejak aku menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan
menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu
berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang
berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing.
Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang
berjubah abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir
seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di
sebuah bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.
Tetapi tak seorangpun yang berani
bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung
perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan
sendirinya, “Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Mahesa
Jenar… sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu,
yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari
Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara,
menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami, akhirnya kalian
mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu itulah Panembahan
Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa
kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan
keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah
mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya.”
“Mahesa Jenar…” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin
menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah
antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan Pemerintahan demak
di lain pihak.
“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan
hanya itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku
tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya
mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu demi
kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa bagian
darinya, yaitu pamrih pribadi.”
Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya, ”Kau
memang jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa.
Sudah beberapa kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang
ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan
Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau masih harus
menilai siapakah diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu.
Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan
menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu dalam
pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan
merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya.
Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang
akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan
pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan tamtama. Kalau
demikian yang terjadi, maka tinggal menunggu besok atau lusa, Demak
pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam
pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang
berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada
Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian
yang harus ditanggung oleh Demak sendiri.
Karena itu janganlah suasana menjadi
bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu
dengan baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru
Demak sendiri.”
Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar
menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan
Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Dengan demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan, ”Setiap
orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan
negeri. Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan
langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk
menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi
bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat.
Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa
mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah yang gemah ripah
lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit
pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi
lebat di hari kemudian.”
Ketika orang berjubah abu-abu itu
berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar.
Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang
apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah
kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.
Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya.
Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan,
baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di
jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu
juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.
Namun demikian masih saja ada beberapa
hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu
justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar
itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut
di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid
Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu
terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak
memiliki sangkut-paut yang sangat rapat dengan kedua golongan itu.
Meskipun demikian, meski berbagai
pertanyaan bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam
lingkaran kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya
orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya
tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu
berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan
penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika sambaran matanya hinggap
pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang
ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari
mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan
persoalan-persoalan itu. Karena itu ia meneruskan, ”Mahesa Jenar…
seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun,
tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan
mereka akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah
berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak, selama
jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua keris itu.
Apabila seseorang telah benar-benar dapat menguasai, serta jiwa kedua
keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat sipat kandel yang
sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu,
maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan
berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu
sebagaimana kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya,
ia ingin memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat
dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya.
Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu
arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka Demak itu.” Kembali
orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik
hinggap di dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Demikianlah
Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya.
Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak sepi.
Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang pintunya, dengan
tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan sibuknya
menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan
anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari
tidurnya yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang
segar.
Dalam kecerahan pagi itu tampaklah
orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling
masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya
mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.
Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata. ”Radite,
biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat
di muka rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang
tidak biasa di pedukuhanmu ini.”
Dengan tergoboh-gopoh Radite
mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk
berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika
matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan,
tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah
mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka,
menjelang saat tanam padi.
No comments:
Write comments