Wednesday, February 26, 2014

Nogososro Sabuk Inten 15 D

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?
Tiba-Tiba tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya. “Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan kedudukan.”
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya. Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka sendiri.

Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa Guru… aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih mengenal Bapa.”
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya itu tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing. Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang berjubah abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.
Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan sendirinya, “Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar. Katanya, “Mahesa Jenar… sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu, yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya.”
“Mahesa Jenar…” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan Pemerintahan demak di lain pihak.
“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan hanya itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”
Orang berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya, ”Kau memang jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya. Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian yang harus ditanggung oleh Demak sendiri.
Karena itu janganlah suasana menjadi bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru Demak sendiri.”
Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Dengan demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan, ”Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di hari kemudian.”
Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.
Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan, baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.
Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang sangat rapat dengan kedua golongan itu.
Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketika sambaran matanya hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan itu. Karena itu ia meneruskan, ”Mahesa Jenar… seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak, selama jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu, maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya. Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka Demak itu.” Kembali orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik hinggap di dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Demikianlah Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya. Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari tidurnya yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.
Dalam kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.
Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata. ”Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di pedukuhanmu ini.”
Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan, tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka, menjelang saat tanam padi.

No comments:
Write comments